TINJAUAN TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Tahapan
awal dari proses hukum acara pidana di beberapa negara seperti di Belanda
disebut opsporing, sedangkan di
Inggris dan Amerika disebut investigation.
Sementara di Indonesia, proses awal yang dapat diterjemahkan dari opsporing maupun investigation dalam dua bentuk proses yaitu penyelidikan dan
penyidikan. Penggunaan terminologi untuk selidik dan sidik pada dasarnya
memiliki pengertian yang serupa yaitu meneliti lebih jelas tentang suatu
peristiwa, namun pengaturannya memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, baik
tujuan maupun pihak yang melaksanakannya. [1]
Penyidikan
suatu perkara pidana pada prinsipnya adalah kelanjutan dari penyelidikan yang
telah dilakukan sebelumnya. Terhadap suatu peristiwa yang telah dinyatakan
sebagai suatu tindak pidana oleh penyelidik, maka tahap selanjutnya adalah
melakukan penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku dari tindak pidana
tersebut.[2]
Penyidikan penekanannya diletakan pada mencari serta mengumpulkan bukti
agar tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang serta dapat menemukan pelakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
antara penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian dari dua fase
kegiatan yang antara keduanya saling berkaitan. [3]
Dengan demikian bahwa penyelidikan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari fungsi penyidikan, di mana melalui penyelidikan bertujuan
untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup yang mendahului
sebelum dilakukannya tindakan-tindakan dalam penyidikan yaitu penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pmeriksaan surat, pemanggilan, pemeriksaan surat, dan
penyerahan berkas perkara ke penuntut umum. [4]
Pengertian Penyidikan
Penyidikan sebagaimana yang di atur menurut
Pasal 1 Angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
De Pinto mengemukakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai pemeriksaan
permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang
segera setelah merekan dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar
beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [5]
Penyidikan
merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang
seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual
baik melalui penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti
dengan tindakan penahanan terhadap tersangka, serta tindakan penyitaan terhadap
barang atau bahan yang di duga mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan
tindak pidana yang terjadi.[6]
Penyidikan adalah tindakan mencari kejahatan yang merupakan aksi atau
tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan
setelah diketahuinya atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan
merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika
terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila
ada persangkaan telah dilakukan kejahatan maka harus di usahakan apakah hal
tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana,
dan jika benar demikian siapakah pelakunya.[7]
Rangkaian tindakan
penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh penyidik
Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan
dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan
yang berlaku hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai. [8]
Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh
penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut umum
dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan karena
adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat berasal
dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena
tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. [9]
Berkaitan dengan hakikat penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan
bukti-bukti,
secara sistematis dilakukan melalui proses yaitu : [10]
1. Informasi, yaitu menyidik dan mengumpulkan
keterangan-ketarangan serta bukti-bukti oleh polisi yang biasa disebut mengolah
tempat kejadian;
2. Interogasi, yaitu memeriksa dan mendengar
orang-orang yang dicurigai dan saksi-saksi yang biasayna dapat diperoleh di
tempat kejahatan;
3. Instrumentarium, yaitu pemakaian alat-alat
teknik untuk penyidikan perkara, seperti photografi, mikroskop dan alat lain di
tempat kejahatan.
Lebih lanjut, dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik berusaha untuk : [11]
1. Mendapatkan bukt-bukti dalam perkara
pidana yang berhubungan dengan kejahatan yang telah terjadi (corpora delicti dan alat-alat yang telah
dipakai melakukan kejahatan (instrumenta
delicti);
2. Berusaha meneman cara atau metode yang
telah dipakai penjahat waktu berbuat kejahatan (metode operandi);
3. Berusaha menemukan siapakah (identitas) penjahatnya.
Sasaran atau target penyidikan
adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak
pidananya menjadi terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa
tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur
dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan,
mengumpulkan, dan melakukan penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan
benda/barang bukti. [12]
Tujuan penyidikan terhadap tindak
pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan-keterangan berupa : [13]
1. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang
terjadi. Penyidikan yang dilakukan untuk
mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana apa yang sesungguhya telah terjadi
sehingga dapat menentukan pasal-pasal yang dilanggarnya.
2. Waktu tindak pidana dilakukan. Penyidikan
yang dilakukan harus dapat mengungkap waktu dilakukannya suatu kejahatan,
berkaitan dengan tanggal, hari, bulan dan tahun dilakukannya suatu tindak
pidana. Mengungkapkan waktu dilakukannya tindak pidana untuk memberikan
keyakinan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan untuk dapat dijadikan
ukuran jika adanya alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku.
3. Tempat terjadinya tindak pidana,
dimaksudkan adalah tempat di mana si pelaku melakukan kejahatannya. Tempat
dapat terjadi pada suatu lokasi tertentu atau dibeberapa lokasi. Penyidikan
dilakukan maksudnya adalah untuk mengetahui di mana tindak pidana itu
dilakukan. Kegunaannya adalah selain memudahkan penyidik mencari keterangan dan
menemukan saksi dan barang bukti yang digunakan pelaku, juga dapat dijadikan
ukuran jika ada alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku bahwa terjadinya
kejahatan tidak berada ditempat tersebut.
4. Dengan apa tindak pidana dilakukan. Dalam
penyidikan hal yang penting diungkapkan adalah alat-alat yang digunakan pelaku
di dalam melakukan kejahatannya. Alat ini dapat dijadikan barang bukti oleh
penyidik dan di depan sidang pengadilan dapat berguna untuk mendukung alat-alat
bukti yang ada sehingga menambah keyakinan hakim di dalam menjatuhkan
putusannya.
5. Alasan dilakukannya tindak pidana.
Keterangan yang perlu diungkap penyidik di dalam melakukan penyidikan adalah
alasan yang mendorong dilakukannya tindak pidana. Maksudnya adalah untuk
mengetahui apa sesungguhnya yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatannya, apa
tujuan yang hendak dicapainya sehingga melakukan kejahatan. Adapun
alasan-alasan dilakukannya tindak pidana akan dapat dijadian sebagai bahan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana.
6. Pelaku tindak pidana. Keterangan
terpenting yang harus diungkapkan dalam penyidikan adalah pelaku dari tindak
pidana itu. Keterangan ini untuk menyimpulkan siapa sebenarnya tersangka yang
melakukan tindak pidana dengan melihat antara keterangan-keterangan yang telah
diperleh melalui alat-alat bukti lainnya.
Kewenangan Penyidikan
Kewenangan penyidikan dimiliki oleh
penyidik dan penyidik pembantu. Adapun pengertian penyidik menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Lebih lanjut, Pasal 6 KUHAP menyatakan :
1.
Penyidik adalah :
a. Pejabat
polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Dari Pasal 6 KUHAP di atas, dengan
jelas menyatakan bahwa penyidik terdiri dari dua yaitu penyidik Polri dan
penyidik pegawai negeri sipil. Mengenai penyidik Polri dari segi diferensiasi
fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada
instansi kepolisian yang dalam pelaksanaannya oleh penyidik dan penyidik
pembantu. Sedangkan bagi penyidik pegawai negeri sipil diberi kewenangan yang
bersumber dari ketentuan undang-undang pidana khusus untuk melakukan
penyidikan, sehingga wewenang penyidikan yang dimiliki oleh penyidik pengawai
negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang
diatur dalam undang-undang pidana khusus tersebut, dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri. [14]
Adapun syarat-syarat sebagai
penyidik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
KUHAP, sebagai berikut :
Untuk dapat diangkat
sebagai penyidik Kepolisian negera Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a, harus memenuhi persyaratan :
a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi
dan berpendidikan paling rendah strata satu atau yang setara;
b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan
paling singkat dua tahun;
c. Mengikuti pendidikan pengembangan
spesialisasi fungsi reserse kriminal;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter;
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral.
Sedangkan syarat bagi pegawai negeri sipil untuk mengajukan
diri sebagai calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah :
a. Masa kerja sebagai PNS paling singkat dua
tahun;
b. Berpangkat paling rendah Penata
Muda/Golongan III/a;
c. Berpendidikan paling rendah Sarjana Hukum
atau sarjana lain yang setara;
d. Bertugas di bidang teknis operasional
penegakan hukum;
e. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter rumah sakit pemerintah;
f. Setiap unsur pelaksanaan pekerjaan PNS
paling sedikit bernilai baik dalam dua tahun terakhir;
g. Mengikuti dan lulus pendidikan dan
pelatihan di bidang penyidikan.
Mengenai wewenang penyidik diatur dalam
Pasal 7 KUHAP, yaitu:
1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari
seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di
tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret
seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a.
3. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.
Selanjutnya, penyidik pembantu menurut
Pasal 1 angka 3 KUHAP, adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam undang-udang ini. Lebih lanjut, Pasal 10 KUHAP menyatakan :
1. Penyidik pembantu adalah pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat 2 pasal
ini.
2. Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut
pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.
Adapun syarat kepangkatan bagi penyidik
pembantu yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut :
Penyidik
pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang memenuhi
persyaratan :
a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua
Polisi;
b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan
paling singkat dua tahun;
c. Mengikuti dan lulus pendidikan
pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter.
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral
yang tinggi.
Mengenai
kewenangan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik
pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat 1, kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari
penyidik.
***
DAFTAR PUSTAKA
Ali Wisnubroto, Praktek
Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy
Puspa Mega, 2002.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di
Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989.
Darwan Print, Hukum
Acara Pidana dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, Jakarta, 1998.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana
melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Karjadi, M. dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia,
1997.
Kuffal, HMA, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum,
Malang : UMM Press, 2010.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif,
Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012.
Mien Rukmini, Aspek
Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Bandung : Alumni, 2006
Moh Askin dan
Suhandi Cahaya, Hukum Acara Pidana Di
Luar KUHAP, Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2008.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.
Tolib Efendi, Dasar-Dasar
Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang :
Setara Press, 2014.
Yahya Harahap, M Pembahasan
Penerapan dan Permasalahan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta :
Sinar Grafika, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar