Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)
Sistem
peradilan pidana merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana,
baik yang terkait dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan
persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang mengacu kepada kitab undang-undang hukum
acara pidana (KUHAP) dan hukum acara pidana di luar KUHAP yang terhubung secara
koheren, koordinatif, dan terpadu (integrated
criminal justice system) guna mencari dan menemukan kebenaran materiil
sehingga dapat mewujudkan supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Cita-cita luhur tersebut tidak akan terwujud
apabila subsistem tersebut bekerja sendiri-sendiri atau egosektoral terhadap
subsistem lainnya. [1]
Sistem peradilan pidana yang digariskan
dalam KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated
criminal justice system) yang diletakan di atas landasan prinsip
diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap
proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing, untuk
menegakan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukum pidana. [2]
Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) adalah sistem yang harus dapat
dilihat sebagai
the nature of court… deal with criminal law as its enforcement. Pemahaman pengertian sistem harus dilihat dalam konteks baik
sebagai physical system artinya
seperangkat element yang bekerja untuk mencapai satu tujuan, maupun abstract system yang dalam arti
gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada
dalam ketergantungan. [3]
Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) merupakan sistem peradilan
perkara pidana dengan adanya persamaan persepsi tentang keadilan dan pola
penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice system) yang
terdiri dari beberapa komponen-komponen yaitu penyidikan, penuntutan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated
criminal justice system berusaha untuk mengintegrasikan seluruh
komponen-komponen sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang
dicita-citakan. [4]
Istilah
sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) terkandung maksud agar perhatian dan penekanan lebih diarahkan pada aspek integrasi
dan koordinasi antara komponen-komponen sebagai subsistem dalam sistem
peradilan pidana itu sendiri. Kata integrated
atau terpadu bila dikaitkan dengan istilah system dalam criminal justice
system, seharusnya sudah terkandung makna keterpaduan (integration and coordinaton), di samping karakteristik yang lain
seperti adanya tujuan yang jelas dari sistem, proses input-throughtput-output and feedback, sistem kontrol yang efektif,
negative-anthropy dan sebagainya. [5]
Konsepsi
sistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya kerjasama secara terpadu
diantara komponen-komponen yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana, mengingat dalam
keterpaduan, kegagalan dari salah satu komponen dalam sistem tersebut akan
mempengaruhi cara dan hasil kerja dari komponen lainnya. Lebih lanjut menurut
Marjono Reksodiputro : [6]
Keterkaitan dan keterpaduan diantara subsistem-subsistem
dalam sistem peradilan pidana bisa dikatakan sebagai bejana berhubungan karena
setiap masalah dalam salah satu sub sistem akan menimbulkan dampak pada sub
sistem yang lain. Reaksi yang timbul sebagai sebagai akibat, hal ini akan
menimbulkan dampak kembali pada sub sistem awal dan demikian selanjutnya terus
menerus. Oleh sebab itu, masing-masing komponen harus memiliki pandangan yang
sama dan memiliki rasa tanggung jawab baik terhadap hasil kerja sesuai dengan
posisinya masing-masing maupun secara keseluruhan dalam kegiatan proses sistem
peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana terpadu menempatkan segenap aparat
penegak hukum berdasarkan fungsi dan kewenangannya, namun demikian pembedaan
yang tegas tersebut tidak berarti menumbuhkan sekat-sekat dalam proses
peradilan pidana, akan tetapi lebih dimaksudkan agar aparat penegak hukum
memahami dan mengatahui batas-batas fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain
bahwa integrasi dari segenap aparat penegak hukum melalui integrated criminal justice system, berarti bahwa diantara aparat
penegak hukum memiliki balanced and equal
of power untuk menghindari adanya diskriminasi kewenangan lembaga yang akan
melemahkan penegak hukum. [7]
Sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan
sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya
merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang
diimplementasikan/diwujudkan dalam empat subsistem, yaitu : kekuasaan
penyidikan oleh lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut
umum, kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan
kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat
subsistem itu merupakan kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral
sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system.
Penyelenggaraan
sistem peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum
mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan,
penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, atau dengan kata lain bekerjanya
polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti
berprosesnya hukum acara pidana. Bekerjanya komponen-komponen tersebut yakni
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat
bekerjasama membentuk suatu integrated
criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. [9]
Sudarto menilai pentingnya kesatuan proses tiap-tiap sistem
dalam peradilan pidana bekerja sama secara integrated
adalah citra kesatuan proses dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Hal
itu harus merupakan benang sutera yang menelusuri segala fase dari pemeriksaan
perkara pidana sejak awal pemeriksaan pendahuluan (penyidikan), sampai akhir
proses (pelaksanaan pemidanaan), bahkan sesudah selesainya perjalanan pidana
oleh narapidana. [10]
Muladi
menegaskan bahwa integrated criminal
justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang
dibedakan dalam : [11]
1. Sinkronisasi
struktural (structural syncronization)
adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga
penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial (substantial
syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal
dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
3. Sinkronisasi kultural (cultural
syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya sistem peradilan pidana.
Dalam
sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam
penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai
tujuan masing-masing, namun pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam
sistem peradilan pidana terpadu saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan
yang sama. Hal ini dapat terwujud jika didukung adanya sinkronisasi dari segi
substansi hukum yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara
koheren, koordinatif dan integratif. Selain itu juga adanya sinkronisasi kultural
dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang
dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana dalam rangka
mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare).[12]
Berkaitan dengan sistem
peradilan pidana terpadu, maksud kata terpadu tersebut yaitu : [13]
1. Kesamaan prosedur subsistem dalam peradilan pidana pada posisi
masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ditentukan di
dalam undang-undang;
2. Kesamaan persepsi, yaitu adanya pemahaman/pengetahuan yang sama
antara sub-sub sistem terhadap perkara/kasus yang ada; dan
3. Kesamaan tujuan, artinya bahwa sub-sub sistem peradilan harus
memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi
yang dapat diterima masyarakat.
Sistem
peradilan pidana dapat berfungsi secara sistematis apabila tiap-tiap unsur dari sistem
memperhitungkan unsur-unsur lainnya. Dengan kata lain bahwa sistem itu bukan
lagi sistematis melainkan hanyalah hubungan-hubungan antara polisi dan penuntut
umum, penuntut umum dan pengadilan atau pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
tanpa adanya hubungan fungsional antara unsur-unsur sistem peradilan pidana.
Kondisi tersebut sangat rentan terhadap perpecahan dan ketidakefektifan kinerja
sistem peradilan pidana. [14]
Sistem peradilan pidana
yang menggunakan pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen dari
administrasi peradilan, memerlukan adanya keterpaduan antara unsur-unsurnya
yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai
subsistem dari peradilan pidana dalam rangka menuju ke arah tercapainya tujuan
bersama dalam penanggulangan kejahatan..[15]
Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan sebagai
tujuan dari sistem peradilan pidana, maka semua komponen dalam sistem peradilan
pidana diharapkan bekerjasama membentuk integrated criminal justice system.
Salah satu faktor yang menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana adalah
ketidakteraturan di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, di mana
unsur-unsur sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana yaitu polisi,
jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terlihat bekerja di dalam kotak
mereka sendiri jika terjadi konflik satu sama lain.[16]
Sistem
peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) mempunyai konsekuensi dan implikasi sebagai
berikut : [17]
1. Semua
subsistem akan saling tergantung (interpendent),
karena produk (output) suatu
subsistem merupakan masukan (input)
bagi subsistem yang lain.
2. Pendekatan
sistem mendorong adanya inter-agency
consultation and cooperation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya
penyusunan strategi dari keseluruhan sistem.
3. Kebijakan
dan keputusan yang dijalankan oleh satu subsistem akan berpengaruh pada
subsistem yang lain.
Oleh karena itu, sistem peradilan pidana yang terdiri dari
empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan, diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system.
Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan
terdapat tiga kerugian, sebagai berikut : [18]
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagaln
masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2. Kesulitan
dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok instansi (sebagai subsistem dari
sistem peradilan pidana); dan
3. Karena
tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap
instansi tidak terlalu memerhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana.
Kenneth Peak mengemukakan, bahwa sistem peradilan pidana
terpadu yang ideal harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut : [19]
1. Adanya peraturan dan standar fasilitas serta perlakuan yang
sama untuk situasi yang berbeda berupa peraturan tertulis sebagai dasar hukum
dalam bertindak masing-masing sub sistem.
2. Adanya diferensiasi fungsional yang memastikan kemampuan dari
tiap-tiap sub sistem untuk mencegah terjadinya kekuasaan atau kewenangan yang
berlebihan dan memperjelas batas-batas tanggung jawab dari masing-masing sub
sistem.
3. Adanya koordinasi dari tiap-tiap sub sistem untuk memastikan
bahwa tiap-tiap sub sistem saling mendukung terhadap sub sistem lainnya.
4. Adanya keahlian yang dimiliki oleh tiap-tiap sub sistem yang
diperoleh dari latihan-latihan khusus.
5. Adanya mekanisme kontrol terhadap masing-masing sub sistem dan
juga terhadap keseluruhan fungsi sistem peradilan pidana terpadu.
Muladi menyetujui pandangan Hiroshi Isikawa, karakteristik
yang dijadikan dasar untuk memodifikasi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)
menggunakan indikator-indikator sebagai berikut : [20]
1. Clearance rate yang relatif tinggi. Dalam hal ini terdapat dua variable yang sangat
berpengaruh yakni (1) Police efficiency (well trained, well disciplined and
well organized police force); dan (2) citizens
cooperation with law enforcement.
2. Conviction rate yang relatif juga cukup tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah
precise justice yang bertumpu pada substantial thruth. Konsep ini
hanya dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh uniformly as well
as highly trained professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise
and minuto fact finding and minuto fact finding justice, similar to precision
machine tools. Dalam hal ini yang penting tidak hanya the degree of
proff of substantial truth, tetapi juga the degree of repentance.
Nampaknya masalah pendidikan terpadu para penegak hukum dalam hal ini perlu
diperhatikan, sebab apabila berbicara dalam konteks sistem, maka tidak hanya
setiap individu harus bekerja dengan baik dan penuh inisiatif, tetapi harus
tercipta koordinasi satu sama lain secara efisien dan efektif, dalam pendidikan
terpadu secara bersama- sama inilah akan tercipta saling pengertian satu sama
lain, saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas
yang berbeda.
3. Speedy disposition atau yang
sering dinamakan national policy in favour of criminal justice
administration. Ishikawa menyatakan bahwa delay of justice us denied of
justice.
4. Rehabilitation minded sentencing policy. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa prinsip yakni cukup
tingginya penerapan sanksi alternatif selain pidana kemerdekaan (pidana
bersyarat, denda), disparitas pidana yang tidak benar, perhatian yang memadai
terhadap korban kejahatan, adanya tujuan pemidanaan yang jelas dan sebagainya.
5. Relatif kecilnya rate off recall to
prison(reconviction rate).
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar