Selasa, 25 Maret 2014

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN


            Pembangunan bangsa Indonesia yang sedang berlangsung saat ini bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Olehnya, pembangunanan dilaksanakan dalam segala sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkelanjutan. Salah satu aspek yang menjadi sasaran pembangunan adalah aspek hukum itu sendiri. Pembangunan hukum tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meneruskan perjuangan bangsa merdeka setelah terlepas dari belenggu penjajahan kolonialisme barat, serta merupakan eksistensi sebagai negara yang berdaulat tentunya memerlukan kehadiran hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai kultur dan budaya bangsa. Pembangunan hukum pada dasarnya meliputi usaha mengadakan pembaruan pada sifat dan isi dari ketentuan hukum yang berlaku dan usaha-usaha yang diarahkan bagi pembentukan hukum baru yang diperlukan dalam pembangunan masyarakat. [1]
Salah satu bentuk perkembangan hukum adalah lahirya teori hukum pembangunan yang dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1973.[2]  Awalnya, teori hukum pembangunan ini sesungguhnya tidak digagas untuk menjadi sebuah teori, tetapi hanya sebagai konsep pembinaan hukum nasional,  namun karena kebutuhan akan kelahiran teori ini, menjadikan teori ini dapat diterima secara cepat sebagai bagian dari teori hukum baru yang lebih dinamis, sehingga dalam perkembangannya konsep hukum pembangunan ini akhirnya diberi nama teori hukum pembangunan atau lebih dikenal dengan nama Mazhab UNPAD. Latar belakang lahirnya pemikiran konsep hukum pembangunan ini bermula dari keprihatinan Mochtar Kusumaatmadja yang melihat adanya kelesuan (melaise) dan kekurangpercayaan akan fungsi hukum dalam masyarakat. Kelesuan itu seakan menjadi paradoksal, apabila dihadapkan dengan banyaknya jeritan-jeritan masyarakat yang mengumandangkan The rule of law dengan harapan kembalinya ratu keadilan pada tahtanya untuk mewujudkan masyarakat Tata tentram kerta raharja. [3]
Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu ;[4] Pertama, bahwa arti dan fungsi hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban (order) yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Kedua, bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antara manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum, namun juga ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainya. Oleh karenanya, antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat jalinan hubungan yang erat antara yang satu dan lainnya. Namun jika ada ketidaksesuaian antara kaidah hukum dan kaidah sosial, maka dalam penataan kembali ketentuan-ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang teratur, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya. Ketiga, bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya karena tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yag berisikan anjuran belaka. Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Keempat, bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (The living law) dalam masyarakat yang tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Kelima, bahwa hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan dari apa yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat  membantu proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga harus mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja juga memberikan defini hukum yang lebih memadai bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipandang sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (instituions) dan proses (procces) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.[5] Jika dianalisis, makna definisi tersebut adalah :[6] Pertama, kata asas dan kaidah menggambarkan hukum sebagai gejala normatif, sedang kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala sosial. Kedua, kata asas menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral tertinggi yaitu keadilan, sedangkan kata kaidah menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan pengaruh aliran positivisme hukum karena kata kaidah mempunyai sifat normatif. Sedang kata lembaga menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan pandangan mazhab sejarah. Kata proses memperhatikan pandangan Pragmatic legal realism dari Roscoe Pound, yaitu proses terbentuknya putusan hakim di pengadilan. Lebih lanjut kata lembaga dan proses mencerminkan pandangan Sosiological jurisprudence karena lembaga dan proses merupakan cerminan dari living law yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Kata kaidah mencerminknan berlakunya kaidah dalam kenyataan menggambarkan bahwa bentuk hukum haruslah undang-undang.
Sehubungan dengan teori hukum pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau bahkan kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.[7] Adapun masalah-masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur oleh hukum secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu : Pertama, masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spritual masyarakat, Kedua, masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan kemajuan pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat terutama faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan, serta bertambah pentingnya peranan teknologi dalam kehidupan masyarakat moderen. [8]
Jika dikaji secara substansial, maka teori hukum pembangunan merupakan hasil modifikasi dari Teori Roscoe Pound Law as a tool of social enginering yang di negara Barat yang dikenal sebagai aliran Pragmatig legal realism yang kemudian diubah menjadi hukum sebagai sarana pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan disamping fungsi hukum untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (order). [9]
Pengembangan teori hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat di Indonesia memiliki jangkauan dan ruang lingkup yang lebih lebih luas jika dibandingkan dari tempat asalnya sendiri karena beberapa alasan, yaitu: [10] Pertama, bahwa dalam proses pembaruan hukum di Indonesia lebih menonjolkan pada perundang-undangan walaupun yurisprudensi juga memegang peranan, berbeda dengan keadaan di Amerika dimana teori Roscoe Pound ditujukan pada pembaruan dari keputusan-keputusan pengadilan khususya Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi. Kedua, bahwa dalam pengembangan di Indonesia, masyarakat menolak pandangan aplikasi mechanistis yang teradapat pada konsepsi Law as a tool of social engineering yang digambarkan dengan kata tool yang akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme dalam sejarah hukum yang dahulu pernah diterapkan oleh Hindia Belanda, namun masyarakat Indonesia lebih memaknai hukum sebagai sarana pembangunan serta dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan filasafat budaya dari Northrop dan pendekatan Policy oriented. Ketiga, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaruan, sehingga pada hakikatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat bangsa Indonesia.
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran dari teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa teori hukum pembangunan didukung oleh aliran-aliran filsafat hukum mulai sejak era Yunani hingga ke era moderen yaitu ; [11] Pertama, hukum itu berlaku universal dan abadi sebagaimana dipelopori oleh Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas dan lain-lain, Kedua, aliran hukum positif (Positivisme hukum) yang berarti hukum sebagai perintah penguasa seperti pemikiran John Austin atau oleh kehendak negara seperti yang dikatakan oleh Hans Kelsen. Ketiga, hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (living law) dimana pemikiran ini dipelopori oleh Carl Von Savigny. Keempat, aliran Sociological yurisprudence yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich di Jerman dan dikembangkan di Amerika Serikat oleh Roscoe Pound. Kelima, aliran Pragmatig legal realism yang merupakan pengembangan pemikiran Roscoe Pound di mana hukum dilihat sebagai alat pembaharuan masyarakat. Keenam, aliran Marxis Jurisprudence dipelopori oleh Karl Marx dengan gagasan hukum harus memberikan perlindungan bagi masyarakat golongan rendah. Ketujuh, aliran Antropological Jurisprudence dipelopori oleh Northop dan Mac Dougall di mana aliran ini hukum harus dapat mencerminkan nilai sosial budaya masyarakat dan mengadung sistem nilai.
Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi teori hukum pembangunan adalah sebagai berikut : [12]
1.        Sukarnya menentukan tujuan dari pembangungan hukum (pembaruan);
2.        Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis dekriptif dan        prediktif;
3.        Sukarnya mengadakan ukuran yang obyektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha                 pembaharuan hukum.
             Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja kemudian direvisi oleh Romli Atmasasmita dengan melakukan pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering) yang kemudian disebut dengan nama teori hukum pembangunan generasi II (1980). Konsep pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering) dalam pembangunan nasional hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika baik aparat penyelenggara negara dan warga negara telah memahami fungsi dan peranan hukum  sebagai berikut : [13]
          1.   Hukum tidak dipandang sebagai seperangkat norma yang harus di patuhi oleh masyarakat       melainan juga harus dipandang sebagai sarana hukum yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukum dan pejabat publik;
           2.   Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi.
           3.   Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemengan     kekuasaan (negara) melainkan juga harus dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims);
             4.   Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan dalam masa peralihan     (transisional), baik dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya dengan menggunakan pendekatan preventif dan represif semata, melainkan juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif;
             5.   Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal dalam pembangunan             nasional, maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap dan cara berpikir (mindset) dan perilaku (behavior) aparatur birokrasi dan masyarakat bersama-sama.

Dalam perkembangannya selanjutnya, teori hukum pembangunan I oleh Mochtar Kusumaatmadja dan teori hukum pembangunan II  kemudian dimodifikasi kembali oleh Romli Atmasasmita dengan menambahkan teori hukum progresif yaitu teori yang diperkenalkan oleh seorang ahli hukum yaitu Satjipto Rahardjo kedalam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja. Secara substansial, baik hukum progresif maupun hukum pembangunan tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma yang hanya bersandar pada rules and logic saja, melainkan juga hukum sebagai sistem perilaku. Kesamaan pandangan keduanya terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum dihubungkan dengan pendidikan hukum, namun demikian, kedua model hukum tersebut berbeda terutama pada tolak pangkal pemikirannya. Mochtar Kusumaatmadja beranjak dari bagaimana menfungsikan hukum dalam proses pembangunan nasional, sedangkan Satjipto Rahardjo beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai sistem perilaku.  Perbedaan lain terlihat pada bagaimana hukum pembangunan menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan/ketertiban (order) dipertahankan sebagai pintu masuk menuju arah kepastian hukum dan keadilan, sedangkan hukum progresif menegaskan bahwa demi kepentingan manusia hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, tetapi hukumlah yang harus ditinjau kembali. Perbedaan lain, dalam hukum pembangunan, bahwa hukum seyogyanya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaruan masyarakat (Law as a tool of social engineering), akan tetapi Satjipto Rahardjo lebih menegaskan bahwa model pemeranan hukum demikian dikhawatirkan menghasilkan Dark engineering jika tidak disertai dengan hati nurani manusianya dalam hal ini penegak hukumnya. [14] Sehingga dari hasil analisis terhadap dua model hukum tersebut, kemudian Romli Atmasasmita merumuskan sebuah sintesis yang disebut model hukum integratif yang memberikan alternatif solusi dari persoalan hukum dalam masyarakat. Prinsip hukum model integratif tersebut diyakini dapat memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional terutama dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum. [15]

  
# # #


DAFTAR PUSTAKA

Abd. G. Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1980.
Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Bandung : Amrico, 1987.
Otje Salman dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : Alumni, 2002.
Romli Atmasasmita, Tiga Paradigma Hukum Pembangunan Nasional ; Makalah Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2010.
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising, 2012




        [1] Satjipto Rahardjo di dalam Abd. G. Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari, Beberapa       Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1980, hlm 1.
            [2] Lihat Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising, 2012, hlm 59-60. Konsep hukum sebagai sarana pembangunan mulai dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja melalui tulisan-tulisan dalam seminar tentang hukum pembangunan pada tahun 1973, konsep hukum pembangunan telah dimasukan sebagai materi hokum Pelita I (1970-1975), kemudian dituangkan dalam GBHN pada tahun 1978.
            [3] Mochtar Kusumaatmadja di dalam Otje Salman dan Eddy Damian,  Konsep-Konsep Hukum          dalam Pembangunan, Bandung : Alumni, 2002, hlm 1.
            [4] Ibid, hlm 3-15.
            [5] Ibid, hlm 91.
            [6] Otje Salman dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : Alumni,  hlm vi-vii.
            [7] Mochtar di dalam Otje Salman dan Eddy Damian, Loc Cit, hlm 19-20.
            [8] Ibid, hlm 90.
            [9] Ibid, hlm 88.
            [10] Ibid,,hlm 83-85.
            [11] Lihat Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Bandung : Amrico, 1987, hlm 12-17.
            [12] Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Loc Cit¸ hlm 77.
            [13] Ibid¸ hlm 83.
            [14] Satjipto Rahardjo di dalam Romli Atmasasmita, Tiga Paradigma Hukum Pembangunan Nasional ; Makalah Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2010, hlm 14-16.
            [15] Ibid, hlm 23.

3 komentar:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus