Senin, 25 Januari 2021

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR) PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Naskah ini telah dimuat di Jurnal Sasana Ubhara Jaya Vol. 6 Nomor 2 Tahun 2020. 

Link: https://ejurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/SASANA/article/view/271

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR) PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

ABSTRAK 

Penegakan hukum tindak pidana Narkotika yang melibatkan sindikat peredaran gelap Narkotika yang memiliki struktur dan jaringan yang tertutup sehingga menyulitkan aparat penegak hukum dalam pemberantasannya. Untuk menembus ke dalam jaringan sindikat Narkotika dengan diperlukan peran dari pelaku yang secara langsung terlibat dalam sindikat tersebut untuk memberikan keterangan dalam rangka mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar, sehingga terhadap pelaku yang telah bersedia bekerjasama tersebut perlu diberikan perlindungan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menemukan konsep perlidungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis secara yuridis-kualitatif dan dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana saat ini belum memadai, dimana perlindungan yang diberikan hanya terbatas pada perlindungan dari laporan balik pelaku yang diungkapnya dan bukan perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya. Perlindungan hukum saksi pelaku yang bekerjasama pada masa mendatang perlu adanya perluasan ruang lingkup saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum tidak hanya pada kasus yang sama, perluasan perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya, dan perluasan bentuk perlindungan lainnya selama menjalani proses peradilan.

 

Kata Kunci: Perlindungan hukum, Jusitice collaborator, Sistem Peradilan Pidana.

 

PENDAHULUAN

          Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu, Negara dan aparaturnya harus tunduk kepada hukum, di mana kekuasaan Negara dibatasi dan ditentukan oleh hukum, demikian pula alat-alat perlengkapan Negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus bersumber pada ketentuan hukum yang berlaku. Negara hukum memiliki ciri-ciri adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasan lain apapun, dan legalitas dari tindakan Negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur Negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. [2]

          Sebagai salah satu unsur dalam Negara hukum, setiap warga Negara memiliki hak-hak asasi manusia yang keberadaannya diakui dan dilindungi oleh Negara, dan dijamin melalui undang-undang. Untuk merealisasikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara tersebut, dilakukan oleh kekuasaan Negara yang terbagi oleh masing-masing penyelenggara Negara, meliputi badan pembuat undang-undang (legislatif), badan pelaksana (eksekutif), dan badan peradilan (yudikatif) yang terdiri dari berbagai lembaga yang memiliki kewenangan masing-masing, serta mempunyai kedudukan yang bebas untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang semestinya kepada setiap warga Negara. [3]                       

          Dengan demikian, bahwa perlindungan hak asasi manusia tidak dapat terlepaskan dari Pancasila dan UUD 1945, berati bahwa perlindungan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan serta nilai-nilai keadilan sosial, dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Demikian halnya dalam penyelenggaraan peradilan pidana, komitmen untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia tercermin dari sepuluh asas-asas hukum yang kemudian dijabarkan dalam ketentuan pasal-pasal sebagaimana tercantum dalam KUHAP, yaitu sebagai peraturan pokok acara pidana yang mengatur bagaimana aparat penegak hukum berindak jika terjadi tindak pidana dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia selama menjalani proses peradilan. [4]

          Berkaitan dengan hal tersebut di atas, keberhasilan penanganan terhadap suatu perkara pidana tidak terlepas dari keberadaan saksi yang bersedia memberikan keterangan tentang tindak pidana dalam seluruh tahapan proses peradilan pidana, yaitu sejak tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan, mengingat kedudukan saksi sangat penting dan menjadi faktor penentu dalam pengungkapan suatu perkara pidana. Tidak jarang dalam penanganan suatu perkara pidana kandas atau tidak dapat terselesaikan oleh penegak hukum karena tidak adanya saksi yang memberikan keterangan tentang tindak pidana yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri, sementara bukti-bukti lain yang telah dikumpulkan dan dimiliki oleh penegak hukum sangat terbatas, sementara keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dan menjadi dasar bagi penuntut umum dan hakim dalam pembuktian di persidangan untuk menentukan apakah terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

          Keberadaan saksi sangat dibutuhkan oleh penegak hukum yang digunakan dalam pembuktian perkara dalam persidangan, terutama dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi (organized crime) yang berbeda dengan tindak pidana biasa yang dilakukan dengan modus operandi yang sederhana. Tindak pidana terorganisasi dilakukan dengan menggunakan sistem kerja yang rapih, sistematis, serta adanya pembagian peran dari masing-masing pelaku yang menyulitkan penegak hukum untuk mengungkapnya. Oleh karena itu, dalam penanganan tindak pidana terorganisasi memerlukan bantuan “orang dalam” yang terlibat secara langsung, dan mengetahui dengan pasti terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga dapat memberikan kesaksian kepada penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana secara efektif. [5]

          Melihat peranan saksi yang sangat strategis dalam pembuktian perkara pidana khususnya dalam penanganan tindak pidana terorganisasi, maka sudah semestinya saksi diberikan perlindungan hukum sehingga dapat memberikan jaminan keamanan kepada saksi untuk memberikan keterangan tentang tidak pidana yang ia lihat, ia dengar atau ia rasakan sendiri. Tidak jarang dalam suatu perkara pidana saksi tidak hadir atau memilih absen untuk memberikan keterangan, disebabkan karena saksi tersebut khawatir akan keselamatan dirinya. Adapun pola-pola umum yang dilakukan oleh pelaku terhadap saksi yang mencoba untuk membantu penegak hukum untuk membongkar suatu perkara pidana antara lain : [6]

          1.       Pelaku melakukan kriminalisasi terhadap para pelapor tindak pidana yang dilakukannya (bisa juga gugatan balik).

          2.       Pelaku melakukan upaya kekerasan fisik misalnya, percobaan pembunuhan, memasang born, penganiayaan sampai kepada pembunuhan;

          3.       Pelaku melakukan upaya pemberhentian secara sepihak hubungan kerja yang ada (ancaman pemecatan) jika pelaku dan saksi dalam hubungan ikatan kerja;

          4.       Pelaku melakukan teror dan intimidasi secara psikologis, maupun karena mendapatkan ancaman baik fisik, maupun psikis berkaitan dengan kesaksian yang akan diberikannya.

 

          Berkaitan dengan hal tersebut, bahwa dalam praktik penegakan hukum tindak pidana terorganisasi khususny tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh jaringan sindikat peredaran gelap Narkotika, pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama untuk mengungkap tindak pidana Narkotika belum mendapat pengaturan yang memadai sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan dengan maksimal untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana Narkotika. Atas hal tersebut menjadi penting untuk dikaji bagaimanakah perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) perkara tindak pidana Narkotika dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini, dan bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice colaborator) pada masa mendatang.

 

METODE PENELITIAN

          Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, melalui penelitian perpustakaan ataupun melalui studi dokumen.[7] Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif-analitis yaitu suatu penelitian yang berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh dan mendalam tentang suatu keadaan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.[8] Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh data sekunder yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti.[9] Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-kualitatif yaitu dengan mengkaji bahan hukum yang didapat dari hasil penelitian secara sistematis serta konsisten untuk mencapai suatu kejelasan dari permasalahan yang dibahas.[10] 

 

PEMBAHASAN

A. Perlindungan hukum Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) saat ini.

          Untuk menumbukan partisipasi saksi untuk mengungkap tindak pidana, maka perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan pelindungan hukum kepada saksi sehingga dapat memberikan kesaksiannya guna mengungkap tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, perlindungan terhadap saksi dalam peradilan pidana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, bahwa:

          Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

 

       Dari rumusan pasal tersebut yang menyatakan “seorang saksi yang juga tersangka… mempunyai hubungan dengan rumusan “…kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Hal tersebut berarti bahwa seorang saksi yang juga tersangka harus memberikan kesaksian tidak hanya pada tahap penyidikan dan penuntutan, namun yang terpenting adalah memberikan kesaksian pada tahap persidangan tentang tindak pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. Adapun perlindungan yang diberikan kepada saksi yang juga tersangka dalam hal ini terdakwa yang telah memberikan kesaksian tentang tindak pidana untuk mengungkap pelaku lain dalam kasus yang sama sebagaimana diatur dalam pasal tersebut hanya terbatas pada pengurangan hukuman, sehingga saksi yang juga tersangka atau terdakwa tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana atas tindak pidana yang dilakukannya.

       Hal terpenting lainnya dari rumusan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, adalah rumusan pasal yang menyatakan bahwa “…kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Kata “dapat” dalam rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan hukum berupa pengurangan hukuman yang diberikan oleh hakim kepada saksi yang juga tersangka atau terdakwa yang telah memberikan kesaksian dalam persidangan terhadap pelaku lain dalam kasus yang sama, bukan merupakan suatu hal wajib dilakukan oleh hakim dalam persidangan, melainkan hanya bersifat fakultatif. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk memberikan pengurangan hukuman kepada saksi yang juga tersangka atau terdakwa, sehingga hal tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi saksi yang juga tersangka atau terdakwa yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam hal ini penyidik dan penuntut umum untuk memberikan keterangan dalam mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam  tindak pidana.

          Perlindungan  terhadap Justice collaborator kemudian diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini memberikan pengaturan yang lebih rinci syarat untuk menentukan seorang pelaku tindak pidana sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana yaitu salah satu pelaku dalam tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. SEMA juga mensyaratkan bahwa perlu adanya pernyataan Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya bahwa pelaku tersebut telah keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar, atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

          Adapun perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, maka hakim dalam persidangan dapat menentukan pidana yang akan dijatuhkan berupa pidana percobaan bersyarat khusus, atau menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dari ketentuan SEMA tersebut, bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam hal ini penyidik dan penuntut umum dengan memberikan kesaksian untuk mengungkap pelaku lain dalam tindak pidana hanya dapat diberikan perlindungan berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lain dalam perkara tindak pidana yang diungkapnya. Sehingga kepada saksi pelaku yang bekerjasama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum atas tindak pidana yang dilakukannya walaupun telah membantu penegak hukum dengan memberikan keterangan atau kesaksian dalam persidangan terhadap pelaku lain yang dalam tindak pidana yang diungkapnya.

          Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, juga tidak menyatakan bahwa perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana dalam bentuk penjatuhan pidana percobaan maupun peringanan penjatuhan pidana sebagai suatu hal yang wajib diberikan oleh hakim dalam persidangan. Dalam rumusan ketentuan SEMA ini menyatakan bahwa “…hakim dapat menentukan pidana yang akan dijatuhkan…” sehingga kata “dapat” tersebut merupakan suatu hal yang bersifat fakultatif atau pilihan yang dapat digunakan atau tidak oleh hakim. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi saksi pelaku yang bekerjasama dengan penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum yang telah memberikan kesaksian dalam persidangan.

          Pengaturan perlindungan hukum saksi pelaku yang bekerjasama, selanjutnya diatur dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, memberikan pengertian saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara, dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Pasal 4 Peraturan Bersama ini mengatur tentang syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yaitu :

          a.       Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisasi;

          b.       Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius atau terorganisasi;

          c.       Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;

          d.      Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan

          e.       Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

 

          Peraturan Bersama ini juga memberikan pengaturan tentang perlindungan yang lebih rinci jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, dan SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama terdiri dari perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, penghargaan. Perlindungan fisik dan psikis serta perlindungan hukum diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni undang-undang perlindungan saksi dan korban. Penanganan secara khusus berupa pemisahan ruang tahanan, kurungan dan penjara dengan pelaku yang diungkapnya, pemberkasan terpisah dengan pelaku yang diungkapnya, penundaan penuntutan atas dirinya, penundaan proses hukum atas keterangan yang diberikannya, dan memberikan kesaksian di persidangan tanpa menunjukkan wajah atau identitasnya. Penghargaan berupa keringanan tuntutan hukum, termasuk tuntutan hukuman percobaan, dan pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

          Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Bersama, dapat disimpulkan bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum diberikan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, maupun pemberian penghargaan. Berkaitan dengan perlindungan hukum, diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dengan demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana, berupa keringanan tuntutan pidana, termasuk tuntutan pidana percobaan, maupun penundaan penuntutan, atau penundaan proses hukum berkaitan dengan keterangan yang diberikannya, sehingga kepada saksi pelaku yang bekerjasama tidak dapat dibebaskan dari penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya.

          Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan pengertian saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Undang-undang ini lebih memperluas posisi saksi pelaku dalam peradilan pidana yang tidak hanya berstatus sebagai tersangka dalam tahap penyidikan, namun juga terdakwa dalam persidangan, maupun terpidana yang sedang menjalani hukuman untuk bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana.             Adapun perlindungan yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama yaitu:

           1)     Perlindungan fisik dan psikis, berupa perlindungan atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, memberikan keterangan tanpa tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat, dirahasiakan identitasnya, serta pemenuhan hak-hak saksi lainnya selama menjalani proses peradilan.

          2)      Perlindungan hukum, berupa tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana atau perdata atas keterangan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali diberikan tidak dengan itikad baik, dan jika ada tuntutan hukum, maka wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkannya telah diputus oleh pengadilan serta mempunyai kekuatan hukum tetap,

          3)      Penanganan secara khusus, berupa pemisahan tempat tahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diungkapnya, pemisahan pemberkasan antara saksi pelaku dengan tersangka atau terdakwa yang diungkapnya, dan memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkapnya.

          4)      Penghargaan berupa, keringanan penjatuhan pidana, atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, atau hak narapidana lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.            

          Sehubungan dengan hal di atas, dapat dibandingkan bahwa perlindungan yang diberikan kepada saksi pelaku lebih rinci jika dibandingkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, SEMA Nomor 4 Tahun 2011, di mana perlindungan yang diberikan kepada saksi pelaku terdiri dari perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus dan penghargaan. Pengaturan jenis-jenis perlindungan tersebut sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Bersama Penegak hukum, namun berkaitan dengan perlindugan hukum, pengaturan dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ini memberikan pengaturan yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum, bahwa saksi pelaku tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas keterangan yang akan, sedang dan telah diberikannya tentang tindak pidana, dan jika ada maka tuntutan tersebut ditunda sampai kasus yang dilaporkan mempunyai kekuatan hukum tetap.

          Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama Penegak Hukum, tidak memberikan perlindungan hukum berupa kekebalan dari penuntutan atau tidak dilakukannya penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya, meskipun dirinya telah memberikan keterangan atau kesaksian dalam persidangan terhadap pelaku lain yang diungkapnya. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 hanya mengatur bentuk perlindungan hukum berupa keringanan hukuman atau pidana percobaan. Demikian juga dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum hanya mengatur bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku berupa keringanan tuntutan pidana atau pemberian tuntutan pidana percobaan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku berupa tidak adanya penuntutan maupun penundaan penuntutan berkaitan dengan keterangan yang akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi pelaku yang diungkapnya.

          Hal lain penting lainnya berkaitan dengan perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa saksi pelaku tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, maupun penundaan penuntutan sampai kasus yang dilaporkannya diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi saksi pelaku dari upaya serangan balik yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang diungkapnya sebagai reaksi atas keterangan yang diberikan oleh saksi pelaku kepada penegak hukum. Laporan balik yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang diungkap oleh saksi pelaku kepada penegak hukum baik tentang tindak pidana pencemaran nama baik, maupun dugaan tindak pidana lain dengan tujuan untuk membungkam atau menghentikan upaya saksi pelaku untuk memberikan keterangan kepada penegak hukum tentang keterlibatan pelaku lain dalam suatu tindak pidana.

          Dengan demikian, bahwa rumusan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelaku dari upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pelaku lain yang diungkapnya, sehingga dengan adanya perlindungan hukum dari tuntutan pidana terhadap dirinya, diharapkan saksi pelaku dapat memberikan keterangan atau kesaksian secara maksimal untuk mengungkap pelaku lain dalam suatu tindak pidana tanpa merasa khawatir akan tuntutan hukum kepadanya selama maupun setelah menjalani proses peradilan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa perlindungan hukum yang tercantum dalam ketentuan Pasal 10 ayat 1 undang-undang ini, tidak mencakup perlindungan hukum terhadap saksi pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya, sehingga walaupun saksi pelaku telah bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan keterangan atau kesaksian terhadap pelaku lain yang diungkapnya, namun saksi pelaku tetap menjalani proses hukum sampai dengan persidangan hingga penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan. 

 

B. Perlindungan hukum Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) pada masa mendatang.

          Ditinjau dari karakteristiknya, kejahatan terorganisasi berbeda dengan kejahatan pada umumnya yang dilakukan secara sederhana, sedangkan kejahatan terorganisasi memiliki struktur, jaringan yang sistematis, dilakukan dengan perencanaan yang diarahkan pada tujuan untuk mencari keuntungan, di mana dalam melaksanakan kegiatan ilegalnya dilakukan secara rapih dan rahasia, sehingga menyulitkan penegak hukum untuk mengungkapnya. Oleh karena itu, peranan dari orang dalam yang telah berpartisipasi  dan merupakan bagian dalam suatu tindak pidana terorganisasi yang memiliki informasi penting tentang struktur kejahatan, metode operasi dan kegiatan yang dilakukan oleh sindikat tersebut, sehingga kerjasama dari orang dalam tersebut sangat penting diperlukan oleh penegak hukum dalam menangani perkara yang melibatkan tindak pidana terorganisasi. [11]

          Namun demikian, kendala yang sering dihadapi oleh penegak hukum dalam mengungkap dan memberantas kejahatan terorganisasi adalah sulitnya untuk menghadirkan orang yang merupakan saksi kunci yang mempunyai informasi atau keterangan penting yang dapat digunakan oleh penegak hukum dalam proses peradilan sejak tahap penyidikan sampai dengan tahap persidangan di pengadilan. Seorang enggan untuk memberikan keterangan sebagai saksi tentang tindak pidana yang melibatkan sindikat kejahatan terorganisasi, disebabkan karena adanya ketakutan akan resiko yang sangat membahayakan keselamatan dirinya, sehingga saksi akhirnya memilih untuk diam dan tidak mau mengungkap atau melaporkan kepada penegak hukum tentang tindak pidana yang diketahuinya. [12]

          Oleh karena itu, untuk menciptakan iklim dan suasana yang kondusif, serta memberikan jaminan keamanan kepada orang yang merupakan bagian dari kejahatan yang diungkapnya, maka perlu diberikan perlindungan hukum, sehingga orang yang mengetahui atau mempunyai informasi/keterangan tentang tindak pidana dapat memberikan keterangan atau kesaksiannya kepada penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Dengan adanya perlindungan hukum bagi orang yang merupakan bagian dari tindak pidana, merupakan refleksi penghargaan terhadap dirinya yang telah berkonstribusi dalam mengungkap tindak pidana, di mana penghargaan tersebut sebanding dengan resiko yang dihadapinya ketika memilih untuk bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana. [13]

          Berkaitan dengan hal tersebut, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengaturan berkaitan dengan perlindungan hukum saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu, dan Peraturan Bersama Penegak Hukum tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama.

          Dalam ketentuan tersebut pada umumnya telah mengakomodir upaya perlindungan hukum saksi pelaku berkaitan dengan kesaksiannya dalam mengungkap tindak pidana, yang diberikan dalam bentuk keringanan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, perlindungan hukum dalam bentuk penjatuhan pidana percobaan atau keringanan pidana diantara pelaku lain yang diungkapnya yang diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011, perlindungan hukum dalam bentuk keringanan penuntuntan pidana atau tuntutan pidana percobaan yang diatur dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum, maupun perlindungan dalam bentuk tidak adanya penuntutan atau penundaan penuntutan atas kesaksiannya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

          Dari bentuk-bentuk perlindungan hukum saksi pelaku yang bekerjasama yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, menurut penulis masih belum memadai untuk memberikan jaminan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama berkaitan dengan kesaksian yang diberikannya kepada penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, di mana saksi pelaku yang bekerjasama tidak mendapatkan perlindungan dalam bentuk kekebalan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya dan mempunyai ruang lingkup yang berbeda dengan perlindungan dalam bentuk kekebalan atau penundaan penuntutan yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang bertujuan untuk melindungi saksi pelaku dari serangan balik atau laporan dari pelaku lain yang diungkapnya berupa pencemaran nama baik/fitnah, perbuatan tidak menyenangkan, maupun dugaan tindak pidana lain dengan maksud agar saksi pelaku tidak lagi memberikan kesaksian tentang tindak pidana atau dengan tujuan sebagai upaya balas dendam kepada saksi pelaku.

          Kekebalan penuntutan atau penundaan penuntutan yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang mengadopsi konsep perlindungan hukum “status hukum” yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan dan peran serta masyarakat dalam pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi. Perlindungan tersebut ditujukan bagi orang, masyarakat atau LSM yang memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana Korupsi sebagai bentuk penghargaan atas informasi yang diberikan, yang dimaksudkan agar status hukum pada saat memberikan informasi sebagai pelapor tidak berubah menjadi tersangka kecuali informasi yang diberikan tidak dengan itikad baik.

          Berkaitan dengan hal tersebut, Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi tentang pengesahan Konvensi PBB menentang korupsi (United Nations Convention Against Corruption), memberikan pengaturan berkaitan dengan perlindungan hukum berupa kekebalan penuntutan dan pengurangan hukuman kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) dan (3), sebagai berikut :

         2.       Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini;

         3.       Setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan dalam konvensi ini.

 

          Sejalan dengan konvensi di atas, perlindungan hukum berupa kekebalan dari penuntutan tercantum dan pengurangan hukuman kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan terorganisasi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi (United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime), sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) dan (3), sebagai berikut :

          2.       Setiap Negara pihak wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan dalam keadaan yang tepat, pengurangan hukuman atas tertuduh yang memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh konvensi ini;

          3.       Setiap Negara wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan/penuntutan atas tindak pidana yang tercakup dalam konvensi ini.

 

            Dari konvensi di atas, mengamanatkan bahwa seorang yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi (organized crime) sebagaimana diatur dalam konvensi, yang kemudian memberikan kerjasama yang signifikan kepada penegak hukum berupa informasi tentang identitas, sifat, komposisi, struktur, lokasi atau kegiatan-kegiatan kelompok tindak pidana terorganisasi, keterkaitan dengan kelompok tindak pidana terorganisasi lainnya, atau tindak pidana yang telah atau mungkin dilakukan oleh kelompok tindak pidana terorganisasi, sehingga penegak hukum dapat secara efektif mengungkap  kejahatan terorganisasi beserta pelaku lain yang terlibat di dalamnya, maka kepada orang itu dimungkinkan untuk diberikan perlindungan dalam bentuk pengurangan hukuman, maupun kekebalan dari penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya dalam kejahatan terorganisasi tersebut.

          Sejalan dengan perlindungan yang diatur dalam konvensi tersebut, dalam ketentuan hukum di Amerika Serikat, bagi pelaku yang terlibat dalam tindak pidana khususnya kejahatan teorganisasi yang memberikan kesaksian terhadap pelaku lainnya melalui perjanjian dengan penuntut umum, sehingga pelaku tersebut tidak akan dituntut atau kekebalan penuntutan (statutory imunity) sebagaimana diatur daam Pasal 6002 (18) Crime and criminal procedure Part V. Imunity of witnesses (6001 to 6005) United States Code (USC) atau undang-undang hukum pidana dan hukum acara pidana Amerika Serikat. Pemberian kekebalan penuntutan (statutory imunity) diberikan kepada pelaku yang bersedia untuk bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan kesaksiannya terhadap pelaku lain.[14]

          Selain mendapatkan kekebalan penuntutan (statutory imunity), pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan kesaksian terhadap pelaku lain, juga diberikan pengurangan hukuman melalui mekanisme plea bargaining, penuntut umum dapat menawarkan kepada pelaku untuk bekerjasama dengan tawaran akan memberikan tuntutan pidana yang lebih ringan dari tuntutan pidana yang diancamkan dalam tindak pidana tersebut. Jika terdakwa menyetujuinya, maka penuntut umum memberi rekomendasi kepada hakim di persidangan untuk mengurangi hukuman pelaku tersebut sebagai penghargaan atas kerjasama yang telah diberikannya untuk memberikan kesaksian terhadap pelaku lain. [15]

          Demikian halnya dalam ketentuan hukum yang berlaku di Jerman mengatur tentang pemberian reward kepada saksi pelaku (kronzeugen) untuk mengungkap perdagangan dan peredaran obat-obat terlarang (Narkotika) yang di atur dalam Pasal 31 Betaubungsmittelgezetsz (BtMG) atau Narcotic Act 1981. Ketentuan tersebut mengatur bahwa hakim di pengadilan berdasarkan kebijakannya dapat mengurangi atau menghilangkan hukuman kepada saksi pelaku sehubungan dengan kejahatan Narkotika.[16] Ketentuan tersebut kemudian dimasukan dalam amandemen StGB (KUHP) yaitu dalam Pasal 49 StGB, bahwa hakim dalam persidangan atas kebijaksanaannya dapat memberikan pengurangan hukuman sampai dengan tingkat minimal kepada saksi pelaku (kronzeugen) yaitu pidana penjara seumur hidup diganti dengan pidana penjara tiga tahun, pidana penjara minimal lima tahun dikurangi menjadi dua tahun, pidana penjara minimal dua sampai tiga tahun dikurangi menjadi enam bulan, pidana penjara minimal satu tahun dikurangi menjadi tiga bulan, dan pidana penjara yang ditetapkan dengan angka mutlak, maka dikenakan pidana penjara tidak lebih dari tiga perempatnya. [17]

          Sedangkan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Italia mengatur tentang pemberian reward kepada saksi pelaku (collaborator of justice) yang terlibat dalam tindak pidana peredaran dan perdagangan obat-obat terlarang (Narkotika) yang diatur dalam Pasal 74 (7) Law No. 309/1990 on Narcotic, memberikan pengaturan pengurangan hukuman bagi pelaku tindak pidana peradaran obat-obat terlarang yang bersedia untuk bekerjasama dengan penegak hukum dengan berkonstribusi mengumpulkan bukti-bukti kejahatan, atau untuk merampas sumber daya yang sangat menentukan dalam pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh kejahatan terorganisasi (organized crime), maka dirinya akan diberikan pengurangan hukuman hingga 2/3 (Dua pertiga) dari ancaman hukuman atas kejahatan tersebut. [18]

          Dari perbandingan hukum pengaturan berkaitan perlindungan hukum dengan beberapa negara di atas, berkaitan dengan perlindungan hukum dalam bentuk pengurangan hukuman dan kekebalan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, telah dimasukan kedalam rumusan Pasal 200 RUU KUHAP, sebagai berikut :

          1.       Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut;

          2.       Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan Negeri.      

 

          Dari ketentuan Pasal 200 RUU KUHAP tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi seorang tersangka atau terdakwa yang paling ringan peranannya dalam suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau lebih dari satu orang, apabila kemudian orang tersebut memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam hal ini penyidik atau penuntut umum untuk mengungkap pelaku lain, maka kepada orang tersebut dapat dibebaskan dari tuntutan pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Selain kekebalan penuntutan, seorang tersangka atau terdakwa yang mengakui perbuatannya dan memberikan bantuan yang signifikan dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku lain, maka dapat diberikan keringanan hukuman dari pelaku lain yang terbukti bersalah dalam tindak pidana yang diungkapnya.     

          Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa ketentuan perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban perlu dilakukan perubahan berkaitan dengan ruang lingkup saksi pelaku yang mendapatkan perlindungan hukum dan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, yang diuraikan  dalam pembahasan sebagai berikut:  

1.  Ruang lingkup Saksi pelaku yang bekerjasama yang mendapatkan perlindungan hukum.

          Berkaitan dengan ruang lingkup saksi pelaku yang bekerjasama untuk mendapatkan perlindungan hukum dari penegak hukum yang tidak terbatas pada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama dengan tindak pidana yang dilakukannya, namun juga perlindungan hukum diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan keterangan atau kesaksian terhadap pelaku lain dengan peran yang lebih besar dalam kasus yang berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama.

          Dalam praktik penegakan hukum khususnya perkara tindak pidana Narkotika, bahwa pelaku tindak pidana Narkotika yang bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan keterangan tentang keterlibatan pelaku lain dalam sindikat peredaran gelap Narkotika, di mana pelaku yang diungkapnya tersebut tidak terlibat langsung dalam kasus yang sama dengan tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama. Hubungan antara saksi pelaku yang bekerjasama dengan pelaku lain dengan peran yang lebih besar yang diungkapnya hanya berhubungan dalam hal distribusi dan peredaran gelap Narkotika, namun saksi pelaku yang bekerjasama dan pelaku lain yang diungkapnya tersebut tidak secara bersama-sama dalam bentuk penyertaan (deelmening) untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana Narkotika. Dalam hal ini masing-masing pelaku melakukan tindak pidana Narkotika secara terpisah dan berdiri sendiri berdasarkan kualifikasi tindak pidana Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang Narkotika.

          Sehubungan dengan karakteristik sindikat tindak pidana Narkotika terorganisasi, jika ruang lingkup perlindungan hukum hanya diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap pelaku lain dalam kasus yang sama, kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap pelaku lain dalam kasus yang berbeda dengan tindak pidana Narkotika yang dilakukannya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 undang-undang perlindungan saksi, meskipun saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum telah mengungkap pelaku lain, namun dirinya tidak dapat digolongkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

          Penegasan pentingnya perlindungan hukum kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana terorganisasi juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi (United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime). Pasal 26 konvensi ini pada pokoknyna mengatur upaya perlindungan hukum kepada pelaku tindak pidana terorganisasi yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan dan penuntutan kejahatan terorganisasi, serta tidak membatasi upaya perlindungan hukum hanya diberikan kepada pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap pada kasus yang sama dengan yang dilakukannya, namun lebih menekankan pada upaya pemberantasan kejahatan terorganisasi.

          Oleh karena itu, menurut penulis perlu dilakukan perluasan ruang lingkup perlindungan yang tidak hanya diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap pelaku dalam kasus yang sama, tetapi juga diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap pelaku lain dalam kasus yang berbeda, sehingga yang menjadi fokus dalam pemberian perlindungan hukum adalah sejauhmana peranan saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap keterlibatan pelaku lain dalam sindikat peredaran gelap Narkotika, serta tidak terbatas pada pengungkapan pada kasus yang sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama. Dengan adanya perluasan ruang lingkup dan jangkauan perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama, dapat memberikan dorongan bagi pelaku tindak pidana Narkotika lainnya dengan peran yang kecil untuk bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika.

 

2. Ruang lingkup bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Saksi pelaku yang bekerjasama.

          Pada umumnya pelaku yang terlibat dalam kejahatan terorganisasi (organized crime) bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana dengan harapan untuk menerima kekebalan penuntutan atau setidaknya pengurangan hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya.[19] Berkaitan dengan hal itu,  menurut penulis kiranya ruang lingkup bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama adalah tidak terbatas pada perlindungan hukum dari adanya laporan balik atas dugaan pencemaran nama baik/fitnah atau dugaan tindak pidana lain yang melibatkan saksi pelaku, di mana laporan tersebut dilakukan oleh pelaku lain yang diungkapnya atas keterangan atau kesaksian yang dberikannya. Perlindungan hukum juga diberikan kepada saksi pelaku berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukannya, mengingat saksi pelaku adalah tersangka atau terdakwa yang bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan keterangan atau kesaksian dalam mengungkap tindak pidana atau pelaku lain, maka sudah sepantasnya perlindungan hukum juga diberikan kepada saksi pelaku atas tindak pidana yang melibatkan dirinya sendiri.

          Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana yang tidak terbatas pada penundaan atau peniadaan penuntutan atas keterangan yang diberikannya, dalam hal ini perlindungan hukum dari laporan balik oleh pelaku yang diungkapnya, maupun berupa keringanan penjatuhan pidana, namun bentuk perlindungan hukum kepada saksi pelaku yang bekerjasama berupa peniadaan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya atas kerjasama yang signifikan dalam mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 26 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi (United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime).                              

          Berkaitan dengan perlindungan hukum dalam bentuk peniadaan penuntutan, jika ditinjau dari doktrin hukum pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP, mengatur tentang dasar peniadaan penuntutan yang bersifat umum terhadap pelaku tindak pidana, yaitu : [20]

          1.       Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem, Pasal 76);

          2.       Sebab meninggalnya si pembuat (Pasal 77);

          3.       Sebab telah lampau waktu atau kadaluawarsa (verjaring, Pasal 78-80);

          4.       Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan dimulai (bagi pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda, Pasal 82).

 

          Sehubungan dengan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa terhadap perkara pidana yang tidak memenuhi ketentuan tersebut tetap dilakukan penuntutan oleh penuntut umum dalam persidangan. Namun demikian, Jaksa Penuntut Umum juga diberi kewenangan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara pidana dengan alasan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat 2 KUHAP, bahwa penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum yang dituangkan dalam surat ketetapan. Selain itu, undang-undang juga memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara pidana dengan kewenangan yang dimilikinya untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

          Sehubungan dengan hal tersebut, jika dihubungkan dengan perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana Narkotika di mana dirinya juga merupakan bagian dari tindak pidana serta tidak memenuhi salah satu syarat untuk meniadakan penuntutan maupun syarat untuk menghentikan penuntutan atas tindak pidana Narkotika yang dilakukannya. Demikian juga dengan pengesampingan perkara, karena tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menghentikan perkaranya demi kepentingan umum demi kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum yang menjadi alasan kuat untuk meniadakan penuntutan terhadap perkara yang melibatkan saksi pelaku yang bekerjasama yang diduga kuat melakukan tindak pidana Narkotika.

            Demikian pula jika ditinjau dari doktrin hukum pidana tentang alasan peniadaan/penghapusan pidana umum sebagaimana tercantum dalam KUHP yang mengatur tujuh dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidanya pelaku tindak pidana, yaitu : [21]

          1.       Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat (ontoerekeningsvatbaarheid, Pasal 44 ayat 1) ;

          2.       Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48);

          3.       Adanya pembelaan terpaksa (noodeweer, Pasal 49 ayat 1);

          4.       Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodewerexes, Pasal 49 ayat 2);

          5.       Karena sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50);

          6.       Karena menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1);

          7.       Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2).      

 

          Dengan demikian, menurut doktrin hukum pidana kepada setiap pelaku tindak pidana yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagai dasar peniadaan penuntutan maupun dasar peniadaan/penghapusan pidana, pelaku itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam hal ini mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya. Hal tersebut merupakan implementasi dari prinsip equality before the law dan prinsip non-impunity bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum sehingga semua orang yang bersalah harus dihukum tanpa ada pengecualian, sehingga saksi pelaku yang bekerjasama harus tetap dihukum seperti halnya pelaku tindak pidana lainnya.

          Pendekatan hukum yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam upaya pemberantasan kejahatan terorganisasi (organized crime) yaitu melalui konsep pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Konsep restorative justice adalah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam suatu kejahatan/pelanggaran bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari kejahatan tersebut demi kepentingan masa depan.[22] Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penyelesaian perkara pidana melalui konsep pendekatan restorative justice lebih mengedepankan upaya pemulihan (restorasi) terhadap kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga pemidanaan kepada pelaku dapat dihilangkan dengan konsekuensi bahwa pelaku bertanggungjawab untuk memulihkan dampak kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut.

          Konsep pendekatan restorative justice relatif cocok untuk diterapkan dalam memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) dengan argumentasi bahwa konsep restorative justice berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan, mengingat kontribusi yang diberikan oleh Justice collaborator dalam mengungkap tindak pidana dijadikan dasar yang membedakannya dengan pelaku biasa sehingga kontribusinya menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Konsep restorative justice juga akan menimbulkan efek positif bagi masyarakat, di mana pelaku yang potensial menjadi Justice collaborator tidak akan takut lagi untuk mengungkap tidak pidana, sehingga tindak pidana akan terungkap dalam jumlah yang masif. Di sisi lain Justice collaborator tetap bertanggung jawab untuk memulihkan dampak kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukannya (misalnya memulihkan kerugian negara dengan cara mengembalikan uang negara yang dikorupsinya dalam perkara tindak pidana korupsi), disertai dengan tanggung jawab untuk bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana.[23]

          Jika dihubungkan dengan perkara tindak pidana Narkotika, dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku tentunya berbeda dengan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana lain yang menyerang hak orang lain sebagai korban tindak pidana, maupun menyerang kepentingan umum atau kepentingan negara misalnya dalam tindak pidana korupsi yaitu berupa kerugian terhadap negara sehingga upaya pemulihan dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Adapun dampak yang ditimbulkan dari penyalahguna Narkotika yaitu dapat merusak kesehatan dan tubuhnya sendiri sebagai pihak yang menggunakan Narkotika. Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika dapat membahayakan kesehatan jiwa individu yang menjadi pemakai Narkotika dan dapat memberikan dampak yang lebih luas serta mengancam masa depan masyarakat, bangsa dan negara.

          Dengan demikian, jika ditinjau dari konsep pendekatan restorative jusice yang lebih mengedepankan upaya pemulihan (restorasi) terhadap dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana, maka pelaku yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika sulit unuk melakukan upaya pemulihan terhadap dampak yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya berupa peredaran gelap Narkotika karena Narkotika yang diedarkan secara ilegal tersebut telah disalahgunakan oleh orang-orang yang menjadi penyalahguna Narkotika. Berbeda halnya dengan penyalahguna Narkotika yang merupakan kategori kejahatan tanpa korban (victimless), di mana posisi penyalahguna Narkotika selain sebagai pelaku tindak pidana, dirinya juga sebagai korban dari tindak pidana sehingga dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya dengan menyalahgunakan Narkotika dialami oleh dirinya sendiri.

          Oleh karena itu, dalam hal perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan, penulis memberikan pembatasan berdasarkan kualifikasi tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama, sehingga peniadaan penuntutan tidak diberikan kepada semua saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap sindikat peredaran gelap Narkotika. Perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan atas tindak pidana Narkotika yang dilakukannya hanya dapat diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan kualifikasi sebagai penyalahguna dengan jumlah tertentu untuk pemakaian sehari yang kemudian bersedia untuk mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar. Penyalahguna Narkotika tersebut tidak dituntut secara pidana namun dirinya diwajibkan untuk mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pada lembaga-lembaga yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan tingkat ketergantungan yang dialaminya.

          Peniadaan penuntutan bagi saksi pelaku yang bekerjasama dengan kualifikasi sebagai penyalahguna Narkotika sejalan dengan konsep dekriminalisasi penyalahguna Narkotika yang merupakan model penghukuman non-penal sebagai salah satu paradigma hukum modern yang bertujuan menekan demand dan sekaligus menekan supply reduction Narkotika ilegal sehingga berdampak pada penurunan prevalensi penyalahguna Narkotika. Dekriminalisasi penyalahguna Narkotika dapat dideskripsikan bahwa penyalahguna Narkotika yang membawa, memiliki, menguasai, mengkonsumsi Narkotika dalam jumlah tertentu untuk pemakaian sehari merupakan perbuatan melanggar hukum, namun apabila yang bersangkutan tidak diberikan hukuman berupa pidana penjara, namun digantikan dengan upaya rehabilitasi baik medis dan sosial. [24] Hal tersebut tentunya didasarkan pada perubahan pendekatan paradigma dan tindakan terhadap penyalahguna Narkotika yang pada awalnya pendekatan dilakukan dengan memposisikan penyalahaguna Narkotika sebagai pelaku tindak pidana sehingga yang kedepankan adalah efektivitas penegakan hukum pidana, kemudian pendekatan lama diubah dengan memposisikan penyalahguna Narkotika sebagai korban dari penyalahgunaan Narkotika yang membutuhkan penanganan baik secara medis maupun sosial. [25]

          Selanjutnya, bagi saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara tindak pidana Narkotika dengan kualifikasi sebagai pengedar atau kurir Narkotika dengan pembatasan jumlah barang bukti Narkotika dan disertai dengan syarat untuk mengungkap pelaku lain dengan peran sebagai bandar atau produsen Narkotika, kepadanya tetap dituntut atas tindak pidana Narkotika yang dilakukannya, namun diberikan perlindungan berupa keringanan penuntutan pidana maupun keringanan penjatuhan pidana sampai dengan dua per tiga (2/3) dari ancaman hukuman tindak pidana Narkotika yang dilakukannya sebagai reward atas kerjasama yang telah diberikan dalam mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika.

 

 

3. Bentuk perlindungan lain yang diberikan kepada Saksi pelaku yang bekerjasama.

          Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa perlindungan hukum saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam peradilan pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu, maupun dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Dari ketiga ketentuan tersebut memberikan pengaturan berkaitan dengan perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama yaitu perlidungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus, maupun perlindungan dalam bentuk penghargaan.

          Perlindungan fisik dan psikis berupa perlindungan atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Perlindungan hukum berupa tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana atau perdata atas keterangan yang akan, sedang atau telah diberikannya. Penanganan secara khusus, berupa pemisahan tempat tahanan atau tempat menjalani pidana, pemisahan pemberkasan antara saksi pelaku dengan tersangka atau terdakwa yang diungkapnya, dan memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkapnya. Sedangkan penghargaan berupa, keringanan penjatuhan pidana, atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, atau hak narapidana lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

          Selain bentuk-bentuk perlindungan tersebut di atas, upaya perlindungan perlu dipertimbangkan untuk ditingkatkan dalam setiap keadaan di mana saksi berada dalam ancaman atau bahaya terhadap nyawanya karena kesediannya dalam membantu penegak hukum dalam proses investigasi terhadap perkara pidana. Peningkatan perlindungan kepada saksi dapat dilakukan dengan upaya-upaya, antara lain : [26] 

          1.       Perpindahan tempat tinggal sementara ke rumah saudara atau kota terdekat;

          2.       Perlindungan yang ketat, patroli secara reguler di rumah saksi,

          3.       pendampingan menuju dan dari pengadilan serta penyediaan kontak darurat;

          4.       Koordinasi dengan perusahaan telepon untuk merubah nomor telefon saksi atau memberikannya nomor telepon baru yang tidak terdaftar;

          5.       Pengawasan surat dan telepon;

          6.       Pemasangan alat-alat keamanan dalam rumah saksi (seperti pintu keamanan, alarm atau pagar);

          7.       Pengadaan alat darurat elektronik dan telepon seluler dengan nomor darurat;

          8).     Meminimalisir kontak dengan publik bersama polisi berseragam;

          9).     Memanfaatkan lokasi yang bijak untuk mewawancarai dan memberikan briefing kepada saksi

 

          Dari uraian di atas, dalam hal perpindahan tempat tinggal (relokasi) sebenarnya telah dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, Pasal 5 ayat 1 huruf (j) menyatakan bahwa saksi berhak mendapatkan tempat kediaman baru. Namun, berbeda dengan praktik perlindungan di Amerika Serikat, Italia, Belanda dan Jerman yang menggunakan istilah relokasi dari tempat kediaman saksi ke tempat lain misalnya ke kota yang lain bahkan ke luar negeri sehingga terhindar dari jangkauan pihak-pihak yang berhubungan dengan tindak pidana yang diungkap oleh saksi yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan saksi. Dari perbedaan istilah tersebut terkandung maksud bahwa relokasi saksi merupakan suatu kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada saksi, sedangkan istilah mendapatkan kediaman baru mengandung makna bahwa saksi dapat memilih untuk menempati tempat lain selain tempat kediamannya.

          Selanjutnya, selain dengan melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan perlindungan untuk menjamin keselamatan saksi dengan tingkat ancaman yang tinggi, upaya perlindungan terhadap saksi dapat diberikan selama menjalani proses peradilan atau dikenal dengan perlindungan prosedural kepada saksi dalam peradilan yang dapat dikategorikan berdasarkan tujuannya, yaitu : [27]

          1).     Upaya untuk mengurangi rasa takut melalui konfrontasi dengan terdakwa, termasuk upaya berikut ini :

                   a).     Penggunaan pernyataan pra-persidangan (baik pernyataan tertulis atau rekaman audio ataupun video) sebagai alternatif kesaksian di persidangan ;

                   b).     Pemindahan terdakwa dari ruang sidang ;

                   c).     Kesaksian melalui CCTV atau hubungan audio-video, seperti videoconference.

          2)      Upaya untuk mempersulit atau mencegah terdakwa atau kelompok terorganisir untuk melacak identitas saksi, termasuk upaya berikut ini :

                   a).     Kesaksian terlindungi melalui penggunaan layar, tirai atau kaca dua arah;

                   b).     Kesaksian tanpa nama.

          3).     Upaya untuk membatasi keterbukaan saksi kepada publik dan stres psikologis :

                   a).     Perubahhan lokasi persidangan dan tanggal sidang;

                   b).     Pemindahan publik dari ruang sidang (sesi rekaman kamera);

                   c).     Kehadiran seorang pendamping sebagai pendukung saksi.

 

          Berdasarkan bentuk-bentuk perlindungan prosedural kepada saksi dalam proses peradilan di atas, upaya perlindungan yang tercantum dalam point (1) telah diakomodir dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, bahwa saksi yang berada dalam ancaman yang sangat besar dapat memberikan tanpa hadir langsung di pengadilan, di mana keterangannya diberikan secara tertulis di hadapan pejabat berwenang. Selain itu, proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Meskipun keamanan saksi dapat terjaga selama memberikan keterangan karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku dalam persidangan, namun wajah saksi dapat diketahui baik oleh terdakwa maupun pihak lainnya sehingga dapat mengancam keselamatan saksi.

          Oleh sebab itu, dalam penggunaan videoconference perlu dikombinasikan dengan bentuk perlindungan lainnya seperti penggunaan layar atau distorsi wajah atau suara. Hal tersebut juga diamanatkan dalam Pasal 18 paragraf 18 Konvensi PBB menentang kejahatan transnasional terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000) yang pada pokoknya bahwa jika dimungkinkan oleh sistem hukum negara peserta untuk melakukan pemeriksaan saksi melalui videoconference atau melalui penggunaan teknologi lainnya seperti alat dan software untuk distorsi gambar dan suara guna menghindari pengungkapan identitas saksi kepada terdakwa dan publik, maupun pemeriksaan terhadap saksi yang tinggal dalam yurisdiksi Negara anggota yang berbeda. [28]         

          Bentuk perlindungan berikutnya yaitu berkaitan dengan pemberian kesaksian tanpa nama (anonimitas) bertujuan untuk menjaga seluruh atau sebagian identias saksi rahasia dari pelaku dan publik sehingga merupakan salah satu upaya perlindungan yang efektif dalam perkara yang substansi kesaksiannya sendiri tidak mengindentifikasi saksi kepada pelaku serta kesaksian tersebut di dukung dengan bukti lain. Kesaksian anonimitas dapat dilakukan sebagian  atau terbatas maupun anonimitas total atau seutuhnya. Dalam anonimitas terbatas, saksi dapat diperiksa silang di pengadilan oleh pelaku, namun saksi tidak diwajibkan untuk menyebut nama aslinya atau menggunakan nama samaran, maupun rincian pribadi lainnya seperti alamat, pekerjaan atau tempat kerja. Sedangkan  anonimitas total, setiap informasi yang berhubugan dengan identitas saksi tetap dijaga kerahasiannya, di mana pada saat saksi hadir di pengadilan, saksi memberikan kesaksian dari balik sekat, menggunakan penutup atau dengan distorsi suara. [29]

          Selanjutnya, dalam hal perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama yang telah berstatus sebagai narapidana atau sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan, perlu diberikan perlindungan khusus yang dibutuhkan untuk melindungi keamanan dan keselamatan diri saksi pelaku yang bekerjasama selama menjalani hukuman. Pihak Lembaga Pemasyarakatan dapat berkoordinasi dengan pihak yang menangani perlindungan saksi maupun pihak terkait lainnya untuk melakukan upaya-upaya perlindungan, antara lain:[30]

          1).     Pemisahan dari penghuni penjara umum;

          2).     Menggunakan nama yang berbeda untuk saksi narapidana;

          3).     Persediaan transportasi khusus untuk kesaksian di persidangan;

          4).     Isolasi dalam unit penahanan yang terpisah dalam penjara atau bahkan dalam penjara khusus.

 

          Berkaitan dengan perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama yang berstatus sebagai narapidana di atas, Pasal 10A  ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban telah mengakomodir dengan memberikan pengaturan berkaitan dengan perlindungan berupa penanganan secara khusus dengan memisahkan tempat menjalani pidana antara saksi pelaku yang bekerjasama dengan pelaku yang diungkapnya. Namun demikian, menurut penulis perlindungan terhadap narapidana sebagaimana diatur dalam pasal tersebut perlu ditambahkan berkaitan dengan pemberian identitas yang berbeda (identitas baru) kepada saksi pelaku yang bekerjasama selama dirinya menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat menjaga keamanan dan keselamatannya saksi pelaku yang bekerjasama dari pelaku tindak pidana yang diungkapnya maupun dari pihak lain berkaitan dengan peranan yang telah diberikannya dalam mengungkap tindak pidana.

          Dengan demikian, berdasarkan pembahasan tentang perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis mengajukan revisi terhadap ketentuan Pasal 10 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Menurut penulis, perlu dilakukan pemisahan yang tegas berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi, korban, pelapor dengan perlindungan yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dihubungkan syarat-syarat untuk menentukan pelaku tindak pidana sebagai saksi pelaku yang bekerjasama. Penekanan perlindungan hukum diberikan tidak terbatas pada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana pada kasus yang sama dengan yang dilakukannya, namun difokuskan pada upaya saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana.

          Selanjutnya, penulis mengajukan revisi terhadap ketentuan Pasal 10 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, berkaitan dengan bentuk-bentuk perlindungan hukum berupa penanganan secara khusus yang diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana. Adapun rumusan Pasal 10 A ayat 2 menjadi sebagai berikut :

          2)      Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

                   a)      Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku yang bekerjasama dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;

                   b)      Pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku yang bekerjasama dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya;

                   c)      Penggunaan pernyataan pra-persidangan secara tertulis atau menggunakan rekaman audio ataupun video sebagai alternatif kesaksian di persidangan;

                   d)      Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya;

                   e)      Memberikan kesaksian di persidangan dengan terlindungi sekat berupa layar, tirai atau kaca dua arah sehingga tidak diketahui oleh terdakwa yang diungkapnya;

                   f)       Memberikan kesaksian di persidangan tanpa nama atau menggunakan identitas yang berbeda;

 

          Dengan adanya revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, sebagaimana penulis ajukan di atas, diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan hukum yang memadai kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana selama dirinya menjalani proses peradilan pidana, sehingga saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan konstribusi yang maksimal dalam mengungkap tindak pidana.

 

PENUTUP

Kesimpulan

          Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.       Perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerja sama (Justice collaborator) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini sebagaimana diatur dalam  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama Penegak Hukum masih belum memadai untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama berkaitan dengan kesaksian yang diberikannya kepada penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana atau pelaku lainnya, di mana ruang lingkup perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama hanya terhadap laporan balik dari pelaku yang diungkapnya dan tidak mendapatkan perlindungan dalam bentuk peniadaan penuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya meskipun saksi pelaku yang bekerjasama telah memberikan kesaksian dalam persidangan terhadap pelaku lain yang diungkapnya.

2.       Perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama pada masa mendatang perlu adanya perluasan ruang lingkup saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum yang tidak terbatas hanya dalam mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama dengan tindak pidana yang dilakukannya, tetapi juga dalam tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang lain dengan kasus yang berbeda, perluasan ruang lingkup perlindungan yang tidak terbatas pada perlindungan hukum dari adanya laporan balik atas dugaan pencemaran nama baik/fitnah atau dugaan tindak pidana lain yang melibatkan saksi pelaku yang bekerjasama, tetapi juga peniadaan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukannya atas perannya yang telah bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan keterangan untuk mengungkap tindak pidana atau pelaku lain, serta perluasan bentuk-bentuk perlindungan lainnya dalam menjalani proses peradilan antara lain kesaksian di persidangan dengan terlindungi sekat berupa layar atau tirai, kesaksian melalui videoconference, distorsi wajah dan suara, kesaksian tanpa nama (anonimitas) atau identitas yang berbeda.

 

Saran

          Berdasarkan temuan-temuan hasil penelitian sebagaimana telah disimpulkan di atas, disarankan kepada Pemerintah dan DPR kiranya melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan melakukan perluasan ruang lingkup saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum yang tidak terbatas pada kasus yang sama tetapi juga kasus yang berbeda, perluasan ruang lingkup perlindungan hukum berupa peniadaan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh saksi pelaku yang bekerjasama atas kesaksian yang telah diberikannya untuk mengungkap pelaku utama lain, serta revisi terhadap ketentuan Pasal 10A ayat (2) dengan menambahkan bentuk-bentuk perlindungan lain kepada saksi pelaku yang bekerjasama selama menjalani proses peradilan pidana sehingga dapat memberikan perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004.

Chazawi, Adhami, Pelajaran Hukum Pidana; Bagian kedua, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kajahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.

Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, 1973.

Iskandar, Anang, Jalan Lurus Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang : Tanpas Comunications, 2015.

Iksan, Muchamad, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2012.

Mulyadi, Lilik, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni, 2015.

Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2003.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Wijaya, Firman, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012.

 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi (United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime).

Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan dan peran serta masyarakat dalam pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi.

Peraturan Bersama Menkumham RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, KPK RI dan LPSK RI, Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor : KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor : 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

 

Sumber Lain

F. Marshall, Toni,Restorative Justice an Overview”, Minnesota : Center of Restorative Justice and Mediation University of Minnesota.

Katharina Zimmermann, Anne,Securing Protection and Cooperation of Witnesses and Whistleblower and Overview of the Law as its Stands in Germany”, tanpa tahun.

J.P. Tak, Peter, De Kroongetuige en de Geogarniseerde Misdaad ; Een Rechtsvergelijkend Onderzoek Naar de Kroongetuige als Instrument bij de Bestrijding van de Georganiseerde Misdaad in het Belgische, Deense, Duitse en Italiaanse Recht, Arnhem : Gouda Quint, 1994.

Peter Wilhelm Hilger, Johan,Principle Witness Regulation to Suppress Organized Crime in Germany”, tanpa tahun.

Replies to The Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Act of Terrorism”, United States of America.

United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir”, Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun.

Widodo Eddyono, Supriyadi (et.al), Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika Dalam Praktik Peradilan, Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform, 2016.

                        , “Saksi Dalam Ancaman : Dokumentasi Kasus”, Jakarta : ELSAM, 2005.

Widodo Eddyono, Supriyadi, Pemberian Keterangan Saksi Lewat Videoconfrence Dalam Rancangan KUHAP, Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform, 2015.



            [1] Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Jln. Raya Perjuangan, Marga Mulya, Bekasi Utara, Kota Bekasi, Email: rahman.amin2013@gmail.com

            [2] Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2003, Hlm 22-23.

            [3] Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, 1973, Hlm 22.

            [4] Muchamad Iksan, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2012, Hlm 87-88.

            [5] Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni, 2015, Hlm 55.

            [6] Supriyadi Widodo Eddyono (et.al), “Saksi Dalam Ancaman : Dokumentasi Kasus”, Jakarta : ELSAM, 2005, Hlm 6.

            [7] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hlm 13-14.

            [8] Ibid, Hlm 8.

            [9] Ibid, Hlm 50.

            [10] Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2004, Hlm 20.

            [11] United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir”, Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun, Hlm 17.

            [12] Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012, Hlm 19.

            [13] Lilik Mulyadi, Op. Cit, Hlm 52.

            [14] https://www.law.cornell.edu/uscode/text/18/6002 diakses tanggal 10 Juli 2020.  

            [15] Council of Europe, “Replies to The Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Act of Terrorism”, United States of America, Loc. Cit, Hlm 1.  

            [16] Johan Peter Wilhelm Hilger, “Principle Witness Regulation to Suppress Organized Crime in Germany”, tanpa tahun, Hlm 107.

            [17] Anne Katharina Zimmermann, “Securing Protection and Cooperation of Witnesses and Whistleblower and Overview of the Law as its Stands in Germany”, tanpa tahun, Hlm. 31.

            [18] Peter J.P. Tak, De Kroongetuige en de Geogarniseerde Misdaad ; Een Rechtsvergelijkend Onderzoek Naar de Kroongetuige als Instrument bij de Bestrijding van de Georganiseerde Misdaad in het Belgische, Deense, Duitse en Italiaanse Recht, Arnhem : Gouda Quint, 1994, Hlm 114.  

            [19] United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir”, Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun, Hlm 17.

            [20] Adhami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Bagian kedua, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kajahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, Hlm 152.

            [21] Ibid, Hlm 18.

            [22] Toni F. Marshall, “Restorative Justice an Overview”, Minnesota : Center of Restorative Justice and Mediation University of Minnesota, Hlm 1.

            [23] Yutirsa Yunus dalam Lilik Mulyadi, Op.Cit, Hlm 195-196.

            [24] Anang Iskandar, Jalan Lurus Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang : Tanpas Comunications, 2015, Hlm 29-30.

            [25] Supriyadi Widodo Eddyono (et.al), Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika Dalam Praktik Peradilan, Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform, 2016, Hlm 8.

            [26] United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik… Op. Cit, Hlm 17.

            [27] Ibid, Hlm 30.

            [28] Supriyadi Widodo Eddyono, Pemberian Keterangan Saksi Lewat Videoconfrence Dalam Rancangan KUHAP, Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform, 2015, Hlm 1.

            [29] United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik… Op. Cit, Hlm 36-37.

            [30] Ibid, Hlm 18.