Kamis, 19 November 2015

TINJAUAN TENTANG PENEGAKAN HUKUM

TINJAUAN TENTANG PENEGAKAN HUKUM

                        Penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah enforcement. Menurut Black law dictionary diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law. Sedangkan penegak hukum (law enforcement officer) artinya adalah those whose duty it is to preserve the peace. (Henry Campbell Black, 1999, 797).
                        Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 912), penegak adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan.
                        Sudarto (1986 : 32), memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).
                        Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam mewujudkannya membutuhkan suatu organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh negara, dengan kata lain bahwa penegakan hukum  pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. (Satjipto Rahardjo, 2009 : vii-ix).
                        Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.  Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. (Soerjono Soekanto, 2005 : 5)
                        Ruang lingkup penegakkan hukum sebenarnya sangat luas sekali, karena mencakup hal-hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun dalam bidang penegakkan hukum. Penegakkan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement,  juga meliputi peace maintenance. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah penegakkan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi, hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasyarakatan atau penjara (Iskandar, 2009:98).
                   Josep Golstein (Muladi, 1995 : 40), membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian, yaitu :
                   1.   Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement;
                   2.   Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal;
                   3.   Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

                   Menurut Muladi (1995 : 41), sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)Penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu :
                   1.   Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di dukung oleh sanksi pidana;
                   2.   Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan di atas;
                   3.   Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial
                  
                   Soerjono Soekanto (2011 : 8), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut 1). Faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang. 2).Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

***


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998.
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O, 1999.  
Iskandar, ”Cermin Buram Penegakan Hukum Di Indonesia”. 2008.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang.
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.




Minggu, 04 Oktober 2015

PERADILAN ANAK MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

            PERADILAN ANAK (JUNVENILE JUSTICE) MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

                     Perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat dilepaskan dari apa sebenarnya tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak (Junvenile justice) itu sendiri.  Dari tujuan dan dasar pemikiran inilah baru dapat ditentukan apa dan bagaimana hakekat serta wujud dari perlindungan hukum yang sepatutnya diberikan kepada anak. Bertolak dari pendekatan yang berorientasi pada masalah kesejahteraan anak atau kepentingan terbaik bagi anak, jelas terlihat perlunya pendekatan khusus dalam masalah perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan. Hal demikian berarti perlu adanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan dan perlakuan khusus serta perlindungan khusus bagi anak dalam masalah hukum dan peradilan.          
                     Berkaitan dengan itu, adapun dokumen-dokumen Internasional yang mengatur tentang masalah penanganan terhadap anak dalam peradilan pidana, sebagai berikut :
            a.   Deklaration of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak 1959.
                           Deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak tahun 1924 yang diakui oleh Universal Declaration of Human Righst dan kemudian dikukuhkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai Deklaration of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak, yang terdiri dari 10 Prinsip.[1]
                           Dalam Mukadimah Deklaration of The Rights of The Child atau Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa :
                           Mengingat karena ketidakmatangan jasmani dan mental anak, maka kiranya anak memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya.

                           Selanjutnya, Prinsip ke-2 dari Deklaration of The Rights of The Child yang berbunyi :
                           Anak harus menikmati perlindungan khusus, dan harus diberi kesempatan dan fasilitas oleh hukum dan sarana lainnya, untuk memungkinkan dia untuk mengembangkan fisik, moral, spiritual dan sosial secara sehat dan normal dalam kondisi kebebasan dan martabat. Dalam pemberlakuan undang-undang untuk tujuan ini kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan penting.
     
            b.   United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules).
                        Instrument ini disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan dijadikan Resolusi PBB pada tanggal 39 November 1985 dalam Resolusi 40/33. [2] Aturan-aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Peradilan Remaja (Beijing Rules), yang mencakup penanganan anak dalam proses pidana, dapat diuraikan sebagai berikut :
                  1).  Asas umum, secara umum berisi tentang perlunya kebijakan sosial yang komperhensif yang bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin kesejahteraan anak. (Rule 1.4).
                  2).  Menegaskan peranan peradilan anak, tidak lain merupakan bagian integral dari keadilan sosial. Dalam hal ini harus dicatat bahwa batasan umur anak sangat bergantung pada sistem hukum negara anggota, pada satu pihak dan kondisi sosial ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat pada lain pihak, oleh karena itu batasan anak dirumuskan secara relatif, yaitu anak (Juvenile) adalah seorang yang berumur 7-8 tahun. (Rule 2.2).
                  3).  Satu hal yang penting harus diperhatikan bagi negara-negara anggota yaitu mengenai perumusan perundang-undangan nasional khusus, pengimplementasianya secara optimal ketentuan SMR-JJ ini dilingkungan negara anggota. Walaupun telah dirumuskan tentang perbuatan pelanggaran, dalam hal ini harus diingat bahwa pengkategorian perbuatan-perbuatan untuk anak dan remaja hendaknya lebih luas dari jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana untuk orang dewasa, misalnya dimasukkan pula perbuatan membolos sekolah, ketidakpatuhan pada orang tua, atau pada peraturan sekolah, mabuk dimuka umum dan sebagainya. (Rule 3.1).
                  4).  Batas usia pertanggung jawaban pidana, sebagai unsur penting pengimplementasian kaidah ini, pada pokoknya menyatakan bahwa, karena latar belakang sejarah dan budaya masyarakat suatu bangsa, sering sangat berpengaruh terhadap penentuan batas usia pertanggung jawaban pidana, maka pendekatan modern diterapkan. Pertanggung jawaban atas diri anak diukur dari tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dan perbuatan anti sosial anak. Yang penting batas usia pertanggung jawaban pidana anak tidak ditentukan terlalu rendah apalagi tidak ditentukan sama sekali. (Rule 4).
                  5).  Tujuan peradilan anak. Peradilan anak sebagai bagian dari upaya perwujudan kesejahteraan anak, dilaksanakan atas dasar asas proporsionalitas. Asas ini ditekankan sebagai sarana untuk mengekang sanksi yang bersifat punitif. Asas yang mengingatkan agar tanggapan dan reaksi masyarakat yang proporsional terhadap perbuatan anti sosial, artinya tanggapan dan reaksi itu tidak saja dilandaskan pada bobot perbuatan, melainkan memperhatikan pada lingkungan anak, status sosial, keadaan keluarga, dan faktor-faktor lain yang menjadi sebab timbulnya perbuatan. (Rule 5).
                  6). Tujuan peradilan anak tersebut di atas secara operasional diperankan oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks ini kepada aparat penegak hukum diberikan keleluasaan seluas mungkin dan dalam rangka tingkatan pemeriksaan untuk melakukan diskresi. (Rule 6).
                  7).  Hak-hak remaja/anak selama dalam peradilan, hak-haknya harus dilindungi seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua atau wali, hak untuk bertemu, berhadapan dan menguji silang atas dirinya, dan hak untuk banding. Disamping itu, selama dalam proses, privasi anak harus dilindungi mengingat anak sangat rawan terhadap stigmatisasi. Pemaparan identitas anak selama dalam proses oleh media massa harus dihindarkan. (Rule 7 dan Rule 8).                   
                 
            c.   Convention on The Rights of The Child atau disebut juga Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Resolusi MU PBB 44/25).
                        Instrumen ini disepakati dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 44 dan kemudian ditungkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. [3] Dalam mukadimah Convention on The Rights of The Child atau disebut juga Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa menyadari bahwa anak, demi pengembangan kepribadiannya secara penuh dan serasi, harus tumbuh dalam suatu lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian. Mengingat bahwa perlunya perluasan perawatan khusus bagi anak telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak.   
                        Adapun prinsip-prinsip penanganan terhadap anak yang diatur dalam Konvensi Hak-Hak anak adalah sebagai berikut :
                  1).  Artikel 37 :
                        a).  Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam.
                        b).  Pidana mati atau penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan, tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 tahun.
                        c).  Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang.
                        d).  Penangkapan, penahanan dan pidana penjara, hanya digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan jangka waktu yang sangat pendek.
                        e).  Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya, harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia.
                        f).  Anak yang dirampas kemerdekaannya, akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan kontak dengan keluarganya.
                        g).  Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya itu.

                  2).  Artikel 40 :
                        a).  Setiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana berhak diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak, tentang harkat dan martabatnya yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.
                        b).  Tidak seorang anak pun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau tidak berbuat sesuatu) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun Internasional pada saat perbuatan itu dilakukan.
                        c).  Tiap-tiap anak yang dituduh atau dituntut telah melanggar hukum pidana sekurang-kurangnya memperoleh jaminan-jaminan hak-hak:
                              (1). Untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum.
                              (2). Untuk diberitahukan tuduhan-tuduhan atas dirinya secara cepat dan langsung atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya.
                              (3). Untuk perkaranya diputus/diadili tanpa penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri dan tidak memihak.
                              (4). Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah.
                              (5). Apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana, keputusan dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku.
                              (6). Apabila anak tidak memahami bahasa yang dipergunakan, berhak memperoleh bantuan penerjemah secara cuma-cuma.
                              (7). Kerahasiaan pribadinya dihormati, dihargai secara penuh pada semua tingkatan pemeriksaan.
                        d).  Negara harus berusaha membentuk hukum, prosedur, pejabat yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/diterapkan kepada anak yang dituduh, dituntut akan dinyatakan telah melanggar hukum pidana khususnya:
                              (1).Menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang telah melakukan tindak pidana.
                              (2). Apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan terhadap anak tanpa proses peradilan harus diterapkan bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati.
                        e).  Bermacam-macam putusan terhadap anak (antara lain perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan, pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta pembinaan institusional lainnya) harus dapat menjamin bahwa anak diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraannya dan seimbang dengan keadaan lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukan.

            d.   United Nations Guidelines For The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidlines).
                        Instrumen internasional ini tercantum dalam Resolusi PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990. Resolusi ini merupakan ketentuan yang harus diperhatikan sebagai pedoman dalam masalah penanganan anak bermasalah dengan hukum.[4] Ketentuan yang mengatur tentang penanganan anak adalah sebagai berikut :
                  1).  Perlu diingat bahwa anak/remaja yang melakukan pelanggaran ringan tidak harus direaksi dengan kriminalisasi atau penghukuman atas perbuatannya (Rule 1.1-1.5).
                  2).  Hendaknya diperhatikan pula norma dan instrumen-instrumen Internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak, kepentingan akan kesejahteraan anak remaja pada satu pihak dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dari negara anggota (Rule 7-8).
                  3).  Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan delinkuensi anak, pemerintah merumuskan dan menrapkan peraturan perundang-undangan khusus, prosedur khusus dalam kerangka perlidungan hak-hak anak dan kesejahteraan semua anak remaja.
                  4).  Kebijakan yang telah tersusun hendaknya di dalamnya terkandung rencana dan program strategis dalam rangka penanggulangan juvenile deliquency baik melalui sistem peradilan pidana anak, maupun tidak lewat sistem peradilan pidana anak. Penjara hendaknya ditempatkan sebagai upaya terakhir dan itupun hanya untuk jangka pendek.
                  5).  Dalam rangka mencegah stigmatisasi dan kriminalisasi berkelanjutan terhadap anak, perundang-undangan hendaknya menjamin bahwa setiap perilaku yang bila dilakukan oleh orang dewasa tidak dikategorikan sebagai kejahatan atau perbuatan yang dapat dipidana bila dilakukan oleh anak remaja.
                  6).  Penegak hukum dan petugas lain yang relevan baik laki-laki maupun perempuan harus dilatih untuk cepat tanggap dan terbiasa terhadap kebutuhan khusus anak dan harus menggunakan keterampilannya semaksimal mungkin demi tersusun dan tertanganinya program-program dan kemungkinan-kemungkinan lain, sehingga anak terhindarkan dari campur tangan sistem peradilan (Rule 52-56).
            e.   United Nations Rules for the Protection of Juvenile Diprived of Their Liberty.
                        Instrumen internasional ini tertuang dalam Resolusi PBB 45/113, mulai berlaku tanggal 14 Desember 1990. Resolusi ini merupakan pemantapan standar minimum bagi perlindungan anak dari semua bentuk perampasan kemerdekaan yang dilandaskan pada hak-hak asasi manusia, dan menghindarkan anak dari efek sampingan semua bentuk penahanan demi tercapainya pengintegrasian anak ke dalam masyarakat. Oleh karena itu, resolusi ini harus diterapkan secara utuh tanpa adanya diskriminasi dan tetap menghormati konsep moral yang dimiliki anak. Resolusi ini yang direncanakan sebagai bahan acuan baku para profesional yang terlibat dalam pengelolaan sistem peradilan anak ini, hendaknya dibuat siap pakai dan dimasukkan dalam sistem perundang-undangan negara anggota. [5]
                        Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah ketentuan yang menekankan perlunya ditegakkan dan dilindungi hak-hak dan keselamatan anak di dalam penyelenggaraan peradilan anak guna mewujudkan kesejahteraan fisik dan mental anak. Perampasan kemerdekaan anak harus dipertimbangkan dengan cermat dan dilandaskan pada asas-asas dan prosedur yang tertuang dalam resolusi ini sendiri dan resolusi 40/33 (Beijing Rules). Perampasan kemerdekaan atas diri anak hanya mungkin sebagai upaya terakhir, itupun hanya dalam jangka waktu minimal dan untuk kasus-kasus tertentu saja. Pihak-pihak yang berwenang wajib secara teratur dan konsisten berupaya meningkatkan kesadaran publik bahwa perhatian terhadap anak dan mempersiapkan anak kembali ke masyarakat, adalah merupakan satu bentuk pelayanan sosial dan sangat penting, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah untuk membuka hubungan antara anak dengan masyarakat. (Bagian 1).
                        Anak menurut resolusi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. Batas usia minimal untuk seseorang dapat dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan ditentukan oleh undang-undang. Perampasan kemerdekaan sendiri berarti, setiap bentuk penahanan atau penempatan anak dalam lembaga koreksi, dimana anak tidak boleh meninggalkan tempat itu atas kehendak sendiri, atas dasar perintah lembaga pengadilan administrasi atau lembaga publik lainnya. Perampasan kemerdekaan atas diri anak, tetap memperhatikan penghormatan hak-hak anak, pemberikan kegiatan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan dan self-respect anak, serta mendukung usaha-usaha pengintegrasian anak kembali ke masyarakat. (Bagian II).
                        Anak yang ditahan karena menunggu persidangan hendaknya tetap dianggap tak bersalah dan diperlakukan sebagai demikian itu. Penahanan jenis ini hendaknya dihindarkan dan dibatasi untuk kasus dan situasi tertentu saja. Bilamana penahanan jenis ini tetap dikenakan pada diri anak, maka pengadilan harus memberikan prioritas utama dalam pemprosesan kasusnya, sehingga jangka waktu penahanan tidak berlarut-larut. Anak dalam status ini harus dipisahkan dengan yang berstatus pelaku kejahtan dan didampingi penasehat hukum secara gratis, yang dapat berkomunikasi secara teratur dan dijamin privasinya (Bagian III).
                        Rekaman (records) yang berisi semua laporan termasuk catatan tentang norma hukum yang dituduhkan, kesehatan anak, cara kerja, pendisiplinan dan dokumen-dokumen tentang bentuk isi dan rincian perlakuan terhadap anak harus dibuat dan ditempatkan dalam arsip perorangan yang bersifat rahasia. Anak bila ternyata mendapat kesalahan catatan tentang dirinya, diijinkan untuk mengadakan pembetulan. Bila saatnya anak dilepaskan, maka semua catatan itu harus disegel dan setelah jangka waktu tertentu dihapus, dihilangkan (Bagian IV.1).
                        Disemua tempat dimana anak dirampas kemerdekaannya, catatan lengkap yang tersimpan baik harus disediakan baginya catatan itu meliputi identitas anak, alasan perintah penempatan anak dalam penjara, serta pihak-pihak yang memerintahkan hari dan jam masuknya, pemindahan dan penglepasan, rincian pemberitahuan pada orang tua dan wali yang berisi permasalahan fisik dan kesehatan jiwa anak, khusus bagi anak pecandu narkotika. Pada saat masuk dirumah penjara, ia harus segera diberi copy aturan-aturan yang berlaku ditempat itu. Diskresi tertulis tentang hak-hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, beserta alamat-alamat pihak yang berwenang menerima keluhan, agen pemerintah, dan swasta yang dapat memberikan bantuan hukum. (Bagian IV.2).
                        Anak yang masuk dalam penjara sesegera mungkin harus diwawancarai, dibuat laporan kejiwaan dan sosialnya, diidentifikasikan faktor-faktor lain yang kesemuanya itu nantinya akan berguna untuk penentuan tipe dan tingkat perlakuan serta penyusunan program-program yang sesuai dengan kondisi anak. Perampasan kemerdekaan anak, harus dilandaskan pada pertimbangan yang cermat setelah memperlihatkan status umur, personalitas, jenis kelamin, tipe pelanggaran dan kondisi fisik kejiwaan anak. Penempatan anak dalam tahanan harus dipisahkan dengan orang dewasa, kecuali ada hubungan keluarganya. (Bagian IV.3).
                        Dengan demikian, dari beberapa ketentuan instrumen-instrumen Internasional yang telah diuraikan di atas, menunjukkan betapa pentingnya perlindungan anak dalam upaya mencapai kesejahteraan anak. Khususnya perlindungan anak dalam hukum pidana, berbagai instrumen Internasional mempedomani dan mengatur mulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, persidangan sampai anak ditempatkan dalam lembaga, yang menghormati hak-hak asasi anak.

***

DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1992.

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997.

Convention on The Rights of The Child atau disebut juga Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Resolusi MU PBB 44/25).

Deklaration of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak 1959.

United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules).

United Nations Guidelines For The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidlines).

United Nations Rules for the Protection of Juvenile Diprived of Their Liberty.

                                
     



            [1] Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1992), Hlm : 107.
            [2] Paulus Hadisuprapto dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997, Hlm 105.
            [3] Ibid, Hlm 86.
            [4] Ibid, Hlm 100.
            [5] Ibid, Hlm 112-113.

Selasa, 01 September 2015

ALAT BUKTI MENURUT KUHAP

ALAT BUKTI MENURUT KUHAP

            Pengaturan mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.   
      1.   Keterangan Saksi
      Pengertian Keterangan saksi menurut Pasal 1 Angka 27 KUHAP sebagai berikut :
      ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari         saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri         dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini”.

      Alat bukti keterangan saksi diatur dalam Pasal 185 KUHAP sebagai berikut :
      1).  Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan  di sidang pengadilan.
      2).  Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap               perbuatan yang didakwakan kepadanya.
      3).  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan satu                 alat bukti yang sah lainnya.
      4).  Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan                 dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada                               hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya                 suatu kejadian atau keadaan tertentu.
      5).  Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan                 keterangan saksi.
      6).  Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh                  memperhatikan :
             a).  Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
             b).  Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
             c).  Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
             d).  Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat                                    mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
      7).  Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak                              merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang              disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain.

             2.         Keterangan Ahli
             Menurut Pasal 1 Angka 28 menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
             Mengenai alat bukti keterangan ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam sidang pengadilan.
             3.         Surat
                         Pengaturan mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP sebagai berikut :
                         Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah, adalah :
                         a.    Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
                         b.   Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
                         c.    Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya.
                         d.   Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

      4.    Petunjuk
                         Pengaturan mengenai alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP sebagai berikut :
                         1).  Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
                         2).  Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 hanya dapat diperoleh dari :
                               a).  Keterangan saksi.
                               b). Surat.
                               c).  Keterangan terdakwa.
                         3).  Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.

      5.    Keterangan Terdakwa
                         Pengaturan mengenai alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP sebagai berikut :
                         1).  Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
                         2).  Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
                         3).  Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

                         4).  Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa si bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.


***

Senin, 03 Agustus 2015

TINJAUAN TENTANG ANAK DALAM HUKUM PIDANA

Tinjauan Tentang Anak Dalam Hukum Pidana
     
                     Pengertian anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur yang memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini, dapat ditelusuri berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya penafsiran yang mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur aduk sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.[1]
                     Pengertian anak dapat ditinjau dari aspek umur dan kejiwaan. dalam bahasan ini hanya dipaparkan pengertian anak ditinjau dari aspek usia saja, sedang pengertian anak ditinjau dari aspek psikologis tidak diuraikan lebih lanjut, mengingat batas usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauhmana anak bisa dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana. Sebagai gambaran akan diuraikan batasan tentang usia dari berbagai peraturan perundang-undangan.               
                     Dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang telah disetujui Majelis Umum tanggal 20 November 1989, di dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih cepat.[2]
                     Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1 menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[3]
                     Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai umur enam belas tahun. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 menyebutkan belum dewasa adalah mereka yang belum umur mencapai genap 21 tahun dan lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi kedudukannya belum dewasa.
                     Dalam Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
                     Selanjutnya Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Demikian pula Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Apabila perkawinan itu dibubarkan, walaupun belum berumur 21 tahun mereka tidak kembali menjadi anak.
                     Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, merumuskan anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.
                     Pasal 1 sub 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
                     Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
                     Dengan demikian, dari uraian-uraian di atas mengenai batasan usia anak menurut berbagai macam peraturan perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa dalam sistem hukum yang berlaku saat ini tidak ada keseragaman di dalam menentukan batasan usia kedewasaan.
                     Di Indonesia, penentuan batas usia anak dalam kaitan dengan pertanggung jawaban pidana, telah diatur secara eksplisit setelah pada tanggal 19 Desember 1996 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang kemudian diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998 yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.[4]
                     Adapun pengertian anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
                     Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak. Dalam amar putusan menyatakan sebagai berikut :
Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”;

Sehingga, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka batasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat di dilakukan proses hukum adalah anak yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.




            [1] Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan bertindak berdasar Batasan Umur), Gramedia (Jakarta, 2010), hlm : 36.
            [2] UNICEF, Convention on the right on the child..
            [3] Abdurarahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Edisi Pertama, Akademika Presindo (Jakarta, 1992), hlm : 137.
            [4] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers (Jakarta, 2011), hlm : 10.

Kamis, 02 Juli 2015

SEKILAS TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA

SEKILAS TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Pengertian Narkotika
             Secara etimologi, kata Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu Narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan nama narcotic, di Malaysia dikenal dengan istilah dadah sedangkan di Indonesia disebut Narkotika. (Andi Hamzah, 1986 : 224).
             Menurut vide Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2882 Tahun 1970, narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek kerja bersifat membiuskan (dapat menurunkan kesadaran), merangsang (meningkatkan prestasi kerja), menagihkan (meningkatkan ketergantungan), dan menghayal (halusinasi).
             Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabka menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
     

Penggolongan Narkotika

Penggolongan Menurut Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
a.    Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu             pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b.   Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi mengakibatkan ketergantugan.
c.    Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan      dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengembangan pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Wresniworo (1999 : 28),  narkotika menurut cara / proses pengolahannya dapat dibagi kedalam tiga golongan, yaitu :
a.       Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan tanaman yang dapat        dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-masing :
1).     Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman papaver somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak dan morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.
2).     Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang banyak terdapat dan         diolah secara gelap di Amerika bagian selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
3).     Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja termasuk hashish oil             (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.

b.   Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan Narkotika golongan ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti penathren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh yang terkenal dan sering disalahgunakan adalah heroin dan codein.

c.   Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia dengan               menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan Megadon.

Tindak Pidana Narkotika

            Narkotika secara umum disebut sebagai drugs yaitu sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan cara memasuan kedala tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit, perawatan stress dan depresi.
            Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan.
            Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada Pasal 7 di atas, mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan akan memperoleh pidana/ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang tersebut.
            Menurut Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
            Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

            Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengertian :
Peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain yang ditentukan dalam undang-undang.

***



DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wresniwiro, 1999, Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, Yayasan Mitra Bintibmas Bina Dharma Pemuda, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.