TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DAN UPAYA PENANGGULANGANNNYA
A. Pendahuluan.
Sejarah mencatat peranan pemuda dalam perjuangan bangsa yang dikenal
dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi salah
satu peristiwa sejarah dalam perjuangan bangsa hingga proklamasi kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Melihat peranan pemuda yang begitu penting dalam
perjuangan bangsa maka tidak salah jika Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa “beri
aku 10 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia”. Dari perkataan tersebut terkandung
makna adanya suatu keyakinan dan kepercayaan yang sangat tinggi terhadap sosok pemuda
bangsa yang merupakan aset yang tidak ternilai sehingga memiliki peranan yang
sangat penting dalam menentukan nasib bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita
bangsa Indonesia.
Demikian halnya setelah
Indonesia merdeka, pemuda merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa Indonesia
yang memilki peranan untuk melanjutkan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia
dengan pembangunan di segala aspek kehidupan. Di tangan generasi muda terletak masa depan bangsa yang kelak akan
menjadi pemimpin dalam membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Sebagai generasi
penerus perjuangan bangsa, pemuda mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam
membangun bangsa dan negara Indonesia, generasi muda merupakan subyek dan obyek
pembangunan nasional dalam usaha mencapai tujuan bangsa Indonesia yaitu
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Namun menjadi suatu permasalahan
serius yang sedang dihadapi generasi muda saat ini salah satunya maraknya peristiwa
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemuda/remaja yang merupakan persoalan
aktual dihampir setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini sebagai gambaran merebaknya
kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pemuda/remaja dapat berupa
perkelahian/tawuran, penodongan, perampokan, pencurian, pemilikan senjata
tajam, penyalahgunaan narkotika dan berbagai pelanggaran hukum lainnya. Hal
tersebut memberikan gambaran bahwa di era pembangunan manusia seutuhnya, generasi
muda yang mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa dan negara, justru
melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Dalam hal penyalahgunaan Narkotika, menunjukkan perkembangan yang
semakin meningkat dari waktu-kewaktu sehingga mempunyai dampak sangat merugikan
bagi individu maupun masyarakat luas termasuk bagi generasi muda itu sendiri sehingga
dapat mengancam masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menanggulangi
penyalahgunaan
narkotika yang merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks memerlukan
upaya penanggulangan yang komprehensif dengan melibatkan kerjasama antara
multidispliner, multi sektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten sehingga dapat
melindungi bangsa Indonesia dari bahaya penyalahgunaan Narkotika.
B. Tindak Pidana Narkotika.
Istilah narkotika yang dikenal di
Indonesia dari segi tata bahasa berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotic yang berarti obat bius, yang
sama artinya dengan kata Narcosis dalam
bahasa Yunani diartikan menidurkan atau membiuskan. [1]
Soedjono Dirdjosisworo memberikan definisi Narkotika adalah zat
yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan
dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan,
hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan.
Zat-zat narkotika tersebut memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si
pemakai bergantung hidup kepada narkotika tersebut. [2]
Pengertian
Narkotika tercantum dalam Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabka menurunnya atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir
dalam undang-undang ini.
Ditinjau
dari asalnya, pada
dasarnya narkotika berasal dari alam dan hasil proses kimia (sintetis). Wresniworo menyatakan bahwa menurut cara
atau proses pengolahannya, narkotika dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu: [3]
1. Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan
tanaman yang dapat dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-masing :
a). Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah
dari buah tanaman papaver somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini
adalah opium mentah, opium masak dan morfin. Jenis opium ini berasal dari luar
negeri yang diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak terdapat
di Indonesia.
b). Kokain, yang berasal dari olahan daun
tanaman koka yang banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian
selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
c). Canabis Sativa atau marihuana
atau yang disebut ganja termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman
ganja ini banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa khususnya di
Indonesia terdapat di Aceh.
2. Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan Narkotika golongan
ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti penathren
dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai
narkotika. Contoh yang terkenal dan sering disalahgunakan adalah heroin dan codein.
3. Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui
proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu
hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan
Megadon.
Selain
penggolongan Narkotika menurut asal perolehannya tersebut, juga dikenal penggolongan
Narkotika dari segi penggunaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi
mengakibatkan ketergantugan.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengembangan
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Dari penggolongan
tersebut, dapat dikatakan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Adapun pelayanan kesehatan adalah termasuk pelayanan
rehabilitasi medis, sedangkan pengembangan Iptek adalah penggunaan narkotika
terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, juga untuk kepentingan
pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan instansi
pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan,
dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk kepentingan melatih
anjing pelacak narkotika dari Polri, Bea dan Cukai, dan Badan Narkotika
Nasional serta instansi lainnya.
Penggunaan narkotika
hanya untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dilakukan dengan pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama,
serta harus mempunyai izin resmi dari pejabat berwenang menurut ketentuan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, yang meliputi : [4]
1. Izin khusus dan surat persetujuan impor narkotika;
2. Izin khusus dan surat persetujuan ekspor narkotika;
3. Izin produksi narkotika;
4. Izin untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi;
5. Izin edar narkotika;
6. Izin khusus penyaluran narkotika.
Berkaitan dengan hal di
atas, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika,
menyatakan bahwa peredaran gelap narkotika
dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak
pidana narkotika dan prekursor narkotika. Selanjutnya dalam Pasal
1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan
bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan narkotika yang dilakukan sesuai dengan
peruntukannya yakni untuk pelayanan kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan serta
dilengkapi dengan izin resmi yang dikeluarkan oleh Instansi yang berwenang,
maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
Narkotika, demikian sebaliknya, apabila Narkotika digunakan selain untuk tujuan
yang telah ditentukan serta tanpa izin yang sah maka perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai tindak pidana Narkotika sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berkaitan dengan kualifikasi
tindak pidana Narkotika diatur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika sebagaimana teracantum dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Bab. XV
tentang ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika,
memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk/kualifikasi tindak pidana narkotika
yang dapat dikelompokan menjadi:
1. Tindak pidana berkaitan dengan produksi
Narkotika;
2. Tindak pidana berkaitan dengan jual beli
Narkotika;
3. Tindak pidana berkaitan dengan
pengangkutan dan transito Narkotika;
4. Tindak pidana berkaitan dengan penguasaan
Narkotika;
5. Tindak pidana berkaitan dengan
penyalahgunaan Narkotika;
6. Tindak pidana berkaitan dengan tidak
melaporkan pecandu Narkotika;
7. Tindak pidana berkaitan dengan jalannya
peradilan Narkotika;
8. Tindak pidana berkaitan dengan penyitaan
dan pemusnahan Narkotika;
9. Tindak pidana berkaitan dengan keterangan
palsu;
10. Tindak pidana berkaitan dengan penyimpangan
kewenangan lembaga.
C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.
Upaya
menanggulangi kejahatan atau tindak pidana termasuk ke dalam kerangka politik
kriminal (criminal politic), menurut G. Peter Hoefnagels mengemukakan
bahwa criminal politic is the rational
organization of the social reaction to crime berarti bahwa politik kriminal
adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Di
sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan
mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan. yang ditempuh melalui penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), maupun
melalui upaya mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views
of society on crime and punisment). [5]
Politik
kriminal/kebijakan kriminal (criminal
politic) dalam menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat dilakukan melalui
2 cara yaitu sarana penal maupun non-penal. Dalam hal menggunakan sarana penal adalah dengan menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana
formiil, maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui wadah sistem
peradilan pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan upaya penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan sarana non-penal
yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat tanpa menggunakan sarana hukum pidana, atau melalui
upaya-upaya di luar hukum pidana.
Berkaitan
dengan hal tersebut, upaya penanggulangan tindak pidana Narkotika yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kebijakan kriminal (criminal policy)
baik dengan menggunakan sarana penal
(penal policy) dan sarana non-penal (non-penal policy), yang dapat diuraikan dalam pembahasan di bawah
ini.
1. Sarana
non-penal.
Upaya untuk
menanggulangi tindak pidana Narkotika melalui sarana non-penal adalah upaya yang dilakukan tanpa menggunakan hukum
pidana, yaitu melalui kegiatan-kegiatan untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan
tindak pidana Narkotika dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari. Adapun sarana
non-penal antara lain:
a. Melakukan upaya pembinaan yang dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan lingkungan masyarakat
dengan melibatkan orang tua, guru, dosen, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh
adat, tokoh masyarakat sehingga dapat memberikan pemahaman dan kesadaran kepada
masyarakat agar tidak menyalahgunakan Narkotika.
b. Kegiatan penyuluhan dan sosialiasi untuk
memberikan informasi dan edukasi terhadap dampak negatif penyalahgunaan
Narkotika kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat memahami dampak
negatif penyalahgunaan Narkotika bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan
negara.
c. Pembentukan kelompok sadar hukum dan anti
penyalahgunaan Narkotika dalam masyarakat yang secara intens dapat memberikan
himbauan-himbauan kepada warga masyarakat terhadap dampak negatif yang dapat
ditimbulkan akibat penyalahgunaan Narkotika sehingga masyarakat dapat menghindari,
mencegah dan mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan Narkotika dalam setiap
aktivitas kehidupannya.
d. Peran serta masyarakat beserta seluruh
komponen bangsa untuk bersama-sama menjaga dan mencegah terjadinya penyalahgunaan
Narkotika dalam kehidupan sehari-hari misalnya upaya pengawasan bersama,
kepekaan dan kepedulian kepedulian masyarakat terhadap segala aktivitas
kehidupan sehari-hari dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika.
2. Sarana
penal.
Upaya untuk
menanggulangi tindak pidana Narkotika melalui sarana penal atau dengan hukum pidana dilakukan dengan menggunakan hukum
pidana dalam menangani setiap tindak pidana Narkotika yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat yang ditujukan pada 2 sasaran yaitu upaya untuk mengurangi
atau menghilangkan permintaan terhadap Narkotika (demand reduction) maupun upaya untuk memberantas peredaran gelap
Narkotika (supply reduction) yang
dapat diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
a. Upaya
mengurangi permintaan terhadap Narkotika (demand
reduction).
Upaya untuk mengurangi
permintaan terhadap Narkotika (demand
reduction) adalah upaya yang ditempuh dengan cara melakukan rehabilitasi
terhadap penyalahguna dan pencandu Narkotika yang sudah mengkonsumsi Narkotika
atau sudah terlanjut menyalahgunakan Narkotika dengan tujuan agar penyalahguna
atau pencandu tersebut dapat menjadi pulih atau sembuh serta tidak mempunyai
ketergantungan lagi untuk menggunakan Narkotika.
Penerapan rehabilitasi kepada
penyalahguna dan pecandu Narkotika didasarkan pada tujuan hukum pidana menurut
aliran modern bahwa pidana kepada pelaku kejahatan tidak hanya bertujuan untuk
melindungi individu dan masyarakat, namun juga dapat memberikan manfaat kepada
pelaku kejahatan tersebut dalam hal ini penyalahguna atau pecandu Narkotika,
karena penjatuhan pidana berupa perampasan kemerdekaan atau pidana penjara yang
dijatuhkan kepada penyalahguna Narkotika bukanlah langkah yang tepat karena karena
tidak menyelesaikan permasalahan di mana penjatuhan pidana penjara hanya
bersifat pembalasan agar pelakunya menjadi jera.
Dalam
pendekatan family model sebagai salah
satu model sistem peradilan pidana, bahwa seorang pelaku kejahatan dalam hal
ini penyalahguna Narkotika dianggap
sebagai bagian dari anggota keluarga yang sedang sakit atau mengalami masalah
sehingga terhadap penyalahguna Narkotika dicarikan jalan keluar atau solusi untuk
mengatasi permasalahan yang sedang dialaminya dalam hal ini untuk menghilangkan
efek ketergantungan terhadap Narkotika sehingga membutuhkan upaya pemulihan dan
pengobatan agar kondisi penyalahguna
tersebut menjadi dapat baik seperti sedia kala sebelum dirinya mempunyai
ketergantungan terhadap Narkotika.
Dengan
adanya upaya rehabilitasi yang maksimal terhadap penyalahguna atau pecandu
Narkotika di Indonesia diharapkan permintaan terhadap Narkotika di pasar gelap
menjadi berkurang, karena penyalahguna atau pecandu telah sembuh dari efek
ketergantungan terhadap Narkotika sehingga dirinya sudah tidak membutuhkan lagi
Narkotika dalam menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari, dan pada akhirnya
karena kurangnya kebutuhan Narkotika tersebut secara langsung akan mengurangi
peredaran gelap Narkotika dalam kehidupan masyarakat.
b. Memberantas peredaran gelap Narkotika (supply reduction).
Upaya
memberantas peredaran gelap Narkotika (supply
reduction) adalah upaya yang dilakukan melalui penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku tindak
pidana Narkotika yaitu produsen, bandar, kurir dan pengedar Narkotika yang
terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yakni Penyidik Polri
dan BNN RI, Kejaksaan, Pengadilan hingga tahap pelaksanaan pidana di lembaga
pemasyarakatan. Proses penegakan hukum terhadap pelaku yang terlibat dalam
sindikat peredaran gelap Narkotika dilaksanakan dengan tegas dan konsekuen
sehingga dapat memberantas tindak pidana Narkotika dengan tuntas sekaligus
sebagai upaya prevensi umum yakni melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.
Dalam
melaksanakan upaya penegakan hukum (law
enforcement) diperlukan adanya kerjasama dan sinergitas antara lembaga
penegak hukum di lapangan serta peran serta dari seluruh komponen masyarakat,
bangsa dan negara misalnya kerjasama dengan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah
dan pemangku kepentingan yang lain misalnya dengan LSM yang konsen dibidang
pencegahan dan pemberantasan Narkotika dan organisasi masyarakat lainnya sehingga
upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika di Indonesia dapat berjalan dengan
maksimal dalam upaya mewujudkan Indonesia yang bebas dari bahaya dan ancaman Narkotika.
D. Penutup.
Perkembangan tindak pidana Narkotika yang marak terjadi
dewasa ini khususnya yang melibatkan generasi muda yang merupakan generasi penerus
cita-cita bangsa sehingga dapat mengancam kelangsung bangsa Indonesia di masa
mendatang. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif
dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, bangsa dan
negara secara bersama-sama berperan serta dalam melakukan upaya-upaya baik yang
bersifat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil,
makmur dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar