Jumat, 27 September 2019

MODEL-MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA


Model-Model Sistem Peradilan Pidana

         Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana di Amerika Serikat bernama Frank Remington, sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mekanisme kerja aparat penegak hukum yang tidak mampu mengatasi kriminalitas yang semakin meningkat pada tahun 1960-an, di mana pada saat itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order). Melalui Frank Remington dikenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach), yang kemudian diletakan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal justice system. Gagasan tersebut kemudian disebarluaskan oleh The President’s crime commission. Sejak saat itu, pendekatan sistem menggantikan pendekatan hukum dan ketertiban dalam penanggulangan kejahatan. Perkembangan sistem ini menjadi model yang dominan di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa dengan menitikberatkan pada the administration of justice, serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[1]
         Sistem peradilan pidana yang berlaku di negara yang menganut sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun Anglo saxon pada dasarnya terdiri dari beberapa model yang tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan yang harus dipilih, melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana. [2] Herbert L. Packer seorang ahli hukum dari Universitas Stanford Amerika Serikat, melakukan pendekatan dikhotomi yang bersifat normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan proses peradilan pidana khususnya dalam sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat. Sudut pandang dan analisis tersebut membuktikan bahwa proses peradilan pidana di Amerika Serikat berada di tengah tarikan dua arus pemikiran yaitu : [3]
         1.      Pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting yang harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana. Efisiensi tersebut harus diartikan kemampuan sistem peradilan pidana untuk menangkap, menahan, mengadili dan menempatkan penjahat ke dalam lembaga pemasyarakatan. Titik tolak untuk mewujudkan efisiensi menurut model ini adalah meningkatkan kecepatan dan kepastian; kecepatan tersebut sangat tergantung pada informalitas dan keseragaman tindakan, dan kepastian tergantung pada upaya menekan kesempatan munculnya perlawanan seminimal mungkin. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas polisi. Bukti-bukti yang cukup dan kuat terhadap seseorang tersangka sudah merupakan petunjuk untuk mengarahkan semua mekanisme proses kepada suatu presumption of guilt. Landasan pemikiran perama ini disebut sebagai crime control model.
         2.      Pendekatan kedua, dilandaskan kepada pemikiran bahwa semua temuan-temuan fakta dari suatu kasus, tidak dapat diperoleh melalui proses informal dari suatu penyidikan dan pengakuan tersangka semata-mata; melainkan hal tersebut seharusnya diperoleh melalui suatu prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Pemikiran ini lebih mementingkan pelaksanaan prosedur penyidikan, penangkapan, penahanan, dan peradilan sesuai dengan ketentuan undang-undang daripada pelaksanaan penyidikan hanya untuk menemukan fakta-fakta yang menguatkan tuduhan semata-mata atas diri seorang tersangka. Pemikiran ini menghendaki suatu proses yang benar-benar dilaksanakan secara ketat dan ada suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan (adversary system), sehingga dihindari sejauh mungkin seseorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah (innoncent). Presumption of innoncence  merupakan tulang punggung model pemikiran ini. Pemikiran kedua ini dikenal sebagai due process model.

            Pendekatan normatif yang dikemukakan oleh Herber L. Packer berlaku pada adversary system yang berlaku di Amerika Serikat di mana dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut : [4]
         1.      Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama di muka pengadilan;
         2.      Tujuan utama prosedur sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas ialah menyelesaikan sengketa (dispute) yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan;
         3.      Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya merupakan suatu keharusan, melainkan justru merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan cara demikian justru memperkuat eksistensi suatu kontes antar pihak yang berperkara (tertuduh dan penuntut umum) dan secara akurat memberikan batas aturan permainan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana;
         4.      Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas, peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan, peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Tertuduh bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud.

            Sedangkan, di lain pihak sebagai lawan dari adversary system yaitu non-adversary system menganut prinsip bahwa:[5]
         1.      Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan kesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
         2.      Tujuan utama prosedur pada butir 1 di atas adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya;
         3.      Penelitian terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung pada atau tidak perlu memperoleh izin para pihak (penuntut umum dan tertuduh);
         4.      Kedudukan masing-masing pihak, penuntut umum dan tertuduh, tidak lagi otonom dan sederajat;
         5.      Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat digunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun dipersidangan. Tertuduh merupakan objek utama dalam pemeriksaan.

         Polarisasi pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana tidak bersifat mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer dilandaskan pada asumsi sebagai berikut : [6]
         1.      Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas ex post facto law atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement officers tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut.
         2.      Diakuiya kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.
         3.      Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.

            Adapun model-model sistem peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yaitu crime control model dan due process model yang berlaku pada adversary system. Selain kedua model tersebut, di negara-negara Eropa Kontinental seperti Belanda berkembang model lain yaitu family model atau model kekeluargaan yang  pada mulanya dikemukakan oleh John Griffithst sebagai reaksi terhadap crime control model dan due process model. [7]
a.      Crime Control Model (CCM)
                  Crime control model didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perhatian utama crime control model ditujukan pada efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif dalam memproses pelaku tindak pidana. Proses tersebut dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai, serta tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain yang hanya menghambat penyelesaian perkara. [8]
                  Crime control model merupakan affirmative model yaitu selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.[9] Crime control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelakunya, dengan asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam hal ini tersangka atau tertuduh dalam sistem peradilan pidana ada kemungkinan bersalah, oleh karena itu pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus digunakan semaksimal mungkin. [10]
                  Nilai-nilai yang mendasari crime control model adalah : [11]
                  1.      Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
                  2.      Perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya;
                  3.      Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finaty) dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah harus model administratif dan menyerupai model manajerial;
                  4.      Asas praduga bersalah atau presumption of guilt akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan
                  5.      Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, karena temuan tersebut akan membawa ke arah; pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau plead of guilty.

b.      Due Process Model (DPM)
                  Due process model merupakan rekasi terhadap crime control model, di mana pada model ini menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa dalam proses pidana yang harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi seperti pada crime control model. Due process model didasarkan pada presumption of innocent (praduga tidak bersalah) yang berbeda dengan crime control model yang berdasarkan pada presumption of guilty (praduga bersalah). [12]    
                  Due process model merupakan negative model yaitu selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan kekuasaan yang dominan yaitu kekuasaan yudikatif dan selaku mengacu kepada konstitusi. [13] Dalam due process model yang dilandasi presumption of innoncence sebagai dasar nilai sistem peradilan, mempunyai tujuan untuk melindungi seseorang yang sungguh-sungguh tidak bersalah, serta menuntut seseorang yang benar-benar bersalah. Oleh karena itu dalam dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhada suatu kasus secara formal dan penemuan fakta secara objektif, di mana seorang tertuduh diberikan kesempatan untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan kepadanya. [14]
                  Nilai-nilai yang mendasari due process model adalah : [15]
                  1.      Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi atau human eror menyebabkan model ini menolak informal fact-finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal adjudicative dan adversary fact-findings. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
                  2.      Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
                  3.      Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal, sangat memerhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dilakukan oleh negara. Proses peradilan dipandang sebagai coecive (menekan), restricting (membatasi), dan merendahkan martabat (demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;
                  4.      Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut;
                           a.      Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas tersebut;
                           b.      Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seeorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Dalam konsep legal guilt ini tergantung asas praduga tak bersalah atau presumption of innoncence. Factually guilty tidak sama dengan legally guilty ; factually guilty mungkin saja legally innocent.
                  5.      Gagasan persamaan di muka hukum atau equality before the law lebih diutamakan; berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah ialah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka pengadilan. Tujuan khusus due process model adalah (factually innonent) sama halnya dengan menuntut mereka secara faktual bersalah (factually guilty);
                  6.      Due process model mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction). 

                  Sebagai contoh due process model, Herbert L. Packer mengungkapkan kasus Miranda melawan Arizona pada tahun 1966. Arizona adalah salah satu negara bagian di Amerika Serikat, dan Ernesto Miranda adalah nama salah seorang warga negara Amerika Serikat. Kasus ini mengisyaratkan bahwa polisi tidak diperkenankan melakukan interogasi terhadap seorang tersangka sampai mendapat penasehat hukum. Tersangka pun mempunyai hak untuk diam, jika tersangka ingin berkonsultasi dengan penasehat hukumnya, maka interogasi harus ditunda sampai penasehat hukumnya datang, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasehat hukum, maka negara akan menyediakan penasehat hukum. Dari kasus Miranda melawan Arizona, maka lahirlah Miranda Rules, yang terdiri dari: [16]
                  1.      Hak untuk tidak menjawab pertanyaan atau diam sebelum diperiksa atau sebelum dilakukan penyidikan (a right to remain silent);
                  2.      Hak untuk menghadirkan penasehat hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum dilakukan pemeriksaan atau penyidikan oleh penyidik (a right to the presence of an attorney or the right to counsil);
                  3.      Hak untuk disediakan penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.

c.      Family Model
                  Family model merupakan kritik terhadap kedua model sebelumnya due process model. Family model dikemukakan oleh John Griffithts, seorang guru besar dari Yale Law School University California, yang mengatakan bahwa kedua model sebelumnya berada dalam suatu adversary system atau battle model yang merupakan bentuk peperangan antara dua pihak yang kepentingannya berlawanan satu sama lain yaitu antara individu khususnya pelaku tindak pidana dengan negara sehingga tidak akan bisa mempertemukan dua kepentingan yang berlawanan (disharmonis of interest). Adanya kepentingan yang tidak dapat dipertemukan inilah yang merupakan nilai-nilai dasar yang hendak diganti dengan nilai berupa kepentingan yang saling mendukung dan menguntungkan menuju kesatuan harmoni, dan pernyataan kasih sayang sesama hidup yang disebut sebagai ideological staring point. [17]
                  Di dalam family model atau disebut juga model kekeluargaan adalah konsep pemidanaan yang digambarkan dalam padanan suatu suasana keluarga, yang apabila seorang anak telah melakukan kesalahan maka akan diberikan sanksi, dengan tujuan anak tersebut mempunyai kesanggupan untuk mengendalikan dirinya akan tetapi setelah anak itu diberi sanksi, anak itu tetap berada dalam kasih sayang keluarga, dan dia tidak dianggap sebagai anak jahat dan sebagai manusia yang khusus, atau sebagai anggota kelompok yang khusus dalam kaitannya dengan keluarga. Dengan demikian kepada pelaku kejahatan, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai special criminal puple yang kemudian diasingkan dari anggota masyarakat, namun mereka tetap diperlakukan sebagai anggota masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang dengan nilai-nilai keluargaan. [18]


* * *







            [1] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan II Revisi, Bandung : Bina Cipta, 1996, Hlm 7-9.
            [2] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta : UII Pres, 2011, Hlm 42-43.
            [3] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1995, Hlm 137-138.
            [4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 42-43.
            [5] Ibid, Hlm 44.
            [6] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif…, Op cit, Hlm 18-19.
            [7] Tolib Efendi, Sistem Peradilan Pidana ; Perbandingan Koponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013, Hlm 27.
            [8] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 43.
            [9] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 11.
            [10] Ibid, Hlm 122.
            [11] Ibid, Hlm 9.
            [12] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 44.
            [13] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 11.
            [14] Ibid, Hlm 122-123.
            [15] Ibid, Hlm 10-11.
            [16] M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule ; Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010, Hlm 12-13.
            [17] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 45-46.
            [18] Ibid, Hlm 46.

Selasa, 16 Juli 2019

SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU (INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)


Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)

         Sistem peradilan pidana merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana, baik yang terkait dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang mengacu kepada kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) dan hukum acara pidana di luar KUHAP yang terhubung secara koheren, koordinatif, dan terpadu (integrated criminal justice system) guna mencari dan menemukan kebenaran materiil sehingga dapat mewujudkan supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Cita-cita luhur tersebut tidak akan terwujud apabila subsistem tersebut bekerja sendiri-sendiri atau egosektoral terhadap subsistem lainnya. [1]
         Sistem peradilan pidana yang digariskan dalam KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system) yang diletakan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing, untuk menegakan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukum pidana. [2]     
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) adalah sistem yang harus dapat dilihat sebagai the nature of court… deal with criminal law as its enforcement. Pemahaman pengertian sistem harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system artinya seperangkat element yang bekerja untuk mencapai satu tujuan, maupun abstract system yang dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. [3]
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) merupakan sistem peradilan perkara pidana dengan adanya persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice system) yang terdiri dari beberapa komponen-komponen yaitu penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated criminal justice system berusaha untuk mengintegrasikan seluruh komponen-komponen sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. [4]         
         Istilah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) terkandung maksud agar perhatian dan penekanan lebih diarahkan pada aspek integrasi dan koordinasi antara komponen-komponen sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Kata integrated atau terpadu bila dikaitkan dengan istilah system dalam criminal justice system, seharusnya sudah terkandung makna keterpaduan (integration and coordinaton), di samping karakteristik yang lain seperti adanya tujuan yang jelas dari sistem, proses input-throughtput-output and feedback, sistem kontrol yang efektif, negative-anthropy dan sebagainya. [5]     
         Konsepsi sistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya kerjasama secara terpadu diantara komponen-komponen yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana, mengingat dalam keterpaduan, kegagalan dari salah satu komponen dalam sistem tersebut akan mempengaruhi cara dan hasil kerja dari komponen lainnya. Lebih lanjut menurut Marjono Reksodiputro : [6]
         Keterkaitan dan keterpaduan diantara subsistem-subsistem dalam sistem peradilan pidana bisa dikatakan sebagai bejana berhubungan karena setiap masalah dalam salah satu sub sistem akan menimbulkan dampak pada sub sistem yang lain. Reaksi yang timbul sebagai sebagai akibat, hal ini akan menimbulkan dampak kembali pada sub sistem awal dan demikian selanjutnya terus menerus. Oleh sebab itu, masing-masing komponen harus memiliki pandangan yang sama dan memiliki rasa tanggung jawab baik terhadap hasil kerja sesuai dengan posisinya masing-masing maupun secara keseluruhan dalam kegiatan proses sistem peradilan pidana.

         Sistem peradilan pidana terpadu menempatkan segenap aparat penegak hukum berdasarkan fungsi dan kewenangannya, namun demikian pembedaan yang tegas tersebut tidak berarti menumbuhkan sekat-sekat dalam proses peradilan pidana, akan tetapi lebih dimaksudkan agar aparat penegak hukum memahami dan mengatahui batas-batas fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain bahwa integrasi dari segenap aparat penegak hukum melalui integrated criminal justice system, berarti bahwa diantara aparat penegak hukum memiliki balanced and equal of power untuk menghindari adanya diskriminasi kewenangan lembaga yang akan melemahkan penegak hukum. [7]           
         Barda Nawawi Arief, mengemukakan : [8]
         Sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/diwujudkan dalam empat subsistem, yaitu : kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum, kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system.

         Penyelenggaraan sistem peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti berprosesnya hukum acara pidana. Bekerjanya komponen-komponen tersebut yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerjasama membentuk suatu integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. [9]
         Sudarto menilai pentingnya kesatuan proses tiap-tiap sistem dalam peradilan pidana bekerja sama secara integrated adalah citra kesatuan proses dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Hal itu harus merupakan benang sutera yang menelusuri segala fase dari pemeriksaan perkara pidana sejak awal pemeriksaan pendahuluan (penyidikan), sampai akhir proses (pelaksanaan pemidanaan), bahkan sesudah selesainya perjalanan pidana oleh narapidana. [10]
         Muladi menegaskan bahwa integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dibedakan dalam : [11]
         1.      Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum;
         2.      Sinkronisasi substansial (substantial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
         3.      Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

         Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan masing-masing, namun pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana terpadu saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini dapat terwujud jika didukung adanya sinkronisasi dari segi substansi hukum yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif.  Selain itu juga adanya sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana dalam rangka mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare).[12]
         Berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu, maksud kata terpadu tersebut yaitu : [13]
         1.      Kesamaan prosedur subsistem dalam peradilan pidana pada posisi masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ditentukan di dalam undang-undang;
         2.      Kesamaan persepsi, yaitu adanya pemahaman/pengetahuan yang sama antara sub-sub sistem terhadap perkara/kasus yang ada; dan
         3.      Kesamaan tujuan, artinya bahwa sub-sub sistem peradilan harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.                    

         Sistem peradilan pidana dapat berfungsi secara sistematis apabila tiap-tiap unsur dari sistem memperhitungkan unsur-unsur lainnya. Dengan kata lain bahwa sistem itu bukan lagi sistematis melainkan hanyalah hubungan-hubungan antara polisi dan penuntut umum, penuntut umum dan pengadilan atau pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tanpa adanya hubungan fungsional antara unsur-unsur sistem peradilan pidana. Kondisi tersebut sangat rentan terhadap perpecahan dan ketidakefektifan kinerja sistem peradilan pidana. [14]
         Sistem peradilan pidana yang menggunakan pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen dari administrasi peradilan, memerlukan adanya keterpaduan antara unsur-unsurnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem dari peradilan pidana dalam rangka menuju ke arah tercapainya tujuan bersama dalam penanggulangan kejahatan..[15]
         Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan sebagai tujuan dari sistem peradilan pidana, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana diharapkan bekerjasama  membentuk integrated criminal justice system. Salah satu faktor yang menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana adalah ketidakteraturan di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, di mana unsur-unsur sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terlihat bekerja di dalam kotak mereka sendiri jika terjadi konflik satu sama lain.[16]
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) mempunyai konsekuensi dan implikasi sebagai berikut : [17]
         1.      Semua subsistem akan saling tergantung (interpendent), karena produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem yang lain.
         2.      Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and cooperation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi dari keseluruhan sistem.
         3.      Kebijakan dan keputusan yang dijalankan oleh satu subsistem akan berpengaruh pada subsistem yang lain.                      

         Oleh karena itu, sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, sebagai berikut : [18]
         1.      Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagaln masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
         2.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan
         3.      Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memerhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.                               

         Kenneth Peak mengemukakan, bahwa sistem peradilan pidana terpadu yang ideal harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut : [19]
         1.      Adanya peraturan dan standar fasilitas serta perlakuan yang sama untuk situasi yang berbeda berupa peraturan tertulis sebagai dasar hukum dalam bertindak masing-masing sub sistem.
         2.      Adanya diferensiasi fungsional yang memastikan kemampuan dari tiap-tiap sub sistem untuk mencegah terjadinya kekuasaan atau kewenangan yang berlebihan dan memperjelas batas-batas tanggung jawab dari masing-masing sub sistem.
         3.      Adanya koordinasi dari tiap-tiap sub sistem untuk memastikan bahwa tiap-tiap sub sistem saling mendukung terhadap sub sistem lainnya.
         4.      Adanya keahlian yang dimiliki oleh tiap-tiap sub sistem yang diperoleh dari latihan-latihan khusus.
         5.      Adanya mekanisme kontrol terhadap masing-masing sub sistem dan juga terhadap keseluruhan fungsi sistem peradilan pidana terpadu.

         Muladi menyetujui pandangan Hiroshi Isikawa, karakteristik yang dijadikan dasar untuk memodifikasi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) menggunakan indikator-indikator sebagai berikut : [20]
         1.      Clearance rate yang relatif tinggi. Dalam hal ini terdapat dua variable yang sangat berpengaruh yakni (1) Police efficiency (well trained, well disciplined and well organized police force); dan (2) citizens  cooperation with law enforcement.
         2.      Conviction rate yang relatif juga cukup tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah precise justice yang bertumpu pada substantial thruth. Konsep ini hanya dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh uniformly as well as highly trained professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and minuto fact finding and minuto fact finding justice, similar to precision machine tools. Dalam hal ini yang penting tidak hanya the degree of proff of substantial truth, tetapi juga the degree of repentance. Nampaknya masalah pendidikan terpadu para penegak hukum dalam hal ini perlu diperhatikan, sebab apabila berbicara dalam konteks sistem, maka tidak hanya setiap individu harus bekerja dengan baik dan penuh inisiatif, tetapi harus tercipta koordinasi satu sama lain secara efisien dan efektif, dalam pendidikan terpadu secara bersama- sama inilah akan tercipta saling pengertian satu sama lain, saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang berbeda.
         3.      Speedy disposition atau yang sering dinamakan national policy in favour of criminal justice administration. Ishikawa menyatakan bahwa delay of justice us denied of justice.
         4.      Rehabilitation minded sentencing policy. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa prinsip yakni cukup tingginya penerapan sanksi alternatif selain pidana kemerdekaan (pidana bersyarat, denda), disparitas pidana yang tidak benar, perhatian yang memadai terhadap korban kejahatan, adanya tujuan pemidanaan yang jelas dan sebagainya.
         5.      Relatif kecilnya rate off recall to prison(reconviction rate).                    

                        Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu, maka diperlukan aspek-aspek penting, yaitu : 1). Koordinasi, berarti hubungan fungsional antara segenap penegak hukum yang dilakukan baik dalam bentuk kerjasama maupun pengawasan dalam setiap tahap-tahap peradilan pidana sesuai dengan kewenangannya masing-masing, 2). Profesionalitas, berarti kemampuan aparat penegak hukum untuk memahami rumusan perundang-undangan pidana yang abstrak yang akan dikonkritkan ketika menangani perkara pidana sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Adapun ukuran profesional yaitu pengetahuan ilmu hukum, wawasan hukum dan keterampilan teknis hukum, dan 3). Integritas, berarti kejujuran, independensi dan kewibawaan yang berhubungan langsung dengan moralitas aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai yang diberikan oleh undang-undang sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. [21]



* * *


            [1] Marwan Efendy, Sistem Peradilan Pidana ; Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta : Referensi, 2012, Hlm iii.
            [2] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, Hlm 90.
            [3] Moh. Hatta, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi), Yogyakarta : Galang Press, 2008, Hlm 47-48.
            [4] Sukarton Marmusudjono, Penegakan Hukum di Negara Perancis, Jakarta : Pustaka Kartini, 1989, Hlm 30.
            [5] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, Hlm 1.
            [6] Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi Pertama, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994, Hlm 89.
            [7] Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana ; Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan, Jakarta : Kencana, 2014,  Hlm 164.
            [8] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta : UII Pres, 2011, Hlm 33-34.
            [9] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000, Hlm 23-24.
            [10] Sudarto, Uraian-Uraian Pokok Permasalahan dalam Seminar Kriminologi, ke-IV, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : 1980, Hlm 14.
            [11] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan II Revisi, Bandung : Bina Cipta, 1996, Hlm 17.
            [12] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 35.
            [13] Ibid, Hlm 36.
            [14] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000, Hlm 31.
            [15] Kadri Husin dalam M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1991, Hlm 24.
            [16] Topo Santoso, Op cit, Hlm 23-24.
            [17] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 38.
            [18] Marjono Reksodiputro dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2011, Hlm 3-4.
            [19] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 37.
            [20] [20] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, Hlm 5-6.
            [21] Ruslan Renggong, Op cit,  Hlm 169-190