Jumat, 27 September 2019

MODEL-MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA


Model-Model Sistem Peradilan Pidana

         Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana di Amerika Serikat bernama Frank Remington, sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mekanisme kerja aparat penegak hukum yang tidak mampu mengatasi kriminalitas yang semakin meningkat pada tahun 1960-an, di mana pada saat itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order). Melalui Frank Remington dikenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach), yang kemudian diletakan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal justice system. Gagasan tersebut kemudian disebarluaskan oleh The President’s crime commission. Sejak saat itu, pendekatan sistem menggantikan pendekatan hukum dan ketertiban dalam penanggulangan kejahatan. Perkembangan sistem ini menjadi model yang dominan di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa dengan menitikberatkan pada the administration of justice, serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[1]
         Sistem peradilan pidana yang berlaku di negara yang menganut sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun Anglo saxon pada dasarnya terdiri dari beberapa model yang tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan yang harus dipilih, melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana. [2] Herbert L. Packer seorang ahli hukum dari Universitas Stanford Amerika Serikat, melakukan pendekatan dikhotomi yang bersifat normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan proses peradilan pidana khususnya dalam sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat. Sudut pandang dan analisis tersebut membuktikan bahwa proses peradilan pidana di Amerika Serikat berada di tengah tarikan dua arus pemikiran yaitu : [3]
         1.      Pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting yang harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana. Efisiensi tersebut harus diartikan kemampuan sistem peradilan pidana untuk menangkap, menahan, mengadili dan menempatkan penjahat ke dalam lembaga pemasyarakatan. Titik tolak untuk mewujudkan efisiensi menurut model ini adalah meningkatkan kecepatan dan kepastian; kecepatan tersebut sangat tergantung pada informalitas dan keseragaman tindakan, dan kepastian tergantung pada upaya menekan kesempatan munculnya perlawanan seminimal mungkin. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas polisi. Bukti-bukti yang cukup dan kuat terhadap seseorang tersangka sudah merupakan petunjuk untuk mengarahkan semua mekanisme proses kepada suatu presumption of guilt. Landasan pemikiran perama ini disebut sebagai crime control model.
         2.      Pendekatan kedua, dilandaskan kepada pemikiran bahwa semua temuan-temuan fakta dari suatu kasus, tidak dapat diperoleh melalui proses informal dari suatu penyidikan dan pengakuan tersangka semata-mata; melainkan hal tersebut seharusnya diperoleh melalui suatu prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Pemikiran ini lebih mementingkan pelaksanaan prosedur penyidikan, penangkapan, penahanan, dan peradilan sesuai dengan ketentuan undang-undang daripada pelaksanaan penyidikan hanya untuk menemukan fakta-fakta yang menguatkan tuduhan semata-mata atas diri seorang tersangka. Pemikiran ini menghendaki suatu proses yang benar-benar dilaksanakan secara ketat dan ada suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan (adversary system), sehingga dihindari sejauh mungkin seseorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah (innoncent). Presumption of innoncence  merupakan tulang punggung model pemikiran ini. Pemikiran kedua ini dikenal sebagai due process model.

            Pendekatan normatif yang dikemukakan oleh Herber L. Packer berlaku pada adversary system yang berlaku di Amerika Serikat di mana dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut : [4]
         1.      Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa (dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum) dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama di muka pengadilan;
         2.      Tujuan utama prosedur sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas ialah menyelesaikan sengketa (dispute) yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan;
         3.      Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya merupakan suatu keharusan, melainkan justru merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan cara demikian justru memperkuat eksistensi suatu kontes antar pihak yang berperkara (tertuduh dan penuntut umum) dan secara akurat memberikan batas aturan permainan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana;
         4.      Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas, peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan, peranan tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Tertuduh bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud.

            Sedangkan, di lain pihak sebagai lawan dari adversary system yaitu non-adversary system menganut prinsip bahwa:[5]
         1.      Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan kesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
         2.      Tujuan utama prosedur pada butir 1 di atas adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya;
         3.      Penelitian terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak bergantung pada atau tidak perlu memperoleh izin para pihak (penuntut umum dan tertuduh);
         4.      Kedudukan masing-masing pihak, penuntut umum dan tertuduh, tidak lagi otonom dan sederajat;
         5.      Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat digunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun dipersidangan. Tertuduh merupakan objek utama dalam pemeriksaan.

         Polarisasi pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana tidak bersifat mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer dilandaskan pada asumsi sebagai berikut : [6]
         1.      Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas ex post facto law atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement officers tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut.
         2.      Diakuiya kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.
         3.      Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.

            Adapun model-model sistem peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yaitu crime control model dan due process model yang berlaku pada adversary system. Selain kedua model tersebut, di negara-negara Eropa Kontinental seperti Belanda berkembang model lain yaitu family model atau model kekeluargaan yang  pada mulanya dikemukakan oleh John Griffithst sebagai reaksi terhadap crime control model dan due process model. [7]
a.      Crime Control Model (CCM)
                  Crime control model didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perhatian utama crime control model ditujukan pada efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif dalam memproses pelaku tindak pidana. Proses tersebut dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai, serta tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain yang hanya menghambat penyelesaian perkara. [8]
                  Crime control model merupakan affirmative model yaitu selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.[9] Crime control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelakunya, dengan asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam hal ini tersangka atau tertuduh dalam sistem peradilan pidana ada kemungkinan bersalah, oleh karena itu pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus digunakan semaksimal mungkin. [10]
                  Nilai-nilai yang mendasari crime control model adalah : [11]
                  1.      Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
                  2.      Perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya;
                  3.      Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finaty) dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah harus model administratif dan menyerupai model manajerial;
                  4.      Asas praduga bersalah atau presumption of guilt akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan
                  5.      Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, karena temuan tersebut akan membawa ke arah; pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau plead of guilty.

b.      Due Process Model (DPM)
                  Due process model merupakan rekasi terhadap crime control model, di mana pada model ini menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa dalam proses pidana yang harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi seperti pada crime control model. Due process model didasarkan pada presumption of innocent (praduga tidak bersalah) yang berbeda dengan crime control model yang berdasarkan pada presumption of guilty (praduga bersalah). [12]    
                  Due process model merupakan negative model yaitu selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan kekuasaan yang dominan yaitu kekuasaan yudikatif dan selaku mengacu kepada konstitusi. [13] Dalam due process model yang dilandasi presumption of innoncence sebagai dasar nilai sistem peradilan, mempunyai tujuan untuk melindungi seseorang yang sungguh-sungguh tidak bersalah, serta menuntut seseorang yang benar-benar bersalah. Oleh karena itu dalam dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhada suatu kasus secara formal dan penemuan fakta secara objektif, di mana seorang tertuduh diberikan kesempatan untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan kepadanya. [14]
                  Nilai-nilai yang mendasari due process model adalah : [15]
                  1.      Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi atau human eror menyebabkan model ini menolak informal fact-finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal adjudicative dan adversary fact-findings. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
                  2.      Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
                  3.      Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal, sangat memerhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dilakukan oleh negara. Proses peradilan dipandang sebagai coecive (menekan), restricting (membatasi), dan merendahkan martabat (demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;
                  4.      Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut;
                           a.      Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas tersebut;
                           b.      Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seeorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Dalam konsep legal guilt ini tergantung asas praduga tak bersalah atau presumption of innoncence. Factually guilty tidak sama dengan legally guilty ; factually guilty mungkin saja legally innocent.
                  5.      Gagasan persamaan di muka hukum atau equality before the law lebih diutamakan; berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah ialah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka pengadilan. Tujuan khusus due process model adalah (factually innonent) sama halnya dengan menuntut mereka secara faktual bersalah (factually guilty);
                  6.      Due process model mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction). 

                  Sebagai contoh due process model, Herbert L. Packer mengungkapkan kasus Miranda melawan Arizona pada tahun 1966. Arizona adalah salah satu negara bagian di Amerika Serikat, dan Ernesto Miranda adalah nama salah seorang warga negara Amerika Serikat. Kasus ini mengisyaratkan bahwa polisi tidak diperkenankan melakukan interogasi terhadap seorang tersangka sampai mendapat penasehat hukum. Tersangka pun mempunyai hak untuk diam, jika tersangka ingin berkonsultasi dengan penasehat hukumnya, maka interogasi harus ditunda sampai penasehat hukumnya datang, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasehat hukum, maka negara akan menyediakan penasehat hukum. Dari kasus Miranda melawan Arizona, maka lahirlah Miranda Rules, yang terdiri dari: [16]
                  1.      Hak untuk tidak menjawab pertanyaan atau diam sebelum diperiksa atau sebelum dilakukan penyidikan (a right to remain silent);
                  2.      Hak untuk menghadirkan penasehat hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum dilakukan pemeriksaan atau penyidikan oleh penyidik (a right to the presence of an attorney or the right to counsil);
                  3.      Hak untuk disediakan penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.

c.      Family Model
                  Family model merupakan kritik terhadap kedua model sebelumnya due process model. Family model dikemukakan oleh John Griffithts, seorang guru besar dari Yale Law School University California, yang mengatakan bahwa kedua model sebelumnya berada dalam suatu adversary system atau battle model yang merupakan bentuk peperangan antara dua pihak yang kepentingannya berlawanan satu sama lain yaitu antara individu khususnya pelaku tindak pidana dengan negara sehingga tidak akan bisa mempertemukan dua kepentingan yang berlawanan (disharmonis of interest). Adanya kepentingan yang tidak dapat dipertemukan inilah yang merupakan nilai-nilai dasar yang hendak diganti dengan nilai berupa kepentingan yang saling mendukung dan menguntungkan menuju kesatuan harmoni, dan pernyataan kasih sayang sesama hidup yang disebut sebagai ideological staring point. [17]
                  Di dalam family model atau disebut juga model kekeluargaan adalah konsep pemidanaan yang digambarkan dalam padanan suatu suasana keluarga, yang apabila seorang anak telah melakukan kesalahan maka akan diberikan sanksi, dengan tujuan anak tersebut mempunyai kesanggupan untuk mengendalikan dirinya akan tetapi setelah anak itu diberi sanksi, anak itu tetap berada dalam kasih sayang keluarga, dan dia tidak dianggap sebagai anak jahat dan sebagai manusia yang khusus, atau sebagai anggota kelompok yang khusus dalam kaitannya dengan keluarga. Dengan demikian kepada pelaku kejahatan, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai special criminal puple yang kemudian diasingkan dari anggota masyarakat, namun mereka tetap diperlakukan sebagai anggota masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang dengan nilai-nilai keluargaan. [18]


* * *







            [1] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan II Revisi, Bandung : Bina Cipta, 1996, Hlm 7-9.
            [2] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta : UII Pres, 2011, Hlm 42-43.
            [3] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1995, Hlm 137-138.
            [4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 42-43.
            [5] Ibid, Hlm 44.
            [6] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif…, Op cit, Hlm 18-19.
            [7] Tolib Efendi, Sistem Peradilan Pidana ; Perbandingan Koponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013, Hlm 27.
            [8] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 43.
            [9] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 11.
            [10] Ibid, Hlm 122.
            [11] Ibid, Hlm 9.
            [12] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 44.
            [13] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Op cit, Hlm 11.
            [14] Ibid, Hlm 122-123.
            [15] Ibid, Hlm 10-11.
            [16] M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule ; Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010, Hlm 12-13.
            [17] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 45-46.
            [18] Ibid, Hlm 46.