PANDANGAN MONISTIS DAN DUALISTIS
TINDAK PIDANA
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku Indonesia saat ini merupakan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie
yang berasal dari Wetboek van Strafrecht
Nederland (KUHP Belanda) yang diberlakukan di Indonesia melalui asas
konkordansi, sehingga peristilahan dan bahasanya berasal dari Bahasa Belanda
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[1]
Istilah tindak pidana berasal
dari hukum pidana Belanda yaitu strafbaar
feit yang terdapat dalam Wetboek van
Strafrecht (WvS) Belanda, demikian juga dalam Wetboek van Strafrecht Hindia Belanda (KUHP), namun tidak ada
penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Jika ditinjau dari segi kata penyusunnya, strafbaar feit terdiri dari tiga kata,
yakni straf, baar, dan feit. Secara literlijik kata straf artinya
pidana, kata baar ada dua istilah
yang digunakan yakni boleh dan dapat, dan kata feit digunakan empat istilah yakni tindak, peristiwa, pelanggaran,
perbuatan. Atas dasar tersebut, ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan
isi dari istilah strafbaar feit itu. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik
dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum dan
menurut pendapat ahli hukum sebagai terjemahan dari strafbaar feit yaitu tindak pidana, peristiwa pidana,
delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat
dihukum, perbuatan pidana.[2]
Istilah
tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar
feit diperkenalkan oleh pihak pemerintah c.q Depatemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam
undang-undang tindak pidana khusus, misalnya Undang-Undang tindak pidana
korupsi, Undang-Undang tindak pidana Narkotika dan sebagainya. Istilah tindak
pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku jasmani seseorang. Hal
tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak
berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana,
baik aktif dalam arti melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum, dan juga
perbuatan yang bersifat pasif yaitu
tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. [3]
Sejalan dengan itu, terhadap istilah strafbaar feit, Soedarto menggunakan istilah tindak
pidana yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan
hukum, dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab dengan kesalahan, baik
dalam bentuk kesengajaan (dolus)
maupun kealpaan (schuld), dan tidak
ada alasan pemaaf. [4]
Selanjutnya,
berkaitan dengan strafbaar feit, juga dikenal istilah delik yang biasa juga
biasa disamakan dengan istilah tindak pidana. Istilah delik berasal dari bahasa
latin yakni kata delictum. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum, bahwa delik adalah perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak
pidana. [5]
E.
Utrecht lebih menganjurkan untuk menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai
terjemahan strafbaar feit, karena peristiwa pidana itu meliputi suatu
perbuatan (handelen), atau suatu
melalaikan (verzium atau nalaten), maupun akibatnya yakni keadaan
yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu.[6] Hal senada juga dikemukakan oleh Wirjono
Prodjodikoro dengan menggunakan istilah peristiwa pidana yang pernah digunakan
dalam Pasal 14 Ayat 1 UUD Sementara 1950. Secara substantif, istilah peristiwa
pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh
perbuatan manusia, maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, suatu kejadian
bisa saja merupakan peristiwa alam yang bukan dari perbuatan manusia. [7]
Terhadap
istilah peristiwa pidana pidana, Moeljatno menolaknya dengan alasan, bahwa
peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk kepada suatu
kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang, hukum pidana tidak
melarang matinya orang, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan
orang lain. Jika matinya karena keadaan alam, maka peristiwa itu tidak penting,
namun jika matinya ada hubungannya dengan kelakuan orang, barulah peristiwa itu
menjadi penting bagi hukum pidana. [8]
Penolakan
yang sama juga diberikan oleh Moeljatno terhadap istilah tindak pidana sebagai
definisi dari strafbaar feit.
Meskipun kata tindak lebih pendek daripada perbuatan, tapi kata tindak tidak
menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan
keadaan konkret, sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak
adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal
mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak yang tidak
begitu dikenal, sehingga dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah
tindak pidana, baik dalam pasal-pasalnya, maupun dalam penjelasannya hampir
selalu dipakai kata perbuatan. [9]
Sebagai
terjemahan dari strafbaar feit,
Moeljatno lebih memilih menggunakan istilah perbuatan pidana, dengan mengemukakan penjelasan sebagai
berikut : [10]
Perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut, atau perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam, bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana
ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan yang erat pula yang tidak dapat dipisahkan dari yang
lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan
orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan
olehnya. Dengan menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan
perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan
konkret; pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua, adanya orang yang
berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Lebih
lanjut, Moeljatno menyatakan bahwa istilah perbuatan pidana dapat disamakan
dengan istilah Inggris yaitu criminal
act, pertama, karena criminal act juga
berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain akibat dari suatu kelakuan
yang dilarang oleh hukum. Kedua karena criminal
act juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (untuk dapat
dipidananya seseorang), selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana), orang itu juga harus mempunyai
kesalahan (guilt).[11]
Berkaitan dengan definisi dari
istilah strafbaar feit itu sendiri, terdapat dua pandangan yang
berkembang dalam kalangan ahli hukum pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis adalah pandangan yang
menyatukan atau tidak memisahkan antara perbuatan pidana beserta akibatnya di
satu pihak, dan pertanggung jawaban pidana di pihak lainnya. Sedangkan
pandangan dualistis yaitu pandangan
yang memisahkan antara perbuatan serta akibatnya di satu pihak, dan
pertanggungjawaban pidana di lain pihak. [12]
Dengan
kata lain bahwa, pandangan monistis
adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu
kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, di mana pandangan ini memberikan
prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian tindak pidana sudah
tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act), dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility). Sedangkan,
pandangan dualistis melihat
keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana
pandangan dualistis memisahkan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya
dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi
unsur tindak pidana. [13]
Ahli
hukum yang menganut pandangan monistis
berdasarkan dari rumusan tindak pidana yang diberikan, sebagai berikut: [14]
1. J.E.
Jonkers, merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Wirjono
Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
3. H.J.
Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang
yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum, sehingga kelakuan itu diancam
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat
dipersalahkan.
4. Simons,
merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan
sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
Adapun
alasan Simons merumuskan strafbaar feit seperti yang diuraikan di atas, sebagai berikut : [15]
1. Untuk
adanya suatu strafbaar feit itu
disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun
yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum;
2. Agar
sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua
unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan
3. Setiap
strafbaar feit sebagai
pelanggaran terhadap larangan, atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada
hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onfechtmatige handeling.
Selanjutnya,
adalah pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan pertanggung jawaban
pidana yang disebut dengan dualistis,
dianut oleh banyak ahli hukum, antara
lain sebagai berikut : [16]
1. Vos,
merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana
oleh peraturan perundang-undangan.
2. R.
Tresna, yang menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.
3. Pompe,
dengan merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang
menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.
Lebih
lanjut, Pompe memberikan definisi perbuatan pidana menurut hukum positif,
sebagai berikut : [17]
Perbuatan pidana didefinisikan sebagai
pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum
untuk menegakan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan
pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan yaitu melawan
hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana.
Pandangan
dualistis juga dianut oleh
Hazewinkel-Suringa, dengan mengemukakan pengertian dari strafbaar
feit adalah setiap
kelakuan perbuatan yang diancam pidana atau dapat berupa melakukan atau tidak
melakukan sesuatu atau terdiri dari kejahatan-kejahatan dan
pelanggaran-pelanggaran.[18]
Lebih lanjut, Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa perbuatan pidana yaitu suatu
kelakuan manusia yang meliputi perbuatan dan pengabaian yang memenuhi rumusan
yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana, kemudian dengan
mengabstrakan memenuhi syarat umum melawan hukum, bersalah dan juga dapat
dipertanggungjawabkan. [19]
Di
Indonesia, pandangan dualistis dianut
oleh ahli hukum antara lain Moeljatno yang kemudian diikuti oleh Roeslan Saleh
dan A.Z Abidin. Berdasarkan dari pengertian perbuatan pidana yang dikemukakan
oleh Moeljatno, sama sekali tidak menyinggung mengenai kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban
pidana karena tidak sepatutnya menjadi bagian definisi perbuatan pidana, apakah
inkonkreto yang melakukan perbuatan
pidana dapat dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan
pidana. [20]
Pandangan
dualistis yang dikemukakan oleh
Moeljatno pada pokoknya adalah memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan perbuatan, sedangkan masalah
orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan adalah persoalan lain.
Tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali
tidak patut dicelakan kepadanya. Dengan kata lain, bahwa walaupun telah
melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan
karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. [21]
Sejalan
dengan pemikiran Moeljatno di atas, Roeslan Saleh mengemukakan bahwa tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana mempunyai perbedaan, di mana tindak pidana
hanya berorientasi kepada perbuatan yang dilarang berdasarkan norma hukum,
sedangkan pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada sikap-sikap subyektif yang
didasarkan kepada kewajiban hukum seseorang untuk mematuhi hukum. [22]
Lebih lanjut, Roeslan Saleh menyatakan bahwa melakukan suatu tindak pidana,
tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat
untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana
tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan
dengan kesalahan. [23]
Penganut
pandangan dualistis selanjutnya
adalah A.Z. Abidin, namun berbeda dengan Moeljatno yang menggunakan istilah
perbuatan pidana, A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah perbuatan kriminal
karena perbuatan pidana merupakan dua kata benda bersambungan yaitu perbuatan
dan pidana yang tidak ada hubungan logis antara keduanya. Dalam pandangannya, A.Z Abidin memisahkan
antara actus reus (perbuatan pidana),
dan mens rea (pertanggungjawaban
pidana), sehingga syarat pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu perbuatan kriminal
sebagai syarat pemidanaan obyektif (actus
reus), dan pertanggungjawaban kriminal sebagai syarat pemidanaan subyektif
(mens rea). [24]
Sejalan
dengan pandangan Moeljatno, Roeslan Saleh, dan A.Z Abidin di atas, Chairul Huda
mengemukakan pendapatnya bahwa pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan
atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan
demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang
meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak
pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban
pidana.[25]
Pemisahan
antara actus reus (perbuatan pidana)
sebagai syarat pemidanaan obyektif dan mens
rea (pertanggungjawaban pidana) sebagai
syarat pemidanaan subyektif penting diketahui oleh penuntut umum dalam menyusun
surat dakwaan, karena surat dakwaan cukup berisi bagian inti (bestandel) delik dan perbuatan nyata
terdakwa yaitu actus reus, tidak
perlu dimuat dalam surat dakwaan bahwa terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. [26]
Dengan
demikian, bahwa pandangan yang memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana sesungguhnya untuk mempermudah penuntutan terhadap
seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal pembuktian, di
mana dalam persidangan, pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru
kemudian apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat tidaknya dimintakan
pertanggungjawaban terhadap terdakwa yang sedang diadili. [27]
***
DAFTAR PUSTAKA
Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta
: PT. Raja Grafindo, 2010.
Andi
Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia & Perkembangannya, Jakarta : PT. Sofmedia, 2012.
Chairul
Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,, Jakarta
: Kencana, 2011.
Eddy
O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum
Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014.
E.
Utrecht, Rangkaian Sari Kuiah Hukum
Pidana I, Bandung : Pustaka Tinta Mas, 1986.
Muhammad
Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta
Melakukan Dalam Ajaran Penyertaan ; Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Kencana, 2014.
Moeljatno,
Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta :
Rineka Cipta, 2008.
P.A.F
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Soedarto,
Hukum Pidana I, Semarang : Fakultas
Hukum Undip, 1990.
Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2011. Tongat, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press,
2009.
Pak Rahmat Amin, terkait tulisan Bapak di atas, kira-kira Bapak sendiri menganut paham yang mana dan apa alasan dan landasan teorinya? karena dari tulisan Bapak itu, sama sekali tidak terlihat sikap atau pendirian Bapak terkait itu!
BalasHapusSalam,
Eduardus W. Gunun
Program Magister Hukum Litigasi UGM, tinggal di Labuan Bajo, Flores-NTT.
Melalui tulisan ini saya mencoba utk mengemukakan secara umum dua pandangan ahli/sarjana hkm berkaitan dgn tindak pidana. Secara pribadi saya memilih ke aliran yg kedua yakni pandangan dualistis. Salam balik.
Hapuspandangan yg mana yg dianut di Indonesia?
HapusBisa di pertanggung jawabkan kebenarannya ini?...
BalasHapusPak Dr. Rahman Amin. Yth dan terpelajar. Kadang kala orang lupa membedakan Aliran Hukum Pidana dengan Aliran Pemidanaan/Pidana. Maksud saya Aliran pidana (klasik, neoklasik, modern) dengan Aliran hukum pidana (monistis dan dualistis). Boleh sy minta bantuan mendapatkan saran referensi bpk buku2 yg menbahas dua aliran hukum pidana tsb? Sy sedang membutuhkan untuk menulis penyelesaian study. Jika bpk berkenan sy juga minta bantuan petunjuk dan arahannya untuk mendapatkan referensi tentang dua ajaran penyertaan yg memperluas pemidanaan. Sy miskin referensi kedua topik besar ini untuk meneruskan tulisan saya. Salam hormat dan semoga bantuan bpk berbuah kebajikan. Aamiiin.
BalasHapus