Selasa, 25 Maret 2014

PENYIDIKAN POLRI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI TINJAU DARI ASPEK PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

PENYIDIKAN POLRI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI TINJAU DARI ASPEK PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

BAB  I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
         Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi yang mengemban fungsi pelayanan publik dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dengan menampilkan kinerja kesatuan yang profesional dan handal di bidangnya. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 disebutkan bahwa Polri memiliki tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
         Sejak resmi memisahkan diri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 dan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari TNI, yang diperkuat juga oleh TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 mengenai Peran TNI dan Polri Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berusaha membangun image sekaligus paradigma baru. Image Polri yang semula militeristik dan cenderung represif berangsur-angsur mulai berubah dengan paradigma barunya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat (to serve and protect). Namun disadari tidaklah mudah melakukan perubahan terhadap budaya militeristik serta paradigma alat negara yang sudah mengakar dalam tubuh Polri.[1].
         Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terkandung dalam tugas-tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini dilaksanakan oleh fungsi Reserse Kriminal. Di dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, di sebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
         Dalam menegakkan hukum dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban dilakukan secara bersama-sama dalam suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan suatu proses panjang dan melibatkan banyak unsur di dalamnya. Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem besar yang di dalamnya terkandung beberapa subsistem yang meliputi subsistem kepolisian (sebagai penyidik), subsistem kejaksaan sebagai penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai hakim, dan subsistem lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.
         Keempat subsistem di atas baru bisa berjalan secara baik apabila semua saling berinteraksi dan bekerjasama dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu mencari kebenaran dan keadilan materiil sebagaimana jiwa dan semangat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana dalam kerangka penegakan hukum pidana, KUHAP merupakan acuan umum yang harus di jadikan pegangan bagi semua yang terlibat dalam proses bekerjanya Sistem Peradilan Pidana dalam rangka mencapai satu tujuan bersama.
         Rangkaian proses Sistem Peradilan Pidana di mulai dari adanya suatu peristiwa yang di duga sebagai peristiwa pidana (tindak pidana). Setelah adanya peristiwa pidana baru di mulai suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan sebenarnya merupakan suatu rangkaian tindakan yang tidak bisa dipisahkan, walaupun tahap-tahapnya berbeda. Apabila proses penyelidikan di satukan dengan penyidikan maka akan terlihat adanya suatu kesinambungan tindakan yang memudahkan proses selanjutnya.
         Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, memberikan peran kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, walaupun KUHAP juga memberikan kewenangan kepada PPNS tertentu untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
         Indonesia yang menganut sistem penegakan hukum terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang merupakan legal spirit dari KUHAP. Keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat (social defence) dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).[2]
         Dalam sistem penegakan hukum terpadu berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan penuntutan dan permeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.[3]
         Dewasa ini maraknya kritikan terhadap realitas penegakan hukum di Indonesia terutama terhadap kinerja yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan hal yang wajar. Keprihatinan tersebut harus dilihat sebagai suatu keinginan dari semua pihak supaya terjadi perubahan kearah yang lebih baik di masa yang akan datang karena tidak ada suatu sistem peradilan pidana yang sudah mantap dan tetap untuk dapat diterapkan sepanjang zaman di negara manapun.
         Kenyataan ruwetnya penegakan hukum di Indonesia, terutama di mulai dari tahap penyidikan. Awal mula terjadinya kerumitan tersebut akibat peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang penyidikan yang tidak kondusif untuk terjadinya suatu keterpaduan dalam pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat adalah saling rebut perkara antara instansi yang merasa diberi wewenang oleh undang-undang sehingga masyarakat sering menjadi korban sebagai pencari keadilan akibat kesalahan penegakan hukum dan mengakibatkakan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan.
         Dalam melaksanakan penegakan hukum, apabila kalangan aparat penegak hukum tidak mampu memperlihatkan kemampuannya, maka masyarakat akan mencari jalan keluar yang lain atau apa yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Pandangan masyarakat yang radikal akan menghakimi masalah yang muncul sehingga akan terjadi suatu keadaan yang kacau (chaos) karena tidak melalui suatu jalur hukum yang sudah ada, hal ini terjadi karena mereka menganggap lembaga peradilan sudah tidak dipercaya lagi.
         Kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang sangat mengkhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan terhadap aparat penyidik (polisi). Masyarakat tidak mau menyerahkan seorang yang telah melakukan tindak pidana kepada polisi. Masyarakat menghakimi, memproses dan mengeksekusi sendiri orang yang tertangkap tangan. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat sudah terlalu banyak melihat bagaimana seorang yang melakukan suatu tindak pidana akhirnya dibebaskan kembali oleh polisi atau aparat penegak hukum lainnya dengan alasan yang diberitakan rata-rata kurang bukti, tidak ada alat bukti atau tidak memenuhi unsur delik sehingga menimbulkan kekecewaan dari masyarakat yang melaporkannya.
         Proses penyidikan merupakan tahap yang paling krusial dalam Sistem Peradilan Pidana, dimana tugas penyidikan yang di bebankan kepada Polri sangat kompleks, selain sebagai penyidik juga sebagai pengawas serta sebagai koordinator bagi penyidik PPNS. Kompleksitas tugas penyidik Polri semakin bertambah seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang kehidupan di Indonesia. Penyidik dituntut untuk berhasil mengungkap semua perkara yang terindikasi telah melanggar hukum yang ditanganinya.
         Disamping itu penyidik juga dituntut untuk tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan penyidikan terhadap seseorang yang di duga melakukan tindak pidana. Tantangan lain yang dihadapi oleh penyidik Polri bukan saja berasal dari keberhasilan meneruskan suatu perkara ke pengadilan melalui kejaksaan, tetapi juga kemungkinan akan dituntut oleh pihak tersangka dan keluarganya melalui gugatan pra-peradilan karena kesalahan penyidik Polri itu sendiri.
         Penyidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan penindakan/upaya paksa, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Dalam hal ini mulai dari proses pembuatan laporan polisi, penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, pemberkasan, hingga penyerahan berkas perkara dan tersangka serta barang bukti (P-21), sehingga tindakan yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam setiap upaya atau langkah tindakannya dapat berjalan efektif dan efisien dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).

B.   Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimanakah Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ditinjau dari aspek Pembaharuan Hukum Pidana ?
     
C.  Tujuan Penulisan
                Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ditinjau dari aspek Pembaharuan Hukum Pidana.

D.  Manfaat Penulisan
                Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ditinjau dari aspek Pembaharuan Hukum Pidana.

 BAB II
KERANGKA TEORI


A. Pengertian Penyidikan Polri
               Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana (SPP). Penyidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan bagi hakim untuk menggali/menemukan kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di persidangan.[4]
              Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan pengertian penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP, yaitu :
             Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

                Dari pengertian di atas, kegiatan penyidikan merupakan upaya paksa yang meliputi kegiatan untuk melakukan pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan. Kegiatan di dalam penindakan pada dasarnya bersifat membatasi kekebasan hak-hak seseorang dan perannya. Dalam melaksanakan kegiatan penyidikan harus memperhatikan norma-norma hukum dan ketentuan-ketentuan yang mengatur atas tindakan tersebut.
             Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan “bukti faktual” penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. [5]
                Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana. [6]
                Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [7]
             Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.[8]
                Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menetukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.
Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan  dapat diperinci  sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang : [9]
       1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,
       2. Kapan tindak pidana itu dilakukan,
       3. Di mana tindak pidana itu dilakukan,
       4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,
       5. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan,
       6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,               
       7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

                Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.
               Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hokum yang dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses pneyidikan itu dinyatakan selesai. [10]

B.   Proses Penyidikan Polri dalam KUHAP                                             
                Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. [11]
                Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut :                
      1.    Penangkapan
Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 20 KUHAP yaitu :
Penangkapan adala suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara  waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                      Penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 KUHAP dan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan.

      2.    Penggeledahan
Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 17 KUHAP yaitu :
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                     Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka.

      3.    Penyitaan
Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 16 KUHAP yaitu :
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

                      Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guan kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlabih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas  benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya. [12]
                      Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat dilakukan dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. 

      4.    Penahanan
Pengertian mengenai penahanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 21 KUHAP yaitu :
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                      Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. [13]
                      Pertimbangan dan ketentuan mengenai penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP.

      5.    Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan
                      Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai  melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini merupakan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik.
                      Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.
                      Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik Polri tersebut kemudian akan dilanjutkan oleh Kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.

C. Sistem Peradilan Pidana
               Sistem peradilan dapat ditinjau dari berbagai segi, pertama segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan. Disini, sistem peradilan akan mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara).[14]
               Menurut Lily Rasyidi, ciri suatu sistem adalah : [15]
       1.    Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses) ;
      2.    Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling tergantung (interpendence of its parts) ;
    3.  Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi  keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more that the sum of its parts) ;
     4.   Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) ;
     5.   Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole) ;
    6.   Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya. [16]
Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun pelaksanaan hukum pidana. Di dalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku, kejahatan, sasaran jangka menengah pencegahan kejahatan, dan sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. [17]
Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem menurut Romli Atmasasmita, harus dilakukan pendekatan sistem, yaitu : [18]
     1Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan) ;
       2.  Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana ;
       3. Efektifitas sistem penaggulangan kejahatan lebih diutamakan daripada efisiensi penyelesaian perkara;  
       4.   Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The administration of justice.

                Konsepsi integrated dalam pengertian sinkronisasi sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut di atas, mengandung pengertian the achievement of unification through shared norm values yang harus tampak dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana. Sehubungan dengan karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan pidana yang terpadu, yang memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk menumbuhkan sinkronisasi dari segi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. [19]
Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima sanksi pidana, [20] termasuk juga :
      a.    Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ;
   b.    Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah telah dipidana ;
      c.    Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

                Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana, yaitu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. [21]
              Dalam kerangka pemahaman tersebut maka kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan unsur saja dari satu sistem, yaitu sistem peradilan pidana, bahkan kalau sistem peradilan pidana diibaratkan mesin, maka kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah ibarat sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut. [22]
                Loebby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses pidana.  Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seseorang di duga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut di bebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan padanya. [23]
                Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.
                Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan. Masing-masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan oleh institusi-institusi Kepolisian (subsistem penyidikan), Kejaksaan (subsistem penuntutan), Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang pengadilan), Lembaga Pemasyarakatan (subsistem pelaksanaan putusan pengadilan).[24]
                Keempat institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogyanya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif  antara aparatur penegak hukum untuk mengembangkan tugas menegakan keadilan dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam : [25]
      1.  Sinkronisasi struktrural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam    rangka hubungan antara lembaga penegak hukum.
        2.   Sinkronisasi substansial (substancial sincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang      bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
     3. Sinkronisasi kultural (cultural sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam       menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
     
                Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsitem lainnya. Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peran yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga-lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal polcy).
                Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut dapat bekerja sebagai sebagai sistem adalah (1) kesadaran sistem, (2) perilaku sistem, (3) kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada akhirnya sistem (dan unsur-unsurnya) hanya dapat beroperasi melalui (tindakan) manusia. Sejak kita mengetahui bahwa manusia bukan robot dan mereka mampu membuat pilihan-pilihan, maka pembinaan kultur penting sekali dilakukan. Perilaku merekan yang mengandung unsur-unsur sistem tersebut perlu diusahakan untuk berangkat dari nilai persepsi yang sama mengenai tujuan dan bekerjanya sistem. [26]
                Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Dalam kenyataannya masing-masing subsistem bekerja dengan sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan untuk memperoleh satu kebijakan kejahatan (criminal policy). Kondisi ini memiliki dampak yang sangat menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan. [27]
               Oleh karena itu, menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa komponen-komponen sistem peradilan ini harus bekerja secara terpadu (integrated) untuk menanggulangi kejahatan. Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian : [28]
      1.    Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan      dengan tugas mereka ;
      2.    Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai         subsistem) ; dan
      3.   Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memeperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
     
                Adapun keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerja sama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujuan sebagai kerjasama dan koordinasi antara subsistem yang satu dengan subsistem yang lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana memaikan peran yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada dalam lembaga masing-masing. Namun, aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapain tujuan bersama yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).
                Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi supaya setiap elemen dapat meningkatakan efisiensi kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk menciptakan tujuan bersama. Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen yang lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan terpadu tidak akan dapat menanggulangi kejahatan. [29]
     
D. Pembaharuan Hukum Pidana
                Pembaharuan Hukum Acara pidana, telah dimulai pada tahun 1981. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tanggal 31 Desember 1981. Menggantikan  Herziene Indlansch Reglement (HIR), telah disambut dengan gegap gempita dan kegembiraan, seluruh rakyat Indonesia. Sebagai hasil dan karya agung bangsa Indonesia. Karena dapat dimaklumi, ketika itu, pengaruh kolonial sangat terasa di bidang hukum acara pidana. KUHAP, telah menyesuaikan dengan penghormatan hak asasi manusia, dan pengaruh dari penerapan negara hukum.[30]
                Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau dari segala aspek. Hukum pidana seringkali dikiaskan oleh ahli hukum sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancamann kejahatan, namun pada pihak lain adakalanya merenggut hak asasi manusia yang berwujud perampasan kemerdekaan seseorang untuk sementara atau untuk selama-lamanya. [31]
                Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum. [32]
                Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) [33]. Pembaharuan hukum pidana, merupakan bagian dari politik kriminal, yang dilakukan secara rasional untuk menanggulangi kejahatan dalam pencapaian tujuan nasional. [34]
                Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut : [35]
      1.   Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :
             a.    Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan  bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan)  dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
             b.   Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya                merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan        kejahatan).

      2.   Dilihat dari sudut pendekatan nilai :
             Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP baru) sama saja dengan orientasi dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
               
                Urgensi pembaharuan KUHAP, karena penyesuaian dengan pembaharuan KUHP sebagai konsekwensinya. Karenanya akan terjadi perubahan yang sangat pesat di lapangan hukum pidana, dimaksudkan sebagai perubahan watak hukum bangsa Indonesia, dari pengaruh kolonialis dan secara nyata adalah nuansa kemerdekaan yang dipengaruhi oleh peradaban maju hukum Indonesia yang diwarnai oleh hukum dan pengaruh para ahli Filsafat hukum, serta berbagai ahli lainnya. Hukum pidana Indonesia, yang lebih progresif, setara dengan hukum pidana negara maju di dunia, walaupun masih memperhatikan nuansa kearifan lokal, yang dapat diterima oleh masyarakat hukum Indonesia yang pluralistis. [36]                


  
BAB III
PEMBAHASAN


A.  Pokok-Pokok Pikiran RUU KUHAP
         Dalam RUU KUHAP yang terdiri bab, bagian, pasal dan ayat, yakni sebagai berikut : [37]
         Bab I Ketentuan Umum. Terdiri dari Pasal 1. Tentang Ketentuan Umum. Pasal 2 Acara Pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang Undang. Pasal 3 Tentang ruang lingkup berlakunya UU, dan ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur di luar UU Hukum Pidana, kecuali UU tersebut menentukan lain. Pasal 4 Acara pidana yang diatur dalam UU ini, dilaksanakan secara wajar dan perpaduan antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang.  Pasal 5. Setiap korban diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan pada semua tingkat peradilan, dalam keadaan tertentu diberikan kepada keluarga atau ahli warisnya.

         (KUHAP, bab I, Pasal 1, hanya mengatur tentang definisi, pengertian, yang terdiri dari  32 butir, dimulai dengan Penyidik hingga Terpidana.)

         Bab II Penyidik dan Penyidikan. Terdiri dari Pasal 6. Bagian Kesatu Tentang Penyidik, yang terdiri dari pejabat kepolisian, pegawai negeri sipil, pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus. Pasal 7. Tugas dan wewenang Penyidik. Pasal 8 Kordinasi penyidik dengan penuntut umum.Pasal 9 Tugas penyidik di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal 10 Ketentuan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hingga. Pasal 11 Bagian kedua.Tentang Penyidikan, mengetahui dan menerima laporan pengaduan tindak pidana, paling lama satu hari wajib melakukan penyidikan. Penyidik dapat memanggil atau mendatangi seseorang untuk memperoleh keterangan sebagai tersangka atau saksi. Pasal 12 Tentang kewajiban setiap orang, adanya kejahatan atau pemufakatan jahat, atau adanya peristiwa pidana, serta tata cara laporan tersebut. Pasal 13. Tentang pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lambat dua hari sejak dimulainya penyidikan. Pasal 14 Tentang penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti. Pasal 15 Tentang pemberkasan suatu perkara dan melaksanakan tindakan hukum untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan. Pasal 16. Tentang kejahatan yang tertangkap tangan. Pasal 17 tentang pemeriksaan tersangka dan atau saksi. Pasal 18 sanksi tersangka atau saksi yang dipanggil tidak hadir. Pasal 19 tentang hak tersangka wajib didampingi penasehat hukum. Pasal 20 Proses pemeriksaan didampingi penasehat hukum dengan mendampingi, melihat dan mendengar pemeriksaan. Pasal 21.Tentang pemeriksaan saksi. Pasal 22. Tentang hak tersangka. Pasal 23 Tentang keterangan tersangka dalam Berita acara pemeriksaan. Pasal 24. Tentang tersangka yang bertempat tinggal di luar daerah hukum. Pasal 25 Tentang pendapat ahli. Pasal 26  Penyidik dengan kekuatan sumpah jabatannya paling lama 7 hari membuat BAP. Pasal 27 Tentang tersangka yang ditahan, satu hari setelah itu harus dimulai pemeriksaan. Pasal 28  Tentang perlawanan oleh tersangka, keluarga dan penasehat hukum. Pasal 29. Tentang tata cara penggeledahan rumah, bangunan tertutup atau kapal. Pasal 30 Tentang BAP hasil penggeledahan. Pasal 31 Tentang keamanan penggeledahan Pasal 32 Tentang tanda pengenal penyidik serta surat izin penyitaan, dari hakim komisaris.Pasal 33 Tentang barang yang disita. Pasal 34 Tentang benda sitaan sebelum dibungkus dilakukan pencatatan. Pasal 35 Tentang penyitaan terhadap surat, buku dan atau data tertulis lainnya. Pasal 37 Tentang  keterangan ahli kedokteran kehakinan atau dokter atau ahli lainnya. Pasal 38 Tentang pembuktian terhadap mayat Pasal 39 Tentang penggalian mayat.Pasal 40 Bagian ketiga. Perlindungan pelapor, pengadu, saksi dan korban.Pasal 41 Tentang biaya penyidikan, perlindungan pelapor, pengadu, saksi atau korban adalah dibebankan kepada negara.

         (KUHAP Bab II, Pasal 2,tentang lingkup berlakunya Undang Undang)

         Bab III Penuntut Umum dan Penuntutan. Terdiri dari Pasal 42  bagian kesatu. Penuntut umum, tugas dan wewenang. Pasal 43 Tentang Kewenangan Penuntut umum terhadap perkara di luar daerah hukumnya. Pasal 44 tentang Penuntut umum koordinasi dengan Hakim Komisaris. Pasal 45  Bagian Kedua  Penuntutan. Pasal 46 Tata Cara Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum. Pasal 47 tentang Tenggang Waktu Penerimaan berkas dari Penyidik untuk dilimpahkan atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan. Pasal 48 Tentang tata cara melanjutkan atau tidak melanjutkan hasil penyidikan. Pasal 49 tentang penggabungan Perkara dalam suatu surat dakwaan. Pasal 50 Tentang Penuntut umum melimpahkan Dakwaan. Pasal 51 Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum hari sidang. Pasal 52 Tentang Tuntutan Penuntut Umum yang tidaka dapat diterima dengan alasan-alasan. Pasal 53 Biaya Penuntutan dibebankan kepada Negara.

         (KUHAP Bab III Pasal 3,Tentang Dasar Peradilan)

         Bab IV Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat. Bagian Kesatu Penangkapan. Pasal 54 Tentang Kewenangan penagkapan oleh penyidik. Pasal 52 Tentang perintah penangkapan. Pasal 56 Tentang tata cara penangkapan. Pasal 57 Tentang Penbagkapan dilakukan paling lama satu hari dan tersangka yang hanya dikenakan pidana denda. Pasal 58 Tentang Penahanan oleh penyidik, penuntut umum. Pasal 59 Tentang Penahanan dapat dilakukan karena ancaman lebih dari 5 tahun dan ketentuan pasal yang terkait. Pasal 60 Penahanan dilakuakn dlam waktu 5 hari. Pasal 61 Hakim pengadilan negeri berwenang mengeluarkan penetapan penahanan dan dapat ditetapkan oleh ketua pengadilan. Pasal 62 Tentang Hakim Pebgadilan tertinggi berwenang mengeluarkan kewenangan penetapan penahahanan. Pasal 63Hakim agung berwernang mengeluarkan penetapan penahahan. Pasal 64 Dimaksud dengan penahanan berupa rumah tahanan negara.Pasal 65 Ganti kerugian terhadap penahanan yang tidak sah. Pasal 66 Lamanya penahanan tidak boleh melebihi dari ancaman pidana maksimum. Pasal 67 tentang tata cara penagguhan penahanan dengan jaminan. Bagian Ketiga tentang penggeledahan. Pasal 68 Tentang tata cara dan waktu pengeledahan. Pasal 69 tentang ijin  penggeledahan oleh hakim komisaris. Pasal 70 kewajiban penyidik dalam hal penggeledahan. Pasal 71 Larangan pengeledahan yang dilakukan oleh kepolisian. Bagian Keempat Penyitaan. Pasal 74 tentang penyitaan untuk kepentinga penyidikan. Pasal 75 Tata cara mendapatkan  izin penyitaan. Pasal 76 Benda yang dapat disita. Pasal 77 Kewenangan menyita paket, surat, benda yang pengangkutannya oleh kantor pos, perusahan telekomunikasi, atau pwerusahaan pengangkutan lainnya. Pasal 78 Tentang BAP penyitaan. Pasal 79 Tentang  penyitaan surat atau tulisan lain, karena rahasia atau rahasia negara. Pasal 80 Tentang pejabat yang berwenang melakukan penyitaan. Pasal 81 Tentang benda sitaan yang mudah rusak atau membahayakan. Pasal 82 Tentang pengembalian benda sitaan.Pasal 83 Bagian Kelima. Penyadapan. Pasal 84 Tentang  keadaan mendesak mengenai penyadapan. Pasal 85 Bagian keenam. Pemeriksaan Surat. Pasal 86 Tentang  surat yang dilampirkan dengan berkas perkara. Pasal 87 Tentang penyidik membuat BAP.

         (KUHAP, Bab IV, Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15. Tentang Penyidik dan Penuntut Umum)

         Bab V Hak Tersangka dan Terdakwa. Pasal 88 Tentang BAP yang berhubungan dengan tindakan. Pasal 89 Tentang Hak tersangka menolak memberikan keterangan. Pasal 91 Tentang bantuan juru bahasa. Pasal 92 Tentang Bantuan hukum kepada tersangka. Pasal 93 Tentang Kewajiban mempersiapkan  penasehat hukum. Pasal 94 Tentang Tersangka yang ditahan berhak menghubungi penasehat hukum. Pasal 95 Tentang hak warga negara asing menghubungi perwakilan negaranya. Pasal 96 Tentang  Hak warganegara asing untuk menghubungi perwakilan negaranya. Pasal 97 Hak tersangka menerima dokter atau rohaniawan. Pasal 98 Tentang Hak untuk menerima kunjungan keluarga. Pasal 99 Tentang hak tersangka yang berhubungan dengan sanak keluarga yang tidak behubungan dengan perkaranya. Pasal 100 Tentang hak untuk korespondensi. Pasal 101 Tentang hak tersangka untuk mengajukan saksi dengan keahlian khusus. Pasal 102 Tentang hak untuk  mengajukan ganti rugi dan rehabilitasi.

         (KUHAP Bab V, Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49 Tentang Pengakapan, Penahanan, Penggeledahan, Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat.Bab Tentang Tersangka dan Terdakwa diatur dalam Bab VI)

         Bab VI Bantuan Hukum.  Pasal 103 Tentang Hak penasehat hukum. Pasal 104 Tentang  Tata cara hak penasehat hukum. Pasal 105 Tentang Hak penasehat hukum diawasi oleh penyidik, penasehat hukum, dan petugas Rutan. Pasal 106 Tentang Hak mendapatkan BAP. Pasal 107 Tentang  Hak penasehat hukum.  Pasal 108 Tentang Kebebasan hubungan penasehat hukum dan tersangka.

         (KUHAP Bab IV Tentang Tersangka dan Terdakwa. Bantuan Hukum diatur pada  VII Bantuan Hukum. Pasal 69, 70, 71, 72, 73, 74.)

         Bab VII Berita Acara. Pasal 109 Tentang tindakan membuat BAP dalam penyelesaian perkara.

         (Bab VII Bantuan Hukum. Tentang Berita Acara diatur dalam Bab VIII Berita Acara. Pasal 75)

         Bab VIII Sumpah Atau Janji. Pasal 110 Tentang Tata cara pengambilan sumpah atau janji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

         (KUHAP Diatur dalam bab IX Sumpah atau Janji, Pasal 76. Bab VIII Tentang Berita Acara.)

         Bab IX Hakim Komisaris.  Bagian Pertama. Pasal 111 Tentang kewenangan hakim komisaris. Pasal 112 Tentang pembuktian saksi yang berada di luar negeri. Pasal 113 Tentang tata cara pengambilan keterangan saksi yang berada di luar negeri. Pasal 114  Bagian Kedua.  Acara. Kewenangan Hakim Komisaris. Pasal 115 Putusan dan penetapan hakim komisaris. Pasal 116 Tentang Pemeriksaan hakim komisaris tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Bagian Ketiga. Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian  Hakim Komisaris. Pasal 117  Tentang syarat hakim komisaris. Pasal 118 Hakim Komisaris diangkat oleh Presiden atas usul ketua pemngadilan. Pasal 119 Tentang Tata cara pemberhentian hakim komisaris karena masa jabatannya. Pasal 120 Tentang pemberhentian Hakim Komisaris karena kesalahannya. Pasal 121 Tentang masa bebas bertugas sebagai hakim pengadilan. Pasal 122 Tentang Peraturan Pemerintah yang mengatur Hakim Komisaris. Pasal 123 Kantor hakim komisaris.  Pasal 124 Tentang Penetapan hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum.

         (KUHAP Tidak mengatur tentang hakim Komisaris, dan disetarakan dengan itu adalah Praperadilan. Hakim Komisaris pernah dikemukakan ketika pembahasan RUU KUHAP).

         Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili.Bagian Kesatu. Pengadilan Negeri.  Pasal 125 Tentang wewenang pengadilan negeri. Pasal 126 Tentang Kewenangan MARI untuk menunjuk pengadilan negeri lain. Pasal 127 Tentang Kewenangan pengadilan negeri Jakarta Pusat. Bagian Kedua. Pengadilan Tinggi.Pasal 128 Tentang Kewenangan pengadilan tinggi.   Pasal 129 Tentang Kewenangan Mahkamah Agung.

         (KUHAP Bab X Tentang Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili. Pasal 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88).

         Bab XI Ganti Kerugian, Rahabilitasi, dan Putusan Pengadilan Tentang Ganti Kerugian Terhadap Korban. Bagian Kesatu Ganti Kerugian. Pasal 130 Tentang Hak tersangka mengenai ganti kerugian. Pasal 131 Tentang Besarnya ganti kerugian. Pasal 132 Tentang tata cara Pemeriksaan ganti kerugian. Bagian Kedua  Rehabilitasi. Pasal 133 Tentang Tata cara permintaan Rehabilitasi. Pasal 134 Tentang syarat dan ketentuan rehabilitasi diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga  Putusan Pengadilan Tentang Ganti Rugi Terhadap Korban. Pasal 135 Tentang Tata Cara mendapatkan ganti kerugian. Pasal 136 Tentang  Putusan ganti kerugian yang berkekuatan tetap.
        
         (KUHAP Bab XI Tentang Koneksitas. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi diatur dalam Bab XII, Terdiri dari Pasal  95, 96,97)

         Bab XII Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Bagian Kesatu. Panggilan dan Dakwaan. Pasal 137 Tentang Panggilan sidang oleh Penuntut umum. Pasal 138 Tentang  Tata cara panggilan sidang oleh penuntut umum.  Bagian Kedua. Memutus Sengketa Mengenai Wewenang Mengadili. Pasal 139 Tentang Kewenangan ketua pengadilan negeri. Pasal 140 Tentang  tata cara wewenang ketua pengadilan negeri. Pasal 141 Tentang Perlawanan Penuntut Umum mengenai penetapan pengadilan. Pasal 142 Tentang tata cara sengketa wewenang mengadili. Pasal 143 Tentang Kewenangan Pengadilan Tinggi.  Bagian Ketiga. Acara Pemeriksaan Biasa. Pasal 144 Tentang tata cara penunjukan ketua pengadilan negeri kepada hakim majelis. Pasal 145 Tentang Kewajiban Pengadilan. Pasal 146 Tentang panggilan terdakwa. Pasal 147 Tentang Hakim membuka sidang terbuka untuk umum. Pasal 148 Tentang Perlawanan penasehat hukum mengenai sengketa kewenangan. Pasal 149 Tentang Kewajiban hakim mengundurkan diri. Pasal 150 Tentang Etika Hakim di sidang pengadilan. Pasal 151 Tentang penelitian oleh hakim terhadap kehadiran saksi. Pasal 152 Tentang Hak penuntut umum, terdakwa, penasehat hukum menguraikan pembuktian dan saksi. Pasal 153 Tentang Ahli maupun saksi yang menolak bersumpah. Pasal 154 Tentang Saksi yang tiak hadir dipersidangan. Pasal 155 Tentang Keterangan saksi yang berbeda dengan BAP. Pasal 156 Tentang Kesempatan pertama oleh Penuntut umum terhadap saksi. Pasal 157 Tentang Larangan pertanyaan yang bersifat menjerat. Pasal 158 Tentang Tata cara penuntut umum menyampaikan barang bukti. Pasal 159 Tentang tata cara saksi dalam memeberikan keterangan. Pasal 160 Tentang tata cara pengunduran diri sebagai saksi. Pasal 161 Tentang tata cara saksi di bawah sumpah. Pasal 162 Tentang  Alasan permintaan tidak sebagai saksi. Pasal 163 Tentang Tata cara memberikan keterangan tanpa sumpah/janji. Pasal 164 Tentang Saksi dipengadilan setelah disumpah. Pasal 165 Tentang Tata cara saksi memberikan keterangan tanpa kehadiran tersangka. Pasal 166 Tentang Tata cara adanya dugaan keterangan saksi palsu. Pasal 167 Tentang tata cara terdakwa untuk menjawab pertanyaan. Pasal 168 Tentang tata cara penegoran terhadap terdakwa di persidangan. Pasal 169 Tentang Juru bahasa dalam persidangan. Pasal 170 Tentang penterjemah karena tunarungu. Pasal 171 Tentang Ahli kedokteran kehakiman atau ahli untuk kepentingan keadilan. Pasal 172 Tentang keterangan ahli atau bahan baru oleh yang berkepentingan. Pasal 173 Tentang tata cara keterangan lisan oleh para pihak. Pasal 174 Tentang Tata cara dibukanya kembali sidang. Pasal 175 Tentang putusan musyawarah majelis hakim.  Bagian keempat  Pembuktian dan Putusan. Pasal 176 Tentang minimum alat bukti oleh hakim. Pasal 177 Tentang  alat bukti yang syah. Pasal 178 Tentang Alat bukti Surat. Pasal 179 Tentang keterangan ahli. Pasal 180 Tentang Keterangan saksi. Pasal 181 Tentang keterangan terdakwa. Pasal 182 Tentang pengamatan Hakim. Pasal 183 Tentang Alat bukti yang diberikan oleh Pemerintah. Pasal 184 Tentang kewenangan pengadilan terhadap penahanan. Pasal 185 Tentang Kewenangan hakim dalam putusannya. Pasal 186 Tentang Tata cara melepaskan terdakwa dari tahanan. Pasal 187 Tentang Tata cara pengembalian barang bukti. Pasal 188 Tentang Tata cara pengumuman putusan hakim. Pasal 189 Tentang tata cara putusan  pengadilan. Pasal 190 Tentang  Cara memuat putusan pemidanaan. Pasal 191 Tentang tata cara hakim atau penuntut umum yang berhalangan. Pasal 192 Tentang Tata cara putusan yang bukan pemidanaan. Pasal 193 Tentang Petikan putusan hakim. Pasal 194 Tentang tata cara panitera dalam hal surat palsu atau dipalsukan. Pasal 195 Tentang pantera dalam membuat BAP persidangan. Bagian Kelima. Acara Pemeriksaan Singkat. Pasal 196 Tentang tata cara pemeriksaan singkat. Bagian Keenam. Jalur Khusus. Pasal 197 Tentang Pengakuan terdakwa dipersidangan.  Bagian Ketujuh  Saksi Mahkota.  Pasal 198 Tentang tata cara saksi mahkota.  Bagian Kedelapan. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Pasal 199 Tentang Tata Cara pemeriksaan tindak pidana ringan. Pasal  200 Tentang Perkara lalu lintas. Pasal 201 Tentang Pengadilan tindak pidana ringan. Pasal 202 Tentang tata cara peradilan tindak pidana ringan. Pasal 203 Tentang saksi dalam perkara tindak pidana ringan. Pasal 204 Tentang Pencatatan Panitera terhadap sidang. Pasal 205 Tentang Berlakunya bagian satu, dua dan tiga. Pasal 206 Tentang kuasa terdakwa dipersidangan. Pasal 207 Tentang Ketidakhadiran terdakwa. Pasal 208 Tentang Tata Cara pengambilan benda sitaan.  Bagian Kesepuluh  Tata Tertib Persidangan. Pasal 209 Tentang   Tata Tertib Persidangan. Pasal 210 Tentang Pelanggaran tata tertib sidang. Pasal 211 Tentang Larangan dalam persidangan. Pasal 212 Tentang Larangan Hakim memimpin persidangan. Pasal 213 Tentang Pengajuan penggantian hakim. Pasal 214 Tentang Kewajiban membayar perkara. Pasal 215 Tentang sumpah yang dilakukan. Pasal 216 Tentang Penyimpanan dokumen putusan. Pasal 217 Tentang Tugas Panitera. Pasal 218 Tentang Petikan putusan pengadilan. Pasal 219 Tentang Tata cara pemberitahuan atau panggilan sidang. Pasal 220 Tentang Jangka dan tenggang waktu. Pasal 221 Tentang Penggantian biaya untuk saksi dan ahli. Pasal 222 Tentang Pelasanaan dan tempat sidang. Pasal 223 Tentang Tata cara diruang persidangan. Pasal 224 Tentang tata tertib persidangan, pakaian dan atribut ditentukan melalui keputusan MARI. Pasal 225  Segala biaya persidangan dibebankan kepada Negara.

         (KUHAP Bab XII Tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Tentang Pemeriksaan di sidang Pengadilan diatur dalam Bab XVI Pasal 145, 146, 147, 148,149,150,151,152,153,154,155,156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165,166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232).

         Bab XIII Upaya Hukum Biasa.  Bagian Kesatu  Pemeriksaan Tingkat Banding.  Pasal 226 Tentang Tata Cara Permohonan Banding. Pasal 227 Tentang  Tenggang Waktu Permohonan Banding. Pasal 228 Tentang Pencabutan permohonan banding. Pasal 229 Tentang Waktu permohonan banding. Pasal 230 Tentang Penyerahan kontra atau memori banding. Pasal 231 Tentang Tata cara pemeriksaan banding. Pasal 232 Tentang Tata cara putusan banding yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,, terorisme, pencucian uang, pelanggaran HAM berat. Pasal 233 Tentang hubungan keluarga dengan tersangka. Pasal 234 Tentang perbaikan putusan pengadilan negeri, karena kekeliruan. Pasal 235 Tentang wewenang mengadili sendiri. Pasal 236 Tentang Perintah penahanan. Pasal 237 Tentang tata cara putusan pengadilan tinggi.  Bagian Kedua  Pemeriksaan Tingkat Kasasi. Pasal 238 Tentang Tata cara pengajuan Kasasi. Pasal 239 Tentang Permohonan kasasi. Pasal 240 Tentang Tenggang waktu. Pasal 241 Tentang pencabutan permohonan kasasi. Pasal 242 Tentang Memori Kasasi. Pasal 243 Tentang Kesempatan penambahan memori/kontra memori kasasi. Pasal  244 Tentang tata cara menerima memori/kontra memori kasasi. Pasal 245 Tentang berlakunya pasal 149. Pasal 246 Tentang berlakunya pasal 212 (1), (2). Pasal 247 Tentang Kasasi hanya diperiksa oleh MARI. Pasal 248 Tentang Putusan MARI, mengenai kasasi. Pasal 249 Tentang putusan MARI, mengenai pertauran hukum tidak diterapkan, cara mengadili tidak dilaksanakan, putusan dibatalkan. Pasal 250 Tentang putusan MARI Mengabulkan putusan. Pasal 251 Tentang berlakunya pasal 218,237. Pasal 252 Tentang Tata cara MARI dalam memutuskan perkara korupsi, pencucian uang, terorisme dan pelanggaran HAM berat. Pasal  253 Tentang berlakunya Pasal 238 sampai 252.

         (KUHAP Bab XIII Tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian. Upaya Hukum Biasa daitur dalam Bab XVII. Pasal 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258).
        
         Bab XIV Upaya Hukum Luar Biasa.  Bagian Kesatu  Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum.  Pasal 254 Tentang tata cara pemeriksaan Kasasi. Pasal 256 Tentang Salinan Putusan Kasasi. Pasal 257 Tentang berlakunya pasal 254, 255, 256. Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pemngadilan Yang Telah Berkekuatan Tetap.  Pasal 258 Tentang  Tata caranya. Pasal 259 Tentang Kewenangan Jaksa Agung mengajukan PK. Pasal 260 Tentang waktu Permohonan PK. Pasal 261 Tentang  Tata cara PK oleh ahli warisnya. Pasal 262 Tentang tata cara PK karena pasal 258 (1). Pasal 263 Tentang tata cara PK berdasarkan pasal 258 (3). Pasal 264 Tentang PK untuk pidana mati. Pasal 265 Tentang PK untuk Peradilan Militer.

         (KUHAP diatur dalam Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa. Pasal 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 268, 269.)

         Bab XV Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pasal 266 Tentang putusan yang berkekuatan tetap. Pasal 267 Tentang Pelaksanaan pidana Mati. Pasal 268 Tentang Pidana penjara. Pasal 269 Tentang pidana denda. Pasal 270 Tentang ganti kerugian. Pasal 271 Tentang beban biaya perkara/ ganti kerugian. Pasal 272 Tentang pidana bersyarat.

         (KUHAP, tentang pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Bab XIX. Pasal 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276)
                 
         Bab XVI Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pasal 273 Tentang tata cara pelaksanaan putusan. Pasal 274 Tentang  pengiriman putusan.  Pasal 275 Tentang Register pengawasan. Pasal 276  Tentang Hakim Pengawas dan pengamat. Pasal 277 Tentang Informasi berkala. Pasal 278 Tentang pembinaan terpidana. Pasal 279 Tentang Hasil pengawasan dan pengamatan.

         (KUHAP, tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan diatur dalam Bab XX. Pasal 277, 278, 279, 280, 281, 282, 283).

         Bab XVII Ketentuan Peralihan. Pasal 280 Tentang peralihan. Pasal 281 Peralihan hakim komisaris.

         (KUHAP, ketentuan Peralihan diatur dalam Bab XXI.Pasal 284.)

         Bab XVIII Ketentuan Penutup. Pasal 282 Tentang berlakunya UU.  Pasal 284 Tentang Penyebutan nama UU.

         (KUHAP, Tentang Ketentuan Penutup diatur dalam Bab XXII. Pasal 285, 286.)

B.   Proses Penyidikan Polri dalam RUU KUHAP
         Dalam RUU KUHAP, pengaturan tentang Penyidikan, diatur dalam Bab II tentang Penyidik dan Penyidikan, yakni sebagai berikut : [38]
               Bab II Penyidik dan Penyidikan. Terdiri dari Pasal 6. Bagian Kesatu Tentang Penyidik, yang terdiri dari pejabat kepolisian, pegawai negeri sipil, pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus. Pasal 7. Tugas dan wewenang Penyidik. Pasal 8 Kordinasi penyidik dengan penuntut umum.Pasal 9 Tugas penyidik di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal 10 Ketentuan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hingga. Pasal 11 Bagian kedua. Tentang Penyidikan, mengetahui dan menerima laporan pengaduan tindak pidana, paling lama satu hari wajib melakukan penyidikan. Penyidik dapat memanggil atau mendatangi seseorang untuk memperoleh keterangan sebagai tersangka atau saksi. Pasal 12 Tentang kewajiban setiap orang, adanya kejahatan atau pemufakatan jahat, atau adanya peristiwa pidana, serta tata cara laporan tersebut. Pasal 13. Tentang pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lambat dua hari sejak dimulainya penyidikan. Pasal 14 Tentang penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti. Pasal 15 Tentang pemberkasan suatu perkara dan melaksanakan tindakan hukum untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan. Pasal 16. Tentang kejahatan yang tertangkap tangan. Pasal 17 tentang pemeriksaan tersangka dan atau saksi. Pasal 18 sanksi tersangka atau saksi yang dipanggil tidak hadir. Pasal 19 tentang hak tersangka wajib didampingi penasehat hukum. Pasal 20 Proses pemeriksaan didampingi penasehat hukum dengan mendampingi, melihat dan mendengar pemeriksaan. Pasal 21.Tentang pemeriksaan saksi. Pasal 22. Tentang hak tersangka. Pasal 23 Tentang keterangan tersangka dalam Berita acara pemeriksaan. Pasal 24. Tentang tersangka yang bertempat tinggal di luar daerah hukum. Pasal 25 Tentang pendapat ahli. Pasal 26  Penyidik dengan kekuatan sumpah jabatannya paling lama 7 hari membuat BAP. Pasal 27 Tentang tersangka yang ditahan, satu hari setelah itu harus dimulai pemeriksaan. Pasal 28  Tentang perlawanan oleh tersangka, keluarga dan penasehat hukum. Pasal 29. Tentang tata cara penggeledahan rumah, bangunan tertutup atau kapal. Pasal 30 Tentang BAP hasil penggeledahan. Pasal 31 Tentang keamanan penggeledahan Pasal 32 Tentang tanda pengenal penyidik serta surat izin penyitaan, dari hakim komisaris.Pasal 33 Tentang barang yang disita. Pasal 34 Tentang benda sitaan sebelum dibungkus dilakukan pencatatan. Pasal 35 Tentang penyitaan terhadap surat, buku dan atau data tertulis lainnya. Pasal 37 Tentang  keterangan ahli kedokteran kehakinan atau dokter atau ahli lainnya. Pasal 38 Tentang pembuktian terhadap mayat Pasal 39 Tentang penggalian mayat.Pasal 40 Bagian ketiga. Perlindungan pelapor, pengadu, saksi dan korban.Pasal 41 Tentang biaya penyidikan, perlindungan pelapor, pengadu, saksi atau korban adalah dibebankan kepada negara.
             Selanjutnya sehubungan dengan proses penyidikan diatur lebih lanjut dalam Bab IV Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat. Bagian Kesatu Penangkapan. Pasal 54 Tentang Kewenangan penagkapan oleh penyidik. Pasal 52 Tentang perintah penangkapan. Pasal 56 Tentang tata cara penangkapan. Pasal 57 Tentang Penbagkapan dilakukan paling lama satu hari dan tersangka yang hanya dikenakan pidana denda. Pasal 58 Tentang Penahanan oleh penyidik, penuntut umum. Pasal 59 Tentang Penahanan dapat dilakukan karena ancaman lebih dari 5 tahun dan ketentuan pasal yang terkait. Pasal 60 Penahanan dilakuakn dlam waktu 5 hari. Pasal 61 Hakim pengadilan negeri berwenang mengeluarkan penetapan penahanan dan dapat ditetapkan oleh ketua pengadilan. Pasal 62 Tentang Hakim Pebgadilan tertinggi berwenang mengeluarkan kewenangan penetapan penahahanan. Pasal 63Hakim agung berwernang mengeluarkan penetapan penahahan. Pasal 64 Dimaksud dengan penahanan berupa rumah tahanan negara.Pasal 65 Ganti kerugian terhadap penahanan yang tidak sah. Pasal 66 Lamanya penahanan tidak boleh melebihi dari ancaman pidana maksimum. Pasal 67 tentang tata cara penagguhan penahanan dengan jaminan. Bagian Ketiga tentang penggeledahan. Pasal 68 Tentang tata cara dan waktu pengeledahan. Pasal 69 tentang ijin  penggeledahan oleh hakim komisaris. Pasal 70 kewajiban penyidik dalam hal penggeledahan. Pasal 71 Larangan pengeledahan yang dilakukan oleh kepolisian. Bagian Keempat Penyitaan. Pasal 74 tentang penyitaan untuk kepentinga penyidikan. Pasal 75 Tata cara mendapatkan  izin penyitaan. Pasal 76 Benda yang dapat disita. Pasal 77 Kewenangan menyita paket, surat, benda yang pengangkutannya oleh kantor pos, perusahan telekomunikasi, atau pwerusahaan pengangkutan lainnya. Pasal 78 Tentang BAP penyitaan. Pasal 79 Tentang  penyitaan surat atau tulisan lain, karena rahasia atau rahasia negara. Pasal 80 Tentang pejabat yang berwenang melakukan penyitaan. Pasal 81 Tentang benda sitaan yang mudah rusak atau membahayakan. Pasal 82 Tentang pengembalian benda sitaan.Pasal 83 Bagian Kelima. Penyadapan. Pasal 84 Tentang  keadaan mendesak mengenai penyadapan. Pasal 85 Bagian keenam. Pemeriksaan Surat. Pasal 86 Tentang  surat yang dilampirkan dengan berkas perkara. Pasal 87 Tentang penyidik membuat BAP.
                Adapun proses penyidikan Polri sebagaimana yang diatur dengan RUU KUHAP, adalah sebagai berikut :                 
      1.    Penangkapan
                      Pengertian Penangkapan yang diatur dalam RUU KUHAP Pasal 1 Angka 20 menjelaskan Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
                      Penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 RUU KUHAP dan dilakukan untuk kepentingan penyidikan.
      2.    Penggeledahan
Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam RUU KUHAP Pasal 1 angka 16, 17 dan 18 yaitu :
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk melaksanakan pemeriksaan, penyitaan, atau penangkapan dengan memasuki rumah tempat tinggal, tempat tertutup, atau tempat yang lain. (Angka 16).

Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan badan atau tubuh seseorang termasuk rongga badan untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badan, tubuh, rongga badan, atau yang dibawanya serta. (Angka 17).

Penggeledahan pakaian adalah tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan pakaian, baik pakaian yang sedang dipakai maupun pakaian yang dilepas, untuk mencari benda yang diduga kerasa berkaitan dengan tindak pidana. (Angka 18).

                      Penggeledahan diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 RUU KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah, bangungan tertutup, kapal, badan atau pakaian. Adapun tujuan dilakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka.
                      Dalam melaksanakan penggeledahan, penyidik harus mendapat izin dari hakim komisaris berdasarkan permohonan melalui penuntut umum, kecuali dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin dari hakim komisaris.
      3.    Penyitaan
Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih penguasaan dan/atau penyimpanan benda bergerak atau tidak bergerak dan benda berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
                      Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 82 RUU KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik harus mendapat surat izin dari hakim komisaris berdasarkan permohonan melalui penuntut umum, kecuali dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin dari hakim komisaris.
      4.    Penahanan
Pengertian mengenai penahanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 21 RUU KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan berdasarkan undang-undang ini.                   
                      Pertimbangan dan ketentuan mengenai penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 67 RUU KUHAP. Penahanan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan alat bukti/barang bukti, mempengaruhi saksi, melakukan ulang tindak pidana dan untuk kepentingan keselamatan tersangka atau terdakwa dengan persetujuannya.
                      Pasal 60 RUU KUHAP menjelaskan bahwa penahanan dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari, penyidik bersama-sama dengan penuntut umum menghadapkan tersangka yang dapat didampingi penasihat hukum kepada hakim komisaris yang menentukan perpanjangan penahanan diperlukan atau tidak. Apabila hakim komisaris berpendapat perlu perpanjangan penahanan, maka diberikan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) hari, dan dalam hal masih diperlukan waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, hakim pengadilan berwenang melakukan penahanan atas permintaan penuntut umum untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
      5.    Penyadapan
                      Penyadapan diatur dalam Pasal 83 RUU KUHAP. Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.
                      Tindak pidana serius yang dimaksud meliputi tindak pidana terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan/penculikan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyeludupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, mengenai bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran berat HAM, psikotropika dan narkotika dan pemerkosaan.
                      Penyadapan dilakukan oleh penyidik setelah mendapat surat izin dari hakim komisaris untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari hakim komisaris, dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum.          
      6.    Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan
                      Menurut Pasal 46 RUU KUHAP, apabila berkas perkara hasil penyidikan dinilai telah lengkap, penuntut umum mengeluarkan surat keterangan bahwa berkas perkara telah lengkap, dan kemudian diserahkan beserta tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum, namun apabila penuntut umum masih menemukan kekurangan dalam berkas perkara, penuntut umum dapat meminta penyidik untuk melakukan penyidikan tambahan dengan memberikan petunjuk langsung atau melakukan penyidikan tambahan. Dengan diserahkannya berkas perkara bersama barang bukti dan tersangka, maka proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik berakhir.


BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
             Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ditinjau dari aspek Pembaharuan Hukum Pidana sebagaimana yang tercantum dalam RUU KUHAP telah mengalami kemajuan dan pengaturan yang lebih luas jika dibandingkan dengan pengaturan penyidikan Polri sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, diantaranya pengaturan mengenai penyadapan yang sebelumnya belum mendapat pengaturan dalam KUHAP, dan keberadaan hakim komisaris yang mempunyai peranan yang penting dalam menentukan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.

B. Saran-Saran
             Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah disimpulkan di atas, maka disarankan :
1.   Diharapkan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kiranya pembahasan RUU KUHP Nasional dan RUU KUHAP dapat segera dilakukan dan disahkan, mengingat kehadirannya sangat dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia.
2.   Diharapkan kepada para aparat penegak hukum khususnya Penyidik Polri agar dapat memahami ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, sehingga dalam proses penyidikan dapat berjalan dengan baik.


DAFTAR  PUSTAKA

Buku-Buku  
      Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
     Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy       Puspa Mega, Jakarta, 2002.
      Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta, 2005.
      Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ; Perkembangan Penyusunan           Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2010.
      Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, 1998.
      Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar     Grafika, Jakarta, 2010.
      Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1987.
      Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,       1993.
      Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom,         Jakarta, 2002.
      Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum melawan       Kejahatan,  Lembaga Kriminologi UI, 1994.
     Marjono Reksodiputro , Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu pemikiran awal) dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1997.
      M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
      Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
      Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung, 1996.
      Sacipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial  & Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007.
      Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian : Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, 2011.

Peraturan Perundang-undangan   
      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
     
Makalah
      Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja Polri melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies Natalis PTIK ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38, Jakarta, 2003.
        Syaiful Bakhri, Sumbangan Pemikiran tentang RUU KUHAP, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010.

Lain-Lain
      RUU KUHAP. WWW, Legalitas,org





[1] Sacipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial  & Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 75
[2] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung, 1996,  hal 9-10.
[3] Ibid.
[4] Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, STIK, Jakarta, 2011, hal 150
[5] Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hal 15
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 99
[7] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 118
[8] Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, 1998, hal 8
[9] Ibid
[10] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 116
[11] Ibid
[12] Andi Hamzah, op cit, hal 145
[13] Andi Hamzah, op cit, hal 127
[14] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta, 2005, hal 14-15
[15] Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,  PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,1993,  hal 43-44
[16] Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum melawan Kejahatan,  Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal 84
[17] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal vii
[18] Romli Atmasasmita, op cit, hal 9-10.
[19] Ibid.
[20] Romli Atmasasmita, op cit, hal 14-15.
[21] Marjono Reksodiputro, op cit, hlm 1
[22] Sacipto Rahardjo, op cit, hal 222
[23] Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta, 2002, hal 22
[24] Ibid, hal 23
[25] Romli Atmasasmita, op cit, hal 17.
[26] Romli Atmasasmita, op cit 18
[27] Romli Atmasasmita, op cit hal 19
[28] Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu pemikiran awal) dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1997, hal 142.
[29] Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja Polri melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies Natalis PTIK ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38, Jakarta, 2003, hal 4.
[30] Syaiful Bakhri, Sumbangan Pemikiran tentang RUU KUHAP, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010, hal 1-2.
[31] Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm 1.
[32] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2010, hal 28-29.
[33] Ibid, hal 29.
[34] Syaiful Bakhri, op cit, hal 9.
[35] Barda Nawawi Arief, op cit, hal 29-30.
[36] Syaiful Bakhri, op cit, hal 9-10.
[37] RUU KUHAP,WWW. Legalitas, org.
[38] RUU KUHAP,WWW. Legalitas, org.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar