TINJAUAN TENTANG PENEGAKAN HUKUM
Penegakan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah enforcement. Menurut Black law
dictionary diartikan the act of putting something such as a law into
effect, the execution of a law. Sedangkan penegak hukum (law enforcement
officer) artinya adalah those whose duty it is to preserve the peace. (Henry Campbell
Black, 1999, 797).
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 912), penegak adalah yang mendirikan,
menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya
berarti polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim,
pengacara dan lembaga pemasyarakatan.
Sudarto (1986 : 32), memberi
arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun
perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).
Penegakan hukum
merupakan rangkaian proses penjabaran ide dan cita hukum yang memuat
nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit,
dalam mewujudkannya membutuhkan suatu organisasi seperti kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai unsur klasik penegakan hukum yang
dibentuk oleh negara, dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai
substansial yaitu keadilan. (Satjipto Rahardjo, 2009 : vii-ix).
Secara
konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan. (Soerjono Soekanto, 2005 : 5)
Ruang lingkup
penegakkan hukum sebenarnya sangat luas sekali, karena mencakup hal-hal yang
langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun dalam bidang penegakkan
hukum. Penegakkan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, juga
meliputi peace maintenance. Adapun
orang-orang yang terlibat dalam masalah penegakkan hukum di Indonesia ini
adalah diantaranya polisi, hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasyarakatan atau
penjara (Iskandar, 2009:98).
Josep
Golstein (Muladi, 1995 : 40), membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3
bagian, yaitu :
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup
penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini
tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh
hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu,
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan,
misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada
delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini
disebut sebagai area of no enforcement;
2. Full enforcement, setelah ruang
lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area
of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan
penegakan hukum secara maksimal;
3. Actual enforcement, dianggap not a
realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya
mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang
disebut dengan actual enforcement.
Menurut
Muladi (1995 : 41), sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan
hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law
application)Penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu :
1. Penerapan hukum dipandang sebagi sistem
normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum
yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di dukung oleh sanksi pidana;
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem
administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara
pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan di atas;
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem
sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak
pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam
lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan
bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan
hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial
Soerjono
Soekanto (2011 : 8), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum adalah sebagai berikut 1). Faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang. 2).Faktor
penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, 3. Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4). Faktor masyarakat,
yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5). Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
***
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1998.
Henry Campbell
Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O, 1999.
Iskandar, ”Cermin Buram Penegakan Hukum
Di Indonesia”. 2008.
Muladi,
1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang.
Satjipto Rahardjo,
2009, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Soerjono Soekanto, 2005,
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sudarto, 1986, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar