Teknik Penyidikan Khusus Dalam Perkara Tindak
Pidana Narkotika
Tahapan awal dari proses hukum acara
pidana di beberapa negara seperti di Belanda disebut opsporing, sedangkan di Inggris dan Amerika disebut investigation. Sementara di Indonesia,
proses awal yang dapat diterjemahkan dari opsporing
maupun investigation dalam dua
bentuk proses yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penggunaan terminologi untuk
selidik dan sidik pada dasarnya memiliki pengertian yang serupa yaitu meneliti
lebih jelas tentang suatu peristiwa, namun pengaturannya memiliki perbedaan
yang sangat prinsipil, baik tujuan maupun pihak yang melaksanakannya. [1]
Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh
penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut umum
dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan karena
adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat berasal
dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena
tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. [2]
Sasaran atau target penyidikan adalah mengupayakan
pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi
terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya
pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan
melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan
penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [3]
Berkaitan dengan sasaran penyidikan tersebut, penyidikan
tindak pidana Narkotika selain
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam
undang-undang tindak pidana khusus seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, memberikan pengaturan tentang teknik penyidikan khusus dalam
proses penanganan tindak pidana narkotika. Teknik penyidikan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Penyadapan
Pengertian
Penyadapan menurut Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, sebagai berikut :
Penyadapan adalah kegiatan
atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan
melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
Dalam penjelasan penjelasan Pasal 75 huruf (i) undang-undang
narkotika menjelaskan sebagai berikut :
Dalam ketentuan ini yang dimaksud
dengan penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan
dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai
dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan
melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.
Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik
dengan cara antara lain:
a. Pemasangan
transmitter di ruangan/kamar sasaran
untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b. Pemasangan
transmitter pada mobil/orang/barang
yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c. Intersepsi internet;
d. Cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e. CCTV (Close Circuit Television);
f. Pelacak
lokasi tersangka (direction finder).
Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk
mengantisipasi perkembangan tekonologi informasi yang digunakan oleh para
pelaku tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dalam mengembangkan
jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi
berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal. Untuk melumpuhkan dan memberantas
jaringan/sindikat narkotika dan perkursor narkotika maka sistem komunikasi dan
telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak
keberadaan jaringan tersebut. [4]
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyadapan diatur dalam Pasal 77 dan 78 , sebagai berikut
:
Pasal 77 :
(1). Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan
dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima
penyidik.
(2). Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3). Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu yang sama.
(4). Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78 :
(1). Dalam keadaan mendesak dan Penyidik
harus melakukan penyadapan, penyadapan
dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2). Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua
pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penyadapan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras membicarakan masalah narkotika illegal. Untuk dapat melakukan tindakan
tersebut, penyidik sebelumnya harus sudah mengetahui atau mendapat informasi
terlebih dahulu bahwa ada seseorang yang terlibat dalam kegiatan peredaran atau
penyalagunaan gelap narkotika guna mendengar langsung maupun merekam suaranya
yang dapat dijadikan sebagai barang bukti dalam sidang di pengadilan. [5]
2. Teknik Pembelian Terselubung (Under cover buy)
Teknik pembelian
terselubung pertama kali diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan kemudian diubah melalui
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yakni pada Pasal 75 huruf
(j) yang memberikan pengaturan tentang kewenangan penyidik untuk melakukan
teknik pembelian terselubung dalam menangani tindak pidana narkotika. Namun dalam
undang-undang tersebut secara eksplisit tidak memberikan pengertian yang jelas
tentang teknik pembelian terselubung (under
cover buy). Dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika hanya mengatur bahwa dalam pelaksanaan teknik pembelian terselubung
dilakukan atas perintah tertulis dari pimpinan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang narkotika yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika, teknik pembelian terselubung (undercover buy) telah dikenal sebagai suatu metode yang dilakukan
oleh penyidik dalam menangani tindak pidana narkoba yang sulit dalam
pengungkapannya. Teknik pembelian terselubung telah mendapatkan pengaturan
dalam Petunjuk Lapangan (Juklap) Kapolri Nomor Polisi : Juklap/04/VIII/1983
tentang taktik dan dan teknik pembelian narkoba. Dalam Juklap tersebut
dijelaskan pengertian teknik pembelian terselubung sebagai berikut :
Pembelian
terselubung atau undercover buy
adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkoba, dimana seorang
informan atau anggota polisi (dibawah selubung), atau pejabat lain yang
diperbantukan kepada polisi (di bawah selubung), bertindak sebagai pembeli
dalam suatu transaksi gelap jual-beli narkoba, dengan maksud pada saat terjadi
hal tersebut, si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan dengan supply narkoba dapat ditangkap beserta
barang bukti yang ada padanya.
Menurut penafsiran
gramatikal, pembelian terselubung dapat diuraikan yaitu pembelian berarti suatu
keadaan di mana salah satu pihak membeli dari pihak yang lain (penjual), dan
terselubung berarti tersembunyi atau tersamarkan dari kedudukan/posisi yang
sebenarnya. Dengan demikian pengertian pembelian terselubung yang dimaksud
dalam pasal 75 huruf (j) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
berarti tindakan salah satu pihak (penyidik) dengan melakukan penyamaran
sebagai pembeli untuk melakukan pembelian narkotika dengan pihak penjual
narkotika (bandar/pengedar) yang menjadi sasaran penyidikan. [6]
Penggunaan teknik pembelian terselubung
dalam penanganan tindak pidana narkotika diatur dalam Surat Keputusan Kapolri
(Skep) Nomor : Skep/1205/IX/2000 tentang revisi himpunan Juklak dan Juknis
proses penyidikan tindak pidana ; Buku petunjuk lapangan tentang penyidikan, bahwa sebelum melakukan pembelian terselubung
(under cover buy), harus diawali
dengan beberapa tindakan yaitu observasi (peninjauan), surveillance (pembuntutan),
under cover agent. Mengenai tata cara pelaksanaan under cover diatur dalam huruf (d) angka 6 Surat Keputusan Kapolri
tersebut, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan pendekatan pada sasaran yang
telah ditentukan, apabila ada hambatan untuk pendekatan langsung, dapat melalui
orang lain;
2. Setelah berhasil kontak dengan sasaran,
dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan untuk menumbuhkan kepercayaan dari sasaran
dengan menyebarluaskan cerita samaran di lingkungan sasaran. Pilih tempat
tinggal, tempat hiburan dan tempat kerja yang dapat digunakan untuk mengamati
kegiatan sasaran, baik langsung maupun tidak langsung;
3. Dalam hal petugas melaksanakan kegiatan under cover telah berada dan berhasil
diterima di lingkungan sasaran, maka sebelum mengumpulkan bahan keterangan yang
diperlukan, ia harus segera adaptasi dan bertindak hati-hati, dengan cara :
a. Membatasi pembicaraan agar orang-orang
yang ada disasaran lebih aktif berbicara;
b. Berusaha untuk mendengar semua hal yang
dibicarakan oleh sasaran;
c. Gunakan kesempatan untuk mengadu domba
antar anggota dari sasaran yang diselidiki;
d. Anggaplah orang-orang yang berada di
sasaran memiliki pengetahuan yang sederajat dengan petugas;
e. Perhatikan dengan seksama apa yang tampak
di sekitar tempat sasaran dan kegiatan-kegiatan apa yang tengah/akan
berlangsung diingat tanpa mencatat;
f. Usahakan agar percakapan terus
berlangsung, tanpa banyak pertanyaan, sebab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat menimbulkan kecurigaan;
g. Jangan sampai terpengaruh terhadap hal-hal
negatif yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sasaran dengan memberikan
alasan yang logis yang dapat diterima sasaran;
h. Petugas harus mampu dan menguasai tentang
segala hal yang berkaitan dengan cover, baik
cover name/cover job, maupun cover story;
i. Jangan
bersikap dan bertindak yang dapat menimbulkan kecurigaan dalam lingkungan
orang-orang yang ada di sasaran;
j. Melakukan pengamatan secara cermat dan
teliti yang diharapkan dapat memperoleh bahan keterangan lain;
k. Setiap kegiatan dilakukan sedemikian rupa
sehingga kontak dengan pelindung/markas
tetap dalam kerahasiaan tetap terjamin;
l. Komuniksi terhadap kawan supaya
menggunakan tanda-tanda atau gerakan tubuh tertentu atau rahasia yang mudah
dipahami atau dimengerti.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan under cover diatur
dalam huruf (d) angka 7 Surat Keputusan Kapolri (Skep) Nomor :
Skep/1205/IX/2000 tentang revisi himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan
tindak pidana ; Buku petunjuk lapangan tentang penyidikan, sebagai berikut :
a. Dalam hal petugas yang melaksanakan under cover tidak berhasil melapor pada
waktu dan tempat yang telah ditentukan/diatur, pimpinan memerintahkan kepada
petugas lain untuk mengadakan pengecekan untuk mengetahui situasi dan kondisi
petugas yang melakukan under cover;
b. Jika
karena situasi terpaksa melibatkan diri dalam suatu perbuatan tindak pidana,
maka kegiatan tersebut harus sepengetahuan dan persetujuan dari pimpinan;
c. Hindarkan penggunaan informan yang didasari dengan pamrih, seperti :
i. Membantu
petugas Polri karena ingin diberi upah/imbalan berupa uang;
ii. Rasa
dendam terhadap sasaran atau perbuatan dan keadaan-keadaan yang pernah
merugikan atau menyakiti hatinya.
3. Teknik Penyerahan yang diawasi
(Controlled Delivery)
Demikian halnya dengan teknik pembelian
terselubung (under cover buy), Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika juga tidak memberikan penjelasan tentang
pengertian penyerahan yang diawasi (controlled
delivery). Penyerahan
yang dikendalikan (controlled dellivery)
sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana narkoba dapat
dilihat pengertiannya dalam Petunjuk Lapangan
Kapolri Nomor Polisi : Juklap/ 03/ VIII/1993 tentang taktik dan teknik
penyerahan narkoba yang dikendalikan (controled
delivery), disebutkan bahwa:
Penyerahan yang dikendalikan (controlled dellivery) adalah suatu teknik khusus dalam penyidikan kejahatan
narkoba tahap penyelidikan dan terjadi penangguhan/
penangkapan/penahanan/pensitaan, barang bukti, dimana seorang tersangka yang
mau bekerja sama dengan polisi atau informan
atau pejabat lain (undercover agent)
dibenarkan/narkoba tersebut pada penerimanya, dengan maksud pada saat
penerimaan dapat ditangkap orang-orang yang terlibat kejahatan narkoba beserta
barang buktinya.
Menurut penafsiran gramatikal, penyerahan yang
diawasi, berarti penyerahan yaitu keadaan di mana seseorang menyerahkan sesuatu
kepada orang lain, dan diawasi berarti dilakukan dengan pengawasan. Sehingga
penyerahan yang diawasi sebagaimana diatur dalam Pasal 75 huruf (j)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, berarti suatu keadaan
seseorang (bandar/pengedar) narkotika menyerahkan barang (narkotika) kepada
penyidik dengan alasan jual-beli, di mana dalam penyerahan narkotika tersebut
berada dalam pengawasan penyidik yang sebelumnya telah menjadi sasaran
penyidikan.[7]
* * *
Andi Hamzah,
Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia,
1989.
Gatot
Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia,
Jakarta : Djambatan, 2009.
Kuffal, HMA,
Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010.
Sujono, A.R,
dan Bony Daniel, Komentar &
Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta :
Sinar Grafika.
Tolib
Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ;
Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar