Tinjauan Tentang Anak Dalam Hukum Pidana
Pengertian
anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur yang memberi
batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini, dapat ditelusuri
berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau
kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya
penafsiran yang mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur
aduk sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.[1]
Pengertian
anak dapat ditinjau dari aspek umur dan kejiwaan. dalam bahasan ini hanya
dipaparkan pengertian anak ditinjau dari aspek usia saja, sedang pengertian
anak ditinjau dari aspek psikologis tidak diuraikan lebih lanjut, mengingat
batas usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauhmana anak bisa
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana. Sebagai gambaran akan
diuraikan batasan tentang usia dari berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam Konvensi
Hak-Hak Anak yang telah disetujui Majelis Umum tanggal 20 November 1989,
di dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
untuk anak-anak menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih cepat.[2]
Dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1 menyebutkan batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[3]
Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 menentukan bahwa yang dikatakan
belum dewasa yaitu belum mencapai umur enam belas tahun. Sedangkan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 menyebutkan belum dewasa adalah mereka
yang belum umur mencapai genap 21 tahun dan lebih dahulu telah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak
kembali lagi kedudukannya belum dewasa.
Dalam Pasal 47
Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
Selanjutnya
Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali. Demikian pula Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Apabila perkawinan itu
dibubarkan, walaupun belum berumur 21 tahun mereka tidak kembali menjadi anak.
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, merumuskan anak
adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.
Pasal 1 sub 5
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.
Dalam Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Dengan
demikian, dari uraian-uraian di atas mengenai batasan usia anak menurut
berbagai macam peraturan perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa dalam
sistem hukum yang berlaku saat ini tidak ada keseragaman di dalam menentukan
batasan usia kedewasaan.
Di Indonesia,
penentuan batas usia anak dalam kaitan dengan pertanggung jawaban pidana, telah
diatur secara eksplisit setelah pada tanggal 19 Desember 1996 Dewan Perwakilan
Rakyat telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang kemudian
diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Januari 1998 yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.[4]
Adapun
pengertian anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud Anak adalah orang
yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Namun, dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak. Dalam
amar putusan menyatakan sebagai berikut :
Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka
1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan
Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...”
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally
unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12
(dua belas) tahun...”;
Sehingga, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka
batasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat di dilakukan proses
hukum adalah anak yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar