Rabu, 26 Maret 2014

FENOMENA FILSAFAT HUKUM PADA ZAMAN YUNANI DAN ROMAWI

FENOMENA FILSAFAT HUKUM PADA ZAMAN YUNANI DAN ROMAWI


Latar Belakang Zaman Yunani.
        Pada mulanya kebudayaan Yunani itu berasal dari suatu kebudayaan yang telah berkembang di Ionia (Turki) yang kemudian semakin tumbuh dan berkembang di peloponesos-peloponesos (polis-polis) Yunani dan akhirnya ke Sicilia (Italia). Penyebaran itu sejalan atau berkaitan erat dengan perkembangan dan aktifitas perdagangan di lautan Tengah dan Timur, yang merupakan pertemuan pedagang-pedagang jaman kuno dari bangsa-bangsa Mesir, Persi dan sebagainya. Juga sejalan dengan terpeliharanya stabilitas politik maka muncullah pelayaran dan perdagangan yang menandai fase kedua dari perkembangan kebudayaan yang melintasi “lautan dalam”.  Kebudayaan Lautan Dalam itu juga disebut dengan istilah  kebudayaan Tlalassis, dimana hubungan kebudayaan menyeberangi lautan telah menggunakan alat komunikasi/ transportasi pelayaran dan perdagangan yang cukup maju menurut ukuran waktu itu
         Perkembangan kebudayaan yang didukung oleh kemajuan pelayaran dan perdagangan di Yunani memunculkan polis (kota) Athena sebagai pusat perdagangan dan pelayaran di wilayah Laut Tengah. Di kota itulah bertemu dan saling bergaul/ berkomunikasi dan bahkan saling mempengaruhi para pedagang dari berbagai bangsa yang tidak mengenal diskriminasi kulit. Disamping itu pada dasarnya para pedagang memang orang-orang yang terbiasa hidup bebas dalam berpikir, bergaul dan mengeluarkan pendapat dalam berbisnis. Suasana kebebasan yang menjadi kebiasaan hidup itulah yang kemudian menjadi pendukung atau factor utama  perkembangan ilmu pengetahuan/ filsafat berdasarkan rasio. Sedangkan syarat mutlak agar rasio (pikiran) itu berkembang adalah adanya iklim atau kesempatan, keleluasaan dan kebebasan, dimana suasana seperrti itu memang terdapat di Athena.
        Berbeda dengan Athena, di Yunani terdapat polis Sparta yang Agraris, dimana mata pencaharian penduduknya terutama dari pertanian dan peternakan (agraria). Ciri masyarakat agraris ini adalah tertutup dan feudal, dengan hierarki masyarakatnya yang mapan dari atas ke bawah, sedangkan organisasi masyarakat yang ketat dipimpin dengan disiplin militer. Oleh karenanya budaya masyarakatnya yang berkembang adalah bidang jasmani dan berperang.

 1. Masa Yunani 
a.      Masa sebelum Socrates ( = 500 S.M)
                        Dimulai dari masa sebelum Socrates, yang artinya tidak dipengaruhi oleh pemikiran filsuf besar Socrates. Pada masa ini filsafat hukum belum berkembang. Alasan utamanya adalah karena pada masa ini memusatkan perhatiannya kepada alam semesta, yaitu yang menjadi masalah bagi mereka adalah bagaimana terjadinya alam semesta ini. Mereka berusaha mencari apa yang menjadi inti alam. Thales (624-548 SM) mengemukakan bahwa alam smesta terjadi dari air. Anaximandros mengatakan bahwa inti alam itu adalah Zat yang tidak menentu sifatnya dinamai toapeiron. Anaximenes berependapat bahwa sumber dari alam semesta ialah udara. Pitagoras (532 SM) menyebutkan bahwa bilangan adalah dasar dari segala-galanya. Heraklitos mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api, sehingga mengemukakan slogan yang terkenal sebagai Pantarei yang berarti semua mengalir. Ini berarti bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berubah.
                        Filsafat Pra Sokrates adalah filsafat yang dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu. Baik dunia maupun manusia, para pemikir atau ahli filsafat yang disebut orang bijak, yang mencari-cari jawabannya sebagai akibat terjadinya alam semesta beserta isinya tersebut. Sedangkan arti filsafat itu sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu Filosofia artinya bijaksana/pemikir yang menyelidiki tentang kebenaran-kebenaran yang sebenarnya untuk menyangkal dongeng-dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama. Pemikiran filsuf inilah yang memberikan asal muasal segala sesuatu, baik dunia maupun manusia, yang menyebakan akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite tersebut dengan dimulai oleh akal manusia untuk mencari-cari dengan akalnya, dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu.
                        Miite-mite tentang pelangi atau bianglala adalah tempat para bidadari turun dari surge, mite ini disanggah oleh Xenophanes bahwa pelangi adalah awan dan pendapat Anaxagoras bahwa pelangi adalah pemantulan matahari pada awan ( pendapat ini adalah pendapat pemikir yang menggunakan akal). Dimana pendekatan yang rasional demikian menghasilkan suatu pendapat yang dapat dikontrol, dapat diteli akal dan dapat diperdebatkan kebenarannya.Para pemikir filsafat yang pertama hidup dimiletos kira-kira pada abad ke 6 SM, dimana pada abad tersebut tentang pemikiran mereka disimpulkan dari potongan-potongan, yang diberitakan kepada manusia dikemudian hari atau zaman. Dan dapat dikatakan bahwa nereka adalah filsafat alam artinya para ahli fikir yang menjadikan alam yang luas dan penuh keselarasan yang menjadi sasaran para ahli filsafat tersebut (objek pemikirannya adalah alam semesta).
Di antara sekian banyak filsuf di zaman ini hanya Pitagoras yang menyinggung sekilas tentang manusia. Menurut pendapatnya manusia itu memiliki jiwa yang selalu berada dalam proses katarsis (pembersihan). Pandangan Pitagoras menjadi penting dalam kaitannya mulai disinggung manusia sebagai obeyek filsafat, karena hanya dengan kaitan manusia pembicaraan akan sampai kepada hukum.       

      b.   Masa Socrates, Plato dan Aristoteles
Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan bahwa Socrateslah pertama-tama memberikan perhatian sepenuhnya kepada manusia. Ia berfilsafat tentang manusia sampai kepada segala seginya. Diperkirakan filsafat hukum dimulai pada masanya dan mencapai puncaknya melalui tangan para filsuf besar lainnya  seperti Plato dan Aristoteles.
Sokrates hidup pada tahun kurang lebih tahun 469 - 399 SM dan Demokritos pada tahun + 460 - 370 SM yang kedua hidup sejaman dengan Zeno yang dilahirkan pada tahun + 490 SM dan lain-lainnya, serta disebut sebagai filsuf Pra Sokrates, dimana filsafat mereka tidak dipengaruhi oleh Sikrates. Harus diketahui bahwa kaum sofis hidup bersama-sama denga skrates. Diman hidup sokrates dan kaum sofis susah dipisahkan dan menurut Cicero, difinisi Sokrates adalah memindahkan filsafat dari langi dan bumi artinya sasaran yang diselidikinya bukan jagat raya melainkan manusia, dan bertujuan menjadikan manusia menjadikan sasaran pemikiran filsuf tersebut.( pemikiran sokrates adalah menjadi kritik kepada kaum sofis).
Sofis sebenarnya bukan suatu maszab melainakn suatu aliran yang bergerak dibidang intelek, karena istilah sofis yang berarti sarjana, cendikiawan seperi Pythagoras dan Plato disebut kaum sofis. Yang pada abad ke 4 para sarjana atau cendikiawan tidak lagi disebut Sofis melainkan menjadi Filosofos, Filsuf dan sebutan sofis dikenakan kepada para guru yang berkeliling dari kota kekota dan kaum sofis tidak menjadi harum lagi, karena sebutan sofis menjadi sebutan orang yang menipu orang lain/penipu karena para guru keliling tersebut dituduh sebagai orang yang meminta uang bagi ajaran mereka. Akan tetapi pada masa Pemerintahan Perikles (Athena) kaum sofis menjadi harum. Protagoras (+ 480-411) memberi pelajaran di Athena dan inti sari filsafatnya adalah bahwa manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, bagi segala hal yang ada dan yang tidak ada. Dan menurutnya Negara didirikan oleh manusia, bukan karena hokum alam. Protagoras meragukan adanya dunia dewa, oleh karenanya dia disebut orang munafik.
Sokrates memungut biaya pengajaran dengan tujuan untuk mendorong orang supay mengetahui dan menyadari sendiri dan dia juga menentang relativisme kaum sofis, karena dia yakin bahwa kebenaran yang obyektif. Mengenai pemberitaannya yang dipandang sebagai pemberitaan yang lebih dapat dipercaya adalah pemberitaan Plato dan Aristotele.
Sokrates melahirkan bermacam-macam orang atau ahli Politik, Pejabat, tukang dan lain-lainya, dengan mencapai tujuan yaitu membuka kedok segala peraturan atau hokum yang semu, sehingga tampak sifatnya yang semu dan mengajak orang melancak atau menelusuri sumber-sumber hukum yang sejati (Dengan Hipotese). Dan menurut sokrates bahwa alat untuk mencapai eudemonia atau kebahagiaan adalah kebajikan atau keutamaan, akan tetapi kebajikan atau keutamaan tidak diartikan sacara moral. Sokrates terkenal dengan : Keutamaan adalah pengetahuan yaitu Keutamaan dibidang hidup baik tentu menjadi orang dapat hidup baik.
Antisthenes adalah mengajar setelah kematian sokrates di gymnasium Kunosargos di Athena (kunos = anjing) dan menaruh perhatian kepada etika. Dan menurutnya manusia harus melepaskan diri dari segala sesuatu dan harus senantiasa puas terhadap dirinya sendiri. Azasnya adalah bebas secara mutlak terhadap semua anggapan orang banyak dan hukum-hukum mereka. Aristippos dari Kirene, pandangannya kebalikan dari Antishenes, dimana satu-satu tujuannya perbuatan adalah kenikmatan (hedone), sekalipun demikian tugas orang bijak bukan untuk dikuasai oleh kenikmatan melainkan untuk menguasainya. Dengan demikian zaman sokrates adalah zaman yang sangat penting sekali, karena merupakan zaman mewujudkan zaman penghubung, yang menghubungkan pemikiran pra sokrates dan pemikiran Helenis. Misalnya Aristippos menggabungkan diri dengan Demokritos, Antishenes menggabungkan diri dengan Herakleitos dan kemudian ajaran ini timbul dalam bentuk lunak yaitu aliran Stoa.
Adalah filsuf yunani petama yang berdasarkan karya-karyanya yang utuh. Dilahirkan dari keluarga terkemuka dari kalangan politisi, semula ingin bekerja sebagai seorang politikus, karena kematian Sokrates (muridnya selama 8 tahun), plato memendamkan ambisinya tersebut.
Kemudian Plato mendirikan sekolah akademi (dekat kuil Akademos) dengan maksud untuk memberikan pendidikan yang instensip dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Bahwa pembagian yang didasrkan atas patokan lahiriah, dalam 5 kelompok yaitu karyanya ketika masih muda, karyanya pada tahap peralihan, karyanya mengenai idea-idea, karyanya pada tahap kritis dan karyanya pada masa tuannya, yang diantara buku-buknya adalah Aspologia, Politeia, Sophistes, Timaios.(plato dapat dipandang sebagai monument atau tugu peringatan bagi sokrates.
Plato yakin bahwa disanping hal-hal beraneka ragam dan yang dikuasai oleh gerak serta perubahan-perubahan itu tentu ada yang tetap, yang tidak berubah. Menurut plato tidak mungkin seandainya yang satu mengucilkan yang lain artinya bahwa mengakui yang satu, harus menolak yang lain dan juga tidak mungkin kedua-duanya berdiri-sendiri, yang satu lepas daripada yang lain.Plato inin mempertahankan keduanya, memberi hak berada bagi keduanya. Pemecahan palto bahwa yang seba berubah itu dikenal oleh pengamatan dan yang tidak berubah dikenal oleh akal. Demikianlah palto berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Herakleitos, yang menyangkal tiap perhentian dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan.Yang tetap tidak berubah dan yang kekal itu oleh plato disebut Idea.
Perbedaan antara sokrates dengan plato adalah dimana Sokrates mengusahakan adanya difinisi tentang hal yang bersifat umum guna menetukan hakekat atau esensi segala sesuatu, karena tidak puas dengan mengetahui, hanya tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan sutu persatu, sedangkan Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan mengemukakan, bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas daripada sesuatu yang berada secara kongkrit yang disebut Idea, dimana Idea itu nyata ada, didalam dunia idea (hanya satu yang bersifat kekal).
Pada akhirnya Plato menekankan kepada kebenaran yang diluar dunia ini, hal itu tidak berarti bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongrit ini dianggap penting, hanya saja hal yang sempurna tidak dapat dicapai didalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin, yang tampak dalam ajarannya tentang Negara yang adalah puncak filsafat Plato. Menurut Plato, golongan didalam Negara yang idea harus terdiri dari 3 bagian yaitu : a.Golongan yang tertinggi terdiri dari para yang memerintah (orang bijak/filsuf), b.Golongan pembantu yaitu para prajurit yang bertujuan menjamin keamanan, c. Golongan terendah yaitu rakyat biasa, para petani dan tukang serta para pedagang yang menanggung hidup ekonomi Negara.
Aristoteles dilahirkan di Stagerira Yunani utara anak seorang dokterpribadi raja Makedonia dan pada umur kira-kira 18 tahun dikirim ke Athena untuk belajar kepada Plato. Dan setelah Plato meninggal Aristoteles mendirikan sekolah di Assos( Asia Kecil) pada tahun 342 SM kembali ke Makedonia untuk menjadi pendidik Aleksander yang agung. Ketika Aleksandra meninggal pada tahun 322 SM, Aristoteles dituduh sebagai mendurhaka dan lari ke Khalkes sampai meninggal. Karyanya banyak sekali akan tetapi sulit menyusun secara sistematis, ada yang membagi-bagikannya, ada yang membagi atas 8 bagian yang mengenai Logika, Filsafat alam, psikologis, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi, dan akhirnya retorika dan poetika. Bukan saja pengertian-pengertian, akan tetapi pertimbangan-pertimbangan dapat digabungkan-gabungkan, sehingga menghasilkan penyimpulan. Penyimpulan adalah suatu penalaran dengannya dari dua pertimbangan dilahirkan pertimbangan yang ketiga, yang baru yang berbeda dengan kedua pertimbangan yang mendahuluinya. Umpamanya manusia adalah fana, gayus adalah manusia, jadi gayus adalah fana.
Cara menyimpulkan ini disebut syllogisme (uraian penutup), suatu syllogisme terdiri dari tiga bagian yaitu suatu dalil umum, yang disebut mayor (manusia adalah fana), suatu dalil khusus, yang disebut minor (Gayus adalah manusia) dan kesimpulannya (Gayus adalah fana), syllogisme mewujudkan puncak logika Aristoteles.
Para filsuf Elea (Parmenides, Zero) berpendapat bahwa gerak dan perubahan adalah hayalan. Dimana Aristoteles menentang dimana Yang Ada secara terwujud yang ada secara mutlak atau menjadi yang ada secar terwujud, jikalau melalui sesuatu. Seperti dengan Plato, Aristoteles mengajarkan dua macam pengenalan yaitu pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Dan menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberikan pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Sedangkan pengenalan rasional adalah pengenalan yang ada pada manusia tidak terbatas aktivitasnya, yang dapat mengetahui hakekat sesuatu, jenis sesuatu yang bersifat umum.

      c.  Masa Stoa
Masa Stoa sebenarnya sejaman dengan Socrates, Plato dan Aristoteles, Cuma pemikiran mereka pada umumnya tidak sejalan denga ketiga filsuf besar tersebut. Jika Socrates dkk berpendapat bahwa hukum merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia terutama kehidupan bernegara, maka kaum sofist atau Stoa menganggap bahwa Justice is the intererst of the stronger. Bahwa hukum merupakan hak dari penguasa.
Jika kaum Stoa menganggap bahwa manusia bersifat egois dan antisosial, maka Socrates dkk beranggapan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang dimotivasi oleh perhatian kepada orang lain dan perhatian kepada diri sendiri, yang memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sosial.
Socrates menyerang Kaum Stoa dengan menyatakan bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari ukuran-ukran yang obyektif untuk menilainya. Soal keadilan bukan hanya untuk mereka yang kuat, tetapi keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarkat.
                     Plato menegaskan bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismus) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power).
Aristoteles tidak  pernah mendefinisikan hukum secara formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang berbeda-beda Aritoteles mengatakan bahwa ”Hukum adalah suatu jenis ketertiban sehingga hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, dan jalan tengah”.
Seperti juga Plato Aristoteles menolak pandangan kaum Stoa yang menyatakan bahwa hukum hanyalah konvensi. Namun demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelompok orang (particular class) dan menekankan peranan kelas menengah  sebagai suatu faktor stabilisasi.
Bahasan Aristoteles tentang proses peradilan (judicial prosess) sudah membayangkan  banyak gagasan moderen. Memiliki aturan hukum tertulis adalah lebih baik daripada mengandalkan diri pada kebijaksanaan (discretion), meski memang tidak semua hal tercakup dalam aturan-aturan hukum.     

 2. Masa Romawi
Pada masa Romawi, perkembangan filsafat  hukum tidak segemilang pada masa Yunani. Sebabnya, pada masa ini para akhli pikir lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada masalah bagaimana mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas itu. Para filsuf dituntut untuk memikirkan bagaimana cara memerintah Romawi sebagai suatu kerajaan dunia. Meskipun demikian akhli pikir seperti : Cicero, Seneca, Marcus Airelius, banyak memberikan sumbangan pemikiran hukum yang pengaruhnya masih tampak hingga zaman moderen ini.           
a.   Cicero
                        Filsfat hukum Cicero dalam esensinya adalah Stoa. Ia menolak bahwa hukum positif dari suatu masyarakat (tertulis atau kebiasaan) adalah standar tentang apa yang adil. Ia juga tidak menerima utilitas semata-mata adalah standar: Keadilan itu 1 (satu), mengikat semua masyarakat manusia dan bertumpu di atas 1 (satu) hukum, yaitu akal budi yang benar diterapkan untuk memerintah dan melarang.   
b.   Seneca.
                        Seneca seperti juga Cicero, membantu meneruskan gagasan-gagasan Stoa. Ia mengulangi mengemukakan konsepsi tentang persamaan (equality) semua manusia di bawah hukum alam, namun yang mungkin lebih penting adalah  konsepsinya tentang zaman emas dari manusia yang bebas dosa (inoncence), suatu situasi alamiah prapolitik setelah sifat manusia mengalami kemerosotan diperlukan adanya institusi-institusi hukum.
                        Para Yuris Romawi jelas terpengaruh oleh ajaran dari kaum Stoa. Mereka membedakan 3 (tiga) jenis hukum : Jus Naturale, Jus Gentium, dan Jus Civile. Doktrin – doktrin dari Yuris Romawi tampaknya memiliki pengaruh abadi, terutama dengan diinkorporasikannya doktrin-doktrin itu ke dalam Corpus Juris Civilis dari Justinianus  (abad keenam), khususnya dalam bagian yang disebut digesta.
  

DAFTAR PUSTAKA

Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1975.
Beerling,Dr.R.F.Filsafat dewasa ini, Jilid I, II, Jakarta, 1958.
Dirjarkara, Prof.Dr.N.Pertjikan Filsafat, Jakarta, 1966.
Friedman, W. Teori Dan Filsafat Hukum (Judul Asli : Legal Theory).Penerjemah Muhammad Arifin, Jakarta : CV.Rajawali. 1990.
Punadi Purbacaraka, Ridwan Halim.Filsafat Hukum Pidana.Jakarta :CV.Rajawali 1982.
Pound, roscoe.Pengantar Filsafat Hukum.Penerjemah : Muhammad Rajab. Jakarta : Bhratara, 1972.
Poedjowijatno, I.R, Pembimbing kearah Ilmu Filsafat, Jakarta, 1963.
Rudi T.Erwin. Tanya jawab Filsafat Hukum.Jakarta : Aksara Baru, 1982.
Sutikno.Filsafat Hukum.Jakarta :CV.Prima,1973.

***

Selasa, 25 Maret 2014

FENOMENA FILSAFAT HUKUM PADA ZAMAN RENAISSANCE

FENOMENA FILSAFAT HUKUM
PADA ZAMAN RENAISSANCE

A. Latar Belakang Munculnya Zaman Renaissance
Pada tahun 1000an telah terjadi suatu perang besar dan berkepanjangan yang terkenal dengan sebutan Perang Salib. Sebagai penyebabnya adalah karena “tanah suci” (Israel sekarang) secara silih berganti diduduki atau dikuasai oleh raja-raja Islam. Masyarakat Barat yang Kristen dan yang menganggap tanah suci itu sebagai milik mereka berusaha merebutnya dari para penguasa Islam. Dalam perang tersebut para prajurit Kristen  memang menggunakan tanda-tanda salib pada pakaian dan persenjataan mereka, disamping juga memang dipimpin oleh para raja Kristen.
Perang salib tersebut berlangsung berkepanjangan, bahkan bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia pada akhir abad 16 masih diliputi oleh suasana perang tersebut. Sebagai akibatnya adalah terjadinya konflik-konflik dengan pedagang-pedagang Islam dari Timur Tengah yang telah terlebih dahulu datang ke Indonesia dan juga dengan para penguasa Islam setempat. 
Namun demikian juga terdapat dampak positif dari perang tersebut, yaitu terjadinya kontak kebudayaan, dan lebih dari itu bangsa Eropa mulai terbuka dan mengakui ketinggian kebudayaan Timur tengah dan Asia. Mereka menyaksikan kemewahan-kemewahan yang tidak dijumpai di Eropa, komoditi-komoditi baru seperti rempah-rempah, lada, cengkeh dan lain sebagainya. Mereka akhirnya juga mengakui bahwa bahwa dalam bidang kerajinan, kesenian, tehnologi, bangsa Timur Tengah dan Asia ternyata tidak kalah maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa Eropa.
Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya kontak perdagangan antara Barat dan Timur yang sangat menguntungkan bangsa-bangsa Barat. Munculah kota-kota dagang di Eropa Barat seperti Venesia, Leevant, Bologna dan sebagainya. Kota-kota dagang tersebut terus berkembang dengan segala kekayaan dan kemewahannya, akan tetapi juga saling berdiri sendiri (otonom) seperti kota-kota di Yunani . Persaingan antar kotapun tak dapat dihindarkan, bahkan jika perlu dengan menggunakan kekuatan militer untuk merebut dan menguasai kota-kota di sekitarnya.
Oleh karena itulah setiap kota berusaha untuk paling tidak mempertahankan diri dengan menggunakan tentara sewaan. Hal inilah yang akhirnya mendorong munculnya kesatuan-kesatuan militer komersial yang bisa disewa oleh siapapun yang mampu membayarnya, yang disebut dengan istilah mercenary (Condittier).  Sebagai akibat lebih lanjut meletuslah kekacauan-kekacauan (anarkhi) di kota-kota dagang yang kaya.
Pada sisi lain masyarakat pada kota-kota yang kaya mulai meragukan atau paling tidak mempertanyakan kebudayaan mereka sendiri yang selama itu dianggap paling unggul (Kristen) di seluruh bumi dengan cara mempelajari koleksi perpustakaan-perpustakaan di biara-biara dan gereja-gereja. Akhirnya mereka menemukan kembali karya-karya kebudayaan Yunani yang sangat mengagumkan, baik berupa karya sastra, filsafat, arsitektur, kisah-kkisah kepahlawanan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Mulai saat itulah bangsa Eropa Barat betul-betul kembali menengok ke belakang yaitu ke jaman Yunani dan Romawi, yang menandai perubahan yang dahsyat yang dijiwai oleh pandangan hidup atau kebudayaan Yunani, dan lazim disebut dengan istilah Renaissance.
Menurut para ahli sejarah terdapat beberapa faktor yang menandakan datangnya zaman baru, yang disertai mentalis baru juga. Titik tolaknya ialah kenyataan bahwa pada abad ke-15 orang-orang terdidik di Italia mulai menimba inspirasi segar pada zaman klasik yakni pada kebudayaan yunani dan romawi kuno. Sebab itu zaman baru merupakan awal zaman moderen.
B. Pengertian Zaman Renaissance
         Secara etimologi Renaissance berasal dari bahasa Latin yaitu kata “Re” berarti kembali dan “naitre” berarti lahir. Secara bebas kata Renaissance dapat diartikan sebagai masa peralihan antara abad pertengahan ke abad modern yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru yang diilhami oleh kebudayaan Eropa Klasik (Yunani dan Romawi) yang lebih bersifat duniawi.
        Pengertian yang paling umum dan sederhana dari renaissance adalah penemuan kembali atau kelahiran  kembali (‘renasci’ dari bahasa Latin yang berarti dilahirkan kembali) dari kebudayaan antik (Yunani kuno), termasuk di antaranya para sejarawannya. Zaman renaissance ini ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan, manusia menemukan kembali kepribadiannya.
Dalam dunia pemikiran hukum, lahirnya zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari keterlibatan Ketuhanan. dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Pemikiran ini tampak jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis maupun juga misalnya dari penganut paham positivisme hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentuan hukum.
         Dibandingkan dengan  jaman abad tengah bisa dikatakan tidak terdapat studi yang sungguh-sungguh atas sejarah kuno, dan pengetahuan akan  jaman kuno di Barat pada waktu itu sangat terbatas. Walaupun terdapat pengaruh penulisan sejarah Yunani terhadap sejarah abad tengah, akan tetapi pengaruh itu hanya terbatas pada beberapa penulis atau sejarawan saja. Pada jaman Renaissance paling tidak sebanyak ¾ karya sastra Latin ditemukan kembali. Artinya lebih dari cukup kesusasteraan dan historiografi Yunani dilahirkan kembali. Hal itu terutama juga sehubungan dengan masih adanya kontak-kontak dengan Kerajaan Yunani Bizantium.
          Pada jaman renaissance pendidikan yang berdasarkan pada karya-karya sastra antik, termasuk penulisan sejarah dan filsafat moral, disebut dengan istilah ‘humanitas’ (sementara istilah humanisme baru muncul pada abad 19), sementara guru dalam studi “humanistis” sejak akhir abad 15 disebut dengan istilah ‘umanista’. Berbeda dengan  penulis-penulis jaman Abad Pertengahan, para humanis ingin mempelajari semua para pengarang antik. Bahkan mereka ingin mengambil alih rasa gaya antik dan keindahan antik. Gerakan untuk menemukan kembali dan penghargaan terhadap kebudayaan kuno dengan melakukan  pemeliharaan sumber-sumber lama sehingga bisa ditata seperti keadaan semula pada awalnya memang hanya terjadi di Itali pada awal abad 14. Baru pada awal abad 15 hal itu juga dilakukan di  negeri-negeri lain seperti Inggris, Jerman, Belanda dan sebagainya.

C. Ciri-Ciri Zaman Renaissance
 Bertolak belakang dengan masyarakat abad pertengahan, kebudayaan jaman renaissance memupunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Antroposentris, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa manusia adalah pusat segalanya di dunia ini, sehingga baik buruknya segala sesuatu di dunia ini, demikian pula sejarah manusia adalah ditentukan atau berpusat pada manusia itu sendiri.
  2. Sekuler, yaitu pandangan hidup yang bersifat keduniawian, dimana segala sesuatu diukur atau berorientasi kepada kehidupan dunia yang bersifat material.
  3. Diesseitigheit, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa dalam kehidupan ini yang terpenting adalah justru di dunia fana ini. Semboyannya adalah “carpidiem” yang berarti nikmatilah hidup ini.
Bagi para pemikir tentang hukum perubahan-perubahan di zaman Renaissance besar artinya yaitu  :
1.   Sesuai dengan mentalis baru pembentukan hukum di anggap sebagai kebijakan manusia di dunia.
2.   Organisasi negara nasional disertai permikiran tentang peraturan hukum yang tepat, baik untuk dalam negeri, maupun untuk hubungan dengan luar negeri (hukum internasional).
3.   Oleh sebab peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara dibuat atas perintah-perintah raja-raja, raja dipandang sebagai pencipta hukum.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sejak zaman baru, tekanan tidak terletak lagi atas hukum alam, yang diluar kebijakan manusia melainkan atas hukum positif. Namun pada umumnya filsuf-filsuf zaman itu menerima juga adanya hukum alam yang terdapat didalam akal budi manusia, yaitu tentang perlunya hukuman apabila ditentukan adanya.
  
D. Para Tokoh  Zaman Renaissance
Tokoh-tokoh filsuf hukum pada zaman renaissance yaitu :
1). Thomas Aquino (abad ke 12) yang mengintegrasikan unsur-unsur pandangan Stoa, ajaran Kristen dan filsafat Aristoteles ke dalam suatu filsafat yang komprehensif merupakan kulminasi dari hukum. Dialah yang mengemukakan gagasan empat jenis hukum yang merupakan hasil dari ada usaha-usaha mempertemukan perbedaan di antara Yuris Romawi tentang definisi-definisi hukum dan klasifikasi cabang-cabangnya. Sehingga dapat dibedakan empat jenis hukum yaitu:
a). Lex aeterna (hukum abadi), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari   Tuhan
b). Lex divina (hukum Illahi), yang membimbing manusia menuju tujuan supernaturalnya, hukum Tuhan yang diwahyukan melalui kitab suci.
c). Lex naturalis (hukum alam), yang membimbing manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam hukum kosmik.
d). Lex humana (hukum manusia), mengatur manusia dalam hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam  masyarakat tersebut.
2). Jean Bodin (abad ke 14) adalah tokoh yang menyusun ”Les six livres de Larepublique” , dia adalah orang pertama yang mengatakan bahwa kebiasaan memperoleh kekuatan hukum (legal authority) pada pengesahan oleh penguasa secara diam-diam.
3). Fransisco de victoria (1492-1546) seorang Spanyol yang memberi inspirasi hukum internasional, demikian juga Grotius (1625), yang menulis ”De Jure Belli as Pacis”, di mana ia mengembangkan gagasan tentang suatu peperangan yang adil (jus war), suatu topik yang mempersoalkan masalah sanksi dalam hukum internasional
4).  Niccolo Machiavelli (1469-1527). Ia dilahirkan di Florence, dan sejak 1494, ketika Florence diduduki Perancis, ia menjabat sebagai pegawai dalam bidang politik tingkat tinggi di Republik Florence. Bukunya yang amat terkenal adalah Principe (Penguasa, Raja), adalah semacam buku pelajaran mengenai kekuasaan politik, rangkuman pidato-pidato kuliah dari para pengarang antik (Yunani), pengalaman-pengalaman kerjanya termasuk kegagalannya.
Disamping itu ia juga mengajukan teori negara berdasarkan sistem politik tersebut yaitu Monarkhi, Republik, Diantara Monarkhi dan Republik terdapat bentuk Oligarkhi. Machiavelli juga mengajukan teori bahwa semua orang juga harus diperlakukan sama di depan hukum (equality) dan hukum itu sendiri harus obyektif.
  
***
  
DAFTAR PUSTAKA

Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1975.
Bertens. Dr.K Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta , 1976.
Beerling,Dr.R.F.Filsafat dewasa ini, Jilid I, II, Jakarta, 1958.
Dirjarkara, Prof.Dr.N.Pertjikan Filsafat, Jakarta, 1966.
Punadi Purbacaraka, Ridwan Halim.Filsafat Hukum Pidana.Jakarta :CV.Rajawali 1982.
Poedjowijatno, I.R, Pembimbing kearah Ilmu Filsafat, Jakarta, 1963.
Rudi T.Erwin. Tanya jawab Filsafat Hukum.Jakarta : Aksara Baru, 1982.
Sutikno.Filsafat Hukum.Jakarta :CV.Prima,1973.












KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA


BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
         Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga menjadi salah satu permasalahan krusial nasional. Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kroninya.[1]
         Korupsi dalam sudut pandang hukum pidana memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime, Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya, Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.[2]
               Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) seperti dikemukakan oleh Romli Atmasasmita, sebagai berikut :
         Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. [3]

         Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), penanganan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara biasa. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara biasa atau kovensional selama ini terbukti tidak efektif karena mengalami banyak kendala. Hal tersebut disebabkan karena virus korupsi tidak saja menyerang badan eksekutif dan legislatif, melainkan juga menyeruak pada kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim, kejaksaan dan kepolisian sebagai institusi penegak hukum, oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode penegakan hukum secara luar biasa untuk memberantas korupsi.[4]
         Perlunya penanganan secara luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi disebabkan karena tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang berdasi atau yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime) dan dilakukan dalam suatu jaringan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan tertutupnya dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan kesulitan oleh aparat penegak hukum dalam hal pemberantasannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum adalah dengan bantuan dari orang dalam yang juga terlibat dalam jaringan kejahatan tersebut.
         Penggunaan Justice collaborator dalam peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaku tindak pidana itu sendiri, di mana pelaku itu bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Peranan saksi sebagai Justice collaborator sangat penting diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi, karena  Justice  collaborator  itu  sendiri  tidak  lain  adalah  orang  terlibat di  dalam  kejahatan tersebut atau pelaku minor dalam jaringan tindak pidana tersebut yang digunakan untuk mengungkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak berhenti hanya pada pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana korupsi tersebut. Bertolak dari hal tersebut perlu dikaji dan diteliti lebih dalam berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang mengatur tentang Justice collaborator tindak  pidana korupsi di Indonesia.            

B.   Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
      1.   Bagaimanakah kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice collaborator tindak pidana           korupsi di Indonesia ?    
      2.   Bagaimanakah prospek pengaturan Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia pada    masa mendatang?

C.  Tujuan dan Manfaat
1.   Tujuan penulisan
      Tujuan penulisan makalah ini adalah :
   a.    Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice collaborator tindak pidana    korupsi di Indonesia.
   b.   Untuk mengetahui prospek pengaturan Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia    pada masa mendatang.
2.   Manfaat Penulisan
               Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat, praktisi dan aparat penegak hukum khususnya tentang kebijakan hukum pidana terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kebijakan Hukum Pidana
               Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[5]
               Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek..[6]
               Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3 (tiga) batasan pengertian, yaitu : [7]
            1.   Pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);
            2.   Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya);
            3.  Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.

               Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu : [8]
               1.   Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;
               2.   Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan negara.

               Menurut Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah, yang meliputi : [9]
           1.   Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi     hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
            2.   Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan           pembinaan para penegak hukum.

               Selanjutnya, definisi politik hukum menurut Bellefroid, sebagai berikut: [10]
              Politik hukum merupakan cabang dari salah satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang menyatakan politik hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum, dari ius constitutum yang telah ditentukan oleh kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha untuk menyusun Ius constituendum atau hukum pada masa yang akan datang.

               Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru). [11]
               Sacipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya berlaku (Ius constituendum). Sedangkan pengertian Politik hukum menurut Muchtar Kusumatmadja, adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaruan hukum. Proses pembentukan hukum harus dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dalam undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. [12]
               Menurut Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu, dengan kata lain politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (Ius constituendum). [13]
               Teuku Mohammad Radie, mengemukakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan hukum yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (Ius constitutum), dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun, mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (Ius constituendum) [14].
               Menurut Garda Nusantara, Politik hukum meliputi : [15]
               1.   Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;
               2.   Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;
              3.   Penegasan kembali fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;
          4.   Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil       kebijakan.
              
               Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.[16]
               Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:[17]
               1.   Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan     dan situasi pada suatu saat;
               2.   Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan       yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
              
               Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.[18]
               Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[19]
               Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana. [20]
               Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggung jawaban pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan). [21]
                Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan, tahap perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan masyarakat. [22]                                         
 B.   Justice Collaborator                    
         Istilah Justice collaborator berasal dari bahasa Inggris yang diadopsi dari Amerika yang tidak ditemui dalam KUHAP, namun istilah tersebut sudah dipakai pada praktik hukum Indonesia. Pengertian Justice collaborator menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seseorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. [23]
                Justice collaborator adalah pelaku yang bekerjasama yaitu orang baik dalam status saksi, pelapor atau informan yang memberikan bantuan kepada penegak hukum misalnya dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti- bukti yang kuat atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, di mana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut atau bahkan suatu tindak pidana lainnya.[24]
                Istilah Justice collaborator dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup pluit yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum atau  partisipant whistleblower. Si pembocor rahasia haruslah orang yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak terlibat didalam tindak pidana yang dilaporkan itu. [25]
                Syarat untuk seseorang dapat dikatakan sebagai justice collaborator yaitu : [26]
1.   Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau teroganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, TPPU, traficing, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana ringan tidak mengenal istilah ini.
2.   Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga memudahkan kinerja aparat penegak hukum.
3.    Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama dalam perkara tersebut karena kehadirannya sebagai justice collaborator adalah untuk mengungkapkan  siapa  pelaku  utama dalam  kasus  tersebut.  Dia  hanya  berperan sedikit didalam terjadinya perkara itu tetapi mengetahui banyak tentang perkara pidana yang terjadi itu.
4.   Dia mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia mengembalikan aset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis.
5.  Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan  keterangan  dan  bukti-bukti  yang  sangat  signifikan  sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana.

C. Tindak Pidana Korupsi
      1.   Tindak Pidana                     
                      Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu strafbar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, demikian juga dalam Wetboek van Strafrecht Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbar feit. Para ahli hukum memberikan arti dan isi dari istilah strafbar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf, bar dan feit. Kata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan, sehingga istilah strafbar feit  mempunyai berbagai istilah yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. [27]
                      Moeljatno, menerjemahkan strafbar feit dengan istilah perbuatan pidana, menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dan dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. [28] E.Utrecth memandang bahwa istilah peristiwa pidana lebih tepat mengenai pengertian strafbar feit, memiliki rumusan yang lebih lengkap meliputi diancam dengan pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.[29] Komariah E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam menerjemahkan strafbaar feit. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.[30]
                      Istilah Tindak pidana sebagai terjemahan strafbar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah dan banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika dan sebagainya. Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku jasmani seseorang. Hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. [31]

      2.   Tindak Pidana Korupsi
                      Kata korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu coruptio atau corruptus, kemudian dari turun ke bahasa di negara-negara Eropah seperti Inggris ; corruption, Perancis ; corruption, Belanda ; corruptie yang kemudian dari bahasa Belanda tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia yaitu Korupsi.[32] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.[33]
                      Dalam Kamus Hukum menuturkan bahwa perkataan korup berarti busuk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Korupsi dalam kamus tersebut diartikan penyelewengan uang perusahaan atau sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.[34] Dalam Ensiklopedi Indonesia, korupsi yaitu gejala bahwa pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.[35]
                      Menurut Black Law Dictionary, pengertian korupsi (corruption) adalah the act of doing something with an intent to give some adventage inconsistent with official duty and the rights of others ; fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally of for someone else, contrary to the rights of others. [36]
                      Secara harfiah, pengertian korupsi dapat berupa : [37]
                      a.    Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran;
                      b.   Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;
                      c.    Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk ; perilaku yang   jahat dan tercela, atau kebejatan moral ; sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat; pengaruh-pengaruh yang korup.
                  
                      Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan Corruption, yang berarti kerusakan. Di samping itu, perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. [38]
                      Pengertian yuridis dari tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Barda Nawawi Arief, jika dilihat dari sistematika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka ruang lingkup tindak pidana korupsi yang akan diberantas terdiri dari dua kelompok tindak pidana, yaitu : [39]
                      Ke-1: Kelompok tindak pidana (TP) dalam Bab II yang berjudul ”Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang langsung berhubungan dengan perbuatan melakukan atau menunjang terjadinya korupsi (diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16); dan

                      Ke-2: Kelompok tindak pidana (TP) dalam Bab III yang berjudul “Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang berhubungan dengan proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (dilakukan oleh orang-orang yang menghalangi proses, si pengadu, saksi, dan aparat/pejabat yang menangani perkara korupsi). Tindak Pidana (TP) ini diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24.


BAB III
PEMBAHASAN


A. Kebijakan Hukum Pidana Saat Ini Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
               Pengaturan tentang Justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru jika dibandingkan dengan praktik hukum yang terjadi karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun peraturan perundang-undangan lainnya secara eksplisit tidak mengatur tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana, atau dengan kata lain istilah Justice collaborator terlebih dahulu dikenal dalam praktik penegakan hukum pidana dan kemudian mendapatkan perhatian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum positif di Indonesia. Adapun kebijakan hukum pidana saat ini baik yang berasal dari dokumen internasional maupun nasional yang memberikan pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator sebagai berikut :
      1.   United Nations Convention Against Corruption/UNCAC (Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi).
                      Instrumen ini merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana. Pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator dalam peradilan pidana yang diatur dalam Pasal 37 sebagai berikut :
                      Ayat (2) : Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

                     Ayat (3) : Setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan dalam konvensi ini.

      2.   United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC (Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir).
                      Demikian halnya dengan Konvensi PBB anti Korupsi, di dalam Konvensi ini juga memberikan ide pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator dalam peradilan pidana yakni diatur dalam Pasal 26 sebagai berikut :
                    Ayat (2) : Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, dalam keadaan yang tepat, pengurangan hukuman atas tertuduh yang memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.

                    Ayat (3) : Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerja sama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
           
      3.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
                      Undang-Undang perlindungan saksi dan korban ini secara eksplisit tidak memberikan pengaturan yang tegas mengenai definisi tentang Justice collaborator di mana undang-undang ini hanya mengatur pengertian saksi dan pelapor tindak pidana. Pengaturan yang berkaitan dengan Justice collaborator diatur dalam Pasal 10 sebagai berikut :
                       Ayat (2) : Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.   

      4.   Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
                      Latar belakang lahirnya SEMA ini adalah karena banyaknya kasus tindak pidana yang ditangani oleh aparat penegak hukum namun belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum yang memberikan pengaturan terhadap Justice collaborator dalam peradilan pidana. Untuk memberikan dasar hukum maka dikeluarkanlah SEMA ini dengan tujuan untuk memberikan pedoman kepada hakim di Jajaran Mahkamah Agung ketika menangani seorang Justice collaborator dalam peradilan pidana. Surat edaran ini juga memberikan batasan terhadap tindak pidana tertentu yang bersifat serius yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir yang telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
                      SEMA ini juga bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana yang bersifat terorganisir dengan cara menciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan, atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana terorganisir secara efektif, mengingat belum adanya peraturan perndang-undangan yang memberikan pengaturan yang memadai tentang peranan saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) dalam peradilan pidana.
                      Pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator diatur dalam Point 9 tentang pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) adalah sebagai berikut :
                      a.    Yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana  dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama  dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses    peradilan.
                      b.    Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah    keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut  umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-      pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil  suatu tindak pidana.
                      c.    Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi yang bekerjasama sebagaimana               dimaksud di atas, hakim dapat menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
                             i.    Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau
                            ii.   Menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang paling ringan diantara          terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
                      Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
                     
      5.   Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
                      Peraturan bersama ini dimaksudkan untuk menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan koordinasi dan kerjasama di bidang pemberian perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara pidana.
                      Sedangkan tujuan peraturan bersama ini adalah untuk mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara tindak pidana, menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir untuk melaporkan atau memberikan keterangan kepada aparat penegak hukum; dan membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian aset hasil tindak pidana secara efektif.
                      Adapun pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator diatur dalam Pasal 1 sebagai berikut :
                     Point (3) : Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan

B.   Prospek Pengaturan Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Pada Masa Mendatang.
               Justice collaborator memiliki peranan yang sangat dominan dan strategis dalam membantu aparat penegak hukum untuk membongkar dan mengungkap tindak pidana. Hal itu dikarenakan, seorang Justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun posisi seorang Justice collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Orang yang demikian tersebut dapat dijadikan sumber informasi dalam kaitannya dengan adanya tersangka dan alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penegak hukum. Justice collaborator sering digunakan untuk mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan rekan-rekannya dalam  suatu  tindak  pidana. Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan dengan jujur apa yang telah ia lakukan dengan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang diungkapnya dalam kesaksian tersebut. Apabila ditinjau berdasarkan peran justice collaborator yang strategis untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir, maka kebutuhan akan peraturaperundang-undangan  yanmengatur mengenai justice collaborator sangat diperlukan sehingga diperlukan political will yang kuat baik dari pemerintah dan DPR serta dari semua pihak yang berkepentingan untuk mengimplementasikan Justice collaborator terutama dalam kasus korupsi.
                Problematika yang dihadapi di Indonesia saat ini bahwa pengaturan Justice Collaborator belum diatur dalam KUHAP. Ketentuan di dalam KUHAP hanya mengatur tentang hak-hak seorang pelaku dalam proses peradilan pidana. Hingga saat ini pengaturan tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini dalam fungsinya hanya sebagai surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang tata cara pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya sehingga SEMA ini belumlah cukup  untuk  memberikan  landasan hukum tentang Justice collaborator, karena seorang Justice collaborator muncul sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, hingga tahap pemeriksaan di persidangan, sedangkan SEMA ini hanya mengatur justice collaborator yang telah memasuki tahap persidangan sedang pada tahap sebelum persidangan SEMA ini hanya bersifat tembusan sehingga tidak terlalu mengikat dalam pelaksanaannya tergantung dari aparat penegak hukum lain apakah akan mengikuti aturan di dalam SEMA tersebut atau tidak tanpa adanya daya paksa kepada aparat penegak hukum lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam SEMA tersebut.
                Demikian halnya dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Bersama aparat penegak hukum (Kementrian Hukum dan Ham, Kejagung, Polri, KPK dan LPSK) tanggal 14 Desember 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam penerapannya belum dapat menjadi dasar hukum yang kuat tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana oleh aparat penegak hukum, karena Peraturan Bersama ini hanya bersifat petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum yang berada di instansinya masing-masing sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikat seperti halnya undang-undang.
                Salah satu langkah yang sedang ditempuh oleh pemerintah saat ini untuk memberikan pengaturan tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana adalah dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sesuai dengan amanat dalam ketentuan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi dan Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang terorganisir. Adapun revisi tersebut dilakukan dengan memasukkan kedalam Pasal 1 yang berisi tentang ketentuan umum pengertian Justice collaborator yaitu saksi/atau yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada Negara dengan memberikan kesaksian atau informasi lain. Selain itu, dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut juga memasukan ketentuan-ketentuan yang memberikan perlakuan khusus terhadap Justice collaborator berkaitan dengan perlindungan keamanan selama dalam proses peradilan hingga penjatuhan vonis dan pelaksanaan pidana berupa pemisahan tempat tahanan dan penjara yang berjauhan dengan tersangka/narapidana lain yang diungkap, pemberkasan dengan tersangka/terdakwa lain yang diungkapnya, penundaan penuntutan atas tidak pidana yang diungkapnya dengan tindak pidana yang diakuinya, serta penghargaan terhadap pelapor pelaku berupa keringanan hukuman, penghapusan penuntutan dan pemberian remisi atau grasi dengan pertimbangan khusus apabila pelapor pelaku adalah seorang narapidana.
                Pengaturan baru lainnya yang terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut adalah mengenai syarat-syarat untuk dapat menentukan apakah seseorang dianggap sebagai Justice collaborator yaitu keseriusan tindak pidana yang diungkap, sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh pelapor pelaku, pelapor pelaku bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya atau tindak pidana lain yang dilakukannya, pelapor pelaku mengakui sendiri tindak pidana yang pernah ia lakukan sebelumnya yang belum pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, tindak pidana lain yang dilakukannya merupakan tindak pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan tindak pidana yang diungkapnya di mana tindak pidana lain yang dilakukannnya tidak termasuk tindak pidana pembunuhan atau kekerasan seksual, tindak pidana di mana korbannya tidak setuju dengan restitusi yang diberikan, dan tindak pidana yang mendapat tuntutan dari masyarakat agar pelapor pelaku diadili.
                Jika ditinjau dari substansi yang terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah telah menyadari betapa pentingnya peranan Justice collaborator dalam peradilan pidana khususnya dalam mengungkap kejahatan terorganisir sehingga memerlukan adanya suatu landasan hukum yang kuat untuk memberikan perlindungan kepada Jusitice collaborator. Dalam aspek hukum acara pidana sendiri, pengaturan tentang saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) dilakukan dengan melakukan revisi terhadap ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memberikan pengaturan yang memadai dalam peradilan pidana. Dalam draft revisi KUHAP saat ini telah memasukan pengaturan tentang saksi mahkota yang dahulu belum mendapatkan pengaturan dalam proses peradilan pidana.
                Namun demikian, istilah yang digunakan dalam KUHAP mempunyai perbedaan dan tidak mengenal istilah Justice collaborator untuk menunjukan pada seseorang yang membantu aparat penegak hukum untuk membantu mengungkap tindak pidana. KUHAP memakai istilah saksi mahkota (Crown witness) yang merupakan istilah hukum yang digunakan dalam Wetboek van Strafvordering (KUHAP) Belanda. Meskipun terdapat persamaan antara saksi mahkota dan Justice collaborator yaitu kedua-duanya merupakan pelaku dalam suatu tindak pidana, namun jika dilihat dari aspek inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang suatu tindak pidana, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara saksi mahkota yang dikenal dalam KUHAP dan Justice collaborator yang merupakan istilah yang diadopsi dari Amerika. Pada saksi mahkota, inisiatif untuk memberikan keterangan berasal dari aparat penegak hukum yang kesulitan untuk mengungkap suatu tindak pidana karena kekurangan alat bukti lainnya (bewijs minimum) sehingga aparat penegak hukum mengambil salah satu pelaku yang mempunyai peranan yang minim untuk dijadikan saksi terhadap pelaku lainnya dengan cara memisahkan berkas perkara (split) antara saksi mahkota dengan pelaku yang lain.
                Sedangkan pada Justice collaborator, inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang tindak pidana berasal dari dalam diri pelaku yang dengan kesadarannya mengakui perbuatan yang dilakukannya dan kemudian membantu aparat penegak hukum dengan memberikan keterangan berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya serta keterlibatan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak pidana. Dengan demikian, istilah yang saat ini digunakan dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yakni saksi mahkota untuk menunjuk pada seorang pelaku yang dijadikan saksi oleh aparat penegak hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah Justice collaborator yang dimaksud untuk menunjuk pada seorang yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana.
                Jika kita kembali kepada esensi politik hukum pidana itu sendiri yang berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang, dengan kata lain bahwa politik hukum pidana berusaha meneliti perubahan-perubahan yang terjadi untuk dapat merumuskan kembali peraturan perundang-undangan saat ini (Ius constitutum) menuju peraturan perundang-undangan masa mendatang (Ius constituendum) sehingga peraturan tersebut dapat berdayaguna dan berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali definisi saksi mahkota dan Justice collaborator itu sendiri, apakah kedua istilah tersebut merupakan satu kesatuan sehingga pengaturannya dapat disatukan, ataukah kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda sehingga memerlukan pengaturan tersendiri yakni untuk saksi mahkota dan Justice collaborator dalam rumusan ketentuan yang berbeda sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.
                Dengan demikian, dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya hukum pidana formill (hukum acara pidana) berkaitan dengan pengaturan Justice collaborator perlu dikaji dengan baik dan cermat dengan meninjau kembali hakikat keberadaan dan peranan Justice collaborator dalam peradilan pidana untuk dapat merumuskan menjadi suatu kebijakan hukum pidana yang baik, sehingga politik hukum pidana berkaitan dengan Justice collaborator  dalam peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi dapat mencapai sasaran yang diinginkan guna memberantas tindak pidana korupsi dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
             Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1.   Kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia belum mendapatkan pengaturan yang memadai untuk menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum. Hingga saat ini pengaturan tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara pidana tertentu, sehingga SEMA tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya Undang-Undang.
2.   Prospek pengaturan terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang memiliki peluang yang besar mengingat peranannya yang sangat strategis dalam mengungkap jaringan tindak pidana korupsi yang terorganisir. Langkah yang ditempuh pemerintah saat ini yaitu dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan menambahkan ketentuan-kententuan yang mengatur tentang Justice collaborator. Disamping itu juga pengaturan tentang Justice collaborator dapat dimasukkan ke dalam draft revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan terlebih dahulu merumuskan kembali definsi saksi mahkota dan Justice collaborator dengan rumusan yang tepat apakah kedua-duanya merupakan satu kesatuan atau kedua istilah tersebut masing-masing berdiri sendiri sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.

B. Saran-Saran
             Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan sebagaimana telah disimpulkan di atas, maka disarankan :
1.   Kepada pemerintah dan DPR agar segera membuat suatu kebijakan hukum pidana dalam bentuk Undang-Undang atau melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-undang tentang perlindungan saksi yang memberikan pengaturan yang memadai terhadap Justice collaborator dalam peradilan pidana dengan melakukan peninjauan kembali tentang hakikat Justice collaborator secara cermat dan teliti guna menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang baik sehingga dapat memberikan dayaguna yang maksimal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2.   Kepada aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, walaupun hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang Justice collaborator, namun kiranya dapat lebih memperhatikan keberadaan Justice collaborator serta dapat memberikan perlindungan yang optimal sehingga keberadaan Justice collaborator dalam peradilan pidana dapat memberikan peran yang maksimal dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak pidana terorganisir.

DAFTAR  PUSTAKA


A.  Buku-Buku
      Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2011.

      Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

      Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan             Komputer, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1999.

      Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rieneka Cipta, 2008.

     Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

      Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

      Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

      Brian A. Garner et all, ed, Black Law Dictionary (7th Ed), St. Paull : West Group, 1999.
     
      Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta : Kencana, 2008.

      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1998.    

     Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012.

      Hasan Sadily et all, ed, Ensiklopedi Indonesia (Jilid 4) , Jakarta : Ichtiar Baruvan Hoeve dan Elsecier Publishing Project, 1983.                       
      Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo           Persada, 2010.
      Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ; Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, Bandung : PT. Alumni, 2007.

      Moempoeni Martojo, Politik Hukum dalam Sketsa, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 2000.

      Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999.

      Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Internasional, Bandung : Mandar Maju, 2004. 
      Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,            Jakarta : Balai Pustaka, 2001.     
      Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta,1992.

      Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986.

      Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Yogyakarta : Total Media, 2009.

      Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

      Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan                  Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

      Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, Jakarta : PT.          Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.           
     
B.   Artikel, Jurnal, Makalah, Modul dan Penelitian
     
      Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi : Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 2012.

   Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta : Indonesia Corruption Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), 2011.

      Gabriel Francius Silaen, Peranan Justice Collaborator Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.

      Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Jakarta : Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002.

      Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator), : Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta : Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, 2011.
     
C.  Peraturan Perundang-Undangan        

      Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

      Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011, tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Pidana Tertentu.

      Peraturan Bersama Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.



            [1] Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Internasional, Bandung : Mandar Maju, 2004, Hlm 1.
            [2] Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi : Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 2012, Hlm  3.
            [3] Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Jakarta : Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002, hlm. 25.
            [4] Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta : Indonesia Corruption Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), 2011, hlm  8.
            [5] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm 23-24.
            [6] Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1999, hlm 10.
            [7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1998, hlm 780.
            [8] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm 11.
            [9] Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hlm 9.
            [10] Bellefroid dalam Moempoeni Martojo, Politik Hukum dalam Sketsa, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 2000, hlm 35.
            [11] Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2011, hlm 22-23.
            [12] Ibid hlm 24.
            [13] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hlm 26-27.
            [14] Ibid.
            [15] Ibid, hlm 31.
            [16] Aloysius Wisnubroto, Op Cit, hlm 10.
            [17] Barda Nawawi Arief, Op Cit,  hlm 24.
            [18] Aloysius Wisnubroto, Op Cit, hlm  11.
            [19] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit,  hlm 23.
            [20] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm 58-59.
            [21] Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Yogyakarta : Total Media, 2009, hlm 45-46.
            [22] Syaiful Bakhri, Ibid, hlm 83-84.
            [23] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011, tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Pidana Tertentu.
            [24] Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator), : Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta : Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, 2011, Hlm 3.
            [25] Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012, Hlm 11.
            [26] Gabriel Francius Silaen, Peranan Justice Collaborator Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Hlm 5.
            [27] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hlm 67-69.
            [28] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011,, hlm 48.
            [29] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rieneka Cipta, 2008, hlm 88.
            [30]Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta : Kencana, 2008,  hlm 27.
            [31] Teguh Prasetyo, Loc Cit, hlm 49.
            [32] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 4.
[33] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2001, hlm 597
[34] Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta,1992, hlm 221.
            [35] Hasan Sadily et all, ed, Ensiklopedi Indonesia (Jilid 4) , Jakarta : Ichtiar Baruvan Hoeve dan Elsecier Publishing Project, 1983, hlm 1876.
            [36] Brian A. Garner et all, ed, Black Law Dictionary (7th Ed), St. Paull : West Group, 1999, hlm 348.
[37] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ; Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, Bandung : PT. Alumni, 2007, Hlm 78.
[38] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986, hal. 115.
[39] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, Hlm 72-73.