KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA
Latar Belakang
Tindak pidana perkosaan merupakan
masalah yang sangat serius. Adanya keengganan korban untuk melaporkan karena
tidak di dukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam
masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya
sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak
berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari
kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.
Tindak pidana perkosaan adalah
tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu
sulit untuk di adili karena salah satunya adanya keenganan korban untuk
melaporkannya. Hingga saat ini masing terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan
pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi
tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan
yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.
Telah banyak terjadi di masyarakat
kasus-kasus perkosaan yang dapat menggambarkan beberapa problematika yang
dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan yang disebabkan
karena adanya kelemahan-kelemahan dalam perumusan undang-undang, baik mengenai
unsur-unsur maupun sanksi dan proses pemeriksaan serta pembuktiannya.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana
perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian
tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak
mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengesampingkan perkosaan
yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam vagina, mengesampingkan
perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan
posisi tawar antara pelaku dengan korban.
Berdasarkan hal tersebut, perlu
dikaji dan di analisis melalui metode inventarisasi produk peraturan
perundang-undangan untuk melihat sejauh mana tindak pidana perkosaan tersebut
dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan yang ada baik dalam KUHP maupun
undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kerangka untuk menyusun suatu
perumusan yang lebih sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat berkaitan dengan tindak pidana perkosaan sebagaimana yang
dirumuskan konsep Rancangan KUHP yang baru.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah dalam penulisan paper ini adalah 1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana perkosaan
di dalam KUHP ?, 2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana perkosaan di luar KUHP ? 3. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana
perkosaan dalam RUU KUHP?
Pembahasan
A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Kejahatan perkosaan dalam KUHP di atur dalam
Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata perkosaan hanya akan
ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP, pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan
bersetubuh.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro (2003 : 119), kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam
bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda
istilah verkarachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum
menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh.
Makna
persetubuhan menurut R. Soesilo (1994 : 209), mengacu pada Arrest Hooge Raad
tanggal 5 Februari 1912 yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus
masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut tidak
terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul.
Wirjono
Prodjodikoro (2003 : 120), memberikan perbedaan lain antara tindak pidana
perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan untuk
cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994 : 766), perkosaan disebutkan sebagai
“menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi....” Makna
ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun
bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP
hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.
Dalam
rumusan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah kekerasan
seksual. Istilah kekerasan seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan,
karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan
lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul,
pelecehan seksual dan lain-lain.
Sedangkan
istilah yang digunakan dalam
KUHP adalah kejahatan terhadap kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan
seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana
berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun
perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat
hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata
sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau
sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan
terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
B. Pengaturan
Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP
Tindak pidana perkosaan di dalam KUHP
termasuk ke dalam kejahatan kesusilaan. Kejahatan perkosaan diatur dalam Buku
II KUHP yang dijabarkan dalam beberapa pasal. Kata perkosaan hanya akan
ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Kejahatan ini menurut KUHP hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki sebagai pelakunya. Dibentuknya peraturan dibidang ini,
ditunjukan untuk melindungi kepentingan hukum perempuan.
Adapun
pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum
dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
1. Pasal
285 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana
perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai
berikut :
Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya,
bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Unsur-unsur dari Pasal 285 ini
adalah :
1. Perbuatannya : memaksa bersetubuh
2. Caranya : dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan
3. Objek : perempuan bukan istrinya.
Adami Chazawi
(2005 : 63), Pengertian perbuatan
memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain
dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak
hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan
kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya mengakibatkan dua hal
yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya
atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh orang yang memaksa.
Menurut R.
Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan
agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat
terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.
Sejalan dengan
R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan
pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si
laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak
perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Adami Chazawi
(2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi
dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging
met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP.
Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti
kekerasan.
Menurut R.
Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan
tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya
memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan
sebagainya.
Lebih lanjut
R. Soesilo (1994 : 65),
Berdasarkan fungsinya, maka
kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu
cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk
mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar,
kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya
secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan
terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun
bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama
dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan
kehendaknya sendiri.
2. Pasal
285 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana
perkosaan yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai
berikut :
Barang
siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya
bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.
Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini
adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur
subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya.
R.
Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak
sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau
lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak
dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak
mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan
perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya,
mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang
yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
Sejalan
dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan
dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya
juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan
orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak
mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi
terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik
dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan
pingsan.
Dalam
keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah
diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong
dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang
laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak
berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif
yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak
berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi
yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif
mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).
c. Pasal 287 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana
perkosaan yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai
berikut :
(1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang
bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur
perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa
perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau
ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika
ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.
Menurut Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP
yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui
tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287
KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan
korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka.
Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun
atau belum masanya untuk dikawin.
Jika merujuk kepada Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1
dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur
anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.
d. Pasal 288 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana
perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai
berikut :
(1) Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya
buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan
itu berakibat badan perempuan itu luka.
(2) Kalau
perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman
penjara selama-lamanya delapan tahun.
(3). Jika perbuatan itu menyebabkan perempuan itu
mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan tahun.
R. Soesilo (1994 : 212), Pada dasarnya
KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum
berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali dari perbuatan
persetubuhan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian.
Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum
masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang
belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat
ataupun meninggal dunia.
C. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Lingkup rumah tangga yang dimaksud
dalam undang-undang ini meliputi:
1). Suami, istri dan anak, termasuk ke dalam
pengertian anak adalah anak angkat dan anak tiri.
2). Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana yang dimaksud dalam point (1) karena adanya hubungan darah,
hubungan perkawinan seperti mertua, ipar, besan. Hubungan saudara persusuan,
pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau
3). Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tujuan
dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah untuk mencegah segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi para korban, menindak pelaku
dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dilakukan adalah sebagai berikut :
1). Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang
menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
2). Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3). Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
4). Penelantaran rumah tangga yaitu tindakan
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, atau tindakan
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban
berada dibawah kendali orang tersebut.
Berdasarkan
analisis tersebut diatas, maka dapat dibedakan antara perumusan yang diatur
dalam UU PKDRT khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan ini
berbeda ruang lingkupnya dengan KUHP. Untuk memudahkannya maka perbandingan ini
akan dianalisis dengan menggunakan kriteria pembanding sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk
perbuatan yang dilarang
Jika rumusan pasal-pasal dalam KUHP
yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan di analisis, maka perbuatan yang
dilarang untuk dilakukan adalah :
a. Memaksa
bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya.
b. Bersetubuh dengan perempuan yang bukan
istrinya dan sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
c. Bersetubuh dengan perempuan yang masih
dibawah umur (belum 15 tahun atau belum masanya buat kawin).
d. Bersetubuh dengan istri yang masih dibawah
umur dan mengakibatkan luka, luka berat atau meninggal dunia.
Keseluruhan
perbuatan yang dilarang tersebut pada dasarnya adalah melakukan persetubuhan.
Yang membedakan antara satu pasal dengan pasal yang lain hanya terletak pada
siapa yang menjadi korbannya.
Dalam
UU PKDRT, perbuatan yang dilarang dalam kaitannya dengan kekerasan seksual
adalah :
a. Pemaksaan
hubungan seksual.
b. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang
tidak wajar atau tidak disukai.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan tertentu.
Apa yang dimaksud dengan
hubungan seksual dalam UU PKDRT ini memang tidak dijelaskan. Hanya saja melihat
bentuk-bentuk yang dilarang di atas maka dapatlah dimaknai bahwa hubungan
seksual yang dimaksud tidaklah semata-mata dipahami sebagai persetubuhan yang
disyaratkan dalam KUHP yang mengharuskan terjadinya penetrasi antara kelamin
laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai mengeluarkan mani yang bertujuan
untuk mendapatkan anak.
Hal tersebut dijelaskan
dengan adanya perbuatan lain yang juga dilarang dalam UU PKDRT ini yaitu
pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai.
Dengan demikian pemaksaan hubungan seksual tersebut tidak harus dilakukan
dengan cara penetrasi kelamin laki-laki kedalam kelamin perempuan, tetapi juga
dapat dilakukan dengan cara-cara lain seperti penetrasi kelamin laki-laki ke
dalam mulut atau anus dengan cara menggunakan alat-alat atau objek lainnya.
Dalam hal perbuatan yang
dilakukan adalah pemaksaan seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan
orang lain dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu, maka bentuk pemaksaan
tersebut juga berupa pemaksaan hubungan seksual secara biasa atau pemaksaan
hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar/tidak dikehendaki.
2.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi
Dalam ketentuan KUHP, maka unsur
utama yang harus terpenuhi antar satu pasal dengan pasal lainnya saling berbeda
sebagaimana telah dikemukakan di dalam BAB II penulisan ini. Namun secara umum
unsur-unsur tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Adanya pemaksaan dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan.
b. Terjadinya persetubuhan dalam pengertian
adanya penetrasi kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan
mengeluarkan mani.
c. Perempuan korban tersebut tidak terikat
perkawinan dengan pelaku.
d. Adanya kondisi pingsan atau tidak berdaya
pada korban yang menyebabkan pelaku dapat menyetubuhinya.
e. Umur korban belum 15 tahun atau belum
masanya untuk kawin.
f. Istri yang belum masanya untuk dikawinkan
mengalami luka, luka berat atau meninggal dunia.
Dalam
rumusan UU PKDRT, unsur-unsur yang haru dipenuhi adalah :
a. Adanya hubungan dalam lingkup keluarga
sebagaimana ketentuan dalam UU PKDRT ini antara pelaku dengan korbannya.
b. Adanya pemaksan hubungan seksual, hubungan
seksual yang tidak wajar atau tidak disukai.
c. Adanya pemaksaan hubungan seksual untuk
tujuan komersial atau tujuan lainnya.
d. Adanya akibat-akibat yang ditimbulkannya.
3. Akibat
Dalam rumusan KUHP, pengaturan
menganai akibat hanya dapat dijumpai dalam Pasal 288 KUHP yang berkaitan dengan
pemaksaan hubungan seksual dengan istri yang belum cukup umur. Pasal 288 ini
baru dapat dikenakan pidana pada pelaku jika perbuatan pelaku menyebabkan
korban mengalami luka, luka berat atau meninggal dunia.
Dalam Pasal 291
KUHP juga disebutkan beberapa akibat yang sama yaitu luka berat dan meninggal
dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pembuat kebijakan legislasi
KUHP hanya melihat dampak fisik pada korban tindak pidana perkosaan.
Dalam perumusan
UU PKDRT, ada beberapa akibat yang ditegaskan di dalam undang-undang yaitu :
a. Luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali.
b. Gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selam 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut.
c. Gugur atau matinya janin dalam kandungan.
d. Tidak berfungsinya alat reproduksi.
Dari
beberapa akibat yang dirumuskan dalam UU PKDRT tersebut dapat dijumpai beberapa
bentuk kekerasan sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu akibat dari aspek fisik (luka permanen),
akibat dari aspek psikis (gangguan kejiwaan) dan akibat dari aspek seksual
(rusaknya fungsi reproduksi dan gugurnya janin dalam kandungan).
4. Pelaku
Perumusan dalam KUHP yang berkaitan
dengan tindak pidana perkosaan menggunakan istilah “barang siapa” untuk
menggambarkan pelaku. Istilah “barang siapa” sesungguhnya dapat berarti siapa
saja, laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja dalam penjelasan pasal-pasal
KUHP, khususnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, maka yang dapat dinyatakan
sebagai pelaku untuk menggantikan istilah “barang siapa” tersebut hanyalah
laki-laki.
Menurut
R. Soesilo, hal ini dilandasi pemikiran bahwa pembuat undang-undang ternyata
menganggap tidak perlu menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk
bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap
seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi
laki-laki persetubuhan tersebut tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk
atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan
anak akibat perkosaan tersebut.
Dalam UU PKDRT walaupun secara tegas
dinyatakan undang-undang ini ditujukan terutama untuk melindungi perempuan di
dalam rumah tangganya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga
dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat
dalam bunyi Pasal 53 yaitu “tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 yaitu dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau
sebaliknya”
Pasal
tersebut jelas menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual di dalam rumah tangga
dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan kepada pasangannya atau
anggota keluarganya yang lain dalam lingkup rumah tangganya.
Penempatan
perempuan dan laki-laki sebagai pelaku juga bisa terjadi dalam kekerasan
seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial atau tujuan tertentu lainnya.
Analisis
dari kondisi itu tentunya akan dapat dikaitkan dengan teori kekuasaan yang
menyatakan bahwa pemegang kekuasaan cenderung untuk melakukan tindak kekerasan.
5. Korban
Dalam rumusan KUHP tentang tindak
pidana perkosaan, yang menjadi korban adalah :
a. Perempuan
yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku.
b. Perempuan yang tidak terikat dengan pelaku
yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
c. Perempuan yang tidak terikat perkawinan
dengan pelaku yang belum berusia 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.
d. Perempuan yang terikat perkawinan dengan
pelaku tapi belum masanya untuk dikawin.
Dari
sisi jenis kelamin, maka KUHP secara tegas menyatakan yang dapat menjadi korban
tindak pidana perkosaan hanyalah perempuan. Dalam UU PKDRT, semua orang yang
berada dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang
ini dapat menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukan bahwa dalam UU
PKDRT tidak ada pembatasan korban berdasarkan jenis kelamin ataupun berdasarkan
umur dan kondisinya.
6. Jenis tindak pidana
Jika dianalisis dari segi jenis
tindak pidana, maka tindak pidana perkosaan dalam KUHP dan UU PKDRT
kedua-duanya terdiri dari dua jenis, yaitu tindak pidana biasa dan tindak
pidana aduan (delik aduan).
Dalam
KUHP, yang termasuk tindak pidana biasa adalah yang diatur di dalam Pasal 285
dan Pasal 286 serta Pasal 288. Sedangkan Pasal 287 merupakan delik aduan
sepanjang yang bersangkutan berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun. Dengan
demikian terhadap Pasal 287 yang korbannya adalah perempuan berusia di bawah 12
tahun merupakan tindak pidana biasa. Jenis tindak pidana aduan dalam Pasal 287
menjadi gugur dan berubah menjadi tindak pidana biasa jika akibat persetubuhan
tersebut menyebabkan anak yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun tersebut
mengalami luka, atau meninggal dunia. Tindak pidana aduan tersebut juga dapat
berubah menjadi tindak pidana biasa apabila pelakunya adalah orang yang
seharusnya memberikan perlindungan, mempunyai kewenangan atau berkewajiban
memberikan bantuan secara profesional kepada korban.
Di
dalam UU PKDRT kedua jenis tindak pidana ini juga berlaku. Tindak pidana aduan
(delik aduan) diatur dalam Pasal 53 yaitu tindak pidana kekerasan seksual dalam
bentuk pemaksaan hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual yang tidak
wajar/tidak disukai yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sebaliknya
merupakan delik aduan.
Sementara
tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anggota di lingkup rumah
tangga yang lain merupakan tindak pidana biasa. Dengan demikian juga pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain yang bertujuan komersial atau tujuan lainnya
merupakan tindak pidana biasa.
7. Ketentuan Pidana
Dalam Pasal 285, 286, 287 dan 288
KUHP, batasan hukuman yang ditetapkan hanyalah batasan maksimal semata tanpa
adanya batasan minimal. Karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan
sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Seringkali kasus tindak pidana
perkosaan dihukum dengan ringan.
Berkaitan dengan ketentuan pidana
khususnya kekerasan seksual di dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, diatur
dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 46 :
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan
paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47 :
Setiap orang yang memaksa
orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dipidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling
sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48 :
Dalam hal perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan
daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu
terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah) dan dengan paling banyak Rp 500.000.000,- (limar ratus
juta rupiah).
Selain ketentuan pidana berupa penjara dan
denda, UU PKDRT juga menetapkan hukuman tambahan yaitu :
1). Pembatasan gerak bagi pelaku untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu.
2). Pembatasan hak-hak tertentu bagi pelaku.
3). Penetapan pelaku untuk mengikuti konseling di
bawah pengawasan lembaga tertentu.
D. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Perlindungan Anak ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak
anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial.
Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan
sebagai penerus bangsa yang potensional, tangguh, memiliki nasionalisme yang
dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila.
Anak adalah seorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin sejak janin dalam kandungan
sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak
yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban
memberikan perlindungan kepada anak.
Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Tujuan yang ingin dicapai melalui
undang-undang ini adalah menjamin terpenuhi dan terlindunginya hak-hak anak
untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera.
Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga
berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana.
Berkaitan
dengan tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak akan
dianalisis lebih lanjut dengan pembahasan sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
Pasal 81 UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa :
1). Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain...”
2). Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Berdasarkan
Pasal 81 tersebut diatas, maka perbuatan yang dilarang adalah melakukan
persetubuhan dengan anak. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 287 KUHP yang
menggunakan istilah perempuan yang belum masanya untuk kawin atau yang belum
berumur 15 tahun. Hanya saja undang-undang ini tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan “bersetubuh”.
2. Unsur-unsur yang harus dipenuhi.
Berdasarkan rumusan Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002, maka unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah :
a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
b. Adanya tipu muslihat
c. Adanya serangkaian kebohongan.
d. Adanya bujukan
e. Adanya persetubuhan dengan seorang anak.
Jika
dibandingkan dengan rumusan yang dikemukakan dalam Pasal 287 KUHP maka
cara-cara yang dilarang dalam Pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena merumuskan
beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk
memaksa seseorang anak bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya cara-cara lain
yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan
ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu dari cara-cara tersebut unsurnya
terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih berumur 18 tahun, maka
kepada pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 ini.
3. Akibat
Undang-Undang No.23 tahun 2002
khususnya pada Pasal 81 yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual
terhadap anak, tidak merumuskan dengan tegas apa yang diperkirakan menjadi
akibat dari kekerasan yang dialami korban, yang juga berkaitan dengan tiadanya
pemberatan hukuman/sanksi terhadap kondisi atau akibat-akibat tertentu dari
kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
Tidak adanya pengaturan
mengenai akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual tersebut terhadap anak
tentunya sangat merugikan bagi anak yang menjadi korban. Apapun bentuk
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, apakah dengan kekerasan atau dengan
bujukan tetap menimbulkan akibat gangguan fisik, seksual dan psikis bagi anak
yang menjadi korban.
4. Pelaku
Ketentuan mengenai pelaku
sebagaimana yang diatur dalam UU No.23 tahun 2002 ini, menggunakan istilah
“setiap orang” yang dapat merujuk pada kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan. Hal ini dimungkinkan karena dalam konteks korban adalah anak, maka
perempuan juga mungkin untuk menjadi pelaku bagi anak laki-laki yang belum
memahami dengan benar mengenai hubungan seksual dan mudah untuk diintimidasi
dengan kekerasan, tipu muslihat atau dibujuk oleh orang yang lebih dewasa.
Laki-laki dan atau perempuan juga dapat menjadi pelaku dalam bentuk kekerasan
seksual berupa pemaksaan bersetubuh dengan orang lain.
5. Korban
Dalam kaitannya dengan Undang-undang perlindungan anak, maka yang dapat
menjadi korban adalah anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk tindak pidana
kekerasan berdasarkan undang-undang ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
Dengan asumsi bahwa anak-anak baik laki-laki maupun perempuan belum memahami
tentang hubungan seksual, cara dan akibatnya. Maka anak-anak baik laki-laki
maupun perempuan berpeluang untuk menjadi korban kekerasan seksual.
Ketentuan
ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan perkosaan terhadap
laki-laki, karena di dalam KUHP hal tersebut tidak diatur dengan tegas.
6. Jenis Tindak Pidana
Berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan tindak
pidana biasa, karena itu tidak mensyaratkan adanya pengaduan. Hal ini agak
berbeda dengan jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 KUHP yang
membedakan jenis tindak pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan
bahwa jika perempuan korban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun, maka
merupakan tindak pidana biasa, sedangkan jika perempuan korban berumur 12 tahun
sampai dengan 15 tahun atau diketahui belum
masanya untuk kawin maka merupakan tindak pidana aduan.
7. Ketentuan Pidana
Berkaitan dengan kekerasan seksual
(perkosaan) terhadap anak, maka Pasal 81 UU No.23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak menyatakan :
1). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000.- (enam puluh juta
rupiah).
2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau orang lain.
Ketentuan-ketentuan
tersebut diatas telah mengatur secara lebih spesifik tentang perkosaan terhadap
anak dengan sanksi yang jauh lebih berat daripada yang ditetapkan dalam Pasal
287 KUHP. Adalah penting untuk memberikan perlindungan khusus terhadap
perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap laki-laki yang berniat untuk
bersetubuh dengan perempuan tersebut akan mengetahui dan memahami resiko yang
lebih besar.
E. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam Rancangan KUHP
Pasal
yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan di dalam rancangan KUHP ini
adalah perluasan dari pasal yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan dalam
KUHP. Hanya saja di dalam Rancangan KUHP tersebut ditegaskan bahwa tindak
pidana perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak
asasi perempuan.
Rancangan
KUHP yang mengatur tindak pidana perkosaan dalam BAB XIV tentang tindak pidana
kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang perkosaan dan perbuatan
cabul, pada paragraf 1 tentang perkosaan, Pasal 489 yang berbunyi sebagai
berikut :
(1). Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana
penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun :
a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan diluar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut.
c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan itu
dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai.
d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut
dipercaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah.
e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya,
atau
f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan
perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya.
(2). Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam
anus atau mulut perempuan.
b. Laki-laki yang memasukkan suatu benda yang
bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan.
Didalam penjelasannya dinyatakan
bahwa persetubuhan yang dilakukan bertentangan dengan kehendak perempuan dapat
dilihat dari adanya perlawanan dari pihak perempuan. Namun karena secara psikis
maupun fisik keadaan perempuan terlalu lemah untuk melawan, maka persetubuhan
yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan tersebut juga dapat dipidana
berdasarkan ketentuan ini. Penjelasan pasal ini juga menegaskan bahwa ketentuan
dalam ayat (1) ini tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat
dalam perkawinan. Karena pada dasarnya dalam perkawinan tidak dapat terjadi
perkosaan suami terhadap istri.
Sesungguhnya
bagian yang secara tegas menyatakan bahwa persetubuhan tersebut dilakukan
terhadap perempuan diluar ikatan perkawinan pada dasarnya hanya ada pada huruf
(a) dan (b). Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa pada huruf-huruf yang
tidak dinyatakan secara eksplisit dan tegas didalam rumusan perundang-undangan,
maka dimungkinkan bahwa perkosaan tersebut terjadi dalam suatu ikatan
perkawinan.
Berkaitan
dengan ayat 1 huruf (e) dalam penjelasannya dinyatakan bahwa huruf ini mengatur
mengenai tindak pidana perkosaan yang dikenal dengan statutory rape
yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena
perempuan tersebut belum mencapai 14 (empat belas) tahun, maka perbuatan
tersebut tetap dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan
perundang-undangan.
Rumusan
hukum mengenai tindak pidana perkosaan di dalam Rancangan KUHP, memperlihatkan
adanya upaya untuk melindungi hak asasi perempuan dengan seluas mungkin dapat
menjerat pelaku tindak pidana perkosaan sehingga sulit untuk dapat luput dari
penuntutan dan pemidanaannya.
Jika
diamati secara teliti dan mendalam, rumusan ketentuan tersebut di atas
mengandung makna dari dampak yang luas di dalam sistem pembuktian yang akan
diterapkan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana perkosaan di depan sidang
pengadilan. Bahkan sistem pembuktian yang akan diterapkan memiliki perbedaan
fundamental dengan sistem pembuktian yang selama ini selaku dipergunakan di
dalam menerapkan ketentuan Pasal 285 KUHP.
Perbedaan
fundamental tersebut adalah, pertama terletak pada rumusan kalimat yang
dipergunakan pada pasal-pasal dalam KUHP dan pasal dalam Rancangan KUHP yang
secara mendasar memang berbeda. Perbedaan kedua terletak pada sistem pembuktian
dan alat-alat bukti yang menentukan di dalam persidangan atas kasus tindak
pidana perkosaan yang akan terjadi dikemudian hari.
Selama
ini dalam praktek pembuktian vid Pasal 285 KUHP, alat bukti yang paling
menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli dalam
bentuk visum et repertum (VER) dari seorang dokter ahli yang
ditunjuk menurut undang-undang. Selain itu juga harus ada keyakinan hakim bahwa
benar telah terjadi tindak pidana perkosaan.
Merujuk
pada rumusan Pasal 489 dalam Rancangan KUHP, maka yang akan menjadi alat bukti
yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai segala hal yang
mendukung bahwa selama terjadinya tindak pidana perkosaan tersebut, korban
tidak menghendakinya, atau korban tidak menyetujuinya, atau korban
menyetujuinya karena adanya ancaman, atau korban menyetujuinya karena pelaku
adalah orang yang dianggap sebagai suaminya atau orang yang dipercayainya, atau
korban ternyata belum mencapai usia 14 (empat belas) tahun. Keterangan saksi
korban ini harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan sidang
pengadilan.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengaturan tindak pidana perkosaan diatur
dalam dalam pasal 285 KUHP sampai dengan pasal 289 KUHP yang merupakan produk
hukum kolonial Belanda tentunya disusun dengan nilai-nilai dan asas yang masih
membedakan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat kolonial sehingga KUHP
masih sangat kurang memberikan perlindungan yang sepenuhnya kepada perempuan
korban perkosaan. Pengaturan mengenai hak korban hanya ditemukan dalam penempatan
beberapa tindak pidana sebagai delik aduan. Dalam tindak pidana perkosaan
walaupun tidak semua pasal mengaturnya sebagai delik aduan, aparat penegak
hukum hanya akan menindaklanjuti kasus tindak pidana perkosaan hanya apabila
ada pengaduan dari korban dan keluarganya. Hal ini menyebabkan semakin sedikit
tindak pidana perkosaan yang laporkan dan diselesaikan melalui jalur hukum.
Dari sisi rumusan perundangan, dapat ditemukan sempitnya definisi tindak pidana
perkosaan yang hanya melarang perilaku seksual tertentu berupa penetrasi penis
kedalam vagina yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
perkosaan yang dilakukan kepada perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, perkosaan terhadap perempuan yang belum cukup umur dan perkosaan terhadap
istri yang belum cukup umur dan menyebabkan luka fisik.
2. Pengaturan tindak pidana perkosaan di luar
KUHP diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan menggunakan
istilah kekerasan seksual. Dalam kedua undang-undang tersebut, bentuk perbuatan
yang dilarang lebih luas dari KUHP dengan sanksi yang jauh lebih berat dan
perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban.
3. Pengaturan tindak pidana perkosaan dalam
Rancangan KUHP, rumusan tindak pidana perkosaan mengalami perluasan sehingga
bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya juga dirumuskan sebagai tindak pidana
perkosaan dengan sanksi hukuman yang lebih berat dari yang diatur dalam KUHP.
Beberapa perluasan pasal yang jika akan dituangkan sebagai tindak pidana
perkosaan adalah : laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan
diluar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut, tanpa
persetujuan dari perempuan tersebut, dengan persetujuan perempuan tersebut
tetapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai,
dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa
laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah, melakukan persetubuhan dengan
perempuan yang berusia dibawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya,
atau melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan
tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Serta dianggap juga
melakukan tindak pidana perkosaan, laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam
anus atau mulut perempuan, atau laki-laki yang memasukkan suatu benda yang
bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai
Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
R.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, 1994.
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Undang-Undang
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (KUHP)
Undang-Undang
RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang
RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, LN RI Tahun 200 No. 109
Undang-Undang
RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LN RI
Tahun 2004 No. 54
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTeriamakasih ya pak ilmunya sangat membantu
BalasHapus