Rabu, 15 Juli 2020

PROSEDUR PENYITAAN CLOSE CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM PERKARA PIDANA


PROSEDUR PENYITAAN CLOSE CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM PERKARA PIDANA

Pendahuluan.
         Upaya penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang terjadi diawali dengan rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Secara umum penyidikan sebagaimana yang diatur menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
         Dari pengertian Penyidikan tersebut, bahwa Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek) yang di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti baik melalui penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka, serta tindakan penyitaan terhadap barang atau benda yang di duga mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.[1]
         Dengan kata lain bahwa sasaran atau target kegiatan penyidikan adalah untuk mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [2]
         Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mencari, menemukan, mengumpulkan alat-alat bukti yang digunakan untuk kepentingan pembuktian suatu perkara pidana berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheori) sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, maka Penyidik diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan serangkaian upaya paksa antara lain melalui tindakan penyitaan terhadap suatu barang atau benda untuk kepentingan pembuktian baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana.  

 Pengertian dan Dasar Hukum Penyitaan.
         Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
         Dari pengertian penyitaan tersebut, bahwa penyitaan adalah tindakan untuk mengambil barang-barang dari tangan seseorang yang memegang atau menguasai barang itu, kemudian menyerahkannya kepada pejabat yang memerlukan untuk keperluan pemeriksaan atau pembuktian perkara di sidang pengadilan, dan barang tersebut ditahan untuk sementara waktu sampai ada keputusan pengadilan tentang status barang tersebut, artinya mengenai siapa yang berhak menerima/memiliki barang tersebut. [3]
         Kewenangan untuk melakukan upaya paksa berupa tindakan penyitaan secara umum diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, bahwa Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, dimana Penyidik yang dimaksud menurut Pasal 6 KUHAP adalah Pejabat Polri maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

Prosedur dan Mekanisme Penyitaan CCTV pada Tempat-Tempat Umum dan Tempat Tertentu Lainnya.
         Secara eksplisit, KUHAP tidak memberikan definisi mengenai istilah upaya paksa, namun memberikan pengaturan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut terminologi hukum pidana, upaya paksa atau dwangmiddelen adalah tindakan penyidik yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat untuk kepentingan penyidikan.[4]
         Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapa pun yang diperlukan untuk memperlancar proses pemeriksaan atau mendapatkan bahan-bahan pembuktian. [5]
         Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal tindakan penyitaan, Pasal 38 KUHAP memberikan pengaturan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat izin terlebih dahulu. Penyitaan hanya atas benda bergerak, dan setelah melakukan penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan persetujuannya.
         Mengenai benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu :
         a.      Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
         b.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
         c.      Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
         d.      Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
         e.      Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
         Berkaitan dengan kategori benda-benda yang dapat disita yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP tersebut, jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka benda-benda yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP adalah termasuk benda-benda berwujud. Sedangkan benda tidak berwujud dapat dicontohkan dalam arrest Hoge Raad pada tanggal 23 Mei 1921 dalam perkara penyadapan arus listrik yang kemudian dikualifikasikan sebagai pencurian aliran listrik, di mana energi listrik dapat dikategorikan benda tidak berwujud sebagai objek pencurian. [6]
          Sehubungan dengan hal tersebut, meskipun rekaman Close Circuit Television (CCTV) tidak termasuk dalam kategori benda-benda yang dapat disita menurut Pasal 39 KUHAP, namun dalam rangka untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti guna membuat suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangkanya, Penyidik berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap rekaman CCTV yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian suatu perkara pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan.
         Secara khusus ketentuan tentang prosedur penyitaan dan pemeriksaan barang bukti rekaman CCTV yang merupakan salah satu upaya pembuktian secara alamiah dalam proses penyidikan oleh Polri diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri. Pasal 17 mengatur bahwa pemeriksaan barang bukti perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital) dan penyebab proses elektrostatis dilaksanakan di Labfor Polri.
         Lebih lanjut dalam Pasal 8 Perkap aquo, bahwa pemeriksaan barang bukti elektronik wajib memenuhi persyaratan yaitu:
         1.      permintaan tertulis dari Kepala Kesatuan kewilayahan atau Kepala/Pimpinan internal;
         2.      laporan polisi;
         3.      BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
         4.      BA pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti;
         Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Perkap aquo, maka penyitaan terhadap rekaman CCTV yang merupakan barang bukti elektronik, tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 38 ayat (1) KUHAP bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. (Vide ayat 2), dan selanjutnya penanganan terhadap barang bukti rekaman CCTV tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009.
         
Penutup
            Bahwa dalam rangka kepentingan pembuktian suatu tindak pidana baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, Penyidik diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap barang bukti rekaman CCTV yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga perolehan barang bukti rekaman CCTV tersebut tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku (unlawful evidence) sehingga rekaman CCTV tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti (dalam perkara tindak pidana khusus yang mengatur alat bukti elektronik), maupun sebagai alat bukti petunjuk dalam perkara tindak pidana umum dalam membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan.


* * *



            [1]  Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy Puspa Mega, 2002, Hlm 15.
            [2] HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010,  Hlm 53.
            [3] C. Djisman Samosir, Segenggam tentang Hukum Acara Pidana, Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Hlm 76.
            [4] Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014, Hlm 86.
            [5] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta : UII Pres, 2011,  Hlm 65.
            [6] Adhami Chazawi dalam Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 104.


Kamis, 19 Maret 2020

TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA


TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN UPAYA PENANGGULANGANNNYA
 


A. Pendahuluan.
               Sejarah mencatat peranan pemuda dalam perjuangan bangsa yang dikenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi salah satu peristiwa sejarah dalam perjuangan bangsa hingga proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Melihat peranan pemuda yang begitu penting dalam perjuangan bangsa maka tidak salah jika Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa “beri aku 10 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia”. Dari perkataan tersebut terkandung makna adanya suatu keyakinan dan kepercayaan yang sangat tinggi terhadap sosok pemuda bangsa yang merupakan aset yang tidak ternilai sehingga memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan nasib bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
               Demikian halnya setelah Indonesia merdeka, pemuda merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang memilki peranan untuk melanjutkan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia dengan pembangunan di segala aspek kehidupan. Di tangan generasi muda terletak masa depan bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin dalam membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Sebagai generasi penerus perjuangan bangsa, pemuda mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam membangun bangsa dan negara Indonesia, generasi muda merupakan subyek dan obyek pembangunan nasional dalam usaha mencapai tujuan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
               Namun menjadi suatu permasalahan serius yang sedang dihadapi generasi muda saat ini salah satunya maraknya peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemuda/remaja yang merupakan persoalan aktual dihampir setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini sebagai gambaran merebaknya kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pemuda/remaja dapat berupa perkelahian/tawuran, penodongan, perampokan, pencurian, pemilikan senjata tajam, penyalahgunaan narkotika dan berbagai pelanggaran hukum lainnya. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa di era pembangunan manusia seutuhnya, generasi muda yang mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa dan negara, justru melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
               Dalam hal penyalahgunaan Narkotika, menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat dari waktu-kewaktu sehingga mempunyai dampak sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas termasuk bagi generasi muda itu sendiri sehingga dapat mengancam masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika yang merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks memerlukan upaya penanggulangan yang komprehensif dengan melibatkan kerjasama antara multidispliner, multi sektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten sehingga dapat melindungi bangsa Indonesia dari bahaya penyalahgunaan Narkotika.                              
     
B.  Tindak Pidana Narkotika.
               Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia dari segi tata bahasa berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotic yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata Narcosis dalam bahasa Yunani diartikan menidurkan atau membiuskan. [1] Soedjono Dirdjosisworo memberikan definisi Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Zat-zat narkotika tersebut memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidup kepada narkotika tersebut. [2]
               Pengertian Narkotika tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabka menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
               Ditinjau dari asalnya, pada dasarnya narkotika berasal dari alam dan hasil proses kimia (sintetis). Wresniworo menyatakan bahwa menurut cara atau proses pengolahannya, narkotika dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu: [3]
               1.      Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan tanaman yang dapat dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-masing :
                        a).     Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman papaver somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak dan morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.
                        b).     Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
                        c).     Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.
               2.   Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan Narkotika golongan ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti penathren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh yang terkenal dan sering disalahgunakan adalah heroin dan codein.
               3.   Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan Megadon.


               Selain penggolongan Narkotika menurut asal perolehannya tersebut, juga dikenal penggolongan Narkotika dari segi penggunaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
               1.      Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
               2.      Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi mengakibatkan ketergantugan.
               3.      Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengembangan pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

               Dari penggolongan tersebut, dapat dikatakan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun pelayanan kesehatan adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis, sedangkan pengembangan Iptek adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, juga untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak narkotika dari Polri, Bea dan Cukai, dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.
               Penggunaan narkotika hanya untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama, serta harus mempunyai izin resmi dari pejabat berwenang menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yang meliputi :  [4]
               1.      Izin khusus dan surat persetujuan impor narkotika;
               2.      Izin khusus dan surat persetujuan ekspor narkotika;
               3.      Izin produksi narkotika;
               4.      Izin untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi;
               5.      Izin edar narkotika;
               6.      Izin khusus penyaluran narkotika.
               Berkaitan dengan hal di atas, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, menyatakan  bahwa peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
               Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan narkotika yang dilakukan sesuai dengan peruntukannya yakni untuk pelayanan kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu  pengetahuan serta dilengkapi dengan izin resmi yang dikeluarkan oleh Instansi yang berwenang, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana Narkotika, demikian sebaliknya, apabila Narkotika digunakan selain untuk tujuan yang telah ditentukan serta tanpa izin yang sah maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana Narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
               Berkaitan dengan kualifikasi tindak pidana Narkotika diatur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana teracantum dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Bab. XV tentang ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk/kualifikasi tindak pidana narkotika yang dapat dikelompokan menjadi:
               1.      Tindak pidana berkaitan dengan produksi Narkotika;
               2.      Tindak pidana berkaitan dengan jual beli Narkotika;
               3.      Tindak pidana berkaitan dengan pengangkutan dan transito Narkotika;
               4.      Tindak pidana berkaitan dengan penguasaan Narkotika;
               5.      Tindak pidana berkaitan dengan penyalahgunaan Narkotika;
               6.      Tindak pidana berkaitan dengan tidak melaporkan pecandu Narkotika;
               7.      Tindak pidana berkaitan dengan jalannya peradilan Narkotika;
               8.      Tindak pidana berkaitan dengan penyitaan dan pemusnahan Narkotika;
               9.      Tindak pidana berkaitan dengan keterangan palsu;
               10.    Tindak pidana berkaitan dengan penyimpangan kewenangan lembaga.

C.  Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.              
               Upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana termasuk ke dalam kerangka politik kriminal (criminal politic), menurut G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa criminal politic is the rational organization of the social reaction to crime berarti bahwa politik kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.  Di sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan. yang ditempuh melalui penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), maupun melalui upaya mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punisment). [5]
               Politik kriminal/kebijakan kriminal (criminal politic) dalam menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat dilakukan melalui 2 cara yaitu sarana penal maupun non-penal. Dalam hal menggunakan sarana penal adalah dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui wadah sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana non-penal yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tanpa menggunakan sarana hukum pidana, atau melalui upaya-upaya di luar hukum pidana.
               Berkaitan dengan hal tersebut, upaya penanggulangan tindak pidana Narkotika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebijakan kriminal (criminal policy) baik dengan menggunakan sarana penal (penal policy) dan sarana non-penal (non-penal policy), yang dapat diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
               1.      Sarana non-penal.
                                 Upaya untuk menanggulangi tindak pidana Narkotika melalui sarana non-penal adalah upaya yang dilakukan tanpa menggunakan hukum pidana, yaitu melalui kegiatan-kegiatan untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana Narkotika dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari. Adapun sarana non-penal antara lain:
                                 a.      Melakukan upaya pembinaan yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan lingkungan masyarakat dengan melibatkan orang tua, guru, dosen, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sehingga dapat memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat agar tidak menyalahgunakan Narkotika.
                                 b.      Kegiatan penyuluhan dan sosialiasi untuk memberikan informasi dan edukasi terhadap dampak negatif penyalahgunaan Narkotika kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat memahami dampak negatif penyalahgunaan Narkotika bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.                       
                                 c.      Pembentukan kelompok sadar hukum dan anti penyalahgunaan Narkotika dalam masyarakat yang secara intens dapat memberikan himbauan-himbauan kepada warga masyarakat terhadap dampak negatif yang dapat ditimbulkan akibat penyalahgunaan Narkotika sehingga masyarakat dapat menghindari, mencegah dan mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan Narkotika dalam setiap aktivitas kehidupannya.
                                 d.      Peran serta masyarakat beserta seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama menjaga dan mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika dalam kehidupan sehari-hari misalnya upaya pengawasan bersama, kepekaan dan kepedulian kepedulian masyarakat terhadap segala aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika.

               2.      Sarana penal.
                                 Upaya untuk menanggulangi tindak pidana Narkotika melalui sarana penal atau dengan hukum pidana dilakukan dengan menggunakan hukum pidana dalam menangani setiap tindak pidana Narkotika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang ditujukan pada 2 sasaran yaitu upaya untuk mengurangi atau menghilangkan permintaan terhadap Narkotika (demand reduction) maupun upaya untuk memberantas peredaran gelap Narkotika (supply reduction) yang dapat diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
                                 a.      Upaya mengurangi permintaan terhadap Narkotika (demand reduction).
                                                   Upaya untuk mengurangi permintaan terhadap Narkotika (demand reduction) adalah upaya yang ditempuh dengan cara melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pencandu Narkotika yang sudah mengkonsumsi Narkotika atau sudah terlanjut menyalahgunakan Narkotika dengan tujuan agar penyalahguna atau pencandu tersebut dapat menjadi pulih atau sembuh serta tidak mempunyai ketergantungan lagi untuk menggunakan Narkotika.
                                                   Penerapan rehabilitasi kepada penyalahguna dan pecandu Narkotika didasarkan pada tujuan hukum pidana menurut aliran modern bahwa pidana kepada pelaku kejahatan tidak hanya bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat, namun juga dapat memberikan manfaat kepada pelaku kejahatan tersebut dalam hal ini penyalahguna atau pecandu Narkotika, karena penjatuhan pidana berupa perampasan kemerdekaan atau pidana penjara yang dijatuhkan kepada penyalahguna Narkotika bukanlah langkah yang tepat karena karena tidak menyelesaikan permasalahan di mana penjatuhan pidana penjara hanya bersifat pembalasan agar pelakunya menjadi jera.
                                                   Dalam pendekatan family model sebagai salah satu model sistem peradilan pidana, bahwa seorang pelaku kejahatan dalam hal ini penyalahguna Narkotika dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga yang sedang sakit atau mengalami masalah sehingga terhadap penyalahguna Narkotika dicarikan jalan keluar atau solusi untuk mengatasi permasalahan yang sedang dialaminya dalam hal ini untuk menghilangkan efek ketergantungan terhadap Narkotika sehingga membutuhkan upaya pemulihan dan pengobatan agar  kondisi penyalahguna tersebut menjadi dapat baik seperti sedia kala sebelum dirinya mempunyai ketergantungan terhadap Narkotika.
                                                   Dengan adanya upaya rehabilitasi yang maksimal terhadap penyalahguna atau pecandu Narkotika di Indonesia diharapkan permintaan terhadap Narkotika di pasar gelap menjadi berkurang, karena penyalahguna atau pecandu telah sembuh dari efek ketergantungan terhadap Narkotika sehingga dirinya sudah tidak membutuhkan lagi Narkotika dalam menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari, dan pada akhirnya karena kurangnya kebutuhan Narkotika tersebut secara langsung akan mengurangi peredaran gelap Narkotika dalam kehidupan masyarakat.

                                 b.      Memberantas peredaran gelap Narkotika (supply reduction).
                                                   Upaya memberantas peredaran gelap Narkotika (supply reduction) adalah upaya yang dilakukan melalui penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku tindak pidana Narkotika yaitu produsen, bandar, kurir dan pengedar Narkotika yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika yang dilaksanakan  oleh aparat penegak hukum yakni Penyidik Polri dan BNN RI, Kejaksaan, Pengadilan hingga tahap pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Proses penegakan hukum terhadap pelaku yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika dilaksanakan dengan tegas dan konsekuen sehingga dapat memberantas tindak pidana Narkotika dengan tuntas sekaligus sebagai upaya prevensi umum yakni melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.
                                                   Dalam melaksanakan upaya penegakan hukum (law enforcement) diperlukan adanya kerjasama dan sinergitas antara lembaga penegak hukum di lapangan serta peran serta dari seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara misalnya kerjasama dengan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan yang lain misalnya dengan LSM yang konsen dibidang pencegahan dan pemberantasan Narkotika dan organisasi masyarakat lainnya sehingga upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika di Indonesia dapat berjalan dengan maksimal dalam upaya mewujudkan Indonesia yang bebas dari bahaya dan ancaman Narkotika.
D.  Penutup.
               Perkembangan tindak pidana Narkotika yang marak terjadi dewasa ini khususnya yang melibatkan generasi muda yang merupakan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga dapat mengancam kelangsung bangsa Indonesia di masa mendatang. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara secara bersama-sama berperan serta dalam melakukan upaya-upaya baik yang bersifat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
              
                                    

            [1] Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Press, 2009, Hlm 12.
            [2] Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987, Hlm 3.
            [3] Wresniworo, Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, Jakarta : Yayasan Mitra Bintibmas Bina Dharma Pemuda, 1999, Hlm 28.
            [4] Siswanto S, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012, Hlm 136.
            [5] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010, Hlm : 1-2.