Menuju Penegakan Hukum Yang Berkeadilan *
Hukum
sebagai suatu instrumen yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan melekat pada
setiap kehidupan sosial masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan
menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum,
maka kehidupan masyarakat akan tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut
sebagai satu kesatuan kehidupan sosial yang harmonis.
Norma
hukum dapat berupa suatu perintah ataupun larangan agar setiap individu dalam
masyarakat melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni
kehidupan bersama atau sebaliknya agar masyarakat tidak melakukan suatu
tindakan yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Jika
tindakan yang diperintahkan itu tidak dilakukan atau dengan kata lain suatu
larangan dilanggar maka keseimbangan harmoni masyarakat akan terganggu.
Oleh
karena itu, dalam upaya untuk menjaga harmoni kehidupan bermasyarakat maka
hukum harus ditegakan ditandai bahwa setiap kejahatan dan pelanggaran terhadap
hukum harus mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat kejahatan dan pelanggaran
itu sendiri. Sanksi terdiri atas berbagai macam bentuk yang bertujuan
memberikan keadilan tidak saja kepada korban tetapi juga sebagai tata nilai
yang merekatkan tatanan kehidupan bermasyarakat.
Secara teoretis terdapat tiga tujuan hukum
yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan sebagai tujuan utama bersifat
universal yang merupakan konsepsi yang abstrak, namun dalam keadilan terkandung
makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta
asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan sosial. Sifat abstrak keadilan
karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga
ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dalam
masyarakat, sehingga keadilan memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak
terwadahi dalam hukum positif.
Kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan
dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk
mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi sesuai dengan asas persamaan di depan hukum.
Namun
demikian, antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan.
Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih
cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum
harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan
keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu
melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
Dalam
praktik penegakan hukum saat ini, rasa keadilan masyarakat kerap terusik.
Keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri
harus sedekat mungkin dengan keadilan. Sejak lama para pencari keadilan
mendambakan penegakan hukum yang adil. Berbagai putusan pengadilan sepertinya
menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Biasanya
para penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku
dalam arti sesuai ketentuan hukum formal. Contoh pada kasus tindak pidana
korupsi, sesuai hukum yang berlaku penyidik dan jaksa sudah melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah
menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka,
demikian pula hakim sudah mendengar kedua belah pihak sehingga dikeluarkanlah
putusan pengadilan. Semua aturan hukum sudah dipertimbangkan dan diterapkan, serta
semua prosedur dan tata cara yuridis sudah diikuti.
Persoalannya
yang terjadi, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak
masyarakat yang tidak puas dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di
Indonesia ditengarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah
masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan
masyarakat. Mimbar pengadilan seringkali telah terisolasi oleh suatu pemahaman
makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai
keadilan yang ada di masyarakat.
Untuk
menjawab permasalahan tersebut, penulis mengemukakan pemikiran seorang Filsuf
terkenal Yunani bernama Socrates yang menyatakan bahwa hakekat hukum adalah
keadilan. Socrates dalam usahanya menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip
keadilan menyebutkan bahwa keadilan yang sesungguhnya serta hukum yang benar
itu tidak akan ditemui dalam undang-undang tertulis yang dibentuk oleh penguasa
negara. Akan tetapi keadilan bertempat tinggal di dalam diri dan dalam
kesadaran manusia itu sendiri.
Lebih
lanjut, Socrates menyebutkan bahwa dalam nurani setiap insan bersemayamlah
keadilan yang hakiki atau sesungguhnya di situ mereka dapat mendengar bagaimana
irama dari degup jantung yang merah, bersih dan suci. Hanya dengan degupan yang
bersih, organ yang suci ini (nurani) menjadi terlindungi dari kungkungan kabut
keserakahan, kelicikan, kecurangan, dan lain sebagainya.
Sehingga
hukum serta perasaan keadilan dalam pengertian sesungguhnya itu hanya akan
ditemukan di dalam nurani tiap-tiap insan, dan ia akan selalu mendampingi,
terutama manakala mereka menetapkan atau mengambil sebuah keputusan (termasuk
keputusan hukum itu sendiri). Apa yang disampaikan filsuf besar pada masanya
tersebut sesungguhnya banyak terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat
ini.
Penegakan
hukum saat ini cenderung lebih menekankan pada aspek kepastian hukum
dibandingkan dengan keadilan. Penerapan hukum lebih bersifat positif legalistis
yaitu cara berhukum berdasarkan pada undang-undang. Akibat penerapan hukum
positif legalistis ini akan menggiring penegakan hukum pada legisme. Hakim tidak boleh berbuat
selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang yang hanya
menyuarakan bunyi undang-undang tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Begitu
pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat ini ditegakkan di samping nilai
kepastian hukum haruslah menjamin keadilan dan kepastian hukum serta
bermanfaat. Selain itu penegakan hukum diterapkan tanpa diskriminasi. Penegakan
hukum yang tidak mengindahkan prinsip equality before the law sehingga
menghasilkan perilaku diskriminatif akan merusak tatanan sistem, sekaligus akan
menciderai serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang menimbulkan citra
buruk pada semua kalangan masyarakat.
Dalam kajian filsafat hukum yang
memfokuskan diri pada hakikat dan cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai
keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan saat ini telah terkikis
oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal per
pasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Oleh karena itu, salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang berkeadilan
substantif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan paradigma hukum
progresif.
Apa
yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru,
berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu paradigma
hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham positivisme hukum. Gagasan ini kemudian muncul
kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa
yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara
baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Hukum hendaknya mampu mengikuti dan
menjawab perkembangan zaman, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu
sendiri.
Kehadiran
hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan yang lahir tanpa sebab dan juga
bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses
pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum di masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang sedang terjadi dewasa ini,
di mana salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di
Indonesia adalah karena dominasi terhadap paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada paham
tersebut sehingga mempengaruhi kualitas dari penegakan hukum.
Dalam
kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya
penegakan hukum Indonesia saat ini, menurut pemikiran penulis dalam rangka menuju
suatu keadilan substantif sesuai dengan paradigma hukum progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya terhadap
prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan substantif akan selalu mencerminkan diri
pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan substantif sesuai
dengan hukum progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga pemikiran
pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai kekuatan yaitu pertama adalah membebaskan diri dari tipe,
cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis,
analitis-positivistik dan lebih mengutamakan tujuan daripada prosedural.
Kemudian
yang kedua didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak semata-mata
berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif. Sehingga dalam hal ini keadilan substantif
menurut hukum progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani yang
dimiliki oleh masing-masing penegak hukum senantiasa ditempatkan sebagai
penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas penegakan hukum ini.
Dan
ketiga yang paling utama dari keadilan substantif melalui pendekatan hukum progresif
banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan sumber daya manusia penegak
hukumnya. Faktor modalitas aparat penegak hukum menjadi amat penting, seperti
empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan
daripada hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan yang bersifat
normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran hakiki
oleh aparat penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhri rasa
keadilan masyarakat.
* Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Widya Wirotama Edisi Kedua Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar