PERKEMBANGAN PEMIKIRAN NEGARA HUKUM
Pemikiran negara hukum merupakan gagasan
bentuk negara ideal yang selalu diidam-idamkan oleh manusia agar diwujudkan
dalam kenyataan, meskipun manusia selalu gagal mewujudkan gagasan ini dalam
kehidupan nyata. Secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk hidup
secara berkelompok dalam suatu tatanan dengan motivasi yang paling umum adalah
untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik
tersebut diyakini tidak mungkin dinikmati berdasarkan usaha masing-masing
individu sebab jika manusia hidup diluar ikatan negara, manusia akan cenderung
memikirkan kepentingan diri sendiri, sehingga akan muncul konflik antar
individu yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi
kehidupan sehingga kehidupan yang lebih baik akan semakin jauh dari kenyataan.
Oleh sebab itu bentuk kehidupan bersama dalam ikatan suatu negara dipandang
sebagai jalan keluar, sebab negara akan melakukan pengaturan terhadap
individu-individunya untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik antara
individu tersebut, serta dapat mewujudkan cita kehidupan bersama yang
berkembang menjadi cita negara (staatside)
dalam suatu tatanan kehidupan negara. [1]
Pemikiran
negara hukum adalah gagasan mengenai suatu bentuk negara yang lahir sebagai
hasil peradaban manusia dari proses dialektika dan sebagai anti tesis suatu
proses pergumulan manusia terhadap kesewenang-wenangan penguasa (raja),
sehingga ide negara hukum mengandung semangat revolusioner yang menentang
kesewenang-wenangan penguasa. Sebagai produk sejarah, hakikat negara hukum
berkembang secara dinamis seiring perkembangan kehidupan manusia dan perubahan
zaman yang terjadi. Ide negara hukum masih tetap relevan bagi kehidupan manusia
sampai sekarang sebab pemikiran negara hukum mengandung semangat yang selalu
relevan dan penting bagi kehidupan manusia sepanjang masa, yaitu semangat
menentang kesewenang-wenangan penguasa yang terjadi, dan dapat memberikan
pemandu yang memberikan inspirasi dan dorongan semangat menentang kesewenang-wenangan
pengusa demi mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik. [2]
Perkembangan
negara hukum merupakan produk dari perkembangan sejarah yang terus mengikuti
kehidupan manusia. Akar terjauh awal pemikiran negara hukum adalah pada masa
Yunani kuno yang mendapat perhatian dari kalangan intelektual dan para pemikir
terutama yang dikembangkan oleh para filsuf besar seperti Scorates, Plato dan
Aristoteles. [3]
Ide negara hukum klasik sudah
dikenal sajak 2.500 tahun yang lalu atau sekitar 500 tahun sebelum masehi.
Kelahiran ide negara hukum dimulai pada zaman Yunani Kuno oleh Scorates yang
mengemukakan bahwa tugas negara adalah menciptakan hukum yang dilakukan oleh
pemimpin atau penguasa yang dipilih secara seksama dan demokratis oleh rakyat.
Hukum yang telah dibuat oleh penguasa wajib untuk ditaati oleh setiap warga
negara dan penguasa dalam negara (polis).
[4]
Pemikiran
Scorates kemudian dilanjutkan oleh Plato sebagai wujud keprihatinannya terhadap
kondisi dan keadaan negara kota Athena pada zamannya, di mana raja yang
berkuasa di negara kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan
sewenang-wenang. Bentuk negara ideal menurut Plato sebagaimana dikemukakan
dalam karyanya berjudul Politea (The Republic), penguasa yang memerintah
seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan
dan segala macam ilmu pengetahuan terutama ilmu pemerintahan, sehingga penguasa
dapat memimpin dengan baik agar mencapai kesejahteraan bersama. Adapun penguasa
yang dapat menguasai pengetahuan untuk memerintah dengan arif dan bijaksana
adalah penguasa yang telah menguasai ilmu filsafat (filsuf), oleh sebab itu,
menurut Plato, tipe ideal seorang penguasa adalah seorang filsuf. Sebagai
seorang filsuf, penguasa merupakan orang terpilih secara moral dan pengetahuan
sehingga dianggap tidak mungkin menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya.
Namun, gagasan tersebut tidak pernah dilaksanakan sebab tidak memungkinkan
untuk mencari penguasa yang sempurna yang bebas dari hawa nafsu dan kepentingan
pribadi, sehingga mendorong Plato beranjak kepada gagasan negara ideal yang
kedua sebagaimana dalam karyanya Politicos
(The Stateman) yang memberikan
perhatian terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara, dan dalam
karya selanjutnya yaitu Nomoi (The law) Plato mengemukakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan yang baik diatur oleh hukum yang tidak semata-mata
bertujuan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara. [5]
Gagasan
negara hukum Plato kemudian dikembangkan oleh muridnya yakni Aristoteles yang
mengemukakan bahwa tujuan negara adalah kebaikan yang tertinggi bagi semua
warga negara. Bentuk negara yang ideal menurut Aristoteles tersebut ditentukan
berdasarkan kriteria tertentu yang berpatokan pada jumlah orang yang memegang
kekuasaan dan tujuan pemerintah untuk kepentingan umum. Atas dasar kriteria
tersebut, Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara ideal yaitu monarki, aristokrasi dan politea.
Bentuk negara monarki dipimpin oleh
filsuf sebagai penguasa idaman, negara aristokrasi
dipimpin oleh sekelompok orang yang baik yang akan memimpin negara demi
kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan. Kedua bentuk negara tersebut sulit
untuk diwujudkan sehingga bentuk negara ideal ketiga diajukan oleh Aristoteles
yakni Politea, merupakan pemerintahan
yang berdasarkan konstitusi dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh
warga negara, di mana hukum berlaku bagi baik bagi penguasa dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan juga bagi rakyat yang diperintah. Sebagai
sumber kekuasaan, hukum tidak hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang
tertinggi, tetapi juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara. [6]
Perkembangan
negara hukum kembali muncul pada abad ke-17 dan 18 di Eropa Barat yang
dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi kesewenang-wenangan penguasa (raja)
yang absolut dan tanpa batas yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat sehingga
mendorong para ahli pikir untuk menggagas suatu bentuk negara yang ideal yang
dapat mencegah pemerintahan yang sewenang-wenang dan menindas rakyat. John Locke
melalui karyanya Two treaties of civil
Goverment mengemukakan pandangan revolusioer yang bertentangan dengan
doktrin yang berlaku umum yaitu gagasan persamaan kedudukan manusia sebagai
mahluk ciptaan tuhan, di mana doktrin yang dominan pada saat itu tentang
kedudukan raja-raja di Inggris yang lebih tinggi dari rakyat, sehingga
penguasaan raja atas rakyat dianggap sebagai sesuatu yang sudah sesuai dengan
kodrat manusia. Dalam karyanya Two
treaties of Civil Goverment, John Locke memberikan pernyataan : [7]
“...tidak ada orang yang lebih berkuasa
daripada yang lain, tidak yang lebih jelas nyata daripada bahwa mereka adalah
makhluk-makhluk dari spesies-spesies dan peringkat yang sama, yang lahir dari
perkawinan dengan siapa pun juga untuk menikmati manfaat alam yang sama, dan
penggunaan daya-daya kemampuan yang sama. Maka, mereka harus sederajat yang
satu terhadap yang lain, tanpa yang satu di bawahkan atau ditundukkan oleh yang
lain...”
Pemikiran
yang dikemukakan oleh John Locke tentang persamaan kedudukan bertujuan untuk
menentang doktrin kedaulatan Tuhan yang dikemukakan oleh Robert Filmer yang
memberikan dasar pembenar kepada keluarga raja-raja Inggris bahwa mereka
merupakan ahli waris tuhan sehingga berhak memegang dan mewarisi tampuk
kekuasaan. Doktrin ini memberikan hak-hak istimewa kepada keluarga raja dan
keturunannya untuk mewarisi tahta kerajaan, dan orang lain yang bukan ahli
waris tuhan dengan sendirinya tidak berhak atas tahta kerajaan sehingga tidak
mungkin menjadi raja. Jhon Locke juga mengemukakan bahwa untuk membatasi
kekuasaan penguasa agar hak asasi warganya terlindungi, kekuasaan (tugas negara
harus dibagi dalam tiga kekuasaan), yaitu kekuasaan legislatif yang meliputi
membuat peraturan-peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan
peraturan-peraturan, dan kekuasaan federatif meliputi yang tidak termasuk
lapangan kekuasaan yang terdahulu, yang masing-masing terpisah satu sama lain. [8]
Pemikiran
tentang negara hukum di Eropa Kontinental selanjutnya di kemukakan oleh
Montesquieu melalui bukunya yang berjudul L’Espirit
De Lois yang menguraikan tiga jenis kekuasaan. Perbedaan pemikiran
Montesquieu dengan John Locke adalah mengenai kekuasaan yang ketiga yaitu
federatif yang menurutnya telah termasuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga
kekuasaan pengadilan harus dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan federatif.[9]
Pemikiran Montesquieu ini dikenal dengan
istilah Trias politica (Tiga cabang
kekuasaan), Ajaran Montesquieu menghendaki pemisahan cabang kekuasaan negara
menjadi tiga cabang dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing yaitu cabang
kekuasaan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, cabang kekuasaan
eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudisial yang
berfungsi untuk menindak semua pelanggar undang-undang. Montesquieu yang
menyatakan : [10]
Tidak ada kebebasan jika kekuasaan
yudisial tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif, kehidupan
dan kebebasan warga negara akan diperhadapkan pada pengawasan yang
sewenang-wenang karena hakim menjadi pembentuk undang-undang. Jika kekuasaan
yudisial bersatu dengan kekuasaan eksekutif, hakim akan berperilaku jahat dan
kejam.
Berdasarkan
pemikirannya tersebut Montesquieu berpendapat bahwa apabila kekuasaan
dipisahkan secara tegas menjadi tiga yaitu kekuasaan perundang-undangan,
kekuasaan melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing
kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri, ini akan
menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang
penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakan sistem
pemerintahan yang absolutisme. [11]
Pemikiran
tentang negara hukum lainnya dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau dalam
bukunya berjudul contract social
dikenal dengan konsep kedaulatan rakyat, membatasi kekuasaan raja (penguasa)
dan menentang absolutisme. Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai
individu yang memiliki otonomi etis. Kebebasan bagi individu ini adalah dasar
ontologi hidupnya yang kemudian tunduk pada aturan hukum sebagai kemauan dan
kepentingan bersama.[12]
Menurut Rouseau dalam keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat yang
tidak bisa terus dipertahankan dan diakhiri dengan kontrak sosial sehingga
keadaan alamiah beralih ke keadan bernegara (status civilis). Penguasa sebagai pimpinan dibentuk dan ditentukan
oleh yang berdaulat yaitu rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya (volonte generale). Konstruksi perjanjian
masyarakat menghasilkan bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan
rakyat melalui kemauan umumnya, negara demokratis di mana penguasa negara hanya
merupakan wakil rakyat. [13]
Pemikiran
tentang negara hukum terus berkembang di Eropa Kontinental. Salah satu tokohnya
adalah Imanuel Kant yang dalam pandangannya bahwa negara bertujuan untuk menjamin
kedudukan hukum dari setiap individu dalam masyarakat, dan untuk mewujudkan
tujuan tersebut negara harus membuat pemisahan kekuasaan yang tegas antara
fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selanjutnya Kant menyatakan bahwa
negara hanya bertugas untuk menyelenggarakan ketertiban masyarakat dan sama
sekali tidak diperkenankan turut campur tangan dalam urusan sosial dan ekonomi,
negara hanya bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat sehingga
dikenal dengan istilah negara penjaga malam. [14]
Negara
hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) atau disebut juga negara hukum liberal yang terdiri dari dua unsur
yakni perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan. Tugas
yang harus dijalankan oleh negara adalah memelihara ketertiban dan ketentraman,
sedangkan urusan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dianggap merupakan urusan
masing-masing individu. Ketertiban dan ketentraman perlu dijaga oleh negara
agar masing-masing individu dapat melaksanakan aktivitas dengan aman dalam kehidupannya.
Ide negara hukum liberal ini diperjuangkan oleh golongan liberal dengan motif
ekonomi supaya pemerintah tidak ikut campur dalam kehidupan individu, sehingga
setiap individu dapat melaksanakan aktivitasnya di bidang ekonomi tanpa campur
tangan pemerintah. [15]
Pemikiran negara
hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) atau negara hukum liberal kemudian berkembang menjadi negara hukum formal
disebabkan kegagalannya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam
ide negara hukum formal yang dipelopori oleh Julius Stahl, masih tetap
mempertahankan unsur-unsur negara hukum liberal dengan menambahkan unsur lain
sebagai pelengkap dengan tujuan untuk lebih dapat memberikan jaminan kebebasan
dan perlindungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa,
sekaligus membuka peluang yang terbatas kepada penguasa untuk turut campur
dalam kehidupan individu. [16]
Negara
hukum formal memberikan kewenangan dan keleluasaan bertindak yang lebih besar
kepada negara dibandingkan dengan negara hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) yang tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk ikut
campur tangan dalam kehidupan individu dalam bidang perekonomian yang dianggap
sebagai kebebasan individu. Namun kebebasan dalam mengurusi urusan individu
dalam negara hukum formal dibatasi oleh undang-undang, artinya bahwa negara
tidak boleh melakukan sesuatu tindakan tanpa didasari oleh undang-undang
sehingga menciptakan kepastian hukum serta terhindar dari tindakan negara yang
sewenang-wenang demi perlindungan hak-hak asasi manusia yang berdasarkan asas
legalitas. Perubahan lain dari negara hukum formal yaitu
adanya peradilan administrasi yang tidak dikenal dalam negara hukum penjaga
malam karena tidak mempunyai urusan dengan kehidupan individu yang berpotensi
melanggar hak-hak individu, lain halnya dengan negara hukum formal, di mana
negara memiliki kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan individu
sehingga terbuka peluang timbulnya konflik antara individu dan negara ketika
menjalankan kewenangannya.[17]
Dalam
perkembangannya, negara
hukum formal telah gagal mengikuti perkembangan masyarakat sebagai akibat
penerapan asas legalitas yang sempit (wetmatig)
sangat terikat pada undang-undang yang digunakan oleh pemerintah sebagai
landasan atau pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena pembentuk
undang-undang terlambat untuk menbentuk undang-undang sesuai dengan
perkembangan masyarakat, pemerintah akan kesulitan dalam menanggapi
perkembangan-perkembangan tersebut, untuk itu perlu kehadiran suatu bentuk
negara hukum ideal yang lebih luwes dan populis dengan tetap memberikan
kepastian hukum secara relatif yaitu negara hukum material yang mempunyai
tugas-tugas pemerintahan yang semakin kompleks dan luas, tidak hanya berurusan
dengan masalah pemberian jaminan dan perlindungan kepada individu, tetapi juga
meliputi berbagai aspek dalam bidang kehidupan dalam mencapai tujuannya yaitu
memberikan kesejahteraan kepada segenap masyarakat, sehingga dalam melaksanakan
tugas-tugasnya negara diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak
dengan tetap berpedoman kepada asas legalitas yang luwes dan luas (rechtmatig) jika dibandingkan dengan
asas legalitas yang sempit dan kaku (wetmatig)
dalam negara hukum formal serta didukung oleh asas diskresi (freis ermessen) dalam mewujudkan tujuan
kesejahteraan umum. [18]
Negara
hukum material dalam perkembangannya sebagai negara hukum moderen. Berbeda
dengan konsep negara hukum versi Kant dan Julius Stahl, negara hukum moderen
mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, dengan lingkup tugas negara yang
sangat luas, selain menjaga keamanan dalam arti seluas-luasnya, yaitu keamanan
sosial dan ekonomi di semua bidang kehidupan masyarakat, juga mempunyai tugas
membangun kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga
peran negara menjadi sangat besar dan luas dalam kehidupan masyarakat atau
kepentingan umum. [19]
Negara
hukum moderen juga diartikan sebagai negara kesejahteraan (welfare state) berarti negara berperan aktif untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum yang di dalamnya juga berperan untuk menjaga ketertiban dan
keamanan rakyatnya. Peran aktif negara dalam menjalankan kesejahteraan umum
antara lain dilakukan untuk memberikan pelayanan umum (public service) dalam rangka menjalankan tujuan negara yakni untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.[20]
Negara kesejahteraan berfungsi menyelenggarakan
kesejahateraan umum (welvaarsstaat atau verzorgingsstaat)
sekaligus merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara
pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggung jawab
pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun
kualitatif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. [21]
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara
Hukum, Malang : Bayu Media, 2005.
Bahder Johan Nasution,
Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung
: Mandar Maju, 2012.
Bernard L. Tanya et all, Teori
Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta :
Genta Publishing, 2013.
Hotma P. Sibuea, Asas Negara
Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta
: Penerbit Erlangga, 2010.
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami
Ilmu Negara & Teori Negara, Bandung : Refika Aditama, 2012.
S.F Marbun, Peradilan Admistrasi
Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta
: Liberty, 2008.
Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Bandung : Refika Aditama, 2015.