Jumat, 16 September 2016

TEORI-TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA

TEORI-TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA

         Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana haim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan. [1]
         Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh. [2]
         Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. [3]
a.   Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan hakim semata-mata
               Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menetukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. [4]                       
               Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja sebagai dasar keyakinannya, termasuk bisikan dukun. Hal tersebut juga terjadi pada pengadilan adat dan swapraja yang para hakimnya terdiri atas orang-orang yang bukan ahli hukum. Sistem ini merugikan dalam hal pengawasan terhadap hakim dan merugikan terdakwa dan penasihat hukum karena tidak jelas patokan dan ukuran suatu keyakinan hakim. [5]
               Sistem ini mengandung kelemahan yang besar, karena sebagai manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim. [6]
b.   Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis
               Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu. [7]
               Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinan yang diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi keyakinan hakim sampai batas tertentu, yaitu keyakinan hakim yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada ketentuan pembuktian tertentu. [8]
c.   Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif
               Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang. [9]
               Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat inkuisitor yang dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak digunakan lagi karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang saat ini sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan hati nurani hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. [10]
               Wirjono Prodjodikoro, menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran  selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. [11] 
d.   Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif
               Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). [12]
               Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim. [13]
               Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di mana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. [14]
               Sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie mempunyai persamaan dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee. Persamaannya adalah kedua teori tersebut sama-sama menggunakan keyakinan hakim dan kedua-duanya sama-sama membatasi keyakinan hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem conviction rasionalee berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan pada suatu kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal pikiran yang tidak didasarkan pada ungna-undang, sedangkan pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang dan harus mendapat keyakinan hakim. [15]
               Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana pemidanaan terhadap terdakwa.[16]
               P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sistam pembuktian dalam KUHAP,  disebut : [17]
               1.      Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.
               2.      Negatief,  karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

               Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut : [18]
               1.      Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata lain bahwa pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana, dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.
            2.         Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana dengan dua syarat yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :
                        a.   Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
                        b.   Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan.

               Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian, haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yag sah. Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu : [19]
               1.      Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itu (suatu yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat bukti. Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula dua keyakinan lainnya.
               2.      Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif.
               3.      Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang bersifat objektif adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa, maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa. Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa tidak terdapat alasan pemaaf (fait d’excuse). Bisaj jadi terdakwa benar melakukan tindak pidana dan hakim yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.

               Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasarkan syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana. [20]





DAFTAR PUSTAKA

Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni, 2008.
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2011.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2014.
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014.





            [1] Alfitra, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2011,  Hlm 28.
            [2] Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni, 2008,  Hlm 24.
            [3] Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011,  Hlm 11.
            [4] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007,  Hlm 186-187.
            [5] Hendar Soetarna, Op cit,  Hlm 39-40.
            [6] Adhami Chazawi, Op cit,  Hlm 25.
            [7] Rusli Muhammad, Op cit,  Hlm 187.
            [8] Hendar Soetarna, Op cit,  Hlm 40.
            [9] Rusli Muhammad, Hukum…, Op cit,  Hlm 190.
            [10] Adhami Chazawi, Op cit,  Hlm 27-28.
            [11] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, Hlm 251.
            [12] Rusli Muhammad, Hukum…, Op cit,  Hlm 187.
            [13] Hendar Soetarna, Op cit,  Hlm 41.
            [14] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, Hlm 277.
            [15] Rusli Muhammad, Hukum…, Op cit,  Hlm 190-191.
            [16] Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014, Hlm 172.
            [17] Rusli Muhammad, Hukum…, Op cit,  Hlm 192.
            [18] Adhami Chazawi, Op cit,  Hlm 30.
            [19] Ibid, Hlm 32-34.
            [20] Ibid,  Hlm 31.