Selasa, 16 Juli 2019

SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU (INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)


Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)

         Sistem peradilan pidana merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana, baik yang terkait dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang mengacu kepada kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) dan hukum acara pidana di luar KUHAP yang terhubung secara koheren, koordinatif, dan terpadu (integrated criminal justice system) guna mencari dan menemukan kebenaran materiil sehingga dapat mewujudkan supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Cita-cita luhur tersebut tidak akan terwujud apabila subsistem tersebut bekerja sendiri-sendiri atau egosektoral terhadap subsistem lainnya. [1]
         Sistem peradilan pidana yang digariskan dalam KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system) yang diletakan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing, untuk menegakan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukum pidana. [2]     
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) adalah sistem yang harus dapat dilihat sebagai the nature of court… deal with criminal law as its enforcement. Pemahaman pengertian sistem harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system artinya seperangkat element yang bekerja untuk mencapai satu tujuan, maupun abstract system yang dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. [3]
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) merupakan sistem peradilan perkara pidana dengan adanya persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice system) yang terdiri dari beberapa komponen-komponen yaitu penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated criminal justice system berusaha untuk mengintegrasikan seluruh komponen-komponen sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. [4]         
         Istilah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) terkandung maksud agar perhatian dan penekanan lebih diarahkan pada aspek integrasi dan koordinasi antara komponen-komponen sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Kata integrated atau terpadu bila dikaitkan dengan istilah system dalam criminal justice system, seharusnya sudah terkandung makna keterpaduan (integration and coordinaton), di samping karakteristik yang lain seperti adanya tujuan yang jelas dari sistem, proses input-throughtput-output and feedback, sistem kontrol yang efektif, negative-anthropy dan sebagainya. [5]     
         Konsepsi sistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya kerjasama secara terpadu diantara komponen-komponen yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana, mengingat dalam keterpaduan, kegagalan dari salah satu komponen dalam sistem tersebut akan mempengaruhi cara dan hasil kerja dari komponen lainnya. Lebih lanjut menurut Marjono Reksodiputro : [6]
         Keterkaitan dan keterpaduan diantara subsistem-subsistem dalam sistem peradilan pidana bisa dikatakan sebagai bejana berhubungan karena setiap masalah dalam salah satu sub sistem akan menimbulkan dampak pada sub sistem yang lain. Reaksi yang timbul sebagai sebagai akibat, hal ini akan menimbulkan dampak kembali pada sub sistem awal dan demikian selanjutnya terus menerus. Oleh sebab itu, masing-masing komponen harus memiliki pandangan yang sama dan memiliki rasa tanggung jawab baik terhadap hasil kerja sesuai dengan posisinya masing-masing maupun secara keseluruhan dalam kegiatan proses sistem peradilan pidana.

         Sistem peradilan pidana terpadu menempatkan segenap aparat penegak hukum berdasarkan fungsi dan kewenangannya, namun demikian pembedaan yang tegas tersebut tidak berarti menumbuhkan sekat-sekat dalam proses peradilan pidana, akan tetapi lebih dimaksudkan agar aparat penegak hukum memahami dan mengatahui batas-batas fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain bahwa integrasi dari segenap aparat penegak hukum melalui integrated criminal justice system, berarti bahwa diantara aparat penegak hukum memiliki balanced and equal of power untuk menghindari adanya diskriminasi kewenangan lembaga yang akan melemahkan penegak hukum. [7]           
         Barda Nawawi Arief, mengemukakan : [8]
         Sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/diwujudkan dalam empat subsistem, yaitu : kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum, kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system.

         Penyelenggaraan sistem peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti berprosesnya hukum acara pidana. Bekerjanya komponen-komponen tersebut yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerjasama membentuk suatu integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. [9]
         Sudarto menilai pentingnya kesatuan proses tiap-tiap sistem dalam peradilan pidana bekerja sama secara integrated adalah citra kesatuan proses dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana. Hal itu harus merupakan benang sutera yang menelusuri segala fase dari pemeriksaan perkara pidana sejak awal pemeriksaan pendahuluan (penyidikan), sampai akhir proses (pelaksanaan pemidanaan), bahkan sesudah selesainya perjalanan pidana oleh narapidana. [10]
         Muladi menegaskan bahwa integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dibedakan dalam : [11]
         1.      Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum;
         2.      Sinkronisasi substansial (substantial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
         3.      Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

         Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan masing-masing, namun pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana terpadu saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini dapat terwujud jika didukung adanya sinkronisasi dari segi substansi hukum yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif.  Selain itu juga adanya sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana dalam rangka mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare).[12]
         Berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu, maksud kata terpadu tersebut yaitu : [13]
         1.      Kesamaan prosedur subsistem dalam peradilan pidana pada posisi masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ditentukan di dalam undang-undang;
         2.      Kesamaan persepsi, yaitu adanya pemahaman/pengetahuan yang sama antara sub-sub sistem terhadap perkara/kasus yang ada; dan
         3.      Kesamaan tujuan, artinya bahwa sub-sub sistem peradilan harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.                    

         Sistem peradilan pidana dapat berfungsi secara sistematis apabila tiap-tiap unsur dari sistem memperhitungkan unsur-unsur lainnya. Dengan kata lain bahwa sistem itu bukan lagi sistematis melainkan hanyalah hubungan-hubungan antara polisi dan penuntut umum, penuntut umum dan pengadilan atau pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tanpa adanya hubungan fungsional antara unsur-unsur sistem peradilan pidana. Kondisi tersebut sangat rentan terhadap perpecahan dan ketidakefektifan kinerja sistem peradilan pidana. [14]
         Sistem peradilan pidana yang menggunakan pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen dari administrasi peradilan, memerlukan adanya keterpaduan antara unsur-unsurnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem dari peradilan pidana dalam rangka menuju ke arah tercapainya tujuan bersama dalam penanggulangan kejahatan..[15]
         Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan sebagai tujuan dari sistem peradilan pidana, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana diharapkan bekerjasama  membentuk integrated criminal justice system. Salah satu faktor yang menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana adalah ketidakteraturan di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, di mana unsur-unsur sebagai subsistem dalam sistem peradilan pidana yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terlihat bekerja di dalam kotak mereka sendiri jika terjadi konflik satu sama lain.[16]
         Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) mempunyai konsekuensi dan implikasi sebagai berikut : [17]
         1.      Semua subsistem akan saling tergantung (interpendent), karena produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem yang lain.
         2.      Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and cooperation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi dari keseluruhan sistem.
         3.      Kebijakan dan keputusan yang dijalankan oleh satu subsistem akan berpengaruh pada subsistem yang lain.                      

         Oleh karena itu, sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, sebagai berikut : [18]
         1.      Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagaln masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
         2.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan
         3.      Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memerhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.                               

         Kenneth Peak mengemukakan, bahwa sistem peradilan pidana terpadu yang ideal harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut : [19]
         1.      Adanya peraturan dan standar fasilitas serta perlakuan yang sama untuk situasi yang berbeda berupa peraturan tertulis sebagai dasar hukum dalam bertindak masing-masing sub sistem.
         2.      Adanya diferensiasi fungsional yang memastikan kemampuan dari tiap-tiap sub sistem untuk mencegah terjadinya kekuasaan atau kewenangan yang berlebihan dan memperjelas batas-batas tanggung jawab dari masing-masing sub sistem.
         3.      Adanya koordinasi dari tiap-tiap sub sistem untuk memastikan bahwa tiap-tiap sub sistem saling mendukung terhadap sub sistem lainnya.
         4.      Adanya keahlian yang dimiliki oleh tiap-tiap sub sistem yang diperoleh dari latihan-latihan khusus.
         5.      Adanya mekanisme kontrol terhadap masing-masing sub sistem dan juga terhadap keseluruhan fungsi sistem peradilan pidana terpadu.

         Muladi menyetujui pandangan Hiroshi Isikawa, karakteristik yang dijadikan dasar untuk memodifikasi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) menggunakan indikator-indikator sebagai berikut : [20]
         1.      Clearance rate yang relatif tinggi. Dalam hal ini terdapat dua variable yang sangat berpengaruh yakni (1) Police efficiency (well trained, well disciplined and well organized police force); dan (2) citizens  cooperation with law enforcement.
         2.      Conviction rate yang relatif juga cukup tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah precise justice yang bertumpu pada substantial thruth. Konsep ini hanya dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh uniformly as well as highly trained professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and minuto fact finding and minuto fact finding justice, similar to precision machine tools. Dalam hal ini yang penting tidak hanya the degree of proff of substantial truth, tetapi juga the degree of repentance. Nampaknya masalah pendidikan terpadu para penegak hukum dalam hal ini perlu diperhatikan, sebab apabila berbicara dalam konteks sistem, maka tidak hanya setiap individu harus bekerja dengan baik dan penuh inisiatif, tetapi harus tercipta koordinasi satu sama lain secara efisien dan efektif, dalam pendidikan terpadu secara bersama- sama inilah akan tercipta saling pengertian satu sama lain, saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang berbeda.
         3.      Speedy disposition atau yang sering dinamakan national policy in favour of criminal justice administration. Ishikawa menyatakan bahwa delay of justice us denied of justice.
         4.      Rehabilitation minded sentencing policy. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa prinsip yakni cukup tingginya penerapan sanksi alternatif selain pidana kemerdekaan (pidana bersyarat, denda), disparitas pidana yang tidak benar, perhatian yang memadai terhadap korban kejahatan, adanya tujuan pemidanaan yang jelas dan sebagainya.
         5.      Relatif kecilnya rate off recall to prison(reconviction rate).                    

                        Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu, maka diperlukan aspek-aspek penting, yaitu : 1). Koordinasi, berarti hubungan fungsional antara segenap penegak hukum yang dilakukan baik dalam bentuk kerjasama maupun pengawasan dalam setiap tahap-tahap peradilan pidana sesuai dengan kewenangannya masing-masing, 2). Profesionalitas, berarti kemampuan aparat penegak hukum untuk memahami rumusan perundang-undangan pidana yang abstrak yang akan dikonkritkan ketika menangani perkara pidana sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Adapun ukuran profesional yaitu pengetahuan ilmu hukum, wawasan hukum dan keterampilan teknis hukum, dan 3). Integritas, berarti kejujuran, independensi dan kewibawaan yang berhubungan langsung dengan moralitas aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai yang diberikan oleh undang-undang sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. [21]



* * *


            [1] Marwan Efendy, Sistem Peradilan Pidana ; Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta : Referensi, 2012, Hlm iii.
            [2] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, Hlm 90.
            [3] Moh. Hatta, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi), Yogyakarta : Galang Press, 2008, Hlm 47-48.
            [4] Sukarton Marmusudjono, Penegakan Hukum di Negara Perancis, Jakarta : Pustaka Kartini, 1989, Hlm 30.
            [5] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, Hlm 1.
            [6] Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi Pertama, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994, Hlm 89.
            [7] Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana ; Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan, Jakarta : Kencana, 2014,  Hlm 164.
            [8] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta : UII Pres, 2011, Hlm 33-34.
            [9] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000, Hlm 23-24.
            [10] Sudarto, Uraian-Uraian Pokok Permasalahan dalam Seminar Kriminologi, ke-IV, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : 1980, Hlm 14.
            [11] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan II Revisi, Bandung : Bina Cipta, 1996, Hlm 17.
            [12] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 35.
            [13] Ibid, Hlm 36.
            [14] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000, Hlm 31.
            [15] Kadri Husin dalam M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1991, Hlm 24.
            [16] Topo Santoso, Op cit, Hlm 23-24.
            [17] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 38.
            [18] Marjono Reksodiputro dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2011, Hlm 3-4.
            [19] Rusli Muhammad, Op cit, Hlm 37.
            [20] [20] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, Hlm 5-6.
            [21] Ruslan Renggong, Op cit,  Hlm 169-190