Kamis, 28 April 2016

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN NEGARA HUKUM

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN NEGARA HUKUM


           Pemikiran negara hukum merupakan gagasan bentuk negara ideal yang selalu diidam-idamkan oleh manusia agar diwujudkan dalam kenyataan, meskipun manusia selalu gagal mewujudkan gagasan ini dalam kehidupan nyata. Secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk hidup secara berkelompok dalam suatu tatanan dengan motivasi yang paling umum adalah untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik tersebut diyakini tidak mungkin dinikmati berdasarkan usaha masing-masing individu sebab jika manusia hidup diluar ikatan negara, manusia akan cenderung memikirkan kepentingan diri sendiri, sehingga akan muncul konflik antar individu yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi kehidupan sehingga kehidupan yang lebih baik akan semakin jauh dari kenyataan. Oleh sebab itu bentuk kehidupan bersama dalam ikatan suatu negara dipandang sebagai jalan keluar, sebab negara akan melakukan pengaturan terhadap individu-individunya untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik antara individu tersebut, serta dapat mewujudkan cita kehidupan bersama yang berkembang menjadi cita negara (staatside) dalam suatu tatanan kehidupan negara. [1]
        Pemikiran negara hukum adalah gagasan mengenai suatu bentuk negara yang lahir sebagai hasil peradaban manusia dari proses dialektika dan sebagai anti tesis suatu proses pergumulan manusia terhadap kesewenang-wenangan penguasa (raja), sehingga ide negara hukum mengandung semangat revolusioner yang menentang kesewenang-wenangan penguasa. Sebagai produk sejarah, hakikat negara hukum berkembang secara dinamis seiring perkembangan kehidupan manusia dan perubahan zaman yang terjadi. Ide negara hukum masih tetap relevan bagi kehidupan manusia sampai sekarang sebab pemikiran negara hukum mengandung semangat yang selalu relevan dan penting bagi kehidupan manusia sepanjang masa, yaitu semangat menentang kesewenang-wenangan penguasa yang terjadi, dan dapat memberikan pemandu yang memberikan inspirasi dan dorongan semangat menentang kesewenang-wenangan pengusa demi mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik. [2]
      Perkembangan negara hukum merupakan produk dari perkembangan sejarah yang terus mengikuti kehidupan manusia. Akar terjauh awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno yang mendapat perhatian dari kalangan intelektual dan para pemikir terutama yang dikembangkan oleh para filsuf besar seperti Scorates, Plato dan Aristoteles. [3] Ide negara hukum klasik sudah dikenal sajak 2.500 tahun yang lalu atau sekitar 500 tahun sebelum masehi. Kelahiran ide negara hukum dimulai pada zaman Yunani Kuno oleh Scorates yang mengemukakan bahwa tugas negara adalah menciptakan hukum yang dilakukan oleh pemimpin atau penguasa yang dipilih secara seksama dan demokratis oleh rakyat. Hukum yang telah dibuat oleh penguasa wajib untuk ditaati oleh setiap warga negara dan penguasa dalam negara (polis). [4]
          Pemikiran Scorates kemudian dilanjutkan oleh Plato sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi dan keadaan negara kota Athena pada zamannya, di mana raja yang berkuasa di negara kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Bentuk negara ideal menurut Plato sebagaimana dikemukakan dalam karyanya berjudul Politea (The Republic), penguasa yang memerintah seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam ilmu pengetahuan terutama ilmu pemerintahan, sehingga penguasa dapat memimpin dengan baik agar mencapai kesejahteraan bersama. Adapun penguasa yang dapat menguasai pengetahuan untuk memerintah dengan arif dan bijaksana adalah penguasa yang telah menguasai ilmu filsafat (filsuf), oleh sebab itu, menurut Plato, tipe ideal seorang penguasa adalah seorang filsuf. Sebagai seorang filsuf, penguasa merupakan orang terpilih secara moral dan pengetahuan sehingga dianggap tidak mungkin menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya. Namun, gagasan tersebut tidak pernah dilaksanakan sebab tidak memungkinkan untuk mencari penguasa yang sempurna yang bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi, sehingga mendorong Plato beranjak kepada gagasan negara ideal yang kedua sebagaimana dalam karyanya Politicos (The Stateman) yang memberikan perhatian terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara, dan dalam karya selanjutnya yaitu Nomoi (The law) Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik diatur oleh hukum yang tidak semata-mata bertujuan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara. [5]
        Gagasan negara hukum Plato kemudian dikembangkan oleh muridnya yakni Aristoteles yang mengemukakan bahwa tujuan negara adalah kebaikan yang tertinggi bagi semua warga negara. Bentuk negara yang ideal menurut Aristoteles tersebut ditentukan berdasarkan kriteria tertentu yang berpatokan pada jumlah orang yang memegang kekuasaan dan tujuan pemerintah untuk kepentingan umum. Atas dasar kriteria tersebut, Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara ideal yaitu monarki, aristokrasi dan politea. Bentuk negara monarki dipimpin oleh filsuf sebagai penguasa idaman, negara aristokrasi dipimpin oleh sekelompok orang yang baik yang akan memimpin negara demi kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan. Kedua bentuk negara tersebut sulit untuk diwujudkan sehingga bentuk negara ideal ketiga diajukan oleh Aristoteles yakni Politea, merupakan pemerintahan yang berdasarkan konstitusi dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh warga negara, di mana hukum berlaku bagi baik bagi penguasa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan juga bagi rakyat yang diperintah. Sebagai sumber kekuasaan, hukum tidak hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang tertinggi, tetapi juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara. [6]
         Perkembangan negara hukum kembali muncul pada abad ke-17 dan 18 di Eropa Barat yang dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi kesewenang-wenangan penguasa (raja) yang absolut dan tanpa batas yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat sehingga mendorong para ahli pikir untuk menggagas suatu bentuk negara yang ideal yang dapat mencegah pemerintahan yang sewenang-wenang dan menindas rakyat. John Locke melalui karyanya Two treaties of civil Goverment mengemukakan pandangan revolusioer yang bertentangan dengan doktrin yang berlaku umum yaitu gagasan persamaan kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan, di mana doktrin yang dominan pada saat itu tentang kedudukan raja-raja di Inggris yang lebih tinggi dari rakyat, sehingga penguasaan raja atas rakyat dianggap sebagai sesuatu yang sudah sesuai dengan kodrat manusia. Dalam karyanya Two treaties of Civil Goverment, John Locke memberikan pernyataan : [7]
         “...tidak ada orang yang lebih berkuasa daripada yang lain, tidak yang lebih jelas nyata daripada bahwa mereka adalah makhluk-makhluk dari spesies-spesies dan peringkat yang sama, yang lahir dari perkawinan dengan siapa pun juga untuk menikmati manfaat alam yang sama, dan penggunaan daya-daya kemampuan yang sama. Maka, mereka harus sederajat yang satu terhadap yang lain, tanpa yang satu di bawahkan atau ditundukkan oleh yang lain...”
        
        Pemikiran yang dikemukakan oleh John Locke tentang persamaan kedudukan bertujuan untuk menentang doktrin kedaulatan Tuhan yang dikemukakan oleh Robert Filmer yang memberikan dasar pembenar kepada keluarga raja-raja Inggris bahwa mereka merupakan ahli waris tuhan sehingga berhak memegang dan mewarisi tampuk kekuasaan. Doktrin ini memberikan hak-hak istimewa kepada keluarga raja dan keturunannya untuk mewarisi tahta kerajaan, dan orang lain yang bukan ahli waris tuhan dengan sendirinya tidak berhak atas tahta kerajaan sehingga tidak mungkin menjadi raja. Jhon Locke juga mengemukakan bahwa untuk membatasi kekuasaan penguasa agar hak asasi warganya terlindungi, kekuasaan (tugas negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan), yaitu kekuasaan legislatif yang meliputi membuat peraturan-peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan peraturan-peraturan, dan kekuasaan federatif meliputi yang tidak termasuk lapangan kekuasaan yang terdahulu, yang masing-masing terpisah satu sama lain. [8]
      Pemikiran tentang negara hukum di Eropa Kontinental selanjutnya di kemukakan oleh Montesquieu melalui bukunya yang berjudul L’Espirit De Lois yang menguraikan tiga jenis kekuasaan. Perbedaan pemikiran Montesquieu dengan John Locke adalah mengenai kekuasaan yang ketiga yaitu federatif yang menurutnya telah termasuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga kekuasaan pengadilan harus dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan federatif.[9] Pemikiran  Montesquieu ini dikenal dengan istilah Trias politica (Tiga cabang kekuasaan), Ajaran Montesquieu menghendaki pemisahan cabang kekuasaan negara menjadi tiga cabang dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing yaitu cabang kekuasaan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, cabang kekuasaan eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudisial yang berfungsi untuk menindak semua pelanggar undang-undang. Montesquieu yang menyatakan : [10]
         Tidak ada kebebasan jika kekuasaan yudisial tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif, kehidupan dan kebebasan warga negara akan diperhadapkan pada pengawasan yang sewenang-wenang karena hakim menjadi pembentuk undang-undang. Jika kekuasaan yudisial bersatu dengan kekuasaan eksekutif, hakim akan berperilaku jahat dan kejam.

     Berdasarkan pemikirannya tersebut Montesquieu berpendapat bahwa apabila kekuasaan dipisahkan secara tegas menjadi tiga yaitu kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakan sistem pemerintahan yang absolutisme. [11]
      Pemikiran tentang negara hukum lainnya dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau dalam bukunya berjudul contract social dikenal dengan konsep kedaulatan rakyat, membatasi kekuasaan raja (penguasa) dan menentang absolutisme. Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai individu yang memiliki otonomi etis. Kebebasan bagi individu ini adalah dasar ontologi hidupnya yang kemudian tunduk pada aturan hukum sebagai kemauan dan kepentingan bersama.[12] Menurut Rouseau dalam keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat yang tidak bisa terus dipertahankan dan diakhiri dengan kontrak sosial sehingga keadaan alamiah beralih ke keadan bernegara (status civilis). Penguasa sebagai pimpinan dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat yaitu rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya (volonte generale). Konstruksi perjanjian masyarakat menghasilkan bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui kemauan umumnya, negara demokratis di mana penguasa negara hanya merupakan wakil rakyat. [13]
      Pemikiran tentang negara hukum terus berkembang di Eropa Kontinental. Salah satu tokohnya adalah Imanuel Kant yang dalam pandangannya bahwa negara bertujuan untuk menjamin kedudukan hukum dari setiap individu dalam masyarakat, dan untuk mewujudkan tujuan tersebut negara harus membuat pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selanjutnya Kant menyatakan bahwa negara hanya bertugas untuk menyelenggarakan ketertiban masyarakat dan sama sekali tidak diperkenankan turut campur tangan dalam urusan sosial dan ekonomi, negara hanya bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat sehingga dikenal dengan istilah negara penjaga malam. [14]
       Negara hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) atau disebut juga negara hukum liberal yang terdiri dari dua unsur yakni perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan. Tugas yang harus dijalankan oleh negara adalah memelihara ketertiban dan ketentraman, sedangkan urusan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dianggap merupakan urusan masing-masing individu. Ketertiban dan ketentraman perlu dijaga oleh negara agar masing-masing individu dapat melaksanakan aktivitas dengan aman dalam kehidupannya. Ide negara hukum liberal ini diperjuangkan oleh golongan liberal dengan motif ekonomi supaya pemerintah tidak ikut campur dalam kehidupan individu, sehingga setiap individu dapat melaksanakan aktivitasnya di bidang ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. [15]
     Pemikiran negara hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) atau negara hukum liberal kemudian berkembang menjadi negara hukum formal disebabkan kegagalannya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam ide negara hukum formal yang dipelopori oleh Julius Stahl, masih tetap mempertahankan unsur-unsur negara hukum liberal dengan menambahkan unsur lain sebagai pelengkap dengan tujuan untuk lebih dapat memberikan jaminan kebebasan dan perlindungan kepada individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa, sekaligus membuka peluang yang terbatas kepada penguasa untuk turut campur dalam kehidupan individu. [16]
         Negara hukum formal memberikan kewenangan dan keleluasaan bertindak yang lebih besar kepada negara dibandingkan dengan negara hukum penjaga malam (nachtwachterstaats) yang tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk ikut campur tangan dalam kehidupan individu dalam bidang perekonomian yang dianggap sebagai kebebasan individu. Namun kebebasan dalam mengurusi urusan individu dalam negara hukum formal dibatasi oleh undang-undang, artinya bahwa negara tidak boleh melakukan sesuatu tindakan tanpa didasari oleh undang-undang sehingga menciptakan kepastian hukum serta terhindar dari tindakan negara yang sewenang-wenang demi perlindungan hak-hak asasi manusia yang berdasarkan asas legalitas. Perubahan lain dari negara hukum formal yaitu adanya peradilan administrasi yang tidak dikenal dalam negara hukum penjaga malam karena tidak mempunyai urusan dengan kehidupan individu yang berpotensi melanggar hak-hak individu, lain halnya dengan negara hukum formal, di mana negara memiliki kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan individu sehingga terbuka peluang timbulnya konflik antara individu dan negara ketika menjalankan kewenangannya.[17]
       Dalam perkembangannya, negara hukum formal telah gagal mengikuti perkembangan masyarakat sebagai akibat penerapan asas legalitas yang sempit (wetmatig) sangat terikat pada undang-undang yang digunakan oleh pemerintah sebagai landasan atau pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena pembentuk undang-undang terlambat untuk menbentuk undang-undang sesuai dengan perkembangan masyarakat, pemerintah akan kesulitan dalam menanggapi perkembangan-perkembangan tersebut, untuk itu perlu kehadiran suatu bentuk negara hukum ideal yang lebih luwes dan populis dengan tetap memberikan kepastian hukum secara relatif yaitu negara hukum material yang mempunyai tugas-tugas pemerintahan yang semakin kompleks dan luas, tidak hanya berurusan dengan masalah pemberian jaminan dan perlindungan kepada individu, tetapi juga meliputi berbagai aspek dalam bidang kehidupan dalam mencapai tujuannya yaitu memberikan kesejahteraan kepada segenap masyarakat, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya negara diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak dengan tetap berpedoman kepada asas legalitas yang luwes dan luas (rechtmatig) jika dibandingkan dengan asas legalitas yang sempit dan kaku (wetmatig) dalam negara hukum formal serta didukung oleh asas diskresi (freis ermessen) dalam mewujudkan tujuan kesejahteraan umum. [18]
       Negara hukum material dalam perkembangannya sebagai negara hukum moderen. Berbeda dengan konsep negara hukum versi Kant dan Julius Stahl, negara hukum moderen mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, dengan lingkup tugas negara yang sangat luas, selain menjaga keamanan dalam arti seluas-luasnya, yaitu keamanan sosial dan ekonomi di semua bidang kehidupan masyarakat, juga mempunyai tugas membangun kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga peran negara menjadi sangat besar dan luas dalam kehidupan masyarakat atau kepentingan umum. [19]
         Negara hukum moderen juga diartikan sebagai negara kesejahteraan (welfare state) berarti negara berperan aktif untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum yang di dalamnya juga berperan untuk menjaga ketertiban dan keamanan rakyatnya. Peran aktif negara dalam menjalankan kesejahteraan umum antara lain dilakukan untuk memberikan pelayanan umum (public service) dalam rangka menjalankan tujuan negara yakni untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.[20] Negara kesejahteraan berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum (welvaarsstaat atau verzorgingsstaat) sekaligus merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggung jawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. [21]

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang : Bayu Media, 2005.
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung : Mandar Maju, 2012.
Bernard L. Tanya et all, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2013.
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2010.
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, Bandung : Refika Aditama, 2012.
S.F Marbun, Peradilan Admistrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 2008.
Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila,    Bandung : Refika Aditama, 2015.


            [1] Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2010, Hlm 1-6.
            [2] Ibid, Hlm 9.
            [3] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung : Mandar Maju, 2012, Hlm 2.
            [4] Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 2008, Hlm 14.
            [5] Hotma P. Sibuea, Op cit, Hlm 10-14.
            [6] Ibid, Hlm 15-18.
            [7] Ibid, Hlm 22-23.
            [8] A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang : Bayu Media, 2005, Hlm 17.
            [9] Bahder Johan Nasution, Op cit, Hlm 61.
            [10] Hotma P. Sibuea, Op cit, Hlm 25.
            [11] Soehino, Op cit, Hlm 117.
            [12] Bernard L. Tanya et all, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2013, Hlm 79.
            [13] A. Mukthie Fadjar, Op cit, Hlm 18-19.
            [14] Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Bandung : Refika Aditama, 2015, Hlm 48-49.
            [15] Hotma P. Sibuea, Op cit, Hlm 22-28.
            [16] Ibid, Hlm 29.
            [17] Ibid, Hlm 31-35.
            [18] Ibid, Hlm 35-45.
            [19] Yopi Gunawan dan Kristian, Op cit, Hlm 53.
            [20] I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, Bandung : Refika Aditama, 2012, Hlm 121.
            [21] S.F Marbun, Peradilan Admistrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, Hlm 166-167.