Rabu, 07 Mei 2014

RINGKASAN BUKU FILSAFAT ILMU (SUMMARY OF THE BOOK PHILOSOPHY OF SCIENCE)

RINGKASAN BUKU FILSAFAT ILMU
(SUMMARY OF THE BOOK PHILOSOPHY OF SCIENCE)*

A.     ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN (HAKIKAT APA YANG DIKAJI)
         Kajian ontologis merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab pertanyaan tentang obyek apa yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan. Secara umum semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai landasan ontologis ini. Yang berbeda adalalah materi perwujudannya serta sejauhmana landasan ontologis ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis lebih jauh berkembang dibanding pengetahuan lainnya dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Sehingga dari pengertian inilah berkembang pengertian ilmu sebagai disiplin yaitu pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.
         Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika merupakan landasan untuk menelaah pemikiran filsafat. Dalam metafisika terdapat beberapa tafsiran-tafsiran. Tafsiran pertama diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud-wujud ini lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Salah satu kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatural ini adalah paham animisme yang merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan saat ini masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi. Paham animisme percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda yang seperti batu, pohon, air terjun dan sebagainya.
         Tafsiran kedua sebagai lawan dari supernatural maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme yang rmerupakan paham naturalisme ini berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Prinsip-prinsip materialisme ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM) yang mengembangkan teori tentang atom yang dipelajari dari gurunya Leucippus. Menurut Democritos, unsur dasar dari alam adalah sebuah atom. Democritos menyatakan bahwa hanyapa berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam kenyataan hanya terdapat atom dan kehampaan, artinya obyek dari penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Dengan perkataan lain, manis, panas, dingin atau warna adalah terminologi yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat panca indera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut. Dengan demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika yang diterapkan kepada zat-zat yang mati seperti batuan dan lain-lain.
         Sedangkan bagi manusia, terdapat perbedaan pendapat antara penganut paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk manusia) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik makhluk hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses mekanistik tersebut. Menurut kaum vitalistik bahwa manusia mempunyai pikiran dan kesadaran yang bersumber dari otak manusia yang menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun apakah kebenaran hakikat pikiran tersebut apakah dia berbeda dengan zat yang ditelaahnya ataukah bentuk lain dari zat tersebut. Dalam hal ini maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama, dengan kata lain proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
         Berbeda hanya dengan paham dualistik yang berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia adalah bersifat mental, yang bersifat nyata adalah pikiran sebab berpikirlah maka sesuatu lantas ada : Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) yang dikemukakan oleh Rene Descartes. Dalam metafisika maka penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara substantif. Pikiran manusia dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin di mana pengalaman indera kemudian melengket pada lempeng tersebut yang makin lama makin banyak pengalaman yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. sehingga pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Dengan demikian, pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh kaitannya tergantung dari manusia itu sendiri. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta ini sebagaimana adanya. Semakin jauh kita menjelajahinya maka semakin banyak masalah-masalah yang timbul yang pada akhirnya dari masalah tersebut menghasilkan ilmu atau pengetahuan yang berasal dari kesadaran mental atau dari rangsangan penginderaan manusia.
         Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Hal-hal yang terjadi sebelum manusia hidup dan setelah kematian manusia semua itu berada di luar penjelajahan ilmu. Ilmu membatasi penjelajahannya pada batas pengalaman manusia terletak pada fungsi ilmu dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Selain itu ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris melalui pembuktian secara metodologis. Ruang penjelajahan ilmu kemudian menjadi kapling-kapling berbagai disiplin ilmu. Pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) yang kemudian berkembang menjadi cabang-cabang keilmuan.
         Ilmu berkembang dengan sangat pesat demikian pula dengan cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan obyek forma (obyek ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Hingga saat ini telah terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan yang pada mulanya berasal dari dua rumpun ilmu yaitu ilmu alam dan ilmu sosial.

B.   EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN (CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR)

1 . Perkembangan Metode Ilmiah
         Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut tersusun. Ketiga landasan ini saling bekaitan; sehingga ontologi ilmu terkait dengan epistemologi dan epistemologi terkait dengan aksiologi ilmu. Jadi, jika kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka kita harus kaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman manusia. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia. Pengetahuan ilmiah atau ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi ilmu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang baik. Landasan epistimologi pada dasarnya bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertibangkan aspek ontologis dan aksiologis masing-masing. Masalah yang dihadapi epistemogi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan dalam kehidupan manusia.
         Sejak dahulu kala, manusia telah berusaha untuk menjelaskan alam dengan memperhatikan berbagai kekuatan dan gejala-gejala alam yang berada di sekelilingnya seperti hujan, banjir, topan, gempa bumi, letusan gunung berapi dan sebagainya. Mereka tidak berdaya menghadapi kekuatan yang sangat dahsyat dan dianggapnya sebagai kekuatan yang luar biasa sehingga mereka mencoba untuk mengaitkannya dengan makhluk yang luar biasa dan berkembanlah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Munculah dewa-dewa yang dipersamakan dengan gejala-gejala alam yang terjadi sehingga untuk mencegah malapetaka yang diakibatkan oleh kelakuan para dewa tersebut, manusia melakukan suatu ritual dengan menyiapkan persembahan atau sajian yang diperuntukan kepada dewa-dewa sehingga malapetaka akibat gejala alam tersebut dapat dihindari. Dalam perkembangan kebudayaan manusia, manusia mulai mencoba menafsirkan dunia terlepas dari mitos-mitos yang berkembang pada masa sebelumnya. Manusia mulai mempelajari alam dan mulai mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk mempuat tanggul, bercocok tanam atau menbasmi hama. Berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh metode mencoba-coba (tial and eror).
         Perkembangan berdasarkan pengalaman menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut seni terapan (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari disamping seni halus (fine arts). Sebagai contoh peradaban Mesir kuno sekitar 3000 tahun SM telah mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan gerhana. Demikian pula peradaban lain seperti Cina dan India terkenal dengan perkembangan seni terapan yang tinggi. Di Indonesia dapat dilihat pada masa kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang telah mampu membuat kapal-kapal untuk melayari samudera selain bangunan-bangunan candi-candi yang merupakan bukti sejarah ketinggian mutu arsitektur pada zaman tersebut. Seni pada hakikatnya mempunyai dua ciri yaitu deskriptif-fenomologis dan ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif seni mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan pada gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk mengembangkan postulat yang bersifat teoritis. Sehingga perkembangan seni terapan sangat tergantung pada pengembangan pengetahuan yang menggunakan seni terapan tersebut apakah bersifat kuantitatif atau kualitatif. Pada pengembangan yang bersifat kualitatif lebih mengembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah.
         Selain perkembangan dengan menggunakan akal sehat dan coba-coba, perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalitas yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersiat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang berifat kritis. Namun terdapat kelemahan dalam berpikir rasional sehingga memunculkan metode eksperimen yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan islam antara abad IX dan XII Masehi yang meneruskan semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani yang hampir padam sejak jatuhnya kekaisaran Romawi. Metode eksperimen dimulai oleh ahli-ahli kimia didorong oleh tujuan untuk mendapatkan obat ajaib untuk awet muda dan rumus membuat emas dari logam biasa. Kemudian metode eksperimen diperkenalkan di dunia barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294 M) dan berhasil menyakinkan masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah.
         Pengembangan metode eksperimen mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir  manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dengan induktif. Dengan berkembangya metode ilmiah dan diterimanya metode eksperimen sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah manusia menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Ilmu mendaptkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan terus mengalami perkembangan. Gejala ini tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan kelebihan metode-metode berpikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengatahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu sajs tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya manusia masih memerlukan pengetahuan lain untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya sebab bagaianapun majunya ilmu secara hakiki masih terbatas dan tidak lengkap untuk menjawab permasalahan yang dialami manusia.

2. Metode Ilmiah
         Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu demikian juga sebaliknya, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu karena ilmu didapatkan dengan syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. Menurut Senn, metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Secara filsafati metodologi termasuk epistemologi yang merupakan pembahasan bagaimana kita mendapatkan ilmu pengetahuan, apakah sumber pengetahuan, apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan, sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin ditangkap oleh manusia.
         Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran, dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-kerakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan dengan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai rumah atau batu bata yang tercerai-berai.
         Menurut Ritchie Calder, proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan yang disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris. Dapat disimpulkan bahwa karena ada masalah maka proses kegiatan berpikir ilmiah dimulai dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris pula. Perkembangan cara berpikir manusia dalam menghadapi masalah oleh Van Peursen dibagi menjadi tiga kebudayaan yaitu pertama tahap mistis adalah sikap yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib, kedua tahap ontologis adalah sikap yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari obyek yang ada disekitarnya serta mulai melakukan penelaahan terhadap obyek tersebut, dan ketiga tahap fungsional adalah sikap yang telah terbebas dari kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek di sekitarnya, namun lebih dari itu dia memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.
         Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Maka teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu pertama harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan kedua, harus sesuai dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab itu jika belum teruji kebenarannya secara empris, semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara atau disebut dengan hipotesis.
         Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan untuk melakukan verifikasi apakah jawaban itu benar atau tidak. Hipotesis pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan efek kumulatif dalam kemajuan ilmu. Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verivikasi atau menurut Tyndall sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Proses penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita yang turut mempengaruhi proses berpikir deduktif. Kegiatan ini akan mendekatkan hipotesis yang kita susun denga dunia fisik yang secara teoritis memperbesar peluang bagi hipotesis tersebut untuk diterima.
         Selanjutnya setelah menyusun hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata. Langkah sementara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap hipotesis tersebut. Proses pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan yang dapat kita lakukan secara langsung dengan panca indera atau dengan bantuan alat atau instrumen pembantu panca indera. Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-pernyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak secara ilmiah. Seorang ilmuwan pada mulanya bersikap skeptis yang selalu meragukan sesuatu. Secara sederhana proses berpikir seorang ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya.
         Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut yaitu : Pertama, perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris dan faktor-faktor yang terkait, Kedua, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan antara berbagai faktor yang saling berkaitan dalam permasalahan, Ketiga, perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan yang diajukan, Keempat, pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis untuk mengetahui apakah terdapat fakta-fakta yang medukung hipotesis tersebut atau tidak, dan Kelima, penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak. Keseluruhan langkah-langkah tersebut harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Metode ilmiah tersebut pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaandalam kedua kelompok keilmuan itu, maka perbedaan tersebut terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya. Dengan demikian, maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi sehingga dapat menemukan suatu ilmu pengetahuan dengan cara yang benar dan dapat diterima secara ilmiah.

C.     SARANA BERPIKIR ILMIAH
         Kegiatan ilmiah dapat dilakukan dengan baik memerlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal tersebut, maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu atau dengan perkataan lain sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah.
         Secara lebih sederhana sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang didukung oleh penguasaan sarana berpikir ilmiah serta peranan masing-masing sarana tersebut dalam keseluruhan proses penelitian ilmiah. Adapun sarana berpikir ilmiah untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika

1. Bahasa
         Salah satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia adalah kemampuan berbahasa. Ernst Cassirer  menyebut manusia sebagai Animal symbolicum atau manusia yang menggunakan simbol yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas dari Homo sapiens yakni manusia yang berpikir, sebab dalam kegiatan berpikir manusia menggunakan simbol. Manusia dapat mengembangkan kebudayaannya karena manusia mempunyai bahasa untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini, maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Manusia dapat berpikir dengan baik karena mempunyai bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Demikian juga, tanpa bahasa, manusia tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain.
         Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yag bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai suatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir dilakukan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berkelanjutan. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Menurut Kneller bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi simbolik yang menonjol dalam komunikasi ilmiah, fungsi emotif yang menonjol dalam komunikasi estetik, dan fungsi afektif.
         Bahasa mempunyai ciri sebagai serangkaian bunyi dalam hal ini manusia mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa juga merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu. Manusia mengumpulkan lambang-lambang dan menyusun sebagai perbendaharaan kata-kata yang pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran manusia, artinya perbendaharaan kata-kata yang manusia punya, maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran meraka. Hal tersebut menyebabkan bahasa terus berkembang karena disebabkan pengalaman dan pemikiran manusia yang juga berkembang oleh seluruh lapisan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa tidak saja membuat manusia dapat berpikir secara teratur, namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada orang lain juga dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita kepada orang lain.
         Dengan bahasa yang jelas, seseorang dapat mengemukakan pendapat dan jalan pikirannya dengan jelas. Pernyataan-pernyataan dalam suatu karya ilmiah merupakan suatu pengetahuan yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas, maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Menurut Charlton Laird, tata bahasa merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa yang baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Karya ilmiah mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional yang merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu, gaya penulisan ilmiah dihindari seminimal mungkin penggunaan tata bahasa dengan kata-kata yang mengandung unsur-unsur emotif.
         Namun demikian, bahasa mempunyai beberapa kekurangan diantaranya berkaitan dengan fungsi bahasa itu sendiri yaitu emotif dan afektif. Meski dalam penulisan ilmiah penggunaan fungsi simbolik lebih diutamakan, nanum penggunaan bahasa tetap mengandung fungsi emotif yang mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa ilmiah seharusnya bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap, atau bahasa ilmiah haruslah berifat antiseptik dan reproduktif. Kekurangan yang lain yaitu bahasa mempunyai arti yang tidak jelas dan eksak serta bahasa mempunyai beberapa kata yang mempunyai arti yang sama. Terlepas dari kekurangan bahasa tersebut, bahasa bukan saja merupakan alat bagi berfilsafat dan berpikir, namun juga merupakan bahan dasar dan dalam hal tertentu marupakan hasil akhir dari filsafat.

2. Matematika
         Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Matematika digunakan untuk mengatasi kekurangan yang terdapat dalam bahasa verbal, dalam hal ini matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan eomosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artifisal dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita.
         Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal, di mana matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran sehingga dapat dibuat pernyataan kuantitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu yang memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Melalui matematika, memungkinkan ilmu –ilmu sosial mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu.
         Secara deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun tak pernah ada kejutan dalam logika, namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita. Selain sarana berpikir deduktif, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus menggunakan matematika.
         Sebagai sarana ilmiah, maka matematika itu sendiri tidak mengandung kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Matematika sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda yakni sebagai ratu sekaligus pelayanan ilmu. Sebagai ratu, matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan sebagai pelayanan ilmu matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dalam bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, maka dalam bahasa matematika cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya salah informasi dan interpretasi.

3. Statistika
         Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, di mana konsekuensinya dapat diuji bagik dengan jalan menggunakan panca indera maupun dengan menggunakan alat-alat yang membantu panca indera tersebut. Pengujian secara empirin untuk membuktikan apakah suatu hipotesis dapat diterima atau ditolak berdasarkan fakta-fakta empiris. Pengujian dilakukan untuk menarik suatu kesimpulan baik yang bersifat deduktif maupun yang bersifat induktif yang mempunyai perbedaan antara keduanya. Dalam penalaran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah, maka kesimpulan itu belum tentu benar, yang dapat kita katakan bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak, di mana peluang merupakan dasar dari teori statistika.
         Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Penarikan kesimpulan seperti ini berdasarkan contoh (sample) dari populasi yang bersangkutan, tidak selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan jalan mengamati keseluruhan populasi tersebut, namun dalam tataran pragmatis, sesuatu yang tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggungjawabkan adalah dapat memenuhi syarat. Statistika dapat memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut demikian sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Statistika juga mampu memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.
         Melalui penarikan kesimpulan secara statistika memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis di mana tanpa statistika hal tersebut tak mungkin dapat dilakukan atau kita melakukan penarikan kesimpulan induktif secara tidak sah. Dengan demikan, penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah karena statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan secara kebetulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa statistika merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah.

D.     AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN (NILAI KEGUNAAN ILMU)
         Ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan peradaban manusia. Berkat kemajuan di bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan begitu cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti kesehatan, transportasi, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga membawa kerugian bagi manusia itu sendiri diantaranya ilmu yang digunakan dengan tujuan perang yang bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga digunakan untuk memerangi sesama manusia dan menguasai sesama manusia. Penggunaan ilmu pengatahuan dengan menciptakan berbagai macam persejataan pembunuh berhasil dikembangkan yang dapat menjadi alat untuk saling membunuh diantara manusia.
         Perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring  dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya manusialah yang pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Saat ini, teknologi kadang kala tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia, melainkan teknologi berada untuk eksistensinya sendiri. Sesuatu yang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti kemanusiannya. Manusia sering dihadapkan pada situasi yang tidak manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kemanusiaan dan kebahagiannya. Menghadapi kenyataa seperti itu, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana mulai mempertanyakan hal-hal untuk apa seharusnya ilmu itu harus dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan ilmu, dan kearah mana ilmu itu harus diarahkan. Pertanyaan seperti itu merupakan urgensi bagi seorang ilmuwan yang tidak bisa terelakan dan untuk menjawab pertanyaan itu maka ilmuwan seharusnya menggunakan hakikat moral.
         Sejak awal perkembangannya, ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pertanyaan-pertanyaan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan diantaranya agama sehingga timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik antara bidang ilmu dengan di luar bidang keilmuan. Seperti yang dialami oleh Copernicus (1473-1543) yang mengajukan teori tentang kesemestaan alam dan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-1642) menyebabkan pengadilan inkuisisi yang mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu tersebut terjadi pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan. Para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu yang bebas nilai. Pada akhirya para ilmuwan mendapatkan kemenangan, ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam semesta sebagaimana adanya.
         Setelah mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat komtemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret berupa teknologi. Dalam tahap ini ilmu tidak hanya bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pemahaman, namun lebih jauh lagi yaitu untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Dalam tahap manipulasi ini, maka masalah moral muncul kembali dalam kaitan dengan faktor lain. Jika dalam tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi, masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa pada tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi ilmu, sedangkan pada tahap penerapan konsep, masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
         Sehubungan dengan masalah moral dalam mengadapi dampak ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, terdapat dua pendapat ilmuwan. Golongan pertama mengingikan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah pengetahuan itu digunakan untuk tujuan yang baik, atau untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Golongan pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total pada waktu Galileo, sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.
         Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni, pertama, ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan, kedua, ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan, ketiga, ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah masyarakat dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal tersebut maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kehidupan manusia.

E.      TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
         Ilmu pengetahuan merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi persyaratan keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan selanjutnya digunakan oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Komunikasi individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif. Sehingga jelas bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang mempunyai kepentingan langsung pada masyarakat, namun yang lebih penting karena seorang ilmuwan mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat. Fungsi sebagai ilmuwan tidak terhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
         Ruang lingkup tanggung jawab seorang ilmuwan dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Ilmu itu netral dan terbebas dari nilai, para ilmuwanlah yang kemudian memberi nilai, dalam hal ini masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan terhadap ilmu yang ditelaahnya dalam menentukan dan memberikan jawaban permasalahan yang akan ditimbulkan oleh ilmu yang ditelaahnya tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti tentang prediksi akan apa yang terjadi di masa yang akan datang sehubungan dengan penemuan yang ditemukannya tersebut. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar tentang untung dan ruginya, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian obyektif dapat dimungkinkan.
         Kemapuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif bagi obyek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Dengan kemampuan analisis tersebut dapat digunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan yang produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Seorang ilmuwan dengan kemampuan pengetahuannya harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Terhadap suatu pandangan atau pemikiran yang keliru, maka sikap seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa lebih berpikir dengan teratur dan teliti. Dengan jalan pikiran yang mengalir melalui pola-pola teratur, juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti.
         Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat, yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam yang dapat dengan mudah mempercayai sesuatu yang tidak benar yang sepintas lalu kelhiatannya masuk akal.Kelebihan pemikiran seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti menyampaikan kepada masyarakat sekiranya dia mengetahui bahwa pemikiran masyarakat itu keliru dan menunjukkan di mana mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru, dan lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
         Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam bidang etika, tidak hanya memberikan informasi namun memberi contoh yang harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan berani mengakui kesalahan. Di tengah situasi di mana segenap nilai mengalami keguncangan maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan berbekal dengan pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang memberikannya keberanian, demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.

F.      ILMU DAN BAHASA
         Manusia dengan kemampuan pikiran dan pancaindra dan intuisi yang dimilikinya mampu mempelajari dan mngungkap alam ke dalam kehidupannya dan mengabtrasikannya dalam bentuk ketahuan misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan adalah terminoogi artiisial yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha mengetahui sesuatu. Cara dengan memperhatikan sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya dikategorikan sebagai ketahuan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan knowledge. Adapun kriteria untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota ketahuan atau knowledge yaitu : pertama, apakah obyek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan (knowledge) atau ontologis, kedua, cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) atau epistemologis, dan ketiga, untuk apa ketahuan (knowledge) itu dipergunakan atau nilai kegunaan apa yang dipunyai olehnya atau aksiologis. Dengan kata lain, ketahuan (knowledge) ditandai dengan obyek ontologis yaitu segenap wujud yang dapat dijangkau lewat pancaindra atau alat yang membantu pancaindra, epistemologis yaitu metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan induktif, dan aksiologis yaitu kemaslahatan manusia artinya segenap wujud ketahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.
         Permasalahan yang terjadi dalam pemaknaan kata ketahuan dalam bahasa Inggris antara knowledge dan science yaitu antara bentuk ketahuan yang bersifat generik dan bentuk ketahuan spesifik yang mempunyai obyek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang khas. Alternatif yang digunakan untuk mencoba mencari padanan kata knowledge dan science dalam bahasa Indonesia yaitu, pertama, menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge yang saat ini sering digunakan walaupun mempunyai kelemahan yaitu, pertama, knowledge  merupakan termonologi generik dan science adalah anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut sehingga kurang layak jika pengetahuan merupakan terminologi generik dan ilmu pengetahuan merupakan anggota yang termasuk ke dalamnya. Kelemahan kedua, kata sifat dari science yakni scientific yang sekiranya secara konsekuen kita gunakan untuk ilmu adalah pengetahuan ilmiah atau keilmu pengetahuaan yang sangat menyesatkan dan kurang nyaman dipergunakan. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan scientific knowledge sinonim dengan science, sedangkan keilmu pengetahuan terasa hanya dibuat-buat. Ketiga, tidak konsekuensinya mempergunakan terminologi ilmu pengetahuan untuk science di mana biologi disebut ilmu hayat dan fisika adalah ilmu pengetahuan alam. Alternatif kedua, didasarkan asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan yang sudah biasa dalam bahasa indonesia sehingga tinggal mencarikan sinonim science dan knowledge, maka yang lebih tepat kiranya adalah kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science. Dengan demikian maka social science diterjemahkan dengan ilmu-ilmu sosial dan natural science diterjemahkan ilmu-ilmu alam. Sehingga kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan, metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah, dan ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.
         Jika kita kembali pada hakikat fungsi utama bahasa yaitu sebagai sarana komunikasi antara manusia (fungsi komunikatif), dan fungsi bahasa sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang menggerakkan bahasa tersebut (fungsi kohesif atau integratif) maka sekiranya perkembangan bahasa haruslah memperhatikan kedua fungsi tersebut agar terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya seperti manusia yang menggunakan bahasa harus tumbuh berkembang seiring dengan pergantian zaman. Sebagai alat komunikatif, bahasa mempunyai tiga unsur yaitu bahasa untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif), berkonotasi sikap (afektif), dan berkonotasi pikiran (penalaran) atau secara umum dikatakan bahwa fungsi komunikatif bahasa yaitu emotif, afektif dan penalaran.
         Perkembangan bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif bahasa agar mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sebagai contoh, perkembangan seni dan ilmu, secara teoritis dapat dikatakan bahwa kemajuannya terkait dengan perkembangan bahasa dalam fungsi emotif dan afektif untuk seni, dan perkembangan bahasa dalam fungsi penalaran untuk ilmu. Fungsi komunikatif bahasa harus secara terus menerus dikembangkan, namun harus tetap menjaga fungsi kohesif dari bahasa sebagai alat integrasi bangsa. Untuk itu, dalam pembentukan kata-kata bary yang berasal dari daerah maupun asing harus diarahkan kepada perkembangan bahasa sebagai bahasa nasional. Dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang moderen, haruslah memperhatikan ketiga unsur fungsi bahasa yang komunikatif dan fungsi kohesif bahasa dengan seimbang . Untuk itu, haruslah dipikirkan dalam politik bahasa nasional untuk mengkaji permasalahan ini secara integral dan menyeluruh sehingga fungsi bahasa sebagai komunikatif dan kohesif dapat tetap terjadi keseimbangan dalam mengahadapi perkembangan zaman di masa mendatang.

###

* Ringkasan buku Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009.
.