DASAR
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBAGAI JUSTICE
COLLABORATOR
(Studi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013)***
Abstrak
Tindak pidana Narkotika
merupakan kejahatan luar biasa yang saat ini dilakukan secara terorganisasi oleh sindikat peredaran gelap Narkotika
yang memiliki struktur, perencanaan serta dilakukan secara terselubung sehingga
sulit dalam pembuktiannya. Salah satu langkah efektif untuk mengungkap sindikat
peredaran gelap Narkotika yaitu menggunakan pelaku yang terlibat dalam
sindikat tersebut untuk memberikan keterangan sejak penyidikan hingga pembuktian
di persidangan. Tulisan ini membahas
tentang dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No
920K/Pid.Sus/2013. Metode penelitian
yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif yang dianalisis secara
kualitatif. Hasil penelitian bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
terdakwa sebagai Justice collaborator merujuk pada ketentuan SEMA RI
Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi
pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama
(Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Pertimbangan majelis hakim dalam putusan Mahkamah
Agung RI No. 920K/Pid.Sus/2013 dalam menetapkan terdakwa
tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator telah sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam SEMA tersebut. Dari hasil
penelitian disarankan agar hakim dapat memberikan penghargaan (reward) berupa
pengurangan hukuman yang signifikan atas peranan yang telah diberikan oleh Justice
collaborator dalam mengungkap tindak pidana.
Kata kunci : Pertimbangan, Hakim, Terdakwa, Justice
collaborator.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dewasa ini
memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia yang meyebabkan
terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan
peningkatan kejahatan. Salah satu jenis kejahatan
yang marak terjadi saat ini adalah kasus penyalahgunaan Narkotika yang tidak
hanya menjadi masalah bangsa Indonesia, bahkan telah menjadi masalah di setiap
negara-negara di dunia. Maraknya
penyalahgunaan Narkotika yang awalnya hanya untuk kepentingan medis sebagai
obat penawar dan penghilang rasa sakit, maupun dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, kini telah disalahgunakan oleh berbagai kalangan.[1] Meskipun Narkotika bermanfaat untuk kepentingan medis dan
ilmu pengetahuan, namun apabila disalahgunakan atau tidak sesuai dengan petunjuk medis maka akan
menimbulkan efek-efek negatif terhadap tubuh pemakainya sehingga memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi perorangan maupun masyarakat sehingga dapat mengakibatkan bahaya yang
lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya
dapat melemahkan ketahanan nasional.[2]
Tindak pidana Narkotika terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya yang dapat dilihat dari data resmi yang dikeluarkan
oleh Badan Narkotika Nasional RI selama 5 tahun terakhir, yaitu pada tahun 2010
sebanyak 17.898 kasus, tahun 2011 sebanyak 19.129 kasus, tahun 2012 sebanyak
19.081, tahun 2013 sebanyak 21.269 kasus dan tahun 2014 sebanyak 23.134 kasus.[3] Peningkatan
tindak pidana Narkotika menunjukkan bahwa penyalahgunaan Narkotika tidak hanya
terfokus di wilayah perkotaan semata, tetapi juga telah merambah sampai ke
seluruh pelosok tanah air sehingga hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi
wilayah di Indonesia yang imun terhadap peredaran serta penyalahgunaan zat
adiktif tersebut. Penyalahgunaan Narkotika tidak terbatas pada kelompok elit
berduit, tetapi telah merambah pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan
pas-pasan, hal tersebut menjadi pertanyaan bernada khawatir apakah
penyalahgunaan Narkotika merupakan bagian dari kultur bangsa atau lebih
konkritnya apakah penggunaan Narkotika telah menjadi bagian hidup masyarakat
Indonesia. [4]
Saat ini tindak pidana
Narkotika tidak hanya dilakukan secara perorangan, namun telah melibatkan banyak
orang secara berkelompok dan bekerjasama membentuk sindikat jaringan
terorganisasi yang terencana, rapih dan rahasia dengan jaringan yang luas,
mobilitas tinggi serta menggunakan modus operandi baru. Selain itu, pelaku
kejahatan terorganisasi (organized crime) tentunya adalah orang yang
mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan peran, motif, tugas serta fungsinya
masing-masing baik sebelum kejahatan dilakukan hingga melakukan aktivitas
penghilangan jejak setelah kejahatan dilakukan sehingga semakin sulit dalam
pengungkapannya.[5] Salah satu langkah efektif yang dapat digunakan untuk menembus ke dalam
jaringan kejahatan terorganisasi adalah dengan menggunakan bantuan dari pelaku
yang merupakan orang dalam (inner circle criminal), dan terlibat secara
langsung dalam kejahatan yang dilakukannya bersama-sama dengan pelaku lainnya.
Orang dalam tersebut dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa saja
yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan tersebut
dilakukan, dan di mana bukti-bukti yang lain dapat ditemukan, sehingga
penanganannya oleh penegak hukum menjadi lebih optimal.[6]
Salah satu kasus tindak
pidana Narkotika yang menjadi studi dalam tulisan ini adalah tindak pidana
Narkotika yang melibatkan Thomas Claudius Ali Junaidi,
di mana sejak penyidikan hingga persidangan, Thomas Claudius Ali Junaidi
memberikan keterangan sehingga dapat mengungkap jaringan peredaran gelap
Narkotika di Maumere. Di persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Maumere
telah mempertimbangkan peranan yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi, namun dalam putusan, hakim tidak memberikan pengurangan hukuman yang
signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana.
Penetapan status sebagai saksi pelaku yang bekerjasama diterima oleh terdakwa
Thomas Claudius Ali Junaidi melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor :
920K/Pid.Sus/2013, di mana salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa terdakwa
Thomas Claudius Ali Junaidi berperan sebagai Justice collaborator dalam
mengungkap tindak pidana Narkotika di Maumere. Bertolak dari hal tersebut, menarik
untuk dikaji berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator (Studi
putusan Mahkamah Agung Nomor : 920K/Pid.Sus/2013).
Metode Penelitian
Artikel ini merupakan hasil dari
penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain melalui
penelitian perpustakaan ataupun melalui studi dokumen.[7] Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach).[8] Bahan hukum hasil penelitian kemudian dianalisis secara yuridis-kualitatif melalui
metode interpretasi, diekplanasi, dikonstruksikan dan diberikan argumentasi
sehingga dapat ditarik kesimpulannya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dasar hukum Justice
collaborator di Indonesia.
Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun perihal
saksi pelaku yang bekerjasama tidak diatur dalam KUHAP. Praktik
peradilan pidana berkembang istilah bagi pelaku yang memberikan keterangan
sebagai saksi tentang perkara pidana, khususnya terhadap orang yang telah berpartisipasi dalam suatu tindak
pidana yang berhubungan dengan suatu kejahatan terorganisasi yang memiliki
pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode operasi, kegiatan dan
hubungan dengan kelompok lain. Orang tersebut dikenal dengan beberapa isitilah
yaitu saksi yang bekerjasama, saksi mahkota (crown witness) atau kroongetuige,
saksi kolaborator, kolaborator hukum, saksi negara (state witness), supergrasses
dan pentiti dalam bahasa Italia yang berarti mereka yang telah tobat.[9] Dalam praktik
peradilan pidana di Indonesia, berdasarkan Pasal 142 KUHAP penggunaan saksi
mahkota dilakukan oleh penuntut umum dengan cara memisahkan berkas perkara (splits)
ketika menghadapi kasus-kasus dalam bentuk penyertaan yang mempunyai
keterbatasan alat bukti (bewijs minimum), dengan menjadikan pelaku
sebagai saksi untuk memberikan keterangan terhadap pelaku lainnya di
persidangan.[10]
Berbeda dengan saksi mahkota dalam praktik pengadilan di Belanda, saksi mahkota
adalah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam kejahatan misalnya
Narkoba atau teroris yang dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi
berdasarkan asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum
untuk tidak menuntut terdakwa tersebut dengan syarat dia bersedia membongkar
kompolotan yang terlibat dalam kejahatan.[11] Meskipun penggunaan saksi mahkota dalam peradilan pidana di Indonesia mendapat
pro dan kontra, namun pada dasarnya keberadaan saksi mahkota yang merupakan
teman terdakwa dalam melakukan tindak pidana bersama-sama (deelmening) yang
kemudian diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum yang
diantara perkaranya dipisah dilakukan karena kurangnya alat bukti.[12]
Sejak Pemerintah Indonesia
meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 melalui Undang–Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang pengesahan
Konvensi PBB
Anti Korupsi, menjadi
awal lahirnya undang-undang yang mengatur tentang pelaku yang bekerjasama
dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana. Pasal 37 Konvensi ini pada
pokoknya mengatur bahwa pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam
penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana dapat diberikan pengurangan
hukuman maupun kekebalan penuntutan. Pengaturan yang
serupa juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
pengesahan United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime, 2000. Pasal
26 Konvensi ini pada pokoknya mengatur tentang pemberian penghargaan berupa
pengurangan hukuman dan kekebalan atas penuntutan terhadap pelaku kejahatan
terorganisasi yang memberikan informasi maupun bantuan yang faktual kepada
pihak yang berwenang untuk tujuan penyelidikan dan pembuktian. Dengan demikian,
dari kedua Konvensi tersebut, mengamanatkan kepada Negara peserta agar membuat
peraturan yang dapat memfasilitasi kerjasama dari orang yang terlibat dalam suatu
kejahatan untuk mengungkap kejahatan terorganisasi tersebut dengan memberikan
penghargaan (reward), baik dalam bentuk pengurangan hukuman atau bahkan
kemungkinan untuk diberikannya kekebalan penuntutan. [13]
Selain kedua Konvensi tersebut, secara
khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban, pengaturan Justice collaborator secara implisit tercantum dalam
Pasal 10 ayat 2, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya. Berdasarkan pasal
tersebut, menjadi dasar hukum tentang pelaku yang bekerjasama dengan
menggunakan istilah “saksi yang juga tersangka” dan juga mengatur tentang
keringanan hukuman kepada pelaku yang bekerjasama dengan memberikan kesaksian
tentang tindak pidana. Namun demikian, rumusan pasal tersebut mengandung
ketidakjelasan dan ketidaktegasan terhadap kedudukan seorang saksi menjadi
tersangka ketika pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai pelapor
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.[14]
Untuk
merespon ketentuan Pasal 10 ayat 2 yang memiliki kelemahan berkaitan dengan
rumusan “saksi yang juga tersangka” dan “kasus yang sama” sehingga menimbulkan
multi tafsir oleh penegak hukum dalam penerapannya[15], Mahkamah
Agung mengeluarkan
SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi
pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama
(Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini
dikeluarkan dengan mempertimbangkan Konvensi Internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu Konvensi anti korupsi dan Konvensi
anti kejahatan terorganisasi dalam hal pemberian perlindungan kepada
orang-orang yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana khususnya yang
dilakukan secara terorganisasi.[16] SEMA ini memberikan pedoman kepada hakim dalam
menentukan seseorang pelaku tindak pidana sebagai Justice collaborator yaitu
yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana tertentu,
mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan
tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan,
dan Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan
telah keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik atau
penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif,
mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan
mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 juga mengatur
tentang penghargaan (reward) berupa pengurangan hukuman kepada Justice
collaborator, di mana hakim dalam persidangan dapat menentukan pidana yang
akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal yaitu menjatuhkan pidana
percobaan bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana penjara berupa pidana
penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah
dalam perkara yang dimaksud. Dari ketentuan SEMA tersebut, menurut Marjono
Reksodiputro bahwa Justice collaborator adalah seorang pelaku kejahatan
yang kooperatif dengan penyidik atau penuntut umum untuk untuk membongkar
kejahatan yang pada umumnya dilakukan secara tidak sukarela atau dengan maksud
untuk mendapatkan imbalan berupa keringanan hukuman, sehingga dalam praktik
peradilan, SEMA ini berpotensi menjadi dasar dilakukannya tawar menawar antara penegak
hukum dengan pelaku kejahatan untuk menjadi Justice collaborator, di
mana praktik tawar menawar ini dikenal dalam peradilan pidana di Amerika
Serikat dengan istilah Plea bargaining.[17] Ketentuan
tentang Justice collaborator juga diatur dalam Peraturan
Bersama Penegak Hukum tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan
saksi pelaku yang bekerjasama. Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian Saksi
pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) adalah saksi yang juga
sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum
untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana
untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara
dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian
di dalam proses peradilan. Adapun bentuk-bentuk
perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bersama penegak hukum
ini yaitu perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, perlindungan dalam
bentuk penanganan secara khusus, dan perlindungan dalam bentuk penghargaan.
Dasar pertimbangan
Hakim dalam menetapkan terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice
collaborator (Studi putusan Mahkamah Agung No.
940/Pid.Sus/2013).
Kronologis tindak
pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Thomas
Claudius Ali Junaidi berawal dari kedatangan tim penyidik Direktorat Reserse
Narkoba Polda NTT untuk menindak lanjuti informasi dugaan peredaran gelap
Narkotika yang marak terjadi di Maumere. Untuk memudahkan pengungkapan jaringan
peredaran gelap Narkotika, tim penyidik meminta bantuan anggota Polres Sikka
bernama VL dan RK. Untuk melakukan pemesanan Sabu kepada terdakwa IWPC yang
kemudian secara berantai menghubungi terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, terdakwa
Stefanus Kopong Ingaman, dan terdakwa Leophold Eddy Goni. Setelah memperoleh
Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, kemudian terdakwa Thomas Claudius
Ali Junaidi menyerahkan Sabu kepada terdakwa IWPC. Ketika terdakwa IWPC hendak
melakukan transaksi Sabu dengan informan Robinson Kolis, tim penyidik langsung
menangkap terdakwa IWPC. Pada saat diinterogasi, terdakwa IWPC memberikan
informasi bahwa Sabu tersebut diperoleh dari terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi. Setelah berhasil mengamankan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi,
kemudian tim penyidik melakukan interogasi untuk mengetahui asal Sabu tersebut
diperoleh. Atas kerjasama yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi, tim penyidik berhasil menangkap terdakwa Stefanus Kopong Ingaman dan
selanjutnya terdakwa Leophold Eddy Goni yang merupakan pemasok (bandar) Sabu di
Maumere.[18]
Berdasarkan uraian kronologis
tersebut, selanjutnya penulis akan menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor :
940/Pid.Sus/2013 untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar pertimbangan
majelis hakim dalam menetapkan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi sebagai Justice
collaborator ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Justice collaborator khususnya ketentuan yang
tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dengan persyaratan-persyaratan sebagai
berikut :
Pertama, mengakui tindak pidana yang dilakukannya.
Berkaitan
dengan persyaratan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah
pelaku tersebut mengakui perbuatan yang dilakukannya, jika ditinjau
dari perkara yang melibatkan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, sejak terdakwa ditangkap oleh penyidik sampai dengan pemeriksaan di
persidangan, terdakwa dengan kesadarannya mengakui dan berterus terang serta
memberikan keterangan dengan sejujurnya bahwa dirinya telah melakukan perbuatan
menjadi perantara dalam jual beli narkotika jenis Sabu dari terdakwa Stefanus
Kopong Ingaman kepada terdakwa IWPC, dan kemudian terdakwa berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatannya.[19] Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi dalam persidangan dengan berterus terang dan mengakui
perbuatannya tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya menjadikan
hal tersebut sebagai salah satu hal yang meringankan yang kemudian dijadikan
sebagai pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidana sebagaimana tercantum
dalam surat tuntutan yang menyatakan bahwa selama dalam persidangan, terdakwa
berterus terang dan mengakui perbuatannya.[20] Demikian pula dalam pertimbangan majelis hakim Kasasi, yang
membenarkan alasan-alasan yang diajukan oleh terdakwa dalam memori kasasinya
bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan pengadilan
Negeri bahwa benar terdakwa melakukan tindak pidana Narkotika karena dimintai
bantuan oleh Polda NTT untuk mengungkap jaringan Narkotika di daerah NTT.[21] Dengan demikian bahwa syarat “mengakui tindak
pidana yang dilakukannya” telah terpenuhi dalam perkara tersebut.
Kedua, bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya.
Persyaratan bahwa pelaku tindak pidana adalah “bukan pelaku utama dalam
tindak pidana yang diungkapnya” untuk dapat ditetapkan sebagai saksi pelaku
yang bekerjasama selain diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011, juga diatur
dalam peraturan bersama penegak hukum, namun demikian dalam kedua ketentuan tersebut,
tidak memberikan pengertian dan kriteria yang jelas untuk menentukan bahwa
pelaku dalam suatu tindak pidana bukan sebagai pelaku utama. Penentuan bukan
sebagai pelaku utama dapat dilihat dari tindak pidana dalam bentuk penyertaan
di mana peranan pelaku tersebut turut serta melakukan tindak pidana dengan
peranan yang minim, maupun pelaku yang membantu untuk melakukan tindak pidana,
khususnya dalam tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi dengan adanya
pembagian tugas antara masing-masing pelaku untuk melakukan tindak pidana. Dalam
perkara tindak pidana Narkotika dengan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, peranan terdakwa dalam tindak pidana
tersebut dapat dilihat keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa yeng
terungkap dalam persidangan yang satu sama lain saling bersesuaian, sehingga
majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum yang kemudian menjadi pertimbangan
hakim “bahwa terdakwa berperan sebagai penghubung atau perantara untuk
mendapatkan Narkotika jenis Sabu”[22] dalam hal ini posisi terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi hanya menjadi perantara atau penghubung untuk
membantu terdakwa IWPC
memperoleh Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong
Ingaman dan terdakwa Leophold Eddy Goni
yang merupakan pemasok (bandar) Sabu tersebut. Dengan demikian bahwa persyaratan
pelaku bukan sebagai pelaku utama dalam perkara tersebut telah terpenuhi.
Ketiga, memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan.
Salah
satu dari persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai saksi
pelaku yang bekerjasama adalah dengan memberikan keterangan sebagai saksi dalam
persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban bahwa “...kesaksiannya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan...”
Demikian pula dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa pelaku
tersebut memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Berdasarkan
ketentuan tersebut, bahwa seorang pelaku tindak pidana dapat dikategorikan
sebagai saksi pelaku yang bekerjasama, jika pelaku tersebut memberikan
keterangan sebagai saksi sejak tahap penyidikan yang dicatat dalam berita acara
pemeriksaan sebagai saksi sampai dengan persidangan di pengadilan terhadap
pelaku yang diungkapnya. Sehingga, menurut ketentuan tersebut, walaupun seorang
pelaku memberikan keterangan kepada penyidik dalam proses penyidikan, namun
apabila pelaku tersebut tidak memberikan keterangan sebagai saksi dalam
persidangan, maka pelaku tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai saksi
pelaku yang bekerjasama. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang dilakukan
oleh terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi, bahwa sejak tahap penyidikan, saat penyidik melakukan interogasi terhadap terdakwa
dan meminta terdakwa untuk membantu membongkar jaringan Narkotika di Maumere,
terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi bersedia membantu dengan memberikan
keterangan bahwa Narkotika jenis Sabu tersebut diperoleh dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman.
[23] Keterangan yang sama juga diberikan oleh
terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi yang dijadikan sebagai saksi mahkota dalam persidangan terhadap terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, dengan memberikan keterangan di depan persidangan
bahwa dirinya memperoleh Sabu dari
terdakwa Stefanus Kopong Ingaman atas pesanan dari
terdakwa IWPC.[24] Keterangan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi tersebut bersesuaian
dengan keterangan saksi-saksi lainnya, sehingga majelis hakim menilai sebagai
salah satu alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi. Dengan demikian bahwa,
syarat untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan telah
terpenuhi oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi.
Keempat, mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap
pelaku lain yang mempunyai peran lebih besar.
Persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi dari seorang pelaku tindak
pidana untuk dapat ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah mengungkap
tindak pidana secara efektif atau mengungkap pelaku lain yang mempunyai peran
yang lebih besar dalam suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor
4 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut berarti bahwa seorang pelaku tindak
pidana harus memberikan keterangan yang signifikan berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukannya maupun tentang keterlibatan pelaku lain sehingga penegak
hukum dapat mengungkap tindak pidana baik yang dilakukan oleh pelaku tersebut
maupun tentang pelaku lain dengan peran yang lebih besar yang terlibat dalam
tindak pidana. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh
terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari
keterangan saksi-saksi, yang kemudian menjadi pertimbangan majelis hakim dalam
putusannya menyatakan bahwa sejak tahap penyidikan, terdakwa Thomas Claudius
Ali Junaidi yang berperan sebagai penghubung atau perantara untuk mendapatkan
Narkotika jenis Sabu, terdakwa juga mempunyai peranan besar dalam hal membantu
Kepolisian dalam mengungkap peredaran Narkotika di Maumere, sehingga dengan
bantuan terdakwa, Kepolsian dapat menangkap orang-orang yang menjadi target
operasi di Maumere, hal tersebut merupakan apresiasi terhadap terdakwa. [25] Adapun pelaku lain yang diungkap oleh terdakwa terdakwa
Thomas Claudius Ali Junaidi adalah terdakwa Stefanus
Kopong Ingaman, yang kemudian penyidik berhasil mengungkap
terdakwa Leophold Eddy Goni sebagai pemilik Sabu dalam
perkara tersebut. Dengan demikian, bahwa persyaratan untuk
mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap pelaku lain dengan
peran yang lebih besar telah terpenuhi dalam perkara terdakwa
Thomas Claudius Ali Junaidi.
Kelima, Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya mencantumkan peranan yang telah
diberikan oleh pelaku.
Salah satu syarat bahwa untuk
menetapkan seorang pelaku tindak pidana sebagai saksi pelaku yang bekerjasama
dalam mengungkap tindak pidana yaitu Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya
mencantumkan peranan yang telah diberikan oleh saksi pelaku sebagaimana diatur
dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut berarti bahwa peranan
yang telah diberikan oleh pelaku tindak pidana dalam pelaku lain dengan peran
yang lebih besar harus dicantumkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat
tuntutannya dalam persidangan. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang
dilakukan oleh terdakwa Thomas
Claudius Ali Junaidi, Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya tidak mencantumkan
peranan yang telah diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi sebagai
hal-hal yang meringankan dan hanya mencantumkan bahwa terdakwa berterus terang
dan mengakui perbuatannya.[26] Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam surat
tuntutannya tersebut mengabaikan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam
persidangan dari keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa Thomas Claudius Ali
Junaidi berperan sebagai perantara dalam jual beli Narkotika dan berperan dalam
membantu Kepolisian dalam mengungkap pelaku lain yang menjadi target operasi di
Mauemere. Menurut penulis, sekiranya Jaksa Penuntut Umum
sebagai pihak yang berkepentingan dalam pembuktian di persidangan, maka sudah
semestinya lebih responsif untuk memberikan apresiasi terhadap terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi yang telah memberikan keterangan untuk mengungkap pelaku lain yang
terlibat dalam peredaran Narkotika di Meumere, sehingga peranan yang diberikan
oleh terdakwa terdakwa Thomas Claudius
Ali Junaidi dapat
dijadikan pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidana.
Penutup
Kesimpulan
Dasar petimbangan hakim dalam
menetapkan status terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice
collaborator menunjukkan bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 920K/Pid.Sus/2013, majelis hakim telah mempedomani
persyaratan-persyaratan untuk menetapkan seorang pelaku sebagai Justice
collaborator sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan
saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara
tindak pidana tertentu, yaitu terdakwa Thomas
Claudius Ali Junaidi mengakui perbuatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama
dalam tindak pidana Narkotika tersebut, sejak penyidikan sampai dengan
persidangan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi memberikan keterangan sebagai
saksi terhadap pelaku lain yang diungkapnya, serta terdakwa berperan dalam mengungkap
tindak pidana secara efektif dan mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam
sindikat peredaran gelap Narkotika di Maumere.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah disimpulkan di atas, disarankan kepada hakim yang menangani perkara
Justice collaborator kiranya dapat mempertimbangkan peranan yang telah diberikan
berupa keterangan untuk mengungkap pelaku lain dalam sindikat peredaran gelap
Narkotika sehingga dalam putusannya hakim dapat memberikan pengurangan hukuman
yang signifikan, dan kepada Pemerintah dan DPR kiranya dapat melakukan
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, dengan memberikan
pengaturan yang memadai tentang syarat-syarat untuk menetapkan pelaku tindak
pidana sebagai Justice collaborator sehingga dapat menjadi dasar bagi aparat
penegak hukum sejak tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan.
*** CATATAN : TULISAN INI TELAH DIPUBLIKASIKAN DALAM JURNAL BINA MULIA HUKUM UNPAD VOL. 1, NO 2 TAHUN 2017. DILARANG MENCOPY DAN MENGUTIP TANPA MENCANTUMKAN SUMBER. FILE PDF DAPAT DI DOWNLOAD DI HALAMAN WEB JBMH UNPAD DI LINK : http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/JBMH/article/view/jbmh.v1n2.6
Daftar Pustaka
Buku
Agustinus Pohan (et al), Hukum
Pidana dalam Perspektif : Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum,
Denpasar : Pustaka Larasan, 2012.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2014.
A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam
Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012.
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice
Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni,
2015.
, Hukum Acara Pidana
; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012.
Marjono Reksodiputro, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum,
Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, 2013.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana,
2013.
Sumber Lain
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Laporan Analisis Data
Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun
2010-2014, Jakarta : 2015.
Hariman Satria, Menakar Perlindungan Justice Collaborator;
Quo Vadis Justice Collaborator, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2, Juni
2016.
Haryono Sanadi, Analisis Putusan
Hakim Nomor : 113/Pid.B/2007/PN. Pml, tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotka, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 Nomor 1 Januari 2010.
Indriyanto Seno Adji, “Prospek
Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”,
Diskusi Panel Undang-Undang Perlindungan Saksi di Indonesia, Jakarta, 2012.
Muntaha, Aspek Yuridis Penyalahgunaan Narkotika
di Kalangan Remaja, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari 2011.
Supriyadi Widodo Eddyono, Melihat Prospek Perlindungan
Pelaku yang Bekerjasama di Indonesia, Jurnal LPSK Nomor 1 Tahun 2012.
, Prospek
Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia; Perbandingan di Amerika dan
Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2011.
United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik
Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisasi,
Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun.
Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang
terorganisasi (United Nations Convention Againts Transnational Organized
Crime). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960).
Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang
pengesahan Konvensi PBB
menentang Korupsi (United
Nations Convention Against Corruption/UNCAC). (Lembaran Negera Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun
2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi
pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana
tertentu.
Peraturan Bersama Penegak Hukum (Menkumham
RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, KPK RI dan LPSK RI) Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011,
Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor : KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor : 4 Tahun 2011, tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor
dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013,
perihal putusan tingkat Kasasi terdakwa atas
nama Thomas Claudius Ali Junaidi, tanggal 28 Mei 2013.
Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor : 07/Pid/2013/PTK,
perihal putusan tingkat Banding terdakwa atas nama Thomas Claudius Ali Junaidi,
tanggal 18 Februari 2013.
Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor :
100/Pid.Sus/2012/PN. MMR, perihal putusan tingkat pertama terdakwa atas nama
Thomas Claudius Ali Junaidi, tanggal 17 Desember 2012.
Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor :
113/Pid.Sus/2012/PN. MMR, perihal putusan tingkat pertama terdakwa atas nama
Stefanus Kopong Ingaman, tanggal 5 Desember 2012.
[18] Diolah dari hasil
dokumentasi Berkas Perkara Nomor : BP/05/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 11
Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/06/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 11
Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/07/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 7
Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/01/VI/2012/Res Narkoba, tanggal 4 Juni
2012.