PERLINDUNGAN
SAKSI DALAM PERADILAN PIDANA
MENURUT HUKUM
POSITIF DI INDONESIA
Perlindungan
saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang terjadi terutama dalam
perkara-perkara yang besar. Maksud adanya keterkaitan yaitu karena sebagian
besar tindak pidana dapat terpecahkan dengan kesaksian yang diberikan saksi.
Jadi walau bagaimanapun seorang saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan
agar saksi tersebut dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun
persidangan.
Perlindungan
bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat
dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses peradilan pidana. Perlindungan
ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam
proses ini. Dalam kaitannya dengan saksi, falsafah yang harus lebih dahulu
diketahui adalah mengapa justru seorang
mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus mau menjadi
saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi, (Loebby Loqman,
2000: 2).
Dalam
hal demikian seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga
justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. Dengan
demikian saksi berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas
kejahatan dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
memberantas kejahatan dalam masyarakat, (Loebby
Loqman, 2000: 2).
Terkait
dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang harus
diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap aturan yang
akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku karena seperti
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.
Sejalan
dengan itu dalam Pasal 28 huruf g UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah
mengamanatkan pentingnya perlindungan saksi dan korban ini seperti yang
dijelaskan sebagai berikut:
a. Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka dari negara lain.
Berikut
ini akan diuraikan pengaturan tentang perlindungan saksi dalam hukum positif di
Indonesia sebagai berikut :
1. Perlindungan Saksi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan saksi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tidak diatur secara jelas mengenai perlindungan terhadap
saksi, bahkan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya
kewajiban dari saksi untuk memberikan kesaksian maka ia dapat diancam dengan
pidana yaitu pada Pasal 224 KUHP yaitu :
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli
atau juru bahasa menurut undang-undang dengan
sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selalu
demikian harus dipenuhinya, diancam :
ke-1 dalam perkara pidana,dengan pidana penjara
paling lama 9 bulan
ke-2 dalam
perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Demikian
juga yang terdapat dalam Pasal 522 KUHP yaitu :
Barang siapa
dengan melawan hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk
menjadi saksi, ahli atau juru bahasa, dihukum denda.
2. Perlindungan Saksi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Perlindungan
terhadap saksi tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Seharusnya perlindungan terhadap saksi diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai suatu hukum acara pidana yang
sifatnya umum. Akan tetapi yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak mencantumkan mengenai perlindungan yang harus diberikan kepada
saksi, hal ini merupakan suatu kepincangan dalam hukum.Yang mendapat pengaturan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kaitannya dengan
saksi hanya pengaturan mengenai kewajiban dari seorang saksi, sedangkan soal
perlindungan yang harus diberikan terhadap seorang saksi tidak mendapatkan
tempat.
Meskipun
dalam KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi,
namun demikian terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak-hak
dan kewajiban seorang saksi dalam suatu proses peradilan pidana yaitu :
Pasal 117 : Keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun
dan atau dalam bentuk apapun. (ayat 1)
Pasal 118 : Keterangan tersangka dan atau saksi
dicatat dalam berita acara yang ditanda tangani oleh penyidik, dan oleh yang
memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.
Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat mendengar
keterangan saksi mengenai suatu hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu
ia minta terdakwa keluar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan
perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal
pada waktu ia tidak hadir.
Penjelasan
Pasal 173 di atas yaitu apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan
merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa
hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak di inginkan hakim dapat
menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim
mengajukan pertanyaan kepada saksi.
Pasal 177 : Jika terdakwa atau saksi tidak paham
bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang
bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus
diterjemahkan. (ayat 1).
Pasal 178 : Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau
tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (ayat 1)
Pasal 277 : Semua jenis pemberitahuan atau panggilan
oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa,
saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir
yang ditentukan ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka
terakhir. (ayat 1)
Pasal 299 : Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi
panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,
berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (ayat 1)
Selain
hak-hak di atas, seorang saksi korban juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas
saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban, yaitu seorang korban dari
suatu tindak pidana yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hak ini diatur
dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP yaitu :
Jika suatu perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan
negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana itu.
Penjelasan
pasal di atas bahwa kerugian bagi orang lain termasuk kerugian bagi korban,
maka jika seorang saksi yang juga sekaligus menjadi korban, dia dapat meminta
ganti kerugian dengan cara menggabungkan gugatan ganti kerugian kepada perkara
pidana yang bersangkutan.
Selain
itu, dapat juga dilihat dari Pasal 81 KUHAP mengenai pra peradilan yaitu :
Permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitas akibat tidak sahnya dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibatnya sah penghentian penyidikan atau
penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Kapasitas saksi disini juga sebagai
saksi korban, dimana seorang korban dapat merupakan pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan jika sebuah perkara dihentikan. Seorang saksi tidak dapat memiliki
hak-hak saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban seperti yang diatur dalam
Pasal 159 ayat 2, 161 dan 174 KUHAP sebagai berikut :
Pasal 159 : Dalam hal saksi tidak hadir meskipun
telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk
menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. (ayat 2)
Pasal
161 : Dalam hal saksi atau ahli
tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 160 ayat 3 dan 4, maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan
sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
Pasal 174 : Apabila saksi tetap pada keterangannya
itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan jaksa penuntut
umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk
selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. (ayat 2)
3. Perlindungan
Saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus.
Disamping aturan-aturan dalam KUHAP,
sejak tahun 1997 beberapa undang-undang tindak pidana khusus diluar KUHP
mencantumkan beberapa pasal yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
saksi yaitu :
a. Undang–Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam rangka pelaksanaan proses
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang kepada pelapor dan saksi diberikan
perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan
atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang
ini diatur dalam Pasal 42 yaitu :
1.
Setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus
oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri dan atau hartanya
termasuk keluarganya.
2.
Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus
sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan
saksi tindak pidana pencucian uang, Pasal 5 menjelaskan bentuk perlindungan
khusus yaitu :
1. Perlindungan
atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor dan saksi dari ancaman fisik
dan mental;
2. Perlindungan
terhadap harta pelapor dan saksi;
3. Perahasiaan
dan penyamaran identitas pelapor dan saksi dan/atau;
4. Pemberian
keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap
tingkat pemeriksaan perkara.
b. Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme
Ketentuan
mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 34 lebih
rinci menetapkan bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh negara baik
sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara kepada saksi, yaitu
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancama fisik dan mental, kerahasiaan
identitas saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan terdakwa.
Lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi,
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara tindak pidana terorisme, Pasal
2 dan Pasal 3 menjelaskan bentuk perlindungan
yaitu :
Pasal 2 :
Setiap saksi, penyidik,
penuntut umum dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak
pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman
yang membahayakan diri, jiwa dan hartanya baik sebelum, selama maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara.
Pasal 4 :
Perlindungan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh
aparat hukum dan aparat keamanan berupa :
a. Perlindungan
atas keamanan diri dari ancaman fisik dan mental;
b. Kerahasiaan identitas saksi;
c. Pemberian keterangan pada saat sidang pengadilan tanpa bertatap
muka dengan tersangka.
c. Undang–Undang
Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Ketentuan
mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 31 yaitu
:.
1.
Dalam
penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
2.
Sebelum
pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Penjelasan
pasal diatas yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi informasi
kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan
pelapor yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP. Selain itu juga dalam
undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan hukum kepada masyarakat yang
berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidan
korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 2 huruf e yaitu hak untuk
memperoleh perlindungan hukum dalam hal peran serta dalam mencari dan
memberikan informasi tentang adanya tindak pidana korupsi.
d. Undang–Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Ketentuan
mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang Psikotropika diatur dalam Pasal
54 yaitu :
1. Masyarakat
memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu
mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang
ini dan peraturan pelaksanaannya.
2. Masyarakat
wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang
psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
3. Pelapor
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 perlu mendapatkan jaminan keamanan dan
perlindungan dari pihak yang berwenang.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan
mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang Narkotika diatur dalam Pasal 57
yaitu :
1. Masyarakat
memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
2. Masyarakat
wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika.
3. Pemerintah
wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2.
.
Kemudian
lebih lanjut dijelaskan mengenai pemberian jaminan keamanan dalam Pasal 59
yaitu :
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran
serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara
pemberian penghargaan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan pada kedua
undang-undang diatas yang dimaksud dengan pelapor adalah masyarakat yang
melihat, mendengar atau mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika dan kemudian melaporkan kepada penegak hukum.
e. Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran
HAM berat.
Peraturan
Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu :
1. Setiap
korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun.
2. Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
dan aparat kemanan secara cuma-cuma.
3. Ketentuan
mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Latar belakang dibuatnya peraturan pemerintah
ini adalah untuk memberikan perlindungan baik fisik maupun mental kepada korban
maupun saksi dari ancaman, gangguan, teror atau kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan
kepada saksi dalam peraturan pemerintah ini diatur dalam Pasal 2 yaitu :
1. Setiap
korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak
memperoleh perlindungan dari aparat hukum dan aparat keamanan.
2. Perlindungan
oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan.
4. Perlindungan
Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam undang-undang ini memberikan pengaturan
yang lebih luas tentang saksi, saksi pelaku, korban dan pelapor dalam tindak
pidana. Adapun ketentuan tentang perlindungan diatur dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 10 sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 1 : Saksi dan korban
berhak :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut
serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan
kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan;
h. mengetahui
dalam hal terpidana dibebaskan;
i. identitasnya dirahasiakan ;
j. mendapat
identitas baru ;
j. mendapatkan tempat kediaman sementara ;
k. mendapat
tempat kediaman baru ;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat
penasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
n. mendapat
pendampingan.
Pasal 6 : Korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme,
korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban
tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan :
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi
psiko-sosial dan psikologis.
Pasal 7 ayat 1 :
Setiap korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme selain
mendapatkan hak sebagamana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, juga berhak atas
kompensasi.
Pasal 7 A ayat 1 :
Korban
tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa :
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau
pengahasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau;
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau
psikologis.
Pasal 8 ayat 1 : Perlindungan
dan hak saksi dan korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 9 :
1. Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
2. Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang
berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang
kesaksian tersebut.
3. Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat pula
didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi
oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 10 :
1. Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang
akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan
tidak dengan itikad baik;
2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi
pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang,
atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang
ia laporkan atau ia berikan kesaksia telah diputus oleh pengadilan dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 10 A :
1. Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara
khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
2. Penanganan
secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani
pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang
diungkap tindak pidananya;
b. pemisahan pemberkasan antara berkas perkara
saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan
penuntutan atas tindak pidana yang diungkapnya, dan/atau ;
c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa
berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
3. Penghargaan
atas kesaksian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berupa :
a. keringanan penjatuhan pidana ; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan
hak terpidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
saksi pelaku yang berstatus narapidana.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku :
Loebby Loqman, Makalah Ilmiah Perlindungan
Saksi, Jakarta 13 November 2000.
Moelyatno, 1985, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Politea, Bogor.
R. Soesilo, 1988, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor.
Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan saksi dalam
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut
umum dan hakim dalam perkara tindak pidana terorisme.
Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi tindak
pidana pencucian uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar