PENGATURAN NARKOTIKA MENURUT KONVENSI
INTERNASIONAL
Salah satu fenomena sosial yang
menonjol dan menarik perhatian Dunia Internasional dewasa ini adalah masalah
penyalahgunaan Narkotika. Fenomena sosial tersebut menarik perhatian dunia
Internasional tersebut karena dirasakan dengan alasan sebagai berikut : [1]
Adiksi atau ketagihan obat-obatan Narkotika
menimbulkan malapetaka bagi perorangan dan merupakan ancaman bagi kehidupan
sosial, ekonomi, kebudayaan dan aspek keamanan hidup umat manusia di muka bumi.
Mata tiap negara berkewajiban untuk mencegah dan memerangi ancamaman
penyalahgunaan Narkotika. Disadari bersama bahwa langkah-langkah penanggulangan
yang efektif dalam menanggulangi pernyalahgunaan Narkotika yang mempunyai
lintas pengedaran gelap antarbenua, memerlukan adanya koordinasi penanggulangan
yang bersifat internasional.
Adanya
kesadaran umum tiap negara dalam menghadapi bahaya penyalahgunaan Narkotika
telah mendorong lahirnya konvensi internasional yang diterima secara umum oleh
bangsa-bangsa di dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam upaya
penaggulangan bahaya Narkotika yang sebelumnya telah berkali-kali mengadakan
pertemuan-pertemuan dalam membahas masalah penyalahgunaan Narkotika. [2]
Diawali dengan upaya Liga Bangsa-Bangsa pada Tahun 1909 di Shanghai Cina dengan
diselenggarakannya konfrensi mengenai peredaran gelap obat bius, selanjutnya
pada persidangan Opium comission (Komisi
Opium) dengan menghasilkan traktat pertama mengenai pengawasan obat bius yaitu International Opium Convention (Konvensi
Internasional tentang opium) di Den Haag Belanda pada tahun 1912. Di bawah
naungan PBB dihasilkan Single Convention
on Narcotic Drugs, 1961 yang kemudian diubah dengan Procotocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961
(Protokol 1971 tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961), berikutnya Convention on Psychotropic Substance, 1971
(Konvensi Psikotropika 1971), dan terakhir adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran
gelap Narkotika dan psikotropika, 1988).[3]
Dari sejumlah konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang Narkotika,
konvensi-konvensi Internasional yang terpenting dalam sejarah pengaturan Narkotika
adalah sebagai berikut :
a). Konvensi
Tunggal Narkotika (Single Convention on
Narcotic Drugs, 1961) beserta protokol perubahannya, 1972.
Konvensi Tunggal Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961)
merupakan hasil dari United Nations Confrence
for the Adoption of a Single Convention on Narcotic Drugs yang
diselenggarakan di New York dari tanggal 24 Januari sampai dengan 25 Maret
1961, dan dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Konvensi ini
bertujuan untuk : [4]
a. Menciptakan suatu konvensi Internasional
yang pada umumnya dapat diterima oleh negara-negara di dunia ini, dan dapat
mengganti peraturan-peraturan pengawasan internasional atas Narkotika yang
bercerai-berai di dalam 8 (delapan) buah perjanjian internasional;
b. Menyempurnakan cara-cara pengawasan Narkotika
dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan
ilmu pengetahuan;
c. Menjamin adanya kerjasama internasional
dalam pengawasan agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai.
Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 terdiri dari 51 Pasal yang berisi pelbagai ketentuan
mengenai Narkotika yaitu tentang jenis-jenisnya, cara pengawasan termasuk lalu
lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil dan lai sebagainya, sehingga dapat
menjadi pedoman bagi tiap negara dalam ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. [5]
Setelah
Konvensi Tunggal Narkotika berjalan selama 11 (sebelas) tahun, maka dirasa
perlu untuk mengadakan perubahan terhadap konvensi tersebut. Pada tanggal 6
Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Jenewa telah diselenggarakan suatu
konferensi (United Nations Conference to
consider Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) yang
menghasilkan Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Protocol Amending the Single Convention on
Narcotic Drugs, 1961), dan yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal
25 Maret 1972. Protokol ini memberikan penguatan pada ketentuan yang berkaitan
dengan upaya pengobatan dan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika.
Selain itu, protokol ini juga memperkuat kedudukan dan peranan International Narcotics Control Board (INCB) dalam melakukan pemantauan dan
penegakan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 guna
menekan peredaran gelap Narkotika. [6]
b). Konvensi
PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Againts Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance, 1988)
Pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi
lahirnya konvensi ini antara lain bahwa masyarakat bangsa-bangsa dan
negara-negara di dunia perlu memberi perhatian dan prioritas utama atas masalah
pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika yang merupakan masalah
semua negara yang perlu ditangani secara bersama. Ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika beserta protokol perubahannya
perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan
memberantas peredaran gelap Narkotika, juga perlu memperkuat dan meningkatkan sarana
hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang
kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan
peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. [7] Adapun pokok-pokok isi konvensi ini
adalah sebagai berikut : [8]
a. Ruang Lingkup Konvensi.
Konvensi bertujuan
untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai
aspek peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Untuk tujuan tersebut, para
pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi
masing-masing sesuai Konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan
kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan yang
pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing.
b. Kejahatan dan Sanksi.
Tanpa mengabaikan
prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara Pihak dari Konvensi akan
mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap
peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Pengertian peredaran mencakup
berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai dari penanaman, produksi,
penyaluran, lalulintas, pengedaran, sampai ke pemakaiannya, termasuk untuk
pemakaian pribadi. Terhadap kejahatan tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau bentuk perampasan
kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil
dari kejahatan. Di samping itu pelakunya dapat dikenakan pembinaan, purna
rawat, rehabilitasi, atau re-integrasi sosial. Para pihak menjamin bahwa
lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mem-punyai yurisdiksi
dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), merupakan kejahatan serius, seperti : a.
keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang
pelakunya sebagai anggota; b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain
yang terorganisai secara internasional; c. keterlibatan dalam perbuatan melawan
hukum lain yang dipermudah oleh dilakukan-nya kejahatan tersebut; d. penggunaan
kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e. kejahatan dilakukan oleh pegawai
negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya; f. menjadikan
anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan;
g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga
pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau
pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga, dan kegiatan
sosial; h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan
serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan
tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam
Konvensi ini adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional
negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan
dipidana.
c. Yurisdiksi.
Negara Pihak
harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan
oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau
di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga
negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut.
Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila diperlukan untuk
menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak di
ekstradisikan ke Pihak lain.
d. Perampasan.
Para Pihak dapat
merampas Narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang
merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari Negara Pihak
berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan.
Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat
menolaknya dengan alasan kerahasian bank.Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya,
seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil
kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan
hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun
demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum
nasional Negara Pihak.
e. Ekstradisi.
Kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini termasuk kejahatan
yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara
Para Pihak. Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka
Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang
termasuk dalam lingkup berlakunya Pasal ini.
f. Bantuan Hukum Timbal Balik.
Para Pihak akan
saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penun-tutan, dan
proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk
keperluan : a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; b. memberikan
pelayanan dokumen hukum; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. memeriksa
benda dan lokasi; e. memberikan informasi dan alat bukti; f. memberikan dokumen
asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catat-annya, termasuk
catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g.
mengindentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau
benda lain untuk keperluan pembuktian.
g. Pengalihan Proses Acara.
Dibukanya
kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu
ke Negara lainnya, jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk
kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik.
h. Kerjasama Peningkatan Penegakan Hukum.
Para Pihak harus
saling bekerjasama secara erat, sesuai dengan sistem hukum dan sistem
administrasi masing-masing, dalam rangka meningkatkan secara efektif tindakan
penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) Konvensi ini, antara lain : a. membentuk dan memelihara jalur
komunikasi antar lembaga dan dinas masing-masing yang berwenang, untuk
memudahkan pertukaran informasi; b. saling kerjasama dalam melakukan
pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) Konvensi ini; c. membentuk tim gabungan; d. menyediakan bahan-bahan
yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; e. mengadakan program latihan
khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang
bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini;
dan f. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang
dirancang untuk meningkatkan keahlian.
i. Kerja Sama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara
Transit.
Para Pihak harus
bekerja sama langsung atau melalui organisasi internasional atau regional yang
berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit, khususnya negara-negara
berkembang, yang membutuhkan bantuan melalui program kerjasama teknik guna
mence-gah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.
j. Penyerahan yang Diawasi.
Untuk keperluan
identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana di-maksud
dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, Para Pihak dapat mengambil berbagai
tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang
diawasi (controlled delivery) pada
tingkat internasional berdasarkan Persetujan atau Pengaturan yang disepakati
bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Keputusan menggunakan penyerahan
yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang
penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetuajuan Para Pihak yang
bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan Narkotika
atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau
sebagian.
k. Bahan-bahan yang Sering Digunakan dalam Pembuatan Secara Gelap Narkotika
dan Psikotropika.
Setiap tahun, Para Pihak harus melaporkan kepada Badan
mengenai Penggunaan Bahan-bahan yang terdapat di dalam Tabel I dan II, yaitu
bahan-bahan yag dipergunakan untuk memproduksi Narkotika dan psikotropika.
Laporan tersebut disampaikan kepada Para Pihak dan Komisi melalui Sekretaris
Jenderal untuk mendapatkan tanggapan. Berdasarkan tanggapan tersebut, melalui
kerjasama, Para Pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam mencegah
penyalahgunaan bahan-bahan yang termasuk Tabel I dan II tersebut.
l. Pembasmian Tanaman Gelap Narkotika dan Peniadaan Permintaan
Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus
mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan
memberantas tanaman yag mengandung Narkotika dan psikotropika yang ditanam di
dalam wilayahnya masing-masing, serta mendorong kerjasama untuk meningkatkan
efektifitas pembasmian meliputi dukungan pembinaan desa terpadu yang mengarah
pada pembinaan alternatif ekonomis yang lebih baik daripada melakukan penanaman
secara gelap tanaman tersebut. Para pihak juga harus mempermudah pertukaran
ilmiah, teknik, dan pelaksanaan penelitian.
m. Pengangkutan Komersial.
Sehubungan dengan
pengangkutan komersial, Konvensi ini mengharuskan Para Pihak untuk mengambil
tindakan yang diperlukan guna menjamin agar angkutan komersial tidak digunakan
untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan
mengambil tindakan pencegahan dan pengamanan serta mengadakan kerjasama di
antara pejabat yang berwenang dan
n. Dokumen Perdagangan dan Pemasangan Label Ekspor.
Dokumen
perdagangan seperti faktur, surat muatan kargo, dokumen pabean, surat
pengangkutan, dan pengapalan lainnya serta pemasangan label ekspor Narkotika
dan psikotropika yang sah akan didokumentasikan secara baik. Di dalam label
ekspor tersebut harus dicantumkan nama Narkotika dan psikotropika, jumlah yang
diekspor serta nama dan alamat eksportir dan importir.
o. Lalu Lintas Gelap Melalui Laut.
Di dalam Konvensi
ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus bekerja sama untuk memberantas lalu
lintas gelap melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional atas
perjanjian yang berlaku antara Para Pihak, Negara Bendera dapat memberi izin
kepada Negara Peminta untuk, inter alia, memasuki dan memeriksa kapal serta
mengambil tindakan yang diperlukan menyangkut kapal, orang dan muatan dalam
kapal, jika terbukti terlibat dalam peredaran gelap. Tindakan tersebut hanya
dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat terbang militer atau kapal laut atau
pesawat terbang lain yang diberi tanda dengan jelas sebagai kapal laut atau
pesawat terbang pemerintah.
p. Kerja Sama Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika.
Para Pihak harus
bekerja sama untuk memberantas peredaran gelap Narkotika melalui laut, di
pelabuhan bebas, di zona perdagangan bebas, atau dengan menggunakan sarana
pengangkutan konvensional atau jasa pos. Para pihak harus berusaha untuk
menetapkan dan menyelenggarakan sistem pengawasan di wilayah pelabuhan dan
dermaga, pelabuhan udara, dan pos pengawasan perbatasan di zona perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas.
q. Tindakan yang Lebih Ketat untuk Mencegah atau Memberantas
Peredaran Gelap Narkotika.
Negara-negara
Pihak dapat mengambil tindakan yang lebih ketat daripada yang diatur dalam
Konvensi ini, jika tindakan itu memang diperlukan untuk mencegah atau
memberantas peredaran gelap Narkotika.
r. Perselisihan.
Perselisihan yang
timbul di antara Para Pihak dalam menafsirkan atau menerapkan Konvensi ini,
akan diselesaikan melalui negosiasi, pemeriksaan, mediasi, konsiliasi,
arbitrasi, atau cara penyelesaian perselisihan dengan jalan damai yang mereka
pilih. Jika perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara
sebagaimana disebutkan di atas, dengan permintaan dari salah satu Pihak yang
berselisih, permasalahannya dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Jika
pihak di dalam perselisihan adalah suatu organisasi integrasi ekonomi regional,
melalui Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dimintakan Pendapat (Advisory Opinion) Mahkamah Internasional
sebagai putusan yang mengikat.
DAFTAR PUSTAKA
Brice De Ruyver et all (Ed), International
Drug Policy, Status Quaestionis-Compendium of Article, Maklu
Publishers, Apeldoorn, 2003.
Siswanto,
Politik Hukum Dalam Undang-Undang
Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012.
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung :
Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika (Convention Against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 (Single Convention on
Narcotic Drugs).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar