PROSEDUR PENYITAAN CLOSE CIRCUIT
TELEVISION (CCTV) DALAM PERKARA PIDANA
Pendahuluan.
Upaya penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana yang terjadi diawali dengan rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan.
Secara umum penyidikan sebagaimana yang diatur menurut Pasal 1 angka
2 KUHAP, bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dari
pengertian Penyidikan tersebut, bahwa Penyidikan
merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek) yang di titik
beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti baik melalui penangkapan
dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan penahanan
terhadap tersangka, serta tindakan penyitaan terhadap barang atau benda yang di
duga mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.[1]
Dengan kata lain bahwa sasaran atau target kegiatan penyidikan adalah untuk mengupayakan
pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi
terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya
pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan
melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan
penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [2]
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk
mencari, menemukan, mengumpulkan alat-alat bukti yang digunakan untuk
kepentingan pembuktian suatu perkara pidana berdasarkan sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheori)
sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, maka Penyidik diberikan kewenangan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan serangkaian upaya
paksa antara lain melalui tindakan penyitaan terhadap suatu barang atau benda
untuk kepentingan pembuktian baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan
peradilan suatu perkara pidana.
Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1 angka 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Dari pengertian penyitaan tersebut, bahwa penyitaan
adalah tindakan untuk mengambil barang-barang dari tangan seseorang yang
memegang atau menguasai barang itu, kemudian menyerahkannya kepada pejabat yang
memerlukan untuk keperluan pemeriksaan atau pembuktian perkara di sidang
pengadilan, dan barang tersebut ditahan untuk sementara waktu sampai ada
keputusan pengadilan tentang status barang tersebut, artinya mengenai siapa
yang berhak menerima/memiliki barang tersebut. [3]
Kewenangan untuk melakukan upaya paksa
berupa tindakan penyitaan secara umum diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d
KUHAP, bahwa Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, dimana Penyidik yang
dimaksud menurut Pasal 6 KUHAP adalah Pejabat Polri maupun Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, yang lebih
lanjut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
KUHAP.
Prosedur dan Mekanisme Penyitaan CCTV pada Tempat-Tempat Umum dan Tempat Tertentu Lainnya.
Secara
eksplisit, KUHAP tidak memberikan definisi mengenai istilah upaya paksa, namun
memberikan pengaturan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana. Menurut terminologi hukum pidana, upaya paksa atau dwangmiddelen adalah tindakan penyidik
yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat-surat untuk kepentingan penyidikan.[4]
Upaya
paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak
hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai
suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat
gangguan terhadap siapa pun yang diperlukan untuk memperlancar proses
pemeriksaan atau mendapatkan bahan-bahan pembuktian. [5]
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal tindakan penyitaan,
Pasal 38 KUHAP memberikan
pengaturan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat
izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapat izin terlebih dahulu. Penyitaan hanya atas benda bergerak, dan setelah
melakukan penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
untuk mendapatkan persetujuannya.
Mengenai
benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu
:
a. Benda
atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda
yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. Benda
yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda
yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda
lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Berkaitan
dengan kategori benda-benda yang dapat disita yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP
tersebut, jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka benda-benda yang
diatur dalam Pasal 39 KUHAP adalah termasuk benda-benda berwujud. Sedangkan
benda tidak berwujud dapat dicontohkan dalam arrest Hoge Raad pada tanggal 23 Mei 1921 dalam perkara penyadapan
arus listrik yang kemudian dikualifikasikan sebagai pencurian aliran listrik,
di mana energi listrik dapat dikategorikan benda tidak berwujud sebagai objek
pencurian. [6]
Secara
khusus ketentuan tentang prosedur penyitaan dan pemeriksaan barang bukti
rekaman CCTV yang merupakan salah
satu upaya pembuktian secara alamiah dalam proses penyidikan oleh Polri diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10
Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis
Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang
Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri. Pasal 17 mengatur bahwa pemeriksaan
barang bukti perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital) dan
penyebab proses elektrostatis dilaksanakan di Labfor Polri.
Lebih
lanjut dalam Pasal 8 Perkap aquo, bahwa
pemeriksaan barang bukti elektronik wajib memenuhi persyaratan yaitu:
1. permintaan tertulis dari Kepala Kesatuan kewilayahan atau
Kepala/Pimpinan internal;
2. laporan polisi;
3. BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
4. BA pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti;
Berdasarkan
ketentuan Pasal 18 Perkap aquo, maka penyitaan
terhadap rekaman CCTV yang merupakan
barang bukti elektronik, tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 38 ayat (1)
KUHAP bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan surat izin
ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam hal keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya. (Vide ayat 2), dan selanjutnya penanganan
terhadap barang bukti rekaman CCTV tersebut
tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009.
Penutup
Bahwa dalam rangka kepentingan
pembuktian suatu tindak pidana baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan
persidangan di pengadilan, Penyidik diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap barang bukti rekaman CCTV yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga perolehan barang
bukti rekaman CCTV tersebut tidak
melanggar ketentuan hukum yang berlaku (unlawful
evidence) sehingga rekaman CCTV tersebut
dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti (dalam perkara tindak pidana khusus
yang mengatur alat bukti elektronik), maupun sebagai alat bukti petunjuk dalam
perkara tindak pidana umum dalam membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan.
* * *