POLITIK HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA
Narkotika
adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau
khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis
untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti bidang
pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit. Zat-zat Narkotika tersebut memiliki
daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidup kepada
Narkotika tersebut. [1]
Untuk mengatasi penyalahgunaan Narkotika yang semakin marak terjadi di
Indonesia, Pemerintah mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang
Narkotika. Adapun pengaturan Narkotika menurut undang-undang yang berlaku di
Indonesia secara historis dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika.
Kebiasaan penyalahgunaan obat bius
dan candu pada masa penjajahan Hindia Belanda sudah mulai terasa membahayakan
masyarakat, pemakainya terutama dari golongan menengah khususnya keturunan
Cina. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl.
1927 No. 278 Jo No. 536 yang mengatur
tentang obat bius dan candu. [2]
Verdoovende Middelen Ordonantie bertujuan
untuk menyatukan undang-undang obat bius di dalam suatu undang-undang,
ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lain yang tersebar dalam
44 (empat puluh empat) undang-undang terpisah atau di luar ketentuan yang
mengatur perbuatan mengisap candu sehingga tercipta unifikasi hukum dalam
pengaturan Narkotika di wilayah Hindia Belanda. [3]
Dengan
dikeluarkannya Verdoovende Middelen
Ordonantie atau undang-undang obat bius ini oleh Pemerintah Hindia Belanda,
maka penggunaan obat bius dan candu hanya dapat diperbolehkan pada
tempat-tempat yang sudah diberikan izin untuk itu. Hal ini dimaksudkan agar
dapat mengontrol penggunaan dan peredaran Narkotika yang semakin marak dan
tidak terkontrol mengingat sifatnya yang dapat merusak mental maupun fisik
penggunanya.[4] Setelah Indonesia merdeka, Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl.
1927 No. 278 Jo No. 536 masih
berlaku, namun sekitar tahun 1970-an, ancaman dari penyalahgunaan Narkotika
yang sudah tidak dapat tertanggulangi lagi apabila bersandar pada Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl.
1927 No. 278 Jo No. 536 yang telah
tertinggal oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, sehingga terjadi
kesenjangan antara Verdoovende Middelen
Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo
No. 536 dan realitas sosial pada waktu itu, antara lain mengenai jenis-jenis
zat Narkotika yang pada saat itu tidak sebanyak yang ditemukan mulai tahun
1970-an, serta belum adanya pengaturan mengenai korban penyalagunaan Narkotika
yang mempunyai kecenderungan kecanduan dan ketagihan Narkotika yang membutuhkan
terapi, serta perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan
secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi ketentuan pidana, Verdoovende Middelen Ordonantie lebih
berkisar pada pengaturan administrasi penyimpanan, pengedaran dan penjualan
Narkotika, sehingga tidak cocok lagi dengan pola dan modus operadi
penyalahgunaan Narkotika yang terjadi pada tahun 1970-an. [5]
Demikian halnya, dalam Seminar Kriminologi ke II 1972 yang
dilaksanakan di Undip Semarang, menyimpulkan butir-butir permasalahan Verdoovende Middelen Ordonantie yang
mempengaruhi penanggulangan Narkotika di Indonesia, sebagai berikut : [6]
Bahwa tidak ada atau belum
adanya keseragaman mengenai istilah Narkotika secara yuridis, secara umum
terasa bahwa sanksi pidana yang ditujukan kepada pengedar gelap, penyimpan dan
pembuat yang tidak berhak terlalu ringan. Kesenjangan antara ketentuan materiil
undang-undang Narkotika dengan hukum acara pidana. Di samping itu, ditemukan
kelemahan dari segi materi undang-undang (V.M.O) dalam penentuan pertanggungjawaban pidana
terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar, dan penyimpanan yang
terkategorikan sebagai penyalahguna Narkotika. Kemudian belum dimilikinya badan
yang berperingkat nasional yang permanen dan mempunyai kewenangan koordinatif
nyata dalam penanganan masalah Narkotika. Selanjutnya disinggung pula mengenai
terteranya dalam V.M.O mengenai wajib
lapor dan pengaturan premi bagi mereka yang berjasa dalam pemberantasan
penyalagunaan Narkotika.
Atas
dasar kelemahan-kelemahan dari Verdoovende
Middelen Ordonantie yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka Pemerintah dipandang perlu dalam
waktu relatif singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan
undang-undang yang mengatur tentang Narkotika, dan diharapkan bahwa
undang-undang tersebut efektif dalam pengimplementasiannya serta tepat sasaran
dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan Narkotika. [7]
Oleh
karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juli 1976 untuk menggantikan Verdoovende Middelen Ordonantie. Hal-hal
yang diatur dalam undang-undang ini adalah :[8]
1). Mengatur jenis-jenis Narkotika yang lebih rinci;
2). Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis Narkotika teresebut;
3). Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan
rehabilitasnya;
4). Mengatur semua kegiatan yang menyangkut Narkotika yakni
penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta
penggunaan Narkotika;
5). Acara pidananya bersifat khusus;
6). Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran
kejahatan Narkotika;
7). Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan Narkotika;
8). Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP;
9). Ancaman pidananya lebih berat.
Adapun
perbuatan-perbuatan terlarang yang dinyatakan sebagai tindak pidana Narkotika
dalam undang-undang ini sebagai berikut : [9]
1). Dilarang secara tanpa hak menanam atau
memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai
tanaman papaver, tanaman kokka, atau tanaman ganja;
2). Dilarang secara tanpa hak memproduksi,
mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, meracik atau menyediakan Narkotika;
3). Dilarang secara tanpa hak memiliki,
menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai Narkotika;
4). Dilarang secara tanpa hak membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika;
5). Dilarang secara tanpa hak mengimpor,
mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi perantara dalam jual
beli atau menukar Narkotika;
6). Dilarang secara tanpa hak menggunakan
Narkotika terhadap orang lain untuk memberikan Narkotika untuk digunakan orang
lain;
7). Dilarang secara tanpa hak menggunakan
Narkotika bagi dirinya sendiri.
2. Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika.
Seiring dengan perkembangan waktu,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dirasa tidak mampu lagi
mengakomodir perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga
menyebabkan peningkatan kualitas dari kejahatan Narkotika tersebut yang sudah
menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Di samping itu, Pemerintah
Indonesia terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi PBB tentang pemberantasan
peredaran gelap Narkotika dan psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988. [10]
Oleh
karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika. Pasal 3 undang-undang ini
menyatakan bahwa pengaturan Narkotika bertujuan untuk :
1). Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
2). Mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika; dan
3). Memberantas peredaran gelap Narkotika.
Adapun
materi baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, adalah pengaturan mengenai penggolongan Narkotika, pengadaan
Narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan Narkotika
sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka
waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyerahan yang diawasi dan
pembelian terselubung, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
Narkotika. Dalam rangka memberi efek jera psikologis kepada masyarakat agar
tidak melakukan tindak pidana Narkotika, ditetapkan ancaman pidana yang lebih
berat, minimum dan maksimum. Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan
pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika, diadakan sebuah badan koordinasi tingkat
nasional di bidang Narkotika.
Selanjutnya,
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, memberikan
pengelompokkan terhadap kejahatan Narkotika, sebagai berikut : [11]
1). Menyangkut produksi Narkotika. Di dalamnya
diatur bukan hanya mengenai produksi Narkotika, melainkan juga termasuk
perbuatan dalam lingkup mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit dan
menyediakan Narkotika;
2). Menyangkut pengangkutan dan transito
Narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa,
mengirim dan mentransito Narkotika. Ada pula tindak pidana yang khusus
ditujukan kepada nakhoda dan kapten penerbang karena tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik;
3). Menyangkut jual beli Narkotika. Tidak hanya
kategori jual beli dalam arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam
perbuatan ekspor, impor, tukar-menukar Narkotika, menyalurkan dan menyerahkan
Narkotika;
4). Menyangkut penguasaan Narkotika;
5). Menyangkut penyalahgunaan Narkotika;
6). Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan
yang tidak melaporkan pecandu Narkotika;
7). Menyangkut label dan publikasi Narkotika;
8). Menyangkut proses hukum terhadap tindak
pidana Narkotika.
3). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika telah mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak
pidana Narkotika, juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk
kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis
dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam
masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara
kuantitatif maupun kualitatif karena tindak pidana Narkotika tidak lagi
dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara
bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan
yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional
maupun internasional.
Oleh karena itu, Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 untuk mengikuti perkembangan tindak pidana
Narkotika yang terjadi. Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu :
1). Menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
2). Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan
bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
3). Memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
4). Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi
medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.
Adapun
hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yaitu pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, pengaturan mengenai
sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika, maupun penyalahgunaan
dan peredaran Narkotika dengan adanya pidana minimum khusus dan pemberatan
pidana berupa pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup
dan pidana mati yang dijatuhkan berdasarkan pada golongan, jenis dan jumlah
Narkotika, pengaturan mengenai penguatan BNN, pengaturan menganai perampasan
hasil tindak pidana Narkotika yang digunakan untuk kegiatan pencegahan dan
pemberantasan, serta rehabilitasi medis dan sosial, pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan yaitu teknik penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan
lainnya, pengaturan mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun
internasional dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara
terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas Negara, dan
pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
A.R Sujono dan Bony
Daniel, Komentar
Dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,, Jakarta
: Sinar Grafika, 2013.
Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta :
Djambatan, 2009.
Hari Sasangka, Narkotika Dan
Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Moh. Taufik Makaro
(et al), Tindak Pidana
Narkotika, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005
Soedjono
Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia,
Bandung : Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor
Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single
Convention on Narcotic Drugs).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar