TEORI KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA (PENAL POLICY)
Pengertian
Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy
atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam
arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau
bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[1]
Bertolak dari kedua
istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut
dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik
hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal
policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek..[2]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3
(tiga) batasan pengertian, yaitu : [3]
1.
Pengetahuan mengenai ketatanegaraan
(seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);
2.
Segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat dan sebagainya);
3. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.
Mengkaji
politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri
atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai
dalam berbagai arti, yaitu : [4]
1. Perkataan politiek dalam bahasa
Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;
2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau
berhubungan dengan negara.
Menurut
Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh Pemerintah, yang meliputi : [5]
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan
dan pembaharuan terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan;
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Selanjutnya,
definisi politik hukum menurut Bellefroid, sebagai berikut: [6]
Politik hukum
merupakan cabang dari salah satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang menyatakan politik hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang
perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru
di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah
perkembangan tertib hukum, dari ius contitutum yang telah ditentukan oleh
kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha untuk menyusun
Ius constituendum atau hukum pada masa yang akan datang.
Menurut
Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan
dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial.
Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku)
dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai
Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru). [7]
Sacipto
Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada hukum yang
seharusnya berlaku (Ius constituendum).
Sedangkan pengertian Politik hukum menurut Muchtar Kusumatmadja, adalah
kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaruan hukum. Proses
pembentukan hukum harus dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang
atau masalah yang hendak diatur dalam undang-undang itu, apabila
perundang-undangan itu merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. [8]
Menurut
Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang
bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu,
dengan kata lain politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa
mendatang (Ius constituendum). [9]
Teuku
Mohammad Radie, mengemukakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan hukum yang berlaku di wilayahnya
mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (Ius constitutum),
dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun, mengandung pengertian hukum
yang berlaku di masa datang (Ius constituendum) [10].
Menurut Garda Nusantara,
Politik hukum meliputi : [11]
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
secara konsisten;
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah
pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang dan
penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;
3. Penegasan kembali fungsi lembaga penegak atau
pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
Dengan
demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau
kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam
mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu
diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara
(pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat
menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau
politik hukum pidana.[12]
Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana
maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah : [13]
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Selanjutnya,
Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai
dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.[14]
Menurut
Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.[15]
Politik
hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut
persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai
tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang
ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang.
Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan
atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,
dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap
orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni
memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap
seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai
tindak pidana. [16]
Politik
hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses
menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses
pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai
alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun
berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum
pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggung
jawaban pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun
tindakan). [17]
Dalam
hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi
perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan
hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi
kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan, tahap
perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan
dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan
kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan penanggulangan
kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus perlindungan masyarakat. [18]
Ruang
Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan
sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan
pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan
sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan
hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan
melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana
yang terdiri dari : [19]
1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan
hukum pidana;
2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana;
3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana.
Kebijakan hukum pidana
tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel
menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang
terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur
hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.[20]
Selanjutnya, A.Mulder
mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk
menentukan : [21]
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
Dengan demikian
kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara
menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada
konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi hukum pidana material
(substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan
pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan-tindakan :[22]
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum
pidana;
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat;
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Penggunaan hukum pidana
dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya
merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi
kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui
proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni : [23]
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Berdasarkan hal di
atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan,
yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada
permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan
hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan
oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal
menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan
eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat
pelaksana/eksekusi pidana. [24]
Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka
kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem
hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat
dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada
diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan
tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan
tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan
apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana
meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana
dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat
pembuat undang-undang (aparat legislatif).[25]
Perencanaan (planning)
pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup tiga
masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu masalah:[26]
1. Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan
pidana yang diancamkan (criminalisation and threatened punishment);
2. Pemidanaan (adjudication of punishment
sentencing);
3. Pelaksanaan pidana (execution of
punishment).
Berkaitan
dengan kebijakan kriminaliasasi, menurut Sudarto bahwa perlu diperhatikan
hal-hal yang intinya sebagai berikut : [27]
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan
tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang
merata materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila; sehubungan dengan
ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau
ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil)
atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4. Penggunanan hukum pidana harus pula
memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum
yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Sejalan
dengan yang dikemukakan Sudarto di atas, menurut Bassiouni bahwa keputusan
untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminilisasi harus didasarkan pada
faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor,
termasuk : [28]
1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan
dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang
diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan- tujuan yang dicari;
3. Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang
dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam
pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan
dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruh
yang sekunder.
Hal
lain yang diperlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan adalah yang berkaitan
dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana.
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya
terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai
tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut adalah
: [29]
1. Pemeliharaan tertib masyarakat;
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan,
kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh
orang lain;
3. Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para
pelanngar hukum;
4. Memelihara atau mempertahankan integritas
pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat
kemanusian dan keadilan individu.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat kriminalisasi pada umumnya
adalah : [30]
1. Adanya korban;
2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan
untuk pembalasan;
3. Harus berdasarkan asas ratio-principle;
dan
4. Adanya kesepakatan sosial (public
support).
Selanjutnya,
untuk merumuskan suatu perbuatan menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : [31]
1. Perbuatan tersebut haruslah benar-benar
perbuatan yang jahat atau tidak dikehendaki oleh masyarakat atau merugikan
masyarakat. Dengan kata lain jahat berarti merugikan atau menyerang kepentingan
hukum (baik kepentingan hukum individu, masyarakat maupun kepentingan hukum
negara);
2. Diperhatikan pula kesiapan aparatur penegak
hukum dalam menegakkan hukum pidana itu nantinya, baik itu kesiapan secara
kualitatif yang menyangkut profesionalisme aparatur, maupun dari segi
kuantitatif, yakni apakah seimbang dengan kuantitas aparat sehingga tidak
menjadi beban baginya;
3. Diperhatikan pula cost and benefit
principle, artinya biaya pembuatan suat peraturan pidana harus benar-benar
diperhitungkan apakah sudah sesuai dengan tujuan dibentuknya peraturan pidana,
atau apakah sudah tersedia biaya yang memadai dalam penegakan hukum itu
nantinya, sebab ketidaksiapan biaya penegakan hukum (termasuk pengadaan sarana
dan prasarananya) justru akan menyakiti masyarakat.
Kebijakan
hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang
dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya
dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi
menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation)
mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus),
pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan
baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).
Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan
represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio
principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi
yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru mengurangi wibawa
hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh
langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan. [32]
Pada
tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berwujud peraturan
perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindak lanjuti usaha
pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang penegakan hukum, dalam hal
ini perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu
struktur, substansi dan kultur.[33]
Istilah
penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah enforcement dalam Black
law dictionary diartikan the act of putting something such as a law into
effect, the execution of a law. Sedangkan penegak hukum (law enforcement
officer) artinya adalah those whose duty it is to preserve the peace. [34]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak adalah yang mendirikan, menegakkan.
Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti
polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim,
pengacara dan lembaga pemasyarakatan. [35]
Sudarto
memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht
in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht
in potentie).[36]
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[37]
Josep
Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian, yaitu : [38]
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup
penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini
tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh
hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu,
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan,
misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada
delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini
disebut sebagai area of no enforcement;
2. Full enforcement, setelah ruang
lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area
of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan
hukum secara maksimal;
3. Actual enforcement, dianggap not a
realistic expectation, sebab adanya keterbatasan- keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya
mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang
disebut dengan actual enforcement.
Sebagai
suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan
diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang
melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga
penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3
dimensi, yaitu : [39]
1. Penerapan hukum dipandang sebagi sistem
normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum
yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di dukung oleh sanksi pidana;
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem
administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara
pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan di atas;
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem
sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak
pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam
lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan
bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan
hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.
Jadi, kebijakan hukum pidana (penal
policy) operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi
(kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap
eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap
formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan/kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat
upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. [40]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan
kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang
dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan hukum pidana
sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah
memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya
hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang
fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan
yang rasional. [41]
DAFTAR PUSTAKA
insspiratif . kunjungi juga blog ini Jadilah seperti air yang mengalir
BalasHapusTerimakasih kak dengan penjelasan yang ada membuat saya mengerti dan mudah dalam mengerjakan tugas kuliah saya
BalasHapusPerkenalkan saya LISNA ARISTA dari ISB Atma Luhur
terimakasih kak artikelnya sangat membantu & bermanfaat..
BalasHapussukses trus ya kak :)
salam kenal kak nama saya Aas Santriya dari ISB Atma Luhur