Model-Model Sistem Peradilan
Pidana
Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan
oleh pakar hukum pidana di Amerika Serikat bernama Frank Remington, sebagai
reaksi terhadap ketidakpuasan mekanisme kerja aparat penegak hukum yang tidak
mampu mengatasi kriminalitas yang semakin meningkat pada tahun 1960-an, di mana
pada saat itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan
ketertiban (law and order). Melalui
Frank Remington dikenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan
sistem (system approach), yang
kemudian diletakan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama
criminal justice system. Gagasan
tersebut kemudian disebarluaskan oleh The
President’s crime commission. Sejak saat itu, pendekatan sistem
menggantikan pendekatan hukum dan ketertiban dalam penanggulangan kejahatan.
Perkembangan sistem ini menjadi model yang dominan di Amerika Serikat dan di
beberapa negara Eropa dengan menitikberatkan pada the administration of justice, serta memberikan perhatian yang sama
terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[1]
Sistem
peradilan pidana yang berlaku di negara yang menganut sistem hukum baik Eropa
Kontinental maupun Anglo saxon pada
dasarnya terdiri dari beberapa model yang tidak dapat dilihat sebagai suatu
yang absolut atau bagian dari kenyataan yang harus dipilih, melainkan harus
dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat
dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana. [2] Herbert L. Packer seorang ahli hukum dari
Universitas Stanford Amerika Serikat, melakukan pendekatan dikhotomi yang
bersifat normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan
proses peradilan pidana khususnya dalam sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat. Sudut pandang dan analisis tersebut
membuktikan bahwa proses peradilan pidana di Amerika Serikat berada di tengah
tarikan dua arus pemikiran yaitu : [3]
1. Pemberantasan
kejahatan merupakan fungsi terpenting yang harus diwujudkan dari suatu proses peradilan
pidana sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan
pidana. Efisiensi tersebut harus diartikan kemampuan sistem peradilan pidana
untuk menangkap, menahan, mengadili dan menempatkan penjahat ke dalam lembaga
pemasyarakatan. Titik tolak untuk mewujudkan efisiensi menurut model ini adalah
meningkatkan kecepatan dan kepastian; kecepatan tersebut sangat tergantung pada
informalitas dan keseragaman tindakan, dan kepastian tergantung pada upaya
menekan kesempatan munculnya perlawanan seminimal mungkin. Pembuktian kesalahan
tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas polisi.
Bukti-bukti yang cukup dan kuat terhadap seseorang tersangka sudah merupakan
petunjuk untuk mengarahkan semua mekanisme proses kepada suatu presumption of guilt. Landasan pemikiran
perama ini disebut sebagai crime control
model.
2. Pendekatan
kedua, dilandaskan kepada pemikiran bahwa semua temuan-temuan fakta dari suatu
kasus, tidak dapat diperoleh melalui proses informal dari suatu penyidikan dan
pengakuan tersangka semata-mata; melainkan hal tersebut seharusnya diperoleh
melalui suatu prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang.
Pemikiran ini lebih mementingkan pelaksanaan prosedur penyidikan, penangkapan,
penahanan, dan peradilan sesuai dengan ketentuan undang-undang daripada
pelaksanaan penyidikan hanya untuk menemukan fakta-fakta yang menguatkan
tuduhan semata-mata atas diri seorang tersangka. Pemikiran ini menghendaki
suatu proses yang benar-benar dilaksanakan secara ketat dan ada suatu reaksi
untuk setiap tahap pemeriksaan (adversary
system), sehingga dihindari sejauh mungkin seseorang tersangka yang
nyata-nyata tidak bersalah (innoncent).
Presumption of innoncence merupakan
tulang punggung model pemikiran ini. Pemikiran kedua ini dikenal sebagai due process model.
Pendekatan
normatif yang dikemukakan oleh Herber L. Packer berlaku pada adversary system yang berlaku di Amerika
Serikat di mana dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut
: [4]
1. Prosedur
peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum)
dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama di muka pengadilan;
2. Tujuan
utama prosedur sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas ialah menyelesaikan
sengketa (dispute) yang timbul
disebabkan timbulnya kejahatan;
3. Penggunaan
cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings)
dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya merupakan suatu
keharusan, melainkan justru merupakan hal yang sangat penting. Hal ini
disebabkan cara demikian justru memperkuat eksistensi suatu kontes antar pihak
yang berperkara (tertuduh dan penuntut umum) dan secara akurat memberikan batas
aturan permainan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana;
4. Para
pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas, peranan penuntut
umum ialah melakukan penuntutan, peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah
tuduhan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan
dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Tertuduh bertugas
menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan
dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai
penunjang fakta dimaksud.
Sedangkan,
di lain pihak sebagai lawan dari adversary
system yaitu non-adversary system menganut
prinsip bahwa:[5]
1. Proses
pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan kesinambungan serta dilaksanakan
atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
2. Tujuan
utama prosedur pada butir 1 di atas adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya
perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman
dapat dibenarkan karenanya;
3. Penelitian
terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh
hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung pada atau tidak perlu
memperoleh izin para pihak (penuntut umum dan tertuduh);
4. Kedudukan
masing-masing pihak, penuntut umum dan tertuduh, tidak lagi otonom dan sederajat;
5. Semua
sumber informasi yang dapat dipercaya dapat digunakan guna kepentingan
pemeriksaan pendahuluan ataupun dipersidangan. Tertuduh merupakan objek utama
dalam pemeriksaan.
Polarisasi
pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana tidak bersifat mutlak,
sehingga operasionalisasi kedua model yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer
dilandaskan pada asumsi sebagai berikut : [6]
1. Penetapan
suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum
proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau
asas ex post facto law atau asas
undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement officers tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut.
2. Diakuiya
kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan
penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.
3. Seorang
pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas
peradilan yang jujur dan tidak memihak.
Adapun
model-model sistem peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer
yaitu crime control model dan due process model yang berlaku pada adversary system. Selain kedua model
tersebut, di negara-negara Eropa Kontinental seperti Belanda berkembang model
lain yaitu family model atau model
kekeluargaan yang pada mulanya
dikemukakan oleh John Griffithst sebagai reaksi terhadap crime control model dan due
process model. [7]
a. Crime Control Model (CCM)
Crime control model
didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan
proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka perhatian utama crime control model ditujukan pada efisiensi mencakup kecepatan,
ketelitian dan daya guna administratif dalam memproses pelaku tindak pidana.
Proses tersebut dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai, serta tidak
boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil
mungkin adanya perlawanan dari pihak lain yang hanya menghambat penyelesaian
perkara. [8]
Crime
control model merupakan affirmative model yaitu selalu
menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut
dari proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat
dominan.[9] Crime control model menekankan pentingnya penegasan
eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan
pelakunya, dengan asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam hal ini
tersangka atau tertuduh dalam sistem peradilan pidana ada kemungkinan bersalah,
oleh karena itu pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus digunakan semaksimal mungkin. [10]
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan
fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi penegakan hukum
untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau
melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya;
3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finaty) dan model yang dapat mendukung
proses penegakan hukum tersebut adalah harus model administratif dan menyerupai
model manajerial;
4. Asas praduga bersalah atau presumption
of guilt akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan
5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas
temuan-temuan fakta administratif, karena temuan tersebut akan membawa ke arah;
pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka
menyatakan dirinya bersalah atau plead of
guilty.
b. Due Process Model (DPM)
Due process model
merupakan rekasi terhadap crime control
model, di mana pada model ini menitikberatkan pada hak-hak individu dan
berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa dalam
proses pidana yang harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi
manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi seperti pada crime control model. Due process model didasarkan
pada presumption of innocent (praduga
tidak bersalah) yang berbeda dengan crime
control model yang berdasarkan pada presumption
of guilty (praduga bersalah). [12]
Due process model merupakan negative model yaitu selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan
formal dan modifikasi dari penggunaan kekuasaan yang dominan yaitu kekuasaan
yudikatif dan selaku mengacu kepada konstitusi. [13]
Dalam due process model yang dilandasi presumption of innoncence sebagai dasar nilai sistem peradilan,
mempunyai tujuan untuk melindungi seseorang yang sungguh-sungguh tidak
bersalah, serta menuntut seseorang yang benar-benar bersalah. Oleh karena itu
dalam dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhada suatu kasus secara
formal dan penemuan fakta secara objektif, di mana seorang tertuduh diberikan
kesempatan untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan
kepadanya. [14]
1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi
atau human eror menyebabkan model ini
menolak informal fact-finding process sebagai
cara untuk menetapkan secara definitif factual
guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal adjudicative dan adversary
fact-findings. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan
ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan
mekanisme administrasi peradilan;
3. Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh
dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal,
sangat memerhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap
merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dilakukan oleh negara.
Proses peradilan dipandang sebagai coecive
(menekan), restricting (membatasi),
dan merendahkan martabat (demeaning).
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai
pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki
potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut;
a. Seseorang dianggap bersalah apabila
penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka
yang memiliki kewenangan untuk tugas tersebut;
b. Seseorang tidak
dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan
hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak
efektif. Penetapan kesalahan seeorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan
yang tidak memihak. Dalam konsep legal
guilt ini tergantung asas praduga tak bersalah atau presumption of innoncence. Factually
guilty tidak sama dengan legally
guilty ; factually guilty mungkin saja legally
innocent.
5. Gagasan
persamaan di muka hukum atau equality
before the law lebih diutamakan; berarti pemerintah harus menyediakan
fasilitas yang sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban
pemerintah ialah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis seorang
tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka
pengadilan. Tujuan khusus due process
model adalah (factually innonent)
sama halnya dengan menuntut mereka secara faktual bersalah (factually guilty);
6. Due process model mengutamakan
kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal
sanction).
Sebagai contoh due process model, Herbert L. Packer
mengungkapkan kasus Miranda melawan Arizona pada tahun 1966. Arizona adalah
salah satu negara bagian di Amerika Serikat, dan Ernesto Miranda adalah nama
salah seorang warga negara Amerika Serikat. Kasus ini mengisyaratkan bahwa
polisi tidak diperkenankan melakukan interogasi terhadap seorang tersangka
sampai mendapat penasehat hukum. Tersangka pun mempunyai hak untuk diam, jika
tersangka ingin berkonsultasi dengan penasehat hukumnya, maka interogasi harus
ditunda sampai penasehat hukumnya datang, jika tersangka tidak mampu
menyediakan penasehat hukum, maka negara akan menyediakan penasehat hukum. Dari
kasus Miranda melawan Arizona, maka lahirlah Miranda Rules, yang
terdiri dari: [16]
1. Hak untuk tidak menjawab pertanyaan atau diam sebelum diperiksa
atau sebelum dilakukan penyidikan (a
right to remain silent);
2. Hak
untuk menghadirkan penasehat hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum
dilakukan pemeriksaan atau penyidikan oleh penyidik (a right to the presence of an attorney or the right to counsil);
3. Hak
untuk disediakan penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.
c. Family Model
Family model merupakan kritik terhadap kedua model sebelumnya due process model. Family model dikemukakan oleh John Griffithts, seorang guru besar
dari Yale Law School University
California, yang mengatakan bahwa kedua model sebelumnya berada dalam suatu adversary system atau battle model yang merupakan bentuk
peperangan antara dua pihak yang kepentingannya berlawanan satu sama lain yaitu
antara individu khususnya pelaku tindak pidana dengan negara sehingga tidak
akan bisa mempertemukan dua kepentingan yang berlawanan (disharmonis of interest). Adanya kepentingan yang tidak dapat
dipertemukan inilah yang merupakan nilai-nilai dasar yang hendak diganti dengan
nilai berupa kepentingan yang saling mendukung dan menguntungkan menuju
kesatuan harmoni, dan pernyataan kasih sayang sesama hidup yang disebut sebagai
ideological staring point. [17]
Di dalam family model atau
disebut juga model kekeluargaan adalah konsep pemidanaan yang digambarkan dalam
padanan suatu suasana keluarga, yang apabila seorang anak telah melakukan
kesalahan maka akan diberikan sanksi, dengan tujuan anak tersebut mempunyai
kesanggupan untuk mengendalikan dirinya akan tetapi setelah anak itu diberi
sanksi, anak itu tetap berada dalam kasih sayang keluarga, dan dia tidak
dianggap sebagai anak jahat dan sebagai manusia yang khusus, atau sebagai
anggota kelompok yang khusus dalam kaitannya dengan keluarga. Dengan demikian
kepada pelaku kejahatan, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai special criminal puple yang kemudian
diasingkan dari anggota masyarakat, namun mereka tetap diperlakukan sebagai
anggota masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang dengan nilai-nilai
keluargaan. [18]
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar