SAKSI MAHKOTA DALAM PERADILAN PIDANA
Secara
umum pengertian saksi menurut Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), di atur
dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Pengertian saksi itu sendiri tidak ubahnya
definisi hukum, masih banyak yang mengartikan dari berbagai sudut keilmuan,
namun sebagai bahan acuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka
26 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memberikan rumusan tentang saksi
yaitu :
Orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui
sendiri suatu peristiwa, atau orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu pidana yang
didengarnya, dilihat, atau dialaminya sendiri.
Pengertian
saksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 1 angka 1
yaitu :
Saksi yaitu orang yang memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan
tentang hal-hal yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri atau ia ketahui yang
berkenan dengan suatu tindak pidana
Menurut
Subekti (1976 : 83), saksi adalah orang
yang didengar keterangannya dimuka sidang pengadilan, yang dapat membantu tugas
pengadilan yang sedang berperkara.
Suryono
Sutarto (1982 : 42), saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Jubair
(2003 : 3), memberikan definisi bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Dalam dunia
hukum pengertian saksi semakin berkembang, karena orang-orang yang sekedar mengetahui
sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana saja sudah dimasukan kategori saksi
sehingga untuk mereka dapat dimintai keterangan. Sebaliknya dalam beberapa
undang-undang tindak pidana khusus dikemukakan istilah saksi dan pelapor.
Sebagai pelapor tidak diajukan ke persidangan, bahkan menurut undang-undang
tersebut mereka wajib dilindungi identitas dan alamatnya, apabila saksi membuka
identitas tersebut maka saksi diancam dengan sanksi pidana (Surastini
Fitriasih, 2001 : 8).
Pengertian
saksi dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengalami
perluasan yaitu pelapor. Saksi dalam undang-undang ini biasa juga dikenal
dengan istilah informan yaitu orang yang memberikan informasi kepada pihak
kepolisian tentang adanya tindak pidana narkotika dan turut membantu pihak
kepolisian dalam mengungkap tindak pidana narkotika.
Harkristuti
(Surastini Fitriasih, 2001 : 3), menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pemberian keterangan oleh seorang saksi, yaitu :
a. Unreliable witnees
Penelitian
yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa ada saat-saat dimana
saksi dipersuasi untuk menyampaikan keterangan untuk memperkuat posisi Jaksa,
terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.
b. Witness as product of bullying and
harassment
Kemungkinan
adanya metode tertentu oleh polisi atau penegak hukum lainnya meminta
keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan, yang
diajukan dalam jangka waktu yang panjang tanpa jeda yang layak.
c. Lying
witness
Tidak
menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal yang sebenarnya,
walaupun ia ada dibawah sumpah, baik karena ia telah disuap ataupun karena ia
di intimidasi pihak tertentu.
d. Silent
witness
Saksi
yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak memberikan jawaban
yang sesungguhnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam
kasus penyertaan yang melibatkan dirinya.
e. Incompetent witness
Saksi
dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat bukti yang
sah dipengadilan karena saksi tersebut infant, mental diseas atau
mental defect.
f.
Turn-coat witness
Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia
melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan dengan penasehat hukum.
Dibeberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat menarik kembali saksi
yang diajukannya sendiri, karena dengan mengajukan saksi berarti ia telah
memastikan akan kredibilitas saksi.
Selanjutnya,
mengenai istilah saksi mahkota tidak terdapat definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi
mahkota di definisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah
seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan
pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun
mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut
adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan
atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. (Lilik Mulyadi, 2007 :
85-86).
Menurut Loebby
Loqman, (1995 : 2), saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang
biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. Saksi mahkota dapat di definisikan
adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih
tersangka atau terdakwa lainnya yang sama-sama melakukan perbuatan pidana dan
dalam hal mana saksi tersebut diberikan mahkota.
Sejalan dengan itu,
Syaiful Bahkri (2009 : 66), menjelaskan bahwa pada hakikatnya saksi mahkota
adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa yang kepadanya
diberikan suatu mahkota.
M.Yahya Harahap (2005 : 321), memberikan pengertian
bahwa saksi makota adalah
saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama dipengadilan rekannya
yang merupakan sesama terdakwa. Keterangannya digunakan sebagai alat bukti
kesaksian yang sah secara timbal balik, dimana berkas perkara harus dipisah
(di-split).
Saksi mahkota
biasanya diajukan oleh penuntut umum jika mengalami kesulitan atau kekurangan
alat bukti untuk mencari siapa sesungguhnya pelaku atau untuk membuktikan
kebenaran tuduhannya. Saksi mahkota ini biasanya diterapkan untuk suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku, di mana seorang dari
mereka dijadikan saksi yaitu sebagai saksi mahkota. Penggunaan
alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang
berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan
pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat
penyidikan. (Loebby Loqman, 1995
: 5).
Andi Hamzah mengemukakan
definisi atau pengertian dari saksi mahkota adalah seorang terdakwa (biasanya
yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, dan diberi
mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Atau lebih mudahnya bahwa
saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang
kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya).
Pengertian ini berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang-undangan yang
terdapat dinegara Perancis dan Belanda. Penarikan seorang terdakwa menjadi
saksi, terlebih dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya
atau bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang
dilakukan oleh teman-temannya. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas
terdakwa (yang menjadi saksi mahkota) dilakukan setelah hakim memberikan putusan
terhadap terdakwa-terdakwa lainnya. (Loebby Loqman, 1995 : 6-7).
Pada awalnya,
pengaturan mengenai saksi mahkota hanya di atur dalam ketentuan Pasal 168 huruf
(c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai
terdakwa tidak dapat di dengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka petunjuk tentang saksi
mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana di atur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. (Varia
Peradilan, 1990 : 19).
Dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan
bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan
saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya
sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang
diberikan kesaksian. (Varia Peradilan, 1990 : 25).
Selain itu, dalam
yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi
mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan
sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya
dipisah karena kurangnya alat bukti. (M. Sofyan Lubis, 2008 : 1).
Berdasarkan hal
tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana
di dasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan
pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan
tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta
apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat
kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak
terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. (Varia Peradilan, 1990 : 27).
Dalam
perkembangannya, Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan
saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa
penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994
tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952
K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995. (Varia
Peradilan, 1995 : 5).
|
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus
Bahasa Indonesia, Jakarta.
Jubair, 2000, Masalah
Perilindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana, Karunia, Surabaya.
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan
Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan
Permasalahnnya, Citra Aditya Bakti, Bandung.
M.Yahya Harahap, 2005, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Subekti dan R. Tjiro
Soedibia, Kamus Hukum, Pradiya Paramita, Jakarta.
Suryono Sutarto,
1982, Hukum Acara Pidana Jilid I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
Surastini Fitriasih 2001, Makalah Ketentuan
Mengenai Korban dan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana dan Urgensi Pengaturan
Perlindungan Bagi Mereka, Jakarta.
Syaiful Bakhri, 2009, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Sumber Lain
Loebby Loqman, 1995, ”Saksi Mahkota”, Forum Keadilan Nomor 11.
M. Sofyan Lubis, 2008,”Saksi Mahkota”
Varia Peradilan, November 1990, Nomor 62.
Varia Peradilan, September 1995, Nomor 120.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar