Kamis, 15 November 2018

TEKNIK PENYIDIKAN KHUSUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA


Teknik Penyidikan Khusus Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika

         Tahapan awal dari proses hukum acara pidana di beberapa negara seperti di Belanda disebut opsporing, sedangkan di Inggris dan Amerika disebut investigation. Sementara di Indonesia, proses awal yang dapat diterjemahkan dari opsporing maupun investigation dalam dua bentuk proses yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penggunaan terminologi untuk selidik dan sidik pada dasarnya memiliki pengertian yang serupa yaitu meneliti lebih jelas tentang suatu peristiwa, namun pengaturannya memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, baik tujuan maupun pihak yang melaksanakannya. [1]
         Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan karena adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat berasal dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. [2]
         Sasaran atau target penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [3]
         Berkaitan dengan sasaran penyidikan tersebut, penyidikan tindak pidana Narkotika selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam undang-undang tindak pidana khusus seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan pengaturan tentang teknik penyidikan khusus dalam proses penanganan tindak pidana narkotika. Teknik penyidikan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Penyadapan
         Pengertian Penyadapan menurut Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, sebagai berikut :
         Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.

         Dalam penjelasan penjelasan Pasal 75 huruf (i) undang-undang narkotika menjelaskan sebagai berikut :
         Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.

         Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain:
         a.      Pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
         b.      Pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
         c.      Intersepsi internet;
         d.      Cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
         e.      CCTV (Close Circuit Television);
         f.       Pelacak lokasi tersangka (direction finder).

         Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan tekonologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal. Untuk melumpuhkan dan memberantas jaringan/sindikat narkotika dan perkursor narkotika maka sistem komunikasi dan telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut. [4]
         Ketentuan lebih lanjut mengenai penyadapan diatur dalam Pasal 77 dan 78 , sebagai berikut :
         Pasal 77 :
         (1).    Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
         (2).    Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
         (3).    Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
         (4).    Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

         Pasal 78 :
         (1).    Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus  melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
         (2).    Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

         Penyadapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras membicarakan masalah narkotika illegal. Untuk dapat melakukan tindakan tersebut, penyidik sebelumnya harus sudah mengetahui atau mendapat informasi terlebih dahulu bahwa ada seseorang yang terlibat dalam kegiatan peredaran atau penyalagunaan gelap narkotika guna mendengar langsung maupun merekam suaranya yang dapat dijadikan sebagai barang bukti dalam sidang di pengadilan. [5]                           


2.      Teknik Pembelian Terselubung (Under cover buy)
         Teknik pembelian terselubung pertama kali diatur  dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yakni pada Pasal 75 huruf (j) yang memberikan pengaturan tentang kewenangan penyidik untuk melakukan teknik pembelian terselubung dalam menangani tindak pidana narkotika. Namun dalam undang-undang tersebut secara eksplisit tidak memberikan pengertian yang jelas tentang teknik pembelian terselubung (under cover buy). Dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika hanya mengatur bahwa dalam pelaksanaan teknik pembelian terselubung dilakukan atas perintah tertulis dari pimpinan.  
         Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, teknik pembelian terselubung (undercover buy) telah dikenal sebagai suatu metode yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani tindak pidana narkoba yang sulit dalam pengungkapannya. Teknik pembelian terselubung telah mendapatkan pengaturan dalam Petunjuk Lapangan (Juklap) Kapolri Nomor Polisi : Juklap/04/VIII/1983 tentang taktik dan dan teknik pembelian narkoba. Dalam Juklap tersebut dijelaskan pengertian teknik pembelian terselubung sebagai berikut :
         Pembelian terselubung atau undercover buy adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkoba, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung), atau pejabat lain yang diperbantukan kepada polisi (di bawah selubung), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual-beli narkoba, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut, si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan dengan supply narkoba dapat ditangkap beserta barang bukti yang ada padanya.

         Menurut penafsiran gramatikal, pembelian terselubung dapat diuraikan yaitu pembelian berarti suatu keadaan di mana salah satu pihak membeli dari pihak yang lain (penjual), dan terselubung berarti tersembunyi atau tersamarkan dari kedudukan/posisi yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian pembelian terselubung yang dimaksud dalam pasal 75 huruf (j) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berarti tindakan salah satu pihak (penyidik) dengan melakukan penyamaran sebagai pembeli untuk melakukan pembelian narkotika dengan pihak penjual narkotika (bandar/pengedar) yang menjadi sasaran penyidikan. [6]
         Penggunaan teknik pembelian terselubung dalam penanganan tindak pidana narkotika diatur dalam Surat Keputusan Kapolri (Skep) Nomor : Skep/1205/IX/2000 tentang revisi himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan tindak pidana ; Buku petunjuk lapangan tentang penyidikan,  bahwa sebelum melakukan pembelian terselubung (under cover buy), harus diawali dengan beberapa tindakan yaitu observasi (peninjauan), surveillance (pembuntutan), under cover agent. Mengenai tata cara pelaksanaan under cover diatur dalam huruf (d) angka 6 Surat Keputusan Kapolri tersebut, dengan tahapan sebagai berikut :
         1.      Melakukan pendekatan pada sasaran yang telah ditentukan, apabila ada hambatan untuk pendekatan langsung, dapat melalui orang lain;
         2.      Setelah berhasil kontak dengan sasaran, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan untuk menumbuhkan kepercayaan dari sasaran dengan menyebarluaskan cerita samaran di lingkungan sasaran. Pilih tempat tinggal, tempat hiburan dan tempat kerja yang dapat digunakan untuk mengamati kegiatan sasaran, baik langsung maupun tidak langsung;
         3.      Dalam hal petugas melaksanakan kegiatan under cover telah berada dan berhasil diterima di lingkungan sasaran, maka sebelum mengumpulkan bahan keterangan yang diperlukan, ia harus segera adaptasi dan bertindak hati-hati, dengan cara :
                  a.      Membatasi pembicaraan agar orang-orang yang ada disasaran lebih aktif berbicara;
                  b.      Berusaha untuk mendengar semua hal yang dibicarakan oleh sasaran;
                  c.      Gunakan kesempatan untuk mengadu domba antar anggota dari sasaran yang diselidiki;
                  d.      Anggaplah orang-orang yang berada di sasaran memiliki pengetahuan yang sederajat dengan petugas;
                  e.      Perhatikan dengan seksama apa yang tampak di sekitar tempat sasaran dan kegiatan-kegiatan apa yang tengah/akan berlangsung diingat tanpa mencatat;
                  f.       Usahakan agar percakapan terus berlangsung, tanpa banyak pertanyaan, sebab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menimbulkan kecurigaan;
                  g.      Jangan sampai terpengaruh terhadap hal-hal negatif yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sasaran dengan memberikan alasan yang logis yang dapat diterima sasaran;
                  h.      Petugas harus mampu dan menguasai tentang segala hal yang berkaitan dengan cover, baik cover name/cover job, maupun cover story;
                  i.       Jangan bersikap dan bertindak yang dapat menimbulkan kecurigaan dalam lingkungan orang-orang yang ada di sasaran;
                  j.       Melakukan pengamatan secara cermat dan teliti yang diharapkan dapat memperoleh bahan keterangan lain;
                  k.      Setiap kegiatan dilakukan sedemikian rupa sehingga kontak  dengan pelindung/markas tetap dalam kerahasiaan tetap terjamin;
                  l.       Komuniksi terhadap kawan supaya menggunakan tanda-tanda atau gerakan tubuh tertentu atau rahasia yang mudah dipahami atau dimengerti.                                          

                  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan under cover diatur dalam huruf (d) angka 7 Surat Keputusan Kapolri (Skep) Nomor : Skep/1205/IX/2000 tentang revisi himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan tindak pidana ; Buku petunjuk lapangan tentang penyidikan, sebagai berikut :
                  a.      Dalam hal petugas yang melaksanakan under cover tidak berhasil melapor pada waktu dan tempat yang telah ditentukan/diatur, pimpinan memerintahkan kepada petugas lain untuk mengadakan pengecekan untuk mengetahui situasi dan kondisi petugas yang melakukan under cover;
                  b.      Jika karena situasi terpaksa melibatkan diri dalam suatu perbuatan tindak pidana, maka kegiatan tersebut harus sepengetahuan dan persetujuan dari pimpinan;
                  c.      Hindarkan penggunaan informan yang didasari dengan pamrih, seperti :
                           i.       Membantu petugas Polri karena ingin diberi upah/imbalan berupa uang;
                           ii.      Rasa dendam terhadap sasaran atau perbuatan dan keadaan-keadaan yang pernah merugikan atau menyakiti hatinya.

3.      Teknik Penyerahan yang diawasi (Controlled Delivery)
         Demikian halnya dengan teknik pembelian terselubung (under cover buy), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika juga tidak memberikan penjelasan tentang pengertian penyerahan yang diawasi (controlled delivery). Penyerahan yang dikendalikan (controlled dellivery) sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana narkoba dapat dilihat pengertiannya dalam Petunjuk Lapangan  Kapolri Nomor Polisi : Juklap/ 03/ VIII/1993 tentang taktik dan teknik penyerahan narkoba yang dikendalikan (controled delivery), disebutkan bahwa:
         Penyerahan yang dikendalikan (controlled dellivery) adalah suatu  teknik khusus dalam penyidikan kejahatan narkoba tahap penyelidikan dan terjadi penangguhan/ penangkapan/penahanan/pensitaan, barang bukti, dimana seorang tersangka yang mau bekerja sama dengan polisi atau informan atau pejabat lain (undercover agent) dibenarkan/narkoba tersebut pada penerimanya, dengan maksud pada saat penerimaan dapat ditangkap orang-orang yang terlibat kejahatan narkoba beserta barang buktinya.                                                                      
         Menurut penafsiran gramatikal, penyerahan yang diawasi, berarti penyerahan yaitu keadaan di mana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain, dan diawasi berarti dilakukan dengan pengawasan. Sehingga penyerahan yang diawasi sebagaimana diatur dalam Pasal 75 huruf (j) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, berarti suatu keadaan seseorang (bandar/pengedar) narkotika menyerahkan barang (narkotika) kepada penyidik dengan alasan jual-beli, di mana dalam penyerahan narkotika tersebut berada dalam pengawasan penyidik yang sebelumnya telah menjadi sasaran penyidikan.[7]

* * *

  
 DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989.
Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009.
Kuffal, HMA, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010.
Sujono, A.R, dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika.
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014.






            [1] Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014, Hlm 69.
            [2] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989, Hlm 123.
            [3] HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010,  Hlm 53.
            [4] A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 155-156.
            [5]   Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009, Hlm 227.
            [6] Swendlie F. Santi, Teknik Penyerahan yang Diawasi  dan Teknik Pembelian Terselubung dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, Jurnal Lex Crimen, Vol. I/No.1/Jan-Mrt/2012, Hlm 26.
            [7] Ibid, Hlm 26.