PERADILAN ANAK (JUNVENILE JUSTICE) MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL
Perlindungan
hukum bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat dilepaskan dari apa
sebenarnya tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak (Junvenile
justice) itu sendiri. Dari tujuan
dan dasar pemikiran inilah baru dapat ditentukan apa dan bagaimana hakekat
serta wujud dari perlindungan hukum yang sepatutnya diberikan kepada anak.
Bertolak dari pendekatan yang berorientasi pada masalah kesejahteraan anak atau
kepentingan terbaik bagi anak, jelas terlihat perlunya pendekatan khusus dalam
masalah perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan. Hal demikian
berarti perlu adanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan dan
perlakuan khusus serta perlindungan khusus bagi anak dalam masalah hukum dan
peradilan.
Berkaitan
dengan itu, adapun dokumen-dokumen Internasional yang mengatur tentang masalah
penanganan terhadap anak dalam peradilan pidana, sebagai berikut :
a. Deklaration
of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak 1959.
Deklarasi
Jenewa tentang hak-hak anak tahun 1924 yang diakui oleh Universal Declaration of Human Righst dan kemudian dikukuhkan dalam
Resolusi Majelis Umum PBB No. 1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai Deklaration of The Rights of The Child atau
disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak, yang terdiri dari 10 Prinsip.[1]
Dalam
Mukadimah Deklaration of The Rights of
The Child atau Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa :
Mengingat
karena ketidakmatangan jasmani dan mental anak, maka kiranya anak memerlukan
pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak,
sebelum dan sesudah kelahirannya.
Selanjutnya,
Prinsip ke-2 dari Deklaration of The
Rights of The Child yang berbunyi :
Anak harus
menikmati perlindungan khusus, dan harus diberi kesempatan dan fasilitas oleh hukum dan sarana lainnya, untuk
memungkinkan dia untuk mengembangkan fisik, moral, spiritual
dan sosial secara sehat dan normal dalam
kondisi kebebasan dan martabat.
Dalam pemberlakuan undang-undang untuk tujuan ini kepentingan
terbaik anak harus menjadi
pertimbangan penting.
b. United
Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The
Beijing Rules).
Instrument
ini disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan dijadikan Resolusi PBB pada
tanggal 39 November 1985 dalam Resolusi 40/33. [2] Aturan-aturan Standar Minimum
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Peradilan Remaja (Beijing Rules), yang
mencakup penanganan anak dalam proses pidana, dapat diuraikan sebagai berikut :
1). Asas umum, secara umum berisi tentang perlunya
kebijakan sosial yang komperhensif yang bertujuan untuk mendukung tercapainya
sebesar mungkin kesejahteraan anak. (Rule 1.4).
2). Menegaskan peranan peradilan anak, tidak lain
merupakan bagian integral dari keadilan sosial. Dalam hal ini harus dicatat
bahwa batasan umur anak sangat bergantung pada sistem hukum negara anggota,
pada satu pihak dan kondisi sosial ekonomi, politik dan sosial budaya
masyarakat pada lain pihak, oleh karena itu batasan anak dirumuskan secara
relatif, yaitu anak (Juvenile) adalah seorang yang berumur 7-8 tahun. (Rule
2.2).
3). Satu hal yang penting harus diperhatikan bagi
negara-negara anggota yaitu mengenai perumusan perundang-undangan nasional
khusus, pengimplementasianya secara optimal ketentuan SMR-JJ ini
dilingkungan negara anggota. Walaupun telah dirumuskan tentang perbuatan
pelanggaran, dalam hal ini harus diingat bahwa pengkategorian
perbuatan-perbuatan untuk anak dan remaja hendaknya lebih luas dari jenis-jenis
perbuatan yang dapat dipidana untuk orang dewasa, misalnya dimasukkan pula
perbuatan membolos sekolah, ketidakpatuhan pada orang tua, atau pada peraturan
sekolah, mabuk dimuka umum dan sebagainya. (Rule 3.1).
4). Batas usia pertanggung jawaban pidana, sebagai
unsur penting pengimplementasian kaidah ini, pada pokoknya menyatakan bahwa,
karena latar belakang sejarah dan budaya masyarakat suatu bangsa, sering sangat
berpengaruh terhadap penentuan batas usia pertanggung jawaban pidana, maka
pendekatan modern diterapkan. Pertanggung jawaban atas diri anak diukur dari
tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dan perbuatan anti
sosial anak. Yang penting batas usia pertanggung jawaban pidana anak tidak
ditentukan terlalu rendah apalagi tidak ditentukan sama sekali. (Rule 4).
5). Tujuan peradilan anak. Peradilan anak sebagai
bagian dari upaya perwujudan kesejahteraan anak, dilaksanakan atas dasar asas
proporsionalitas. Asas ini ditekankan sebagai sarana untuk mengekang sanksi
yang bersifat punitif. Asas yang mengingatkan agar tanggapan dan reaksi
masyarakat yang proporsional terhadap perbuatan anti sosial, artinya tanggapan
dan reaksi itu tidak saja dilandaskan pada bobot perbuatan, melainkan
memperhatikan pada lingkungan anak, status sosial, keadaan keluarga, dan
faktor-faktor lain yang menjadi sebab timbulnya perbuatan. (Rule 5).
6).
Tujuan peradilan anak tersebut di atas secara operasional diperankan oleh
aparat penegak hukum. Dalam konteks ini kepada aparat penegak hukum diberikan
keleluasaan seluas mungkin dan dalam rangka tingkatan pemeriksaan untuk
melakukan diskresi. (Rule 6).
7). Hak-hak remaja/anak selama dalam peradilan,
hak-haknya harus dilindungi seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk diam,
hak untuk menghadirkan orang tua atau wali, hak untuk bertemu, berhadapan dan
menguji silang atas dirinya, dan hak untuk banding. Disamping itu, selama dalam
proses, privasi anak harus dilindungi mengingat anak sangat rawan terhadap
stigmatisasi. Pemaparan identitas anak selama dalam proses oleh media massa
harus dihindarkan. (Rule 7 dan Rule 8).
c. Convention
on The Rights of The Child atau disebut juga Konvensi Hak-Hak Anak 1989
(Resolusi MU PBB 44/25).
Instrumen ini
disepakati dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 44 dan kemudian ditungkan dalam
Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. [3] Dalam mukadimah Convention on The Rights of The Child atau disebut juga Konvensi
Hak-Hak Anak menyatakan bahwa menyadari bahwa anak, demi pengembangan kepribadiannya
secara penuh dan serasi, harus tumbuh dalam suatu lingkungan keluarga, dalam
iklim kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian. Mengingat bahwa perlunya
perluasan perawatan khusus bagi anak telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa
tentang Hak-Hak Anak.
Adapun
prinsip-prinsip penanganan terhadap anak yang diatur dalam Konvensi Hak-Hak
anak adalah sebagai berikut :
1). Artikel 37 :
a). Seorang
anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam.
b). Pidana mati atau penjara seumur hidup tanpa
kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan, tidak akan dikenakan kepada anak
yang berusia di bawah 18 tahun.
c). Tidak seorang anak pun dapat dirampas
kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang.
d). Penangkapan, penahanan dan pidana penjara,
hanya digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan jangka waktu yang
sangat pendek.
e). Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya,
harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai
manusia.
f). Anak yang dirampas kemerdekaannya, akan
dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan kontak dengan
keluarganya.
g). Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya
berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum
perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang
berwenang dan tidak memihak serta mendapat keputusan yang cepat/tepat atas
tindakan terhadap dirinya itu.
2). Artikel 40 :
a). Setiap
anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana berhak
diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak, tentang
harkat dan martabatnya yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada
hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Mempertimbangkan usia anak dan
keinginan untuk memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta
mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.
b). Tidak seorang anak pun dapat dituduh, dituntut
atau dinyatakan melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau tidak
berbuat sesuatu) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun Internasional
pada saat perbuatan itu dilakukan.
c). Tiap-tiap anak yang dituduh atau dituntut
telah melanggar hukum pidana sekurang-kurangnya memperoleh jaminan-jaminan
hak-hak:
(1). Untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti
kesalahannya menurut hukum.
(2). Untuk diberitahukan tuduhan-tuduhan atas
dirinya secara cepat dan langsung atau melalui orang tua, wali atau kuasa
hukumnya.
(3). Untuk perkaranya diputus/diadili tanpa
penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri
dan tidak memihak.
(4). Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau
pengakuan bersalah.
(5). Apabila dinyatakan telah melanggar hukum
pidana, keputusan dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali
oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku.
(6). Apabila anak tidak memahami bahasa yang
dipergunakan, berhak memperoleh bantuan penerjemah secara cuma-cuma.
(7). Kerahasiaan pribadinya dihormati, dihargai
secara penuh pada semua tingkatan pemeriksaan.
d). Negara harus berusaha membentuk hukum,
prosedur, pejabat yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus
diperuntukkan yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/diterapkan
kepada anak yang dituduh, dituntut akan dinyatakan telah melanggar hukum pidana
khususnya:
(1).Menetapkan
batas usia minimal anak yang dipandang telah melakukan tindak pidana.
(2). Apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan
terhadap anak tanpa proses peradilan harus diterapkan bahwa hak-hak asasi dan
jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati.
e). Bermacam-macam putusan terhadap anak (antara
lain perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan,
pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta pembinaan
institusional lainnya) harus dapat menjamin bahwa anak diperlakukan dengan
cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraannya dan seimbang dengan keadaan
lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukan.
d. United
Nations Guidelines For The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh
Guidlines).
Instrumen
internasional ini tercantum dalam Resolusi PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990.
Resolusi ini merupakan ketentuan yang harus diperhatikan sebagai pedoman dalam
masalah penanganan anak bermasalah dengan hukum.[4] Ketentuan yang mengatur tentang
penanganan anak adalah sebagai berikut :
1). Perlu diingat bahwa anak/remaja yang melakukan
pelanggaran ringan tidak harus direaksi dengan kriminalisasi atau penghukuman
atas perbuatannya (Rule 1.1-1.5).
2). Hendaknya diperhatikan pula norma dan
instrumen-instrumen Internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak,
kepentingan akan kesejahteraan anak remaja pada satu pihak dan kondisi sosial,
ekonomi, budaya, dari negara anggota (Rule 7-8).
3). Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
delinkuensi anak, pemerintah merumuskan dan menrapkan peraturan
perundang-undangan khusus, prosedur khusus dalam kerangka perlidungan hak-hak
anak dan kesejahteraan semua anak remaja.
4). Kebijakan yang telah tersusun hendaknya di
dalamnya terkandung rencana dan program strategis dalam rangka penanggulangan juvenile
deliquency baik melalui sistem peradilan pidana anak, maupun tidak lewat
sistem peradilan pidana anak. Penjara hendaknya ditempatkan sebagai upaya
terakhir dan itupun hanya untuk jangka pendek.
5). Dalam rangka mencegah stigmatisasi dan
kriminalisasi berkelanjutan terhadap anak, perundang-undangan hendaknya
menjamin bahwa setiap perilaku yang bila dilakukan oleh orang dewasa tidak
dikategorikan sebagai kejahatan atau perbuatan yang dapat dipidana bila
dilakukan oleh anak remaja.
6). Penegak hukum dan petugas lain yang relevan
baik laki-laki maupun perempuan harus dilatih untuk cepat tanggap dan terbiasa
terhadap kebutuhan khusus anak dan harus menggunakan keterampilannya semaksimal
mungkin demi tersusun dan tertanganinya program-program dan
kemungkinan-kemungkinan lain, sehingga anak terhindarkan dari campur tangan
sistem peradilan (Rule 52-56).
e. United
Nations Rules for the Protection of Juvenile Diprived of Their Liberty.
Instrumen
internasional ini tertuang dalam Resolusi PBB 45/113, mulai berlaku tanggal 14
Desember 1990. Resolusi ini merupakan pemantapan standar minimum bagi perlindungan
anak dari semua bentuk perampasan kemerdekaan yang dilandaskan pada hak-hak
asasi manusia, dan menghindarkan anak dari efek sampingan semua bentuk
penahanan demi tercapainya pengintegrasian anak ke dalam masyarakat. Oleh
karena itu, resolusi ini harus diterapkan secara utuh tanpa adanya diskriminasi
dan tetap menghormati konsep moral yang dimiliki anak. Resolusi ini yang
direncanakan sebagai bahan acuan baku para profesional yang terlibat dalam
pengelolaan sistem peradilan anak ini, hendaknya dibuat siap pakai dan
dimasukkan dalam sistem perundang-undangan negara anggota. [5]
Hal
lain yang penting untuk diperhatikan adalah ketentuan yang menekankan perlunya
ditegakkan dan dilindungi hak-hak dan keselamatan anak di dalam penyelenggaraan
peradilan anak guna mewujudkan kesejahteraan fisik dan mental anak. Perampasan
kemerdekaan anak harus dipertimbangkan dengan cermat dan dilandaskan pada
asas-asas dan prosedur yang tertuang dalam resolusi ini sendiri dan resolusi
40/33 (Beijing Rules). Perampasan kemerdekaan atas diri anak hanya
mungkin sebagai upaya terakhir, itupun hanya dalam jangka waktu minimal dan
untuk kasus-kasus tertentu saja. Pihak-pihak yang berwenang wajib secara
teratur dan konsisten berupaya meningkatkan kesadaran publik bahwa perhatian terhadap
anak dan mempersiapkan anak kembali ke masyarakat, adalah merupakan satu bentuk
pelayanan sosial dan sangat penting, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah
untuk membuka hubungan antara anak dengan masyarakat. (Bagian 1).
Anak
menurut resolusi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. Batas
usia minimal untuk seseorang dapat dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan
ditentukan oleh undang-undang. Perampasan kemerdekaan sendiri berarti, setiap
bentuk penahanan atau penempatan anak dalam lembaga koreksi, dimana anak tidak
boleh meninggalkan tempat itu atas kehendak sendiri, atas dasar perintah
lembaga pengadilan administrasi atau lembaga publik lainnya. Perampasan
kemerdekaan atas diri anak, tetap memperhatikan penghormatan hak-hak anak, pemberikan
kegiatan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan dan self-respect
anak, serta mendukung usaha-usaha pengintegrasian anak kembali ke masyarakat.
(Bagian II).
Anak
yang ditahan karena menunggu persidangan hendaknya tetap dianggap tak bersalah
dan diperlakukan sebagai demikian itu. Penahanan jenis ini hendaknya
dihindarkan dan dibatasi untuk kasus dan situasi tertentu saja. Bilamana
penahanan jenis ini tetap dikenakan pada diri anak, maka pengadilan harus
memberikan prioritas utama dalam pemprosesan kasusnya, sehingga jangka waktu
penahanan tidak berlarut-larut. Anak dalam status ini harus dipisahkan dengan
yang berstatus pelaku kejahtan dan didampingi penasehat hukum secara gratis,
yang dapat berkomunikasi secara teratur dan dijamin privasinya (Bagian III).
Rekaman
(records) yang berisi semua laporan termasuk catatan tentang norma hukum
yang dituduhkan, kesehatan anak, cara kerja, pendisiplinan dan dokumen-dokumen
tentang bentuk isi dan rincian perlakuan terhadap anak harus dibuat dan ditempatkan
dalam arsip perorangan yang bersifat rahasia. Anak bila ternyata mendapat
kesalahan catatan tentang dirinya, diijinkan untuk mengadakan pembetulan. Bila
saatnya anak dilepaskan, maka semua catatan itu harus disegel dan setelah
jangka waktu tertentu dihapus, dihilangkan (Bagian IV.1).
Disemua
tempat dimana anak dirampas kemerdekaannya, catatan lengkap yang tersimpan baik
harus disediakan baginya catatan itu meliputi identitas anak, alasan perintah
penempatan anak dalam penjara, serta pihak-pihak yang memerintahkan hari dan
jam masuknya, pemindahan dan penglepasan, rincian pemberitahuan pada orang tua
dan wali yang berisi permasalahan fisik dan kesehatan jiwa anak, khusus bagi
anak pecandu narkotika. Pada saat masuk dirumah penjara, ia harus segera diberi
copy aturan-aturan yang berlaku ditempat itu. Diskresi tertulis tentang
hak-hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh
anak, beserta alamat-alamat pihak yang berwenang menerima keluhan, agen
pemerintah, dan swasta yang dapat memberikan bantuan hukum. (Bagian IV.2).
Anak
yang masuk dalam penjara sesegera mungkin harus diwawancarai, dibuat laporan
kejiwaan dan sosialnya, diidentifikasikan faktor-faktor lain yang kesemuanya
itu nantinya akan berguna untuk penentuan tipe dan tingkat perlakuan serta
penyusunan program-program yang sesuai dengan kondisi anak. Perampasan
kemerdekaan anak, harus dilandaskan pada pertimbangan yang cermat setelah
memperlihatkan status umur, personalitas, jenis kelamin, tipe pelanggaran dan
kondisi fisik kejiwaan anak. Penempatan anak dalam tahanan harus dipisahkan
dengan orang dewasa, kecuali ada hubungan keluarganya. (Bagian IV.3).
Dengan
demikian, dari beberapa ketentuan instrumen-instrumen Internasional yang telah
diuraikan di atas, menunjukkan betapa pentingnya perlindungan anak dalam upaya
mencapai kesejahteraan anak. Khususnya perlindungan anak dalam hukum pidana,
berbagai instrumen Internasional mempedomani dan mengatur mulai dari proses
penangkapan, penahanan, penuntutan, persidangan sampai anak ditempatkan dalam
lembaga, yang menghormati hak-hak asasi anak.
***
DAFTAR PUSTAKA
Muladi dan Barda Nawawi
Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1992.
Romli Atmasasmita, Peradilan
Anak di Indonesia, Bandung : Mandar
Maju, 1997.
Convention on The Rights of The Child atau disebut
juga Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Resolusi MU PBB 44/25).
Deklaration of The Rights of The Child atau disebut
juga Deklarasi Hak-Hak Anak 1959.
United Nations Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules).
United Nations Guidelines For The Prevention of
Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidlines).
United Nations Rules for the Protection of
Juvenile Diprived of Their Liberty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar