Tahap-Tahap Penyidikan
Tindak Pidana Menurut KUHAP
Awal dari rangkaian peradilan pidana
adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban apakah telah
terjadi tindak pidana. Setelah adanya penyelidikan dan dilanjutkan dengan
penyidikan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan
saksi-saksi, dan alat-alat bukti lain yang diperlukan dan terukur terkait
dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana. Apabila pengumpulan
alat-alat bukti dalam tindak pidana itu telah memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, maka pemenuhan unsur dalam tindak pidana telah siap untuk diproses ke
tahapan selanjutnya dalam peradilan pidana. [1]
Mengenai tahap-tahap penyidikan, KUHAP tidak memberikan pengaturan yang
konkrit mengenai tata urut penyidikan. KUHAP hanya menyebutkan bahwa penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti guna
membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Di dalam Peraturan
Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, Pasal
15 menyebutkan bahwa tahap-tahap penyidikan diawali dari penyelidikan,
pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), upaya paksa,
pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara
ke penuntut umum. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan penghentian
penyidikan. [2]
Secara
umum tahap-tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, sebagai berikut :
1). Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
Setelah
menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat tentang dugaan telah terjadinya
tindak pidana atau berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) yang dibuat
oleh penyelidik tentang dugaan telah terjadinya tindak pidana, kemudian
ditindak lanjuti oleh penyidik dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHAP yaitu :
Penyidik yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana wajib sebera melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan.
Atas
dasar surat perintah penyidikan, dikeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP), sebagaimana diatur dala Pasal 109 ayat 1 KUHAP yaitu dalam hal penyidik telah
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan kepada penuntut umum. Mengenai pengertian telah melakukan
penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan
tindakan upaya paksa oleh penyidik yang berupa pemanggilan pro justisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan
sebagainya. [3]
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) berisi tentang dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah
penyidikan, waktu dimulainya penyidikan, jenis perkara, pasal yang dipersangkakan
dan uraian singkat tindak pidana, identitas tersangka jika sudah diketahui,
dana identitas pejabat yang mengeluarkan SPDP. Adapun tujuan dari SPDP adalah
bagian dari pengawasan antara lembaga dalam sistem peradilan pidana dalam hal
ini adalah bentuk koordinasi dan pengawasan antara penyidik kepada penuntut
umum yang nantinya akan menerima dan melanjutkan berkas perkara hasil
penyidikan. [4]
2). Upaya
Paksa
Pada
prinsipnya, setiap orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan pribadi termasuk
harta benda yang dimiliki yang dilindungi oleh hukum, namun kebebasan dan
kemerdekaan tersebut dapat dibatasi bahkan dan dapat hilang akibat perbuatan
orang itu sendiri. Pembatasan terhadap kemerdekaan dan kebebasan seseorang
hanya dapat dibenarkan sepanjang menurut aturan hukum. Berkaitan dengan
itu, KUHAP telah menentukan adanya
beberapa tindakan yang dapat dilakukan sehubungan dengan dugaan terjadinya
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. [5]
Secara
eksplisit, KUHAP tidak memberikan definisi mengenai istilah upaya paksa, namun
memberikan pengaturan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana. Menurut terminologi hukum pidana, upaya paksa atau dwangmiddelen adalah tindakan penyidik
yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat-surat untuk kepentingan penyidikan.[6]
Upaya
paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak
hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atua untuk memiliki dan menguasai
suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat
gangguan terhadap siapa pun yang diperlukan untuk memperlancar proses
pemeriksaan atau mendapatkan bahan-bahan pembuktian.[7]
Secara
umum, upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan,
sebagai berikut:
a). Pemanggilan
Pemanggilan
adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepada seseorang saksi, ahli
maupun tersangka, karena kewenangannya untuk datang di kantor yang telah
ditentukan, untuk kepentingan tertentu yang berkaitan dengan peristiwa hukum
pidana yang terjadi. Pemanggilan merupakan tindakan hukum yang mempuyai
kekuatan memaksa, dan berakibat hukum dan menimbulkan implikasi yang dapat
dilihat dari status orang yang dipanggil yaitu sebagai saksi maupun tersangka. [8]
Pemanggilan
diatur dalam Pasal 112 KUHAP yaitu :
1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan,
dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka
dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pemanggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada
penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan
perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pemenuhan
atas panggilan penyidik untuk memberikan keterangan adalah suatu kewajiban
hukum (legal obligation), oleh karena itu, apabila seseorang tidak datang setelah surat
pemanggilan yang kedua, maka penyidik dapat membawa secara paksa. Pasal 113
KUHAP menyatakan bahwa bagi seseorang yang tidak dapat datang dengan memberi
alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang menghadap penyidik,
maka penyidik yang akan datang ke tempat kediamannya. Sedangkan bagi tersangka
yang tidak datang karena tidak diketahui keberadannya oleh penyidik, maka
identitas orang tersebut dicatat dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan
dibuatkan surat pencarian orang. [9]
b). Penangkapan
Pengertian
penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP yaitu :
Penangkapan
adala suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal
16 KUHAP menyatakan bahwa untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas
perintah penyidik, dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik
pembantu berwenang melakukan penangkapan. Selanjutnya dalam Pasal 17 KUHAP
menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Adapun
bukti permulaan yang cukup adalah berupa laporan polisi ditambah dengan satu
alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah
melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukannya penangkapan. [10]
Lebih lanjut dalam Pasal 18 KUHAP
menyatakan bahwa:
1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan
oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka
dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
2. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan
dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik pembantu terdekat.
3. Tembusan surat perintah penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepda keluarganya segera
setelah penangkapan.
Berkaitan dengan Pasal 18 ayat 3
KUHAP di atas, kata segera tidak dijelaskan secara pasti berapa lama untuk
minimal dan maksimal waktunya, maka secara hukum yang intelektual, harus
diartikan secepat-cepatnya agar dapat diketahui oleh keluarga tersangka yang
ditangkap sehingga menghindari tuntutan secara hukum dari keluarga tersangka. [11]
Mengenai jangka waktu penangkapan
diatur dalam Pasal 19 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan
untuk paling lama satu hari. Adapun maksud bahwa masa penangkapan adalah satu
hari adalah agar setelah diadakan penangkapan terhadap tersangka, penyidik
dapat segera memeriksanya, dan dalam satu hari telah dapat diperoleh hasilnya,
untuk ditentukan apakah penangkapan tersebut akan dilanjutkan dengan penahanan
atau tidak. [12]
Berkaitan dengan jangka waktu
penangkapan, dalam hal penangkapan yang dilakukan ditempat-tempat atau daerah
yang terpencil dan sulit transportasi yang tidak memungkinkan penyelesaian
penangkapan dalam waktu satu hari untuk menghadapkan tersangka kepada penyidik,
pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan jalan sebagai berikut : [13]
1. Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri
atau dipimpin oleh penyidik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan di tempat
yang terdekat.
2. Bila penangkapan dilakukan oleh penyelidik,
pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik untuk membawa
dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
c). Penahanan
Pengertian
penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP yaitu :
Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan
merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati, namun demi kepentingan
ketertiban umum yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat
dari perbuatan jahat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, oleh karena
itu penahanan dilakukan jika perlu sekali. [14]
1. Syarat subjektif, artinya menurut pendapat
sendiri, atau menurut penilaian masing-masing pribadi, atau syarat yang hanya
pihak yang melakukan penahanan yang bisa memahami. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 ayat 1 KUHAP, bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana.
2. Syarat objektif, yaitu memiliki makna
berkenaan dengan keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan
pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4, bahwa penahanan hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, dan
tidak pidana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP.
Mengenai
tempat pelaksanaan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 KUHAP, terdiri
dari penahanan rumah tahanan negara yang dilaksanakan di rutan yang berada di
masing-masing kabupaten/kota, penahanan rumah yang dilaksanan di rumah tempat
tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa, dan penahanan kota yang
dilaksanakan di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa
dengan wajib lapor. Masa penahanan rutan
dikurangi seluruhnya, masa tahanan rumah dikurangi sepertiga, dan masa
penahanan kota dikurangi seperlima dari masa tahanan dari pidana yang
dijatuhkan.
Penahanan
dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk
kepentingan penuntutan dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Adapun jangka waktu penahanan oleh penyidik selama 40 hari dapat
diperpanjang selama 20 hari, penahanan oleh penuntut umum selama 20 hari dapat
diperpanjang selama 30 hari, penahanan hakim pengadilan negeri selama 30 hari
dapat diperpanjang selama 60 hari, penahanan oleh hakim pengadilan tinggi
selama 30 hari dapat diperpanjang selama 60 hari, dan penahanan oleh hakim mahkamah agung selama 50
hari dapat diperpanjang selama 60 hari, sehingga total jangka waktu penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa adalah selama 400 hari, dan apabila jangka
waktu pada tiap-tiap tahapan kewenangan tersebut telah berakhir, maka tersangka
atau terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum. [16]
d). Penggeledahan
Penggeledahan
merupakan salah satu upaya paksa yang merupakan kewenangan penyidik dalam
proses penyidikan. Pengertian penggeledahan terdiri dari penggeledahan rumah
diatur dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP yaitu :
Penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan
atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
Sedangkan
penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP yaitu :
Penggeledahan
badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawa serta untuk disita.
Tindakan
untuk memasuki rumah atau tempat kediaman atau menggeledah orang dalam rangka
menyidik suatu tindak pidana menurut hukum acara pidana harus dibatasi dan
diatur secara cermat, di mana menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan
suatu usaha untuk mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun
tidaknya seseorang. Dalam melakukan penggeledahan, penyidik harus betul-betul cermat
dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, agar terhindar dari pelanggaran
terhadap kebebasan orang dalam hal terhadap ketentraman rumah atau tempat
kediaman orang yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh
undang-undang. [17]
Penggeladahan rumah maupun penggeledahan
badan/pakaian memiliki tata cara dan syarat-syarat yang harus terpenuhi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 KUHAP yaitu adanya surat izin dari ketua
pengadilan negeri, dilengkapi dengan surat perintah tertulis, disaksikan oleh
dua orang saksi atau kepala desa atau ketua lingkungan, dan harus dibuatkan
berita acara kemudian disampaikan kepada penghuni atau pemilik rumah dalam
waktu dua hari setelah penggeledahan.
Dari
Pasal 33 KUHAP di atas, pembatasan terhadap penggeledahan selain memerlukan
izin dari ketua pengadilan negeri, penggeledahan juga mendapat pengawasan dari
pemilik tempat yang digeledah dengan jalan memberikan salinan berita acara
penggeledahan. Demikian juga pengawasan pihak ketiga yaitu dua orang saksi dan
kepala desa atau ketua lingkungan yang harus ikut menyaksikan jalannya
penggeledahan. [18]
Pasal 34 KUHAP memberikan pengaturan
tentang penggeledahan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak,
penggeledahan dapat dilakukan pada rumah atau tempat lain tersangka tinggal, di
tempat tindak pidana dilakukan dan ditempat umum lainnya.
Adapun
keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di tempat yang akan
digeledah di duga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut
dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda
yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dimusnahkan, sedangkan
izin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang
layak dan dalam waktu yang singkat. [19]
Pasal
35 KUHAP mengatur tentang larangan memasuki dan melakukan penggeledahan di
dalam ruang di mana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPD, tempat dimana
sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan, dan ruang di mana berlangsung
sidang pengadilan. Larangan tersebut berlaku pada proses yang sedang berjalan,
artinya tempat-tempat tersebut dapat dimasuki atau digeledah selama tidak
menyelenggarakan proses tersebut di atas, kecuali dalam hal tertangkap tangan.
e). Penyitaan
Pengertian
penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP yaitu :
Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan
dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
Dengan
kata lain, bahwa penyitaan adalah mengambil barang-barang dari tangan seseorang
yang memegang atau menguasai barang itu, kemudian menyerahkannya kepada pejabat
yang memerlukan untuk keperluan pemeriksaan atau pembuktian perkara di sidang
pengadilan, dan barang tersebut ditahan untuk sementara waktu sampai ada
keputusan pengadilan tentang status barang tersebut, artinya mengenai siapa
yang berhak menerima/memiliki barang tersebut. [20]
Lebih lanjut, Pasal 38 KUHAP memberikan
pengaturan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat
izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapat izin terlebih dahulu. Penyitaan hanya atas benda bergerak, dan setelah
melakukan penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
untuk mendapatkan persetujuannya.
Mengenai
benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu
:
1. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
2. Benda yang berada dalam sitaan karena
perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan pada ayat 1.
Berkaitan
dengan kategori benda-benda yang dapat disita yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP,
jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka benda-benda yang diatur
dalam Pasal 39 KUHAP adalah termasuk benda-benda berwujud. Sedangkan benda
tidak berwujud dapat dicontohkan dalam arrest
Hoge raad pada tanggal 23 Mei 1921 dalam perkara penyadapan arus listrik
yang kemudian dikualifikasikan sebagai pencurian aliran listrik, di mana energi
listrik dapat dikategorikan benda tidak berwujud sebagai objek pencurian. [21]
Dalam melakukan penyitaan agar
berdaya guna dan tidak menimbulkan persoalan hukum yang dapat berdampak negatif
baik terhadap penyidik maupun terhadap harta milik orang lain, maka sebelum
melakukan penyitaan hendaknya penyidik harus benar-benar memiliki keyakinan
bahwa : [22]
1. Apa yang telah terjadi dan yang dihadapi
itu adalah benar-benar merupakan tindak pidana.
2. Benda yang akan dikenakan penyitaan itu
adalah benar-benar merupakan hasil atau ada hubungannya dengan tindak pidana
yang terjadi.
3. Benda yang akan disita diyakini benar
dapat dijadikan sebagai barang bukti di sidang pengadilan.
f). Pemeriksaan
Surat
Mengenai
pemeriksaan surat berkaitan dengan pencarian alat bukti surat yang akan
digunakan dalam pembuktian. Pemeriksaan surat diatur dalam Pasal 47 KUHAP yaitu
:
1. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan
menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan
alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,
dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
2. Untuk kepentingan tersebut, penyidik dapat
meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat
yang dimaksud, dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
3. Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan
2 pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dan proses
peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.
Lebih
lanjut dalam Pasal 48 KUHAP mengatur bahwa jika dalam surat yang telah dibuka
dan diperiksa mempunyai hubungan dengan perkara yang diperiksa, maka surat
tersebut dilampirkan pada berkas perkara, apabila tidak maka surat tersebut
ditutup dengan rapih dan diserahkan kembali dengan dibubuhi tanda tangan,
tanggal, tanda tangan penyidik serta cap yang berbunyi bahwa surat tersebut
telah dibuka oleh penyidik, di mana penyidik wajib merahasiakan isi surat
tersebut.
3). Pemeriksaan
Pemeriksaan
pada tahap penyidikan dilakukan terhadap tersangka, saksi dan kepada ahli jika
dibutuhkan berkaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana. Pemeriksaan kepada
tersangka, saksi, dan ahli dilakukan dengan memanggil terlebih dahulu melalui
surat resmi dengan memperhatikan tenggang waktu pemeriksaan, kecuali kepada
tersangka yang sudah ditahan tidak perlu dilakukan pemanggilan. [23]
Pemeriksaan
dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap saksi, ahli dan
tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap
saksi untuk mendapatkan keterangan yang ia dengar, lihat dan alami sendiri
berkenaan dengan tindak pidana. Pemeriksaan terhadap ahli untuk mendapatkan
keterangan dari seseorang yang mempunyai keahlian khusus, dan keterangan
terhadap terdakwa untuk mendapatkan keterangan dari tersangka berkaitan dengan
dugaan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya. Dengan adanya pemeriksaan,
dapat membuat terang suatu perkara sehingga peran seseorang dalam tindak pidana
yang terjadi menjadi jelas. [24]
Dalam hal pemeriksaan terhadap tersangka
dalam proses penyidikan, perlu memperhatikan pemenuhan hak-hak tersangka
sebagaimana diatur dalam KUHAP, sebagai berikut :
1. Pasal 50 ayat 1, bahwa tersangka berhak
untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada
penuntut umum.
2. Pasal 51 huruf a, bahwa tersangka berhak
untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang
apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
3. Pasal 52, bahwa dalam pemeriksaan tingkat
penyidikan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik.
4. Pasal 53, bahwa dalam pemeriksaan terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa, jika terdakwa bisu atau
tuli mendapat bantuan juru penerjemah.
5. Pasal 54, bahwa tersangka atau terdakwa
berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum selama pemeriksaan.
6. Pasal 55, bahwa terdakwa berhak untuk
memilih sendiri penasihat hukum.
7. Pasal 56, bahwa tersangka yang diduga
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana lima belas
tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum, maka pejabat yang
memeriksanya wajib menunjuk penasihat hukum secara cuma-cuma.
8. Pasal 65, bahwa tersangka berhak untuk
mengusahakan dan mengajukan saksi dan ahli guna memberikan keterangan yang
menguntungkan baginya.
4). Gelar
Perkara
Gelar
perkara tidak diatur dalam KUHAP sebagai salah satu rangkaian proses
penyidikan, namun dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen
penyidikan tindak pidana memberikan pengaturan tentang pelaksanaan gelar
perkara dalam proses penyidikan yang terdiri dari dua yaitu gelar perkara biasa
dan gelar perkara khusus. Pasal 70 ayat 2 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012
menyatakan bahwa gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap awal, pertengahan
dan akhir proses penyidikan. Adapun tujuan gelar perkara pada tahap awal
penyidikan bertujuan untuk : [25]
1. Menetukan status perkara pidana atau
bukan;
2. Merumuskan rencana penyidikan;
3. Menentukan unsur-unsur pasal yang
dipersangkakan;
4. Menentukan target waktu; dan
5. Penerapan teknik dan taktik penyidikan.
1. Evaluasi dan pemecahan masalah yang
dihadapi dalam penyidikan;
2. Mengetahui kemajuan penyidikan yang
dicapai dan upaya percepatan penyelesaian penyidikan;
3. Menentukan rencana penindakan lebih
lanjut;
4. Memastikan terpenuhinya unsur pasal yang
dipersangkakan;
5. Memastikan kesesuaian antara saksi,
tersangka, dan barang bukti dengan pasal yang dipersangkakan;
6. Memastikan pelaksanaan penyidikan telah
sesuai dengan target yang ditetapkan; dan
7. Mengembangkan rencana dan sasaran
penyidikan.
1. Evaluasi proses penyidikan yang telah
dilaksanakan;
2. Pemecahan masalah atau hambatan
penyidikan;
3. Memastikan kesesuaian antara saksi,
tersangka, dan bukti;
4. Menentukan layak tidaknya berkas perkara
dilimpahkan ke penuntut umum atau dihentikan; dan
5. Pemenuhan petunjuk penuntut umum.
Sedangkan
gelar perkara khusus, dilakukan karena perkara yang dihadapi memiliki kriteria
tertentu, dengan tujuan untuk : [28]
1. Merespon laporan/pengaduan atau komplain
dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari
atasan penyidik selaku penyidik;
2. Membuka kembali penyidikan yang telah
dihentikan setelah didapatkan bukti baru;
3. Menentukan tindakan kepolisian secara
khusus; dan
4. Membuka kembali penyidikan berdasarkan
putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.
5). Penyelesaian
Berkas Perkara
Setelah
penyidik melakukan serangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti antara
lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, dan tersangka,
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta
tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang, selanjutnya penyidik
menganalisa dan mengambil kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan
tersebut. Semua tindakan dalam penyidikan dituangkan dalam berita acara
kemudian disusun dan dihimpun menjadi berkas perkara hasil penyidikan. [29]
Berkas
perkara termasuk dalam administrasi penyidikan yaitu penatausahaan segala
kelengkapan yang disyaratkan dalam undang-undang meliputi pencatatan,
pelaporan, pendataan, pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban,
kelancaran, dan keseragaman adminitrasi baik untuk kepentingan peradilan,
operasional maupun pengawasan penyidikan. Berkas perkara merupakan implementasi
konkrit dari prinsip prosedural, transparan dan akuntabel dalam penyidikan.
Prinsip prosedural berarti proses penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan
tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, prinsip transparan
berarti proses penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui
perkembangannya oleh masyarakat, dan prinsip akuntabel berarti proses
penyidikan dapat dipertanggungjawabkan. [30]
Berkas
perkara sebagai adminitrasi penyidikan sekurang-kurangnya harus memuat : [31]
1. Sampul berkas perkara;
2. Daftar isi;
3. Berita acara pendapat/resume;
4. Laporan polisi;
5. Berita acara setiap tindakan
penyidik/penyidik pembantu;
6. Administrasi penyidikan;
7. Daftar saksi;
8. Daftar tersangka;
9. Daftar barang bukti.
Berkas
perkara hasil penyidikan yang berisi berita acara penyidikan beserta
lampiran-lampiranya sedapat mungkin dibuat dengan sempurna baik ditinjau dari
segi kelengkapan berkas, segi yuridis teknis seperti segi pembuatan berita
acara yang ditentukan undang-undang, segi kelengkapan persyaratan pembuktian,
dan segi penerapan pemeriksaan yang berhubungan dengan isi materiil yang
disangkakan kepada tersangka, apakah hasil penyidikan benar-benar telah memenuhi unsur-unsur rumusan tindak
pidana yang disangkakan kepada tersangka. Hal ini bertujuan untuk menghindari
bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dengan penuntut umum yang
berlawanan dengan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, sehingga
akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik.[32]
6). Pelimpahan
Perkara ke Penuntut Umum
Penyerahan
berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum diatur dalam Pasal 8 KUHAP bahwa penyidik
menyerahkan berkas perkara ke penuntut umum dengan dua tahap, yaitu tahap
pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, dan tahap kedua dalam hal
penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan berkas perkara beserta
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Sejalan
dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP, mengenai penyerahan berkas perkara diatur dalam
Pasal 110 KUHAP sebagai berikut :
1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada
penuntut umum.
2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai dengan petunjuk dari
penuntut umum.
3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan
hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
4. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam
waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir, telah ada pemberitahuan tentang
hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Berdasarkan
Pasal 8 dan Pasal 110 KUHAP di atas, bahwa penyerahan berkas perkara tahap
pertama, penyidik secara nyata menyampaikan berkas perkara dan penuntut umum
menerima berkas perkara tersebut, namun penyerahan tersebut belum dianggap
bahwa penyidikan telah selesai, sebab berkas perkara hasil penyidikan yang
telah diserahkan masih dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dengan
petunjuk agar melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan, sehingga penyerahan
berkas perkara tahap pertama dikenal dengan istilah prapenuntutan. [33]
Sedangkan
penyerahan berkas perkara tahap kedua, apabila telah ada pemberitahuan dari
penuntut umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap, atau dalam waktu
empat belas hari sejak penerimaan berkas perkara, penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dengan demikian tanggung jawab
secara hukum terhadap berkas perkara, tersangka dan barang bukti atau benda
sitaan telah berarlih dari penyidik kepada penuntut umum. [34]
7). Penghentian
Penyidikan
Penghentian
penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP bahwa dalam hal penyidik
menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya.
Penghentian penyidikan yang didasarkan
pada alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, adalah
perbuatannya terbukti dilakukan, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk bukan
merupakan kejahatan maupun pelanggaran atau perbuatan tersebut termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdata. [35]
Penghentian
penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan
hapusnya hak untuk menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, sebagaimana
diatur dalam Pasal 76, 77 dan 78 KUHP yaitu:[36]
1. Nebis
in idem, yaitu seseorang tidak dapat lagi dituntut oleh kedua kalinya atas
dasar perbuatan yang sama di mana perbuatan tersebut telah pernah diadili dan
diputus oleh hakim dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Tersangka meninggal dunia, bahwa prinsip
pertanggung jawaban dalam hukum pidana terhadap kesalahan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku
yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
3. Kadaluwarsa, yaitu apabila tenggang waktu
telah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya
menurut hukum, penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi
dilakukan.
1. Untuk menegakkan prinsip peradilan yang
cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum
dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil
penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut
tersangka di muka pengadilan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa
tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan
penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri,
terutama kepada tersangka dan masyarakat.
2. Supaya penyidikan terhindar dari
kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi
ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan
sendirinya memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasar Pasal 95 KUHAP.
Konsekuensi
yuridis jika penyidik melakukan penghentian penyidikan terhadap suatu perkara,
terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana yang kemudian
dihentikan penyidikannya di mana dirinya telah dikenakan upaya paksa, maka
menurut Pasal 95 KUHAP diberi hak untuk mengajukan permintaan ganti kerugian
dan rehabilitasi sebagai akibat tidak sahnya penangkapan, penahanan atau tindakan
lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan.
Dengan
adanya ketentuan tentang tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi yang dapat
oleh tersangka, merupakan peringatan bagi penyidik untuk bersikap hati-hati
dalam melakukan suatu penyidikan, yaitu: [38]
1. Bahwa sebelum melakukan penyidikan
terhadap seseorang, penyidik harus benar-benar yakin bahwa orang tersebut telah
melakukan tindak pidana, berdasarkan bukti-bukti pendahuluan yang telah
berhasil dikumpulkan oleh penyelidik.
2. Bahwa penyidik harus yakin, yaitu apabila
ia sekali telah memulai dengan penyidikannya, tersangka secara pasti akan dapat
diajukan ke pengadilan untuk diadili.
3. Bahwa penyidik harus yakin terlebih dahulu
bahwa bukti-bukti atau saksi-saksi yang dapat dipergunakan untuk membuktian
kesalahan tersangka secara pasti akan dapat diperoleh.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2014.
Djisman Samosir, C. Segenggam
tentang Hukum Acara Pidana, Bandung : Nuansa Aulia, 2013.
Hartono, Penyidikan dan
Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar
Grafika, 2010.
Leden Marpaung, Proses
Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Jakarta : Sinar
Grafika, 2011.
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar,
Bogor : Politeia, 1997.
Ramelan, Hukum Acara
Pidana ; Teori dan Implementasi, Jakarta : Sumber Ilmu Jaya, 2006.
Rusli Muhammad, Hukum
Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ;
Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014.
Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat...
BalasHapusDigital Marketing
GPS Tracker