Rabu, 13 Juli 2016

KONFIGURASI TEORI NEGARA HUKUM

KONFIGURASI TEORI NEGARA HUKUM

         Pemikiran tentang negara hukum berkembang di berbagai belahan dunia baik di Eropa kontinental dengan sistem hukum civil law dikenal dengan istilah rechtsstaat, maupun di Inggris dan Amerika dengan sistem hukum common law yang dikenal dengan istilah rule of law. Kedua gagasan negara hukum tersebut walaupun mempunyai perbedaan dalam hal sistem hukum yang menopanngnya, namun mempunyai jiwa dan semangat pada tujuan yang sama yaitu membatasi kekuasaan agar tercapai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain rechtstaat dan rule of law, dalam perkembangannya juga terdapat konsep negara hukum lain seperti sosialis legality sebagai varian dari civil law system yang diimplementasikan di negara-negara sosialis-komunis, religy legality yang juga dikenal dan masih berlaku di beberapa negara di belahan dunia seperti nomokrasi atau negara hukum Islam.[1]
a.   Rechtsstaat                                   
               Istilah rechtsstaat pertama kali muncul di Eropa pada Abad ke-19 yang dikenalkan oleh Rudolf Von Gneist pada tahun 1857, seorang guru besar di Berlin Jerman yang dituangkan dalam bukunya Das englische Verwaltunngerechte yang digunakan untuk istilah rechtsstaat untuk  menunjuk pemerintahan negara Inggris, walaupun sebenarnya konsepsi negara hukum sudah dicetuskan sejak Abad ke-17 di negara-negara Eropa Barat bersama-sama dengan timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dan absolut dari para penguasa (raja). [2]

               Ciri-ciri Rechtstaat klasik mempunyai empat asas yaitu : [3]
               1.      Asas yang berasal dari elemen atau unsur demokrasi adalah asas legislasi (legislation). Artinya, kedudukan masyarakat sispil harus diatur dengan undang-undang yang dibuat oleh parlemen yang dipilih secara demokratis.
               2.      Asas legalitas, artinya, pemerintah harus berperilaku atau bertindak berdasarkan peraturan umum yang ditetapkan oleh parlemen (acts of Parliament) dan pemerintah tidak boleh bertindak dengan instrumen diskresi atau wewenang bebas.
               3.      Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka atau prinsip peradilan yang independen (independence judiciary). Artinya, peradilan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif.
               4.      Asas yang berasal dari unsur negara hukum, yakni asas-asas perlindungan hak-hak sipil, khususnya hak-hak sipil klasik, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan berserikat.

      Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa berdasarkan pada prinsip-prinsip liberal, ciri-ciri pokok Rechtsstaat sebagai berikut : [4]
               a).     Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
               b).     Adanya pembagian kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu dan rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintahan yang tindakannya pada undang-undang;
               c).     Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

               Sudargo Gautama menyebutkan ciri rechtsstaat antara lain : [5]
               a).     Terdapat pembatasan kekuasaan negara kepada perorangan, pembatasan dilakukan oleh hukum;
               b).     Pelanggaran atas hak-hak individu hanya boleh atas dasar aturan hukum (asas legalitas);
               c).     Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia (hak-hak kodrat)
               d).     Adanya pemisahan kekuasaan;
               e).     Badan peradilan yang tidak memihak.

               Frans Magnis Suseno mengemukakan ciri rechtsstaat yakni : [6]
               a).     Asas legalitas;
               b).     Kebebasan/kemandirian kekuasaan kehakiman;
               c).     Perlindungan hak asasi manusia;
               d).     Sistem konstitusi hukum dasar.

               Syarat-syarat utama rechtsstaat yaitu : [7]
               1.      Asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan;
               2.      Pembagian kekausaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;
               3.      Hak-hak dasar, hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat, dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang;
               4.      Tersedianya saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji tindak pemerintah.
                    
      b.   Rule of Law
                     Konsep rule of law pada awalnya tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menganut common law system seperti Inggris dan Amerika, yang menerapkan rule of law sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban dan derajat di depan hukum yang dilandasi pada nilai-nilai hak asasi manusia, di mana setiap warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan dijamin hak-haknya melalui sistem hukum yang berlaku dalam negara. Inti rule of law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana masyarakat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan jaminan atas hak-hak asasinya.[8]
                     Salah satu makna dari rule of law adalah adanya pembagian kekuasaan penyelenggaan negara melalui hukum. Hal ini untuk mencegah kekuasaan berada dalam satu tangan dan tidak dibatasi maka akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang akan mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. [9]                 
                     Rule of law menurut A.V. Dicey mengandung tiga unsur pokok, yaitu : [10]
                     1.      Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbritary power dan meniadakan kesewenang-wenangan prerogative atau discretionary authority yang datang dari pemerintah;
                     2.      Persamaan di depan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik perorangan maupun pejabat negara berkewajiban untuk mentaati hukum, tidak ada peradilan administrasi;
                     3.      Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian rupa, diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya.

                     E.C.S. Wade & G. Philips mengetengahkan tiga unsur pokok rule of law yaitu : [11]
                     1.      Rule of law merupakan konsep filosofis yang dalam tradisi barat berkaitan dengan demokrasi dan menentang ortokrasi;
                     2.      Rule of law merupakan hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum;
                     3.      Rule of law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh dalam peraturan-peraturan hukum baik hukum substantif maupun hukum acara.

                     Berry M. Hager, memperluas unsur-unsur rule of law dengan menawarkan inti dari elemen-elemennya sebagai berikut : [12]
                     1.      Constituonalism (konstitusionalisme);
                     2.      Law governs the government (hukum yang mengatur pemerintahan);
                     3.      An independent judiciary (independensi peradilan);
                     4.      Law must be fairly and consistently applied (hukum harus diterapkan secara jujur dan konsisten);
                     5.      Law is transparent and acessable to all (hukum transparan dan dapat diakses oleh semua orang);
                     6.      Application of the law is efficient and timely (penerapan hukum tepat waktu dan tepat guna);
                     7.      Property and economic rights are protected, including contract (hak milik dan hak ekonomi termasuk kontrak dilindungi);
                     8.      Human and intelectual rights are protected (hak asasi manusia dan hak intelektual dilindungi); dan
                     9.      Law can be changed by an estabilished process which it self is transparent and accessable to all (hukum dapat diubah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan secara transparan dan dapat diakses oleh semua orang).

                     H.W.R Wade mengindentifikasi lima aspek rule of law, yaitu : [13]
                     a.      Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum;
                     b.      Pemerintah harus berperilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi;
                     c.      Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif;
                     d.      Harus seimbang (eve-handed) antara pemerintah dan warga negara; dan
                     e.      Tidak seorangpun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang ditegaskan menurut undang-undang.

               Konsep rule of law mempunyai esensi dasar berupa : [14]
                     1.      Negara memiliki hukum yang adil.
                     2.      Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan.
                     3.      Semua orang, termasuk penguasa Negara harus tunduk kepada hukum.
                     4.      Semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam hukum.
                     5.      Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.

      c.   Socialist Legality
                     Konsep socialist legality atau konsep negara hukum sosialis banyak dianut oleh negara-negara sosialis komunis, seperti eks Uni Soviet dan bebeberapa negara komunis lainnya di Amerika Latin dan sebagian Asia yang hingga saat ini masih tetap eksis.[15] Paham socialist legality bersumber pada paham komunisme yang menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hak-hak individu. Kepentingan kolektif lebih diutamakan, sehingga hak-hak individu harus melebur dalam tujuan sosialisme. Selain bersifat sekuler sekaligus atheis, paham socialist legality sangat anti terhadap nilai-nalai yang bersifat transendental. [16]
                     Kelahiran konsep socialist legality mempunyai latar belakang politis untuk mengimbangi perkembangan konsep rule of law yang dipelopori oleh negara-negara anglo saxon. Dalam socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti Tuhan dan agama yang merupakan watak dari negara komunis/sosialis yang diwarnai oleh doktrin komunis bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Jaroszinky mengemukakan bahwa konsep socialist legality menempatkan hukum dibawah sosialisme, hukum sebagai alat untuk mencapai sosialisme, hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. [17]
                     Unsur-unsur sebagai penanda socialist legality yaitu : [18]
                     1.      Perwujudan sosialisme;
                     2.      Hukum sebagai alat politik di bawah ideologi sosialis; dan
                     3.      Pengutamaan kewajiban kepada negara daripada perlindungan hak-hak asasi manusia.

                     Dalam konsep negara hukum socialist legality, meskipun secara konstitusional, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas, namun pratiknya demi kepentingan sosialisme, hakim tunduk pada kebijakan rahasia dari penguasa atau perintah pejabat-pejabat partai yang memegang tampuk pemerintahan. Demikian halnya dalam kehidupan ekonomi maupun politik rakyat yang terkekang oleh kebijakan pemerintah demi kepentingan sosialisme. [19]
                     Omar Seno Adji mengindentifikasi beberapa konsep socialst legality sebagai berikut : [20]
                     1).     Adanya perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan warga negara. Perlindungan ini terutama diberikan kepada kaum buruh;
                     2).     Berkaitan dengan kebebasan (freedom) dan tanggung jawab (responsibility) socialist legality lebih mendahulukan responsibility ketimbang freedom;
                     3).     Adanya pemisahan secara tajam antara negara dan gereja;
                     4).     Adanya kebebasan kekuasaan kehakiman yang diatur secara tegas dalam konstitusi;
                     5).     Larangan terhadap berlakunya pidana secara retroaktif atau retrospektif;
                     6).     Kebebasan pers dimaknai sebagai kebebasan untuk mengkritik kaum kapitalis maupun kaum borjuis;
                     7).     Hukum dimaknai sebagai alat untuk mencapai sosialisme, posisi hukum adalah subornasi terhadap sosialisme.
                             
      d.   Religy Legality
                     Konsep negara agama bersumber dari doktrin bahwa dunia diatur oleh hukum Tuhan yang tergambar dari tatanan dan keteraturan kehidupan sosial, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kepercayaan bahwa Tuhan telah menciptakan dunia berdasarkan kehendaknya. Dalam konsep ini manusia dilihat sebagai bagian dari tatanan kosmis, peraturan-peraturan dilihat sebagai suatu hal yang merupakan kehendak keputusan hukum yang ditetapkan dari langit yang sudah ada sebelum ada kehendak dari manusia. Aturan tersebut menggambarkan apa yang terjadi sekaligus menetapkan apa yang seharusnya terjadi. [21]
                     Konsep negara agama di Eropa di mulai pada masa abad pertengahan dipelopori oleh seorang Filsuf Kristiani bernama Thomas Aquinas yang memiliki pandangan Thomistik dengan mempostulatkan bahwa hukum alam merupakan bagian dari hukum Tuhan yang dapat diketahui melalui nalar manusia. Thomas Aquinas membagi hukum dalam empat golongan yaitu lex externa, lex naturalis, lex divina dan lex humana. Lex externa adalah hukum dari keseluruhan yang berakar dari Tuhan. Hukum abadi adalah kebijaksanaan atau rencana abadi dari Tuhan berkenaan dengan penciptaan alam semesta dengan segala isinya, yang tunduk dan harus berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh hukum abadi. Pemikiran keagamaan ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan konsep yang mendasari pandangan negara. [22]
                     Negara hukum yang dikehendaki oleh Islam agar hukum ditegakan tanpa memandang orangnya berdasarkan perasaan dan kejujuran. Islam telah mengambil ketetapan bahwa hukumlah yang harus berkuasa setinggi-tingginya dalam negara. Menurut Islam, negara yang tidak berdasarkan hukum adalah negara yang anti ketuhanan, negara zalim yaitu negara diktator, otokrasi yang berlaku sewenang-wenang, negara fasik yaitu negara anarki dan tidak teratur di mana pemerintahannya tidak sanggup menjamin kemanan rakyatnya. [23]
                     Berkaitan dengan pandangan negara hukum menurut Islam, Ibnu Kaldun mengemukakan pendapat berkaitan dengan negara hukum bahwa dalam mulk siyasi terdapat dua macam bentuk negara hukum berdasarkan pelaksanaan hukum Islam (syariah) dan hukum sebagai hasil pemikiran manusia dalam kehidupan negara, yaitu pertama Siyasah diniyah (nomokrasi Islam), di mana baik syariah maupun hukum yang didasarkan pada rasio berfungsi dan berperan dalam negara, dan kedua Siyasah aqliyah (nomokrasi sekuler), di mana hanya menggunakan hukum sebagai hasil pemikiran manusia dalam negara. [24]
                     Fahmi Hummidy mengemukakan bahwa konsep negara dalam pandangan Islam memiliki ciri-ciri antara lain : [25]
                     1.      Kekuasaan dipegang penuh oleh rakyat (umat), artinya rakyat yang menentukan pikiran terhadap jalannya kekuasaan dan persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang yang menjadi pilihannya;
                     2.      Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab dalam penegakan hukum, kemakmuran dunia dan kemaslahatan umum dan bukan hanya tanggung jawab penguasa;
                     3.      Kebebasan merupakan hak bagi semua orang artinya kebebasan eksperesi manusia terhadap dirinya merupakan pengejawantahan dari aqidah tauhid;
                     4.      Persamaan diantara sesama manusia, artinya Islam sangat menghormati dan melindungi manusia tanpa melihat asal usul agama, ras dan lain-lain;
                     5.      Mengakui pluralitas golongan, artinya Islam sangat menghormati adanya kelompok-kelompok yang berkembang dalam masyarakat;
                     6.      Mencegah kesewenang-wenangan dan usaha meluruskannya; dan
                     7.      Undang-undang di atas segala-galanya, artinya legalitas kekuasaan tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem hukum dan keberlakuannya tanpa membeda-bedakan antara penguasa dan rakyat.
                                      
                        Konsep negara hukum dalam Islam dikenal dengan istilah nomokrasi Islam yaitu suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum  yang tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan dalam sunah Rasulullah, sebagai berikut : [26]
                     1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah.
                     2.      Prinsip musyawarah (musyawarat).
                     3.      Prinsip keadilan.
                     4.      Prinsip persamaan.
                     5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
                     6.      Prinsip peradilan bebas.
                     7.      Prinsip perdamaian.
                     8.      Prinsip kesejahteraan.
                     9.      Prinsip ketaatan rakyat.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang : Bayu Media, 2005.

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung : Mandar Maju, 2012.

Dewa Gede Atmadja, et all, Teori Konstitusi & Negara Hukum, Malang : Setara Press, 2015.

Marwan Efendy, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta : Referensi, 2014.

Muh. Tahir Azhary, Negara Hukum ; Suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, Jakarta : Kencana, 2005.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung :  Refika Aditama, 2009.

Syamsudddin Rajab, “Konfigurasi Pemikiran Teori Negara Hukum”, Al Risalah Volume 10 Nomor 1 Tahun 2010.

Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Bandung : Refika Aditama, 2015.








            [1] I Dewa Gede Atmadja, et all, Teori Konstitusi & Negara Hukum, Malang : Setara Press, 2015, Hlm 133-134.
            [2] A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang : Bayu Media, 2005, Hlm 10.
            [3] I Dewa Gede Atmadja, et all, Op cit, Hlm 134-135.
            [4] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung : Mandar Maju, 2012, Hlm 19.
            [5] Ibid, Hlm 20.
            [6] Ibid.
            [7] Ibid, Hlm 75.
            [8] Ibid, Hlm 24.
            [9] Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Bandung : Refika Aditama, 2015, Hlm 56.
            [10] Bahder Johan Nasution, Op cit, Hlm 24.
            [11] Ibid, Hlm 25.
            [12] I Dewa Gede Atmadja, et all, Op cit, Hlm 144-145.
            [13] Marwan Efendy, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta : Referensi, 2014, Hlm 46.
            [14] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung :  Refika Aditama, 2009, Hlm 6.
            [15] Bahder Johan Nasution, Op cit, Hlm 24.
            [16] Marwan Efendy, Op cit, Hlm 54.
            [17] Muh. Tahir Azhary, Negara Hukum ; Suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, Jakarta : Kencana, 2005, Hlm 91-92.
            [18] I Dewa Gede Atmadja, et all, Op cit, Hlm 149.
            [19] Bahder Johan Nasution, Op cit, Hlm 28.
            [20] Ibid, Hlm 28.
            [21] Ibid, Hlm 41.
            [22] Ibid, Hlm 40.
            [23] A. Mukthie Fadjar, Op cit, Hlm 22-23.
            [24] Muh. Tahir Azhary, Negara Hukum ; Suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, Jakarta : Kencana, 2005, Hlm 85.
            [25] Syamsudddin Rajab, “Konfigurasi Pemikiran Teori Negara Hukum”, Al Risalah Volume 10 Nomor 1 Tahun 2010, Hlm 30.
            [26] Muh. Tahir Azhary, Op cit, Hlm 85-86.