PENYIDIKAN POLRI DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA *
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kepolisian Negara
Republik Indonesia
(Polri) sebagai salah satu institusi yang mengemban fungsi pelayanan publik
dituntut untuk mampu memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dengan menampilkan kinerja kesatuan yang profesional dan handal di bidangnya. Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 13 disebutkan bahwa Polri memiliki tugas pokok yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat
Dalam era reformasi sekarang ini,
tuntutan tugas Polri semakin berat sehingga tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat semakin sulit dilaksanakan, sebagai akibat dari perkembangan
kejahatan yang meningkat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Selain dari itu, adanya sikap kritis dari masyarakat terhadap
kinerja Polri, serta tidak kalah
pentingnya perubahan struktural Polri yang dulunya merupakan bagian dari
institusi militer yang tergabung dalam ABRI dan sekarang berdiri
sendiri sehingga banyak harapan dari masyarakat agar
Polri mampu membangun postur yang ideal sebagai polisi yang
berwatak sipil dan mampu menjadi tulang punggung bangsa dalam menangani permasalahan kamtibmas.
Sejak
resmi memisahkan diri dari Tentara Nasional
Indonesia (TNI) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 dan
TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari TNI, yang diperkuat
juga oleh TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 mengenai Peran TNI dan Polri Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berusaha membangun image sekaligus paradigma baru. Image Polri yang semula
militeristik dan cenderung represif berangsur-angsur mulai berubah dengan paradigma barunya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan
masyarakat (to serve and protect). Namun disadari tidaklah mudah melakukan perubahan terhadap budaya militeristik serta paradigma alat negara yang sudah mengakar
dalam tubuh Polri.[1]
Pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat terkandung dalam tugas-tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini dilaksanakan
oleh fungsi Reserse Kriminal. Di dalam rumusan Pasal 14
ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, di sebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam menegakkan hukum dalam rangka menciptakan keamanan
dan ketertiban dilakukan
secara bersama-sama dalam suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan suatu
proses panjang dan melibatkan banyak unsur di dalamnya. Sistem Peradilan Pidana
sebagai suatu sistem besar yang di dalamnya terkandung beberapa subsistem yang
meliputi subsistem kepolisian (sebagai penyidik), subsistem kejaksaan sebagai
penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai hakim, dan subsistem lembaga
pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.
Keempat subsistem di
atas baru bisa berjalan secara baik apabila semua saling berinteraksi dan
bekerjasama dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu mencari kebenaran dan
keadilan materiil sebagaimana jiwa dan semangat Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana dalam kerangka penegakan hukum
pidana, KUHAP merupakan acuan umum yang harus di jadikan pegangan bagi semua
yang terlibat dalam proses bekerjanya Sistem Peradilan Pidana dalam rangka
mencapai satu tujuan bersama.
Rangkaian proses Sistem
Peradilan Pidana di mulai dari adanya suatu peristiwa yang di duga sebagai
peristiwa pidana (tindak pidana). Setelah adanya peristiwa pidana baru di mulai
suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan
sebenarnya merupakan suatu rangkaian tindakan yang tidak bisa dipisahkan,
walaupun tahap-tahapnya berbeda. Apabila proses penyelidikan di satukan dengan
penyidikan maka akan terlihat adanya suatu kesinambungan tindakan yang
memudahkan proses selanjutnya.
Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang KUHAP, memberikan peran kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan
kuasa sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum
publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, walaupun
KUHAP juga memberikan kewenangan kepada PPNS tertentu untuk
melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang
diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.
Indonesia yang menganut
sistem penegakan hukum terpadu (Integrated
Criminal Justice System) yang merupakan legal spirit dari KUHAP.
Keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan
tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father dalam UUD 1945,
yaitu melindungi masyarakat (social
defence) dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).[2]
Dalam sistem penegakan
hukum terpadu berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama ini menganut asas division of function atau sistem
kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan
penuntutan dan permeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan
penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice
system), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi
terkait.[3]
Dewasa ini maraknya
kritikan terhadap realitas penegakan hukum di Indonesia terutama terhadap
kinerja yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan hal yang wajar.
Keprihatinan tersebut harus dilihat sebagai suatu keinginan dari semua pihak
supaya terjadi perubahan kearah yang lebih baik di masa yang akan datang karena
tidak ada suatu sistem peradilan pidana yang sudah mantap dan tetap untuk dapat
diterapkan sepanjang zaman di negara manapun.
Kenyataan ruwetnya
penegakan hukum di Indonesia, terutama di mulai dari tahap penyidikan. Awal
mula terjadinya kerumitan tersebut akibat peraturan perundang-undangan yang
mengatur wewenang penyidikan yang tidak kondusif untuk terjadinya suatu
keterpaduan dalam pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat adalah saling rebut perkara
antara instansi yang merasa diberi wewenang oleh undang-undang sehingga masyarakat
sering menjadi korban sebagai pencari keadilan akibat kesalahan penegakan hukum
dan mengakibatkakan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan
lembaga peradilan.
Dalam melaksanakan penegakan
hukum, apabila kalangan aparat penegak hukum tidak mampu memperlihatkan
kemampuannya, maka masyarakat akan mencari jalan keluar yang lain atau apa yang
disebut Alternative Dispute Resolution (ADR).
Pandangan masyarakat yang radikal akan menghakimi masalah yang muncul sehingga
akan terjadi suatu keadaan yang kacau (chaos)
karena tidak melalui suatu jalur hukum yang sudah ada, hal ini terjadi karena
mereka menganggap lembaga peradilan sudah tidak dipercaya lagi.
Kekecewaan masyarakat terhadap
penegakan hukum yang sangat mengkhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan
terhadap aparat penyidik (polisi). Masyarakat tidak mau menyerahkan seorang
yang telah melakukan tindak pidana kepada polisi. Masyarakat menghakimi,
memproses dan mengeksekusi sendiri orang yang tertangkap tangan. Hal tersebut
dilakukan karena masyarakat sudah terlalu banyak melihat bagaimana seorang yang
melakukan suatu tindak pidana akhirnya dibebaskan kembali oleh polisi atau
aparat penegak hukum lainnya dengan alasan yang diberitakan rata-rata kurang
bukti, tidak ada alat bukti atau tidak memenuhi unsur delik sehingga
menimbulkan kekecewaan dari masyarakat yang melaporkannya.
Proses penyidikan
merupakan tahap yang paling krusial dalam Sistem Peradilan Pidana, dimana tugas
penyidikan yang di bebankan kepada Polri sangat kompleks, selain sebagai
penyidik juga sebagai pengawas serta sebagai koordinator bagi penyidik PPNS.
Kompleksitas tugas penyidik Polri semakin bertambah seiring dengan bergulirnya
reformasi di segala bidang kehidupan di Indonesia. Penyidik dituntut untuk
berhasil mengungkap semua perkara yang terindikasi telah melanggar hukum yang
ditanganinya.
Disamping itu penyidik
juga dituntut untuk tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan
penyidikan terhadap seseorang yang di duga melakukan tindak pidana. Tantangan
lain yang dihadapi oleh penyidik Polri bukan saja berasal dari keberhasilan
meneruskan suatu perkara ke pengadilan melalui kejaksaan, tetapi juga
kemungkinan akan dituntut oleh pihak tersangka dan keluarganya melalui gugatan
pra-peradilan karena kesalahan penyidik Polri itu sendiri.
B. Identifikasi,
Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Kegiatan
penyidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan penindakan/upaya paksa,
pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Kenyataan dilapangan
berdasarkan penelitian awal (observasi) oleh penulis terutama di wilayah hukum
Polres Kendari yang dijadikan wilayah penelitian dalam penulisan tesis ini, pelaksanaan
penyidikan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang telah di atur dalam
KUHAP sehingga menimbulkan berbagai macam permasalahan pada saat proses
penyidikan sedang berlangsung.
Adapun permasalahan-permasalahan
yang sering timbul dalam proses penyidikan oleh pihak kepolisian, diantaranya sebagai
berikut :
a. Penyelesaian perkara (crime clearance) yang masih rendah, hal
ini dapat dilihat dari Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang dilaporkan oleh
masyarakat tidak sebanding dengan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP).
Adapun penyelesaian tindak pidana yang dimaksud adalah penyelesaian perkara
yang telah dinyatakan lengkap oleh pihak kejaksaan (P-21) dan disertai dengan
penyerahan tersangka bersama barang bukti. Hal ini menunjukan bahwa kinerja
aparat kepolisian khususnya penyidik dalam penangangan tindak pidana dapat
dikatakan masih rendah.
b. Maraknya “Budaya
86” yaitu upaya-upaya penyalahgunaan
wewenang penyelidikan dan penyidikan dengan maksud dan tujuan tertentu demi
kepentingan pribadi penyidik
maupun penyidik pembantu. Berbagai mekanisme dalam
menjalankan budaya dimaksud secara turun temurun diperoleh oleh para penyidik
maupun penyidik pembantu dari penyidik maupun penyidik pembantu lainnya yang
lebih senior (lebih dahulu berdinas di fungsi Reskrim). Walaupun
terkesan layaknya sebuah
“hidden curriculum” yang
diturunkan dari satu
generasi penyidik maupun penyidik
pembantu ke generasi
penyidik maupun penyidik pembantu
berikutnya, namun eksistensi “budaya 86” tersebut adalah nyata adanya.
c. Masih adanya kasus yang di sidik
oleh polisi tidak di selesaikan berdasarkan urut-urutan proses yang berlaku
dalam sistem peradilan pidana. Kasus yang diselesaikan berdasarkan tata urutan
yang telah ditentukan hanyalah kasus-kasus yang sudah terlanjur diketahui oleh
masyarakat melalui media masa atau kasus yang mendapat perhatian masyarakat
yang ditunjukan melalui aksi dan reaksi yang ditandai dengan suatu ancaman/tuntutan
melalui unjuk rasa atau demonstrasi. Sebaliknya, pada kasus-kasus yang sama
sekali tidak mendapat perhatian dari masyarakat tidak diproses, malah
diselesaikan oleh polisi dengan jalan damai atau dengan pembayaran sejumlah
uang. Dalam proses damai ini baik polisi maupun korban masing-masing mengambil
inisiatif untuk menyelesaikan secara diam-diam, yang akhirnya perkara tersebut akan
dihentikan. Penghentian perkara yang dimaksud disini bukanlah sebagai
penghentian penyidikan karena alasan-alasan yang dibolehkan oleh KUHAP sendiri.
Penyidik dalam hal ini bertindak aktif untuk menutup suatu perkara baik secara
damai maupun dengan melakukan tekanan-tekanan kepada korban.
d. Maraknya praktek mafia kasus yang dilakukan
oleh oknum-oknum tertentu baik dari internal polisi itu sendiri atau dari pihak-pihak
lain dalam proses penyidikan, seperti menawarkan pasal-pasal dalam pembuatan
BAP yang sudah dinegosiasikan terlebih dahulu dengan tersangka, yaitu semakin
ringan pasal yang ditimpakan maka semakin besar biaya yang harus dibayar,
implikasinya pada manipulasi keterangan saksi dan pengaburan barang bukti. Modus
lain, dalam hal penangguhan penahanan, polisi menetapkan sejumlah uang sebagai
jaminan atas penangguhan penahanan yang besarannya tidak sesuai dengan
ketentuan, namun uang jaminan tersebut tidak diserahkan ke panitera Pengadilan
Negeri tetapi untuk oknum-oknum tertentu.
e. Intervensi atasan, yaitu intervensi
penyidikan oleh atasan yang berupa perintah tertentu seringkali memiliki
legitimasi yang lebih kuat
daripada prosedur yang
ada dalam hal penanganan suatu
perkara tindak pidana.
Hal tersebut seringkali terjadi
manakala seorang atasan penyidik memiliki kepentingan tertentu
terhadap penanganan suatu
perkara tindak pidana yang
sedang ditangani oleh
penyidik yang menjadi bawahannya.
Bentuk intervensi tersebut antara lain dengan memerintahkan seorang penyidik
mengubah status seseorang yang semula sebagai tersangka menjadi saksi atau juga
sebaliknya tanpa di dasarkan fakta hukum yang terdapat dalam penyidikan
suatu perkara tindak
pidana, dengan memerintahkan
seorang penyidik untuk menyerahkan suatu barang sitaan tertentu milik tersangka
padahal barang sitaan tersebut merupakan barang bukti dalam suatu perkara
tindak pidana.
f. Masih adanya sikap penyidik yang cenderung mengesampingkan
penanganan perkara-perkara yang dianggap “tidak ada uangnya”, seperti misalnya
perkara-perkara street crime yang
memang menguras tenaga dan biaya yang tidak sedikit, sehingga penyidik lebih
mengutamakan perkara-perkara yang “ada uangnya”, seperti perkara-perkara
terkait dengan sengketa hak kepemilikan atas suatu lahan tanah (penyerobotan
tanah), dan lain-lain. Hal tersebut
terjadi karena adanya pandangan yang “money oriented” dari para penyidik dalam penanganan suatu perkara
tindak pidana.
g. Akibat sikap penyidik yang
cenderung mengesampingkan perkara tersebut di atas, mengakibatkan banyaknya keluhan dari masyarakat tentang penanganan kasus oleh
polisi. Kasus-kasus yang telah dilaporkan oleh masyarakat namun penanganan yang
diberikan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tunggakan kasus pada setiap tahunnya. Adapun alasan yang diberikan oleh pihak
kepolisian kepada masyarakat bahwa kasus yang dilaporkannya masih dalam proses
penyelidikan dan penyidikan sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat kepada
polisi.
h. Masih ditemukan adanya unsur-unsur kekerasan (violence), baik secara fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu dalam proses
pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga/disangka melakukan suatu tindak
pidana sehubungan dengan tuntutan terhadap kinerja Polri untuk segera mengungkap
suatu tindak pidana sehingga mengabaikan asas praduga tak bersalah (presemption in innocent) dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
i. Masih adanya gugatan pra-peradilan kepada
pihak kepolisian yang di ajukan baik oleh tersangka maupun keluarganya akibat
dari kesalahan prosedur yang dilakukan penyidik dalam melakukan serangkaian upaya
paksa yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam KUHAP. Hal ini
salah satunya disebabkan karena kurangnya kemampuan dan kualitas sumber daya manusia
penyidik Polri.
Dengan kondisi-kondisi yang dikemukakan
di atas, maka dapat dikatakan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik Polri menghadapi suatu permasalahan yang begitu kompleks, sehingga dalam
pelaksanaannya sulit untuk berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan dampak
negatif bagi bekerjanya suatu sistem peradilan pidana dalam menciptakan proses hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan indentifikasi masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan
penyidikan yang dilakukan oleh Polri dalam dalam sistem peradilan pidana yang
dilakukan oleh pihak kepolisian Resor X. Proses penyidikan dalam
hal ini mulai dari proses pembuatan laporan polisi, penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan, pemberkasan, hingga penyerahan berkas
perkara dan tersangka serta barang bukti (P-21), sehingga tindakan yang
dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam setiap upaya atau langkah
tindakannya dapat berjalan efektif dan efisien dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang,
identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat di
rumuskan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah Pelaksanaan Penyidikan Polri
dalam Sistem Peradilan Pidana ?
b.
Kendala-kendala apa yang dihadapi
dalam pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ?
c. Bagaimanakah Penyidikan Polri dalam
Sistem Peradilan Pidana pada masa depan ?
C. Kerangka Teori
Penyidikan merupakan
tahap awal dari proses penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem
peradilan pidana (SPP). Penyidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat
penting dan strategis untuk menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum
pidana selanjutnya. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan menentukan
keberhasilan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya
memberikan kemudahan bagi hakim untuk menggali/menemukan kebenaran materiil
dalam memeriksa dan mengadili di persidangan.[4]
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
memberikan pengertian
penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP, yaitu :
Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Dari pengertian di atas, kegiatan
penyidikan merupakan upaya paksa yang meliputi kegiatan untuk melakukan
pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan. Kegiatan di dalam
penindakan pada dasarnya bersifat membatasi kekebasan hak-hak seseorang dan
perannya. Dalam melaksanakan kegiatan penyidikan harus memperhatikan
norma-norma hukum dan ketentuan-ketentuan yang mengatur atas tindakan tersebut.
Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan
pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada
upaya pencarian atau pengumpulan “bukti faktual” penangkapan dan penggeledahan,
bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka
dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga erat kaitannya dengan
tindak pidana yang terjadi. [5]
Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan
adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa
setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu
peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana. [6]
Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan
oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [7]
Istilah lain yang dipakai untuk
menyebut istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan
aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu,
dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau di duga terjadinya suatu
tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera
dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi
suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau
pelanggaran maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan,
benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah
pelakunya.[8]
Penyidikan itu dilakukan untuk
mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat
memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum
tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana apa yang telah
dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan
peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menetukan dapat
atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.
Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik
untuk mendapatkan keterangan tentang : [9]
1. Tindak pidana apa
yang telah dilakukan,
2.
Kapan tindak pidana itu dilakukan,
3.
Di mana tindak pidana itu dilakukan,
4.
Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,
5.
Bagaimana tindak tidana itu dilakukan,
6.
Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,
7.
Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.
Penyidikan sebagai
bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali
harus menyinggung mertabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib
untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat
penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan
orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya.
Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat
menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.
Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum
yang dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan,
penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam
ketentuan hokum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses pneyidikan itu
dinyatakan selesai. [10]
Penyidikan mulai
dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan
mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut
penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan
teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan
lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah
dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin
memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. [11]
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh penyidik dalam proses penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
Angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut
:
1). Penangkapan
Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
ayat 20 KUHAP yaitu :
Penangkapan adala suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penangkapan yang dilakukan
terhadap tersangka diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 KUHAP dan
dilakukan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan.
2). Penggeledahan
Pengertian penggeledahan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 17 KUHAP yaitu :
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan
atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Penggeledahan yang
dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37
KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan
penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan
penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan penangkapan
terhadap tersangka.
3). Penyitaan
Pengertian penggeledahan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 16 KUHAP yaitu :
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
Dalam pelaksanaan
penyitaan yang dilakukan guan kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan
cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu adanya suatu
pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua
Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat
izin terlabih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya
[12]
Penyitaan terhadap
barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dimana
penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat dilakukan
dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
4). Pemeriksaan
Kegiatan pemeriksaan
merupakan salah satu kegiatan penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan
keterangan dan kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi dan dituangkan
didalam berita acara pemeriksaan untuk melengkapi berkas perkara. Pemeriksaan
dilakukan baik terhadap saksi maupun terhadap tersangka. Dalam melakukan
pemeriksaan terhadap seorang tersangka dengan didampingi oleh pengacara yang
merupakan persyaratan materiil yang sudah di atur dalam KUHAP.
5). Penahanan
Pengertian mengenai penahanan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 21 KUHAP yaitu :
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan merupakan
salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.Jadi disini
terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan kepentingan
ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau
masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. [13]
Pertimbangan dan
ketentuan mengenai penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP.
6). Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan
Menurut Pasal 8 KUHAP,
jika penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana
pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap
lengkap maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti. Kegiatan ini merupakan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh penyidik.
Setelah diselesaikannya proses penyidikan
maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada
penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara
tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara
tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan
penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap
yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas
pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap
sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.
Keseluruhan proses
penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik Polri tersebut kemudian akan dilanjutkan
oleh Kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan diajukan dalam
sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada terdakwa yang
kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam rangka
penegakan hukum pidana.
Sistem peradilan dapat ditinjau dari berbagai
segi, pertama segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan.
Disini, sistem peradilan akan mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara,
prasarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai proses
mengadili (memeriksa dan memutus perkara).[14]
a. Suatu
kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses) ;
b. Masing-masing
elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling
tergantung (interpendence of its parts) ;
c. Kesatuan
elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang
meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more that the sum of its parts) ;
d. Keseluruhan
itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) ;
e. Bagian
dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami
secara terpisah dari keseluruhan itu (the
parts cannot be understood if considered in isolation from the whole) ;
f. Bagian-bagian
itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dalam
keseluruhan (sistem) itu.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian
besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan
mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta
mendapat pidana, disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah
mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi
kejahatannya. [16]
Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana
formiil, maupun pelaksanaan hukum pidana. Di dalam sistem peradilan pidana ini
terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan
dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi keluaran (output)
yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan ini, yaitu sasaran jangka pendek
adalah resosialisasi pelaku, kejahatan, sasaran jangka menengah pencegahan
kejahatan, dan sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan
masyarakat. [17]
Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem menurut
Romli Atmasasmita, harus dilakukan pendekatan sistem, yaitu : [18]
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi
komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga
Pemasyarakatan) ;
b. Pengawasan
dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana ;
c. Efektivitas
sistem penanggulangan kejahatan lebih di utamakan daripada efisiensi penyelesaian perkara ;
d. Penggunaan
hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The
administration of justice.
Konsepsi integrated dalam
pengertian sinkronisasi sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut
di atas, mengandung pengertian the
achievement of unification through shared norm values yang harus tampak
dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana. Sehubungan dengan
karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan pidana yang terpadu, yang
memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk menumbuhkan sinkronisasi dari segi
struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. [19]
Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku kejahatan yang
dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya
pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima sanksi pidana, [20] termasuk juga :
a. Mencegah masyarakat
menjadi korban kejahatan ;
b. Menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakan dan yang bersalah telah dipidana ;
c. Berupaya
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Peradilan pidana dikatakan
sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang
mendukung jalannya peradilan pidana, yaitu pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. [21]
Dalam
kerangka pemahaman tersebut maka kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut.
Masing-masing memang berdiri sendiri dan mengerjakan pekerjaan yang
berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan unsur saja dari satu sistem,
yaitu sistem peradilan pidana, bahkan kalau sistem peradilan pidana diibaratkan
mesin, maka kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah
ibarat sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut.
[22]
Loebby Loqman membedakan pengertian
sistem peradilan pidana dengan proses pidana.
Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling
terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian
rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Sedangkan proses peradilan
pidana, yakni suatu proses sejak seseorang di duga telah melakukan tindak
pidana, sampai orang tersebut di bebaskan kembali setelah melaksanakan pidana
yang telah dijatuhkan padanya. [23]
Sesungguhnya
proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian
yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran
proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana.
Tidak berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem
yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.
Sistem
peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya
proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar
memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa
atau terpidana sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP
melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan
putusan pengadilan. Masing-masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan
oleh institusi-institusi Kepolisian (subsistem penyidikan), Kejaksaan
(subsistem penuntutan), Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang pengadilan),
Lembaga Pemasyarakatan (subsistem pelaksanaan putusan pengadilan).[24]
Keempat
institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogyanya lebih
mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta
positif antara aparatur penegak hukum
untuk mengembangkan tugas menegakan keadilan dalam bingkai sistem peradilan
pidana terpadu (integrated criminal
justice system). Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau
keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam : [25]
1. Sinkronisasi struktrural (structural
syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan
antara lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial (substancial
sincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal
dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural (cultural
sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya sistem peradilan pidana.
Seharusnya
setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja
sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsitem lainnya. Sistem ini merupakan
proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem
akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem peradilan
pidana memainkan peran yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan
mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di
lembaga-lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada
pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain
kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal
polcy).
Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut
dapat bekerja sebagai sebagai sistem adalah (1) kesadaran sistem, (2) perilaku
sistem, (3) kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada
akhirnya sistem (dan unsur-unsurnya) hanya dapat beroperasi melalui (tindakan)
manusia. Sejak kita mengetahui bahwa manusia bukan robot dan mereka mampu
membuat pilihan-pilihan, maka pembinaan kultur penting sekali dilakukan.
Perilaku merekan yang mengandung unsur-unsur sistem tersebut perlu diusahakan
untuk berangkat dari nilai persepsi yang sama mengenai tujuan dan bekerjanya
sistem. [26]
Sebagai suatu sistem, maka semua komponen
dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung
dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Dalam kenyataannya
masing-masing subsistem bekerja dengan sendiri-sendiri dengan motivasi kerja
yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan
untuk memperoleh satu kebijakan kejahatan (criminal
policy). Kondisi ini memiliki dampak yang sangat menentukan bagi
berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan. [27]
Oleh karena itu, menurut Mardjono
Reksodiputro, bahwa komponen-komponen sistem peradilan ini harus bekerja secara
terpadu (integrated) untuk
menanggulangi kejahatan. Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen
sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian : [28]
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan
masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka ;
2. Kesulitan
dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai
subsistem) ; dan
3. Karena
tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memeperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana.
Adapun keterpaduan
dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang
bekerja sama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga
tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujuan sebagai
kerjasama dan koordinasi antara subsistem yang satu dengan subsistem yang
lainnya dengan prinsip unity in
diversity. Setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana memaikan peran
yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap
potensi (anggota dan sumber daya) yang ada dalam lembaga masing-masing. Namun,
aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapain tujuan bersama yang
telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).
Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk
menciptakan strategi supaya setiap elemen dapat meningkatakan efisiensi
kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk
menciptakan tujuan bersama. Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan
elemen yang lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan
mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinnya kerjasama yang
erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin
dicapai bersama, maka sistem peradilan terpadu tidak akan dapat menanggulangi
kejahatan. [29]
D. Kerangka Konseptual
Konsep adalah suatu bagian yang terpenting
dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk
menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep
di artikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam
hal-hal yang khusus dan di sebut dengan definisi operasional. Pentingnya
definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan antara penafsiran
mendua (dibius) dari suatu istilah
yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada
proses penelitian tesis ini. Dalam penulisan tesis ini ada beberapa landasan
konsepsional yaitu : Penyidikan dan Sistem Peradilan Pidana.
1. Penyidikan
Pengertian penyidikan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tantang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana), yang menjelaskan pengertian penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam ketentuan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP tersebut, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
penyidikan adalah setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat
menyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang
dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar telah terjadi.
Pengumpulan bahan keterangan untuk
mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana itu telah terjadi, harus dilakukan
dengan cara mempertimbangkan dengan seksama makna dari kemauan hukum yang
sesungguhnya, dengan parameter apakah perbuatan pidana atau peristiwa pidana
(kriminal) itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup pada komunintas yang
ada dimasyarakat setempat, misalnya perbuatan itu nyata-nyata diluar
kesepakatan telah mencederai kepentingan pihak lain, dan ada pihak yang lain
yang dirugikan atas peristiwa itu. [30]
2. Sistem Peradilan Pidana
Pengertian
Sistem Peradilan Pidana yang dijadikan pegangan oleh penulis dalam penulisan
ini seperti yang dikemukakan oleh Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana
(criminal justice system) sebagai
suatu jaringan (network) peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materiil, hukum pidana formiil, maupun pelaksanaan hukum pidana, yang di
dalamnya terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara
keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja
sistem peradilan ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku,
kejahatan, sasaran jangka menengah pencegahan kejahatan, dan sasaran jangka
panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
E. Metode Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan permasalahan
yang telah di rumuskan, maka secara keseluruhan tujuan dari penelitian ini
adalah :
a). Untuk mengetahui Pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem
Peradilan Pidana.
b). Untuk mengetahui Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam
pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana.
c). Untuk mengetahui Penyidikan Polri dalam Sistem
Peradilan Pidana pada masa depan.
2. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kegunaan :
a). Secara ilmiah dapat memberikan suatu gambaran
tentang pelaksanaan penyidikan Polri sebagai salah satu subsistem dari Sistem
Peradilan Pidana yang ada selama ini. Disamping itu juga dapat memberikan
gambaran yang seutuhnya tentang kenyataan penyidikan yang dilaksanakan oleh
Polri khususnya di wilayah Polres X.
b). Secara praktis, penelitian ini diharapkan
secara umum dapat dijadikan sebagai suatu masukan kepada pimpinan Polri dalam
rangka memperbaiki citra Polri dan secara khusus dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi sebagai bagian dari Sistem
Peradilan Pidana dalam rangka memberantas kejahatan dengan harapan perbaikan
kinerja penyidik Polri yang merupakan langkah awal dalam memperbaiki Sistem
Peradilan Pidana secara keseluruhan.
3. Metode Penelitian
a). Jenis Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yang bersifat empiris. Pendekatan ini digunakan karena
masalah yang akan dibahas berkaitan dengan realitas sosial dan tingkah laku
dari aparat penyidik dalam pelaksanaan penyidikan itu sendiri. Tingkah laku
manusia yang terlibat dalam suatu proses penyidikan juga merupakan aplikasi
dari norma-norma yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam KUHAP.
Pendekatan empiris ini digunakan dengan harapan dapat diperoleh gambaran yang
jelas dan utuh mengenai latar belakang dan seluk beluk pelaksanaan penyidikan
tindak pidana oleh Polri, sekaligus juga untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan penyidikan Polri. Disamping itu juga ingin diungkapkan
kondisi yang sesungguhnya tentang bagaimana faktor-faktor hukum dan non-hukum
dalam arti aturan interen dan aturan eksteren Polri yang ikut membetuk perilaku
penyidik di lapangan.
b). Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian dalam penulisan ini adalah di wilayah hukum Polres X. Adapun
alasan memilih lokasi penelitian ini adalah karena pertimbangan data statistik
jumlah tindak pidana yang terjadi dan cenderung mengalami peningkatan baik
secara kuantitas maupun kualitas, namun demikian berbanding terbalik dengan
jumlah tindak pidana yang diselesaikan, serta banyaknya
permasalahan-permasalahan yang terjadi selama proses penyidikan berlangsung
yang bertentangan dengan ketentuan yang telah di atur dalam KUHAP.
c). Populasi dan Sampel
Sehubungan penelitian ini dilaksanakan
di wilayah hukum Polres X, maka populasi penelitan ini meliputi seluruh penyidik
Polri di Polres X, Penyidik di Polsek Jajaran Polres Kendari, unsur
pimpinan Polres, unsur pimpinan Polsek, serta tersangka yang pernah di sidik
baik oleh penyidik Polres X maupun Penyidik Polsek Jajaran Polres X baik yang sampai ke pengadilan maupun yang tidak sampai ke pengadilan.
Selanjutnya
sampel dalam penelitian ini, mengingat dan pertimbangan keterbatasan waktu dan
dana yang dimiliki oleh penulis, maka pengambilan sampel dari populasi
penelitian ini ditentukan secara langsung sebagai responden, yang terdiri dari
:
(1). Lima orang penyidik Polres X ;
(2). Satu orang penyidik Polsek dari
masing-masing Polsek Jajaran Polres X ;
(3). Kasat Reskrim Polres X ;
(4). Kanit Reskrim dari masing-masing Polsek
Jajaran Polres X ;
(5). Tersangka yang pernah di sidik oleh Penyidik
Polres dan Polsek yang perkaranya sampai ke pengadilan, sebanyak 5 orang ;
(6). Tersangka yang pernah di sidik oleh Penyidik
Polres dan Polsek yang perkaranya tidak sampai ke pengadilan, sebanyak 5 orang.
Adapun teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara Purposive Sampling yaitu dengan penunjukan langsung oleh peneliti
untuk dijadikan sebagai sampel penelitian.
d). Alat Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini dilihat dari tujuan penelitian, maka data
yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data
yang diperoleh langsung di lapangan yang berkaitan dengan penyidikan tindak
pidana oleh kepolisian di wilayah hukum Polres Kendari. Sedangkan data sekunder
meliputi peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar hukum pidana dan
hukum acara pidana, serta bahan-bahan kepustakaan lainnya. Untuk mendapatkan
data tersebut diperoleh melalui :
(1). Studi Kepustakaan
Studi
kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder, mencari teori-teori,
pandangan-pandangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan
dibahas. Adapun data sekunder ini mencakup norma atau kaidah dasar, Peraturan
Dasar, Peraturan Perundang-undangan, serta bahan-bahan hukum lainnya yang
digunakan untuk mendukung data primer.
(2). Observasi
Pengumpulan
data primer dengan mendatangi lokasi penelitian, kemudian melakukan pengamatan
secara langsung terhadap objek penelitian guna mengetahui pelaksanaan
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri Polres X.
(3). Wawancara (Interview)
Teknik
wawancara dilakukan langsung kepada sampel penelitian yaitu polisi yang pernah
menyidik dan tersangka yang pernah mengalami langsung proses penyidikan oleh
penyidik. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman/panduan pertanyaan
agar tidak menyimpang dari permasalahan yang diteliti.
4. Analisis Data
Data
telah diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilanjutkan dengan analisis data
secara kualitatif yaitu
menganalisis data berdasarkan kualitasnya lalu di deskripsikan dengan menggunakan
kata-kata sehingga diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang
sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan. Analisis ini digunakan
untuk mengolah data yang sifatnya tidak dapat di ukur yang berwujud kasus-kasus
yang dilakukan penyidikan oleh penyidik sehingga memerlukan penjabaran melalui
uraian-uraian.
F. Sistematika
Penulisan
Penulisan tesis ini direncanakan dibuat dalam 5 Bab, yang terdiri dari :
Bab. I Pendahuluan, berisi
: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan
masalah, kerangka teori, kerangka konsepsional, metodelogi penlitian dan
sistematika penulisan.
Bab. II Tinjauan Umum
Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana, berisi : Aturan Hukum Pelaksanaan
Penyidikan Polri, Asas-asas hukum Pelaksanaan Penyidikan Polri, dan Model-model
Sistem Peradilan Pidana.
Bab. III Pelaksanaan
Penyidikan Polri, berisi : Tinjauan umum Penyidikan Polri di Polres X, Analisis
Hukum Pelaksanaan penyidikan Polri dan Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
Penyidikan Polri.
Bab. IV Penyidikan
Polri dalam Sistem Peradilan Pidana pada masa depan, berisi Penyidikan Polri
dalam Rancangan KUHAP dan solusi pelaksanaan Penyidikan Polri.
Bab. V Penutup, terdiri
dari kesimpulan yang di dapat dari hasil pembahasan yang telah di analisa untuk
menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan serta beberapa saran yang
direkomendasikan dalam pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan
Pidana.
* FORMAT PENULISAN PADA PMIH UMJ.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara
Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002.
Bagir
Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu
Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta ,
2005.
Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Prakeik, Djambatan, Jakarta,
1998.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta ,
2010.
Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung ,
1993.
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta , 2002.
Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan
Pidana Indonesia ,
Peran Penegak Hukum melawan Kejahatan, Lembaga Kriminologi UI, 1994.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2002.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang ,
1995.
Romli
Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ;
Perspektif Eksistensialisme dan
Abilisionisme, Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung , 1996.
Sacipto
Rahardjo, Membangun Polisi Sipil
Perspektif Hukum, Sosial &
Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta ,
2007.
Zulkarnaen
Koto, Terobosan Hukum dalam
Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian : Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta , 2011.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Makalah
Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja Polri melalui Pendekatan
Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies
Natalis PTIK ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38,
Jakarta, 2003.
[1]
Sacipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil
Perspektif Hukum, Sosial &
Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 75
[2]
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan
Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II revisi, Bina
Cipta, Bandung ,
1996, hal 9-10.
[3]
Ibid.
[4] Zulkarnaen
Koto, Terobosan Hukum dalam
Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, STIK, Jakarta , 2011, hal 150
[5] Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan
Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta,
2002, hal 15
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 99
[7] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta, 2002, hal 118
[8] Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam
Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hal 8
[9] Ibid
[10]
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum
Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta , 2010, hal 116
[11]
Ibid
[12] Andi Hamzah, op cit, hal 145
[13] Andi Hamzah, op cit, hal 127
[14]
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa
(Suatu Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta , 2005, hal 14-15
[15]
Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum
Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung ,1993,
hal 43-44
[16] Marjono
Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum melawan
Kejahatan, Lembaga Kriminologi UI,
1994, hal 84
[17]
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , 1995, hal vii
[18]
Romli Atmasasmita, op cit, hal 9-10.
[19]
Ibid.
[20]
Romli Atmasasmita, op cit, hal 14-15.
[21]
Marjono Reksodiputro, op cit, hlm 1
[22] Sacipto
Rahardjo, op cit, hal 222
[23]
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta , 2002, hal 22
[24]
Ibid, hal 23
[25]
Romli Atmasasmita, op cit, hal 17.
[26] Romli
Atmasasmita, op cit 18
[27] Romli
Atmasasmita, op cit hal 19
[28]
Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan
Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu pemikiran awal) dalam
Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1997, hal 142.
[29]
Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja
Polri melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies Natalis PTIK
ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38, Jakarta, 2003,
hal 4
[30]
Hartono, op cit, hal 32
kumpulan tesis hukum, proposal hukum yg telah siap bisa anda dapatkan gratisss
BalasHapushttp://rumahtesis.blogspot.co.id/
Terima kasih...tulisan nya sangat berguna
BalasHapusTulisan yg cukup bagus dan bisa di jadikan referensi
BalasHapusThank U..Sangat bermanfaat.👍👍
BalasHapusterima kasih tulisan contoh tesisnya, sangat membantu memberikan gambaran dalam membuat TOR TESIS saya.
BalasHapusTERIMAKASIH UNTUK PENULIS SANGAT MEMBANTU
BalasHapus