Senin, 16 Mei 2016

PANDANGAN MONISTIS DAN DUALISTIS TINDAK PIDANA

PANDANGAN MONISTIS DAN DUALISTIS TINDAK PIDANA

         Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku Indonesia saat ini merupakan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie yang berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (KUHP Belanda) yang diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, sehingga peristilahan dan bahasanya berasal dari Bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[1] Istilah tindak pidana berasal dari hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, demikian juga dalam Wetboek van Strafrecht Hindia Belanda (KUHP), namun tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Jika ditinjau dari segi kata penyusunnya, strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Secara literlijik kata straf artinya pidana, kata baar ada dua istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat, dan kata feit digunakan empat istilah yakni tindak, peristiwa, pelanggaran, perbuatan. Atas dasar tersebut, ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah strafbaar feit itu. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum dan menurut pendapat ahli hukum sebagai terjemahan dari  strafbaar feit yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana.[2]
         Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit diperkenalkan oleh pihak pemerintah c.q Depatemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya Undang-Undang tindak pidana korupsi, Undang-Undang tindak pidana Narkotika dan sebagainya. Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku jasmani seseorang. Hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, baik aktif dalam arti melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum, dan juga perbuatan yang bersifat pasif  yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. [3] Sejalan dengan itu, terhadap istilah strafbaar feit, Soedarto menggunakan istilah tindak pidana yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab dengan kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (schuld), dan tidak ada alasan pemaaf. [4]
         Selanjutnya, berkaitan dengan strafbaar feit, juga dikenal istilah delik yang biasa juga biasa disamakan dengan istilah tindak pidana. Istilah delik berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum, bahwa delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. [5]     
         E. Utrecht lebih menganjurkan untuk menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai terjemahan strafbaar feit, karena peristiwa pidana itu meliputi suatu perbuatan (handelen), atau suatu melalaikan (verzium atau nalaten), maupun akibatnya yakni keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu.[6] Hal senada juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dengan menggunakan istilah peristiwa pidana yang pernah digunakan dalam Pasal 14 Ayat 1 UUD Sementara 1950. Secara substantif, istilah peristiwa pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia, maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, suatu kejadian bisa saja merupakan peristiwa alam yang bukan dari perbuatan manusia. [7]
         Terhadap istilah peristiwa pidana pidana, Moeljatno menolaknya dengan alasan, bahwa peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang, hukum pidana tidak melarang matinya orang, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya karena keadaan alam, maka peristiwa itu tidak penting, namun jika matinya ada hubungannya dengan kelakuan orang, barulah peristiwa itu menjadi penting bagi hukum pidana. [8]
         Penolakan yang sama juga diberikan oleh Moeljatno terhadap istilah tindak pidana sebagai definisi dari strafbaar feit. Meskipun kata tindak lebih pendek daripada perbuatan, tapi kata tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak yang tidak begitu dikenal, sehingga dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana, baik dalam pasal-pasalnya, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai kata perbuatan. [9]
         Sebagai terjemahan dari strafbaar feit, Moeljatno lebih memilih menggunakan istilah perbuatan pidana, dengan mengemukakan penjelasan sebagai berikut : [10]
       Perbuatan pidana  adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, atau perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam, bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula yang tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dengan menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret; pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.                   
         Lebih lanjut, Moeljatno menyatakan bahwa istilah perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah Inggris yaitu criminal act, pertama, karena criminal act juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum. Kedua karena criminal act juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (untuk dapat dipidananya seseorang), selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana), orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt).[11]
         Berkaitan dengan definisi dari istilah strafbaar feit itu sendiri, terdapat dua pandangan yang berkembang dalam kalangan ahli hukum pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis adalah pandangan yang menyatukan atau tidak memisahkan antara perbuatan pidana beserta akibatnya di satu pihak, dan pertanggung jawaban pidana di pihak lainnya. Sedangkan pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan serta akibatnya di satu pihak, dan pertanggungjawaban pidana di lain pihak. [12]
         Dengan kata lain bahwa, pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, di mana pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act), dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility). Sedangkan, pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. [13]
         Ahli hukum yang menganut pandangan monistis berdasarkan dari rumusan tindak pidana yang diberikan, sebagai berikut: [14]
         1.      J.E. Jonkers, merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
         2.      Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
         3.      H.J. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum, sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.
         4.      Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.    

         Adapun alasan Simons merumuskan strafbaar feit seperti yang diuraikan di atas, sebagai berikut : [15]
         1.      Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
         2.      Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan
         3.      Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan, atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onfechtmatige handeling.

         Selanjutnya, adalah pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana yang disebut dengan dualistis, dianut oleh  banyak ahli hukum, antara lain sebagai berikut : [16]
         1.      Vos, merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
         2.      R. Tresna, yang menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
         3.      Pompe, dengan merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
                                   
         Lebih lanjut, Pompe memberikan definisi perbuatan pidana menurut hukum positif, sebagai berikut : [17]
         Perbuatan pidana didefinisikan sebagai pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk menegakan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan yaitu melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana.

         Pandangan dualistis juga dianut oleh Hazewinkel-Suringa, dengan mengemukakan pengertian dari strafbaar feit adalah setiap kelakuan perbuatan yang diancam pidana atau dapat berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terdiri dari kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran.[18] Lebih lanjut, Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa perbuatan pidana yaitu suatu kelakuan manusia yang meliputi perbuatan dan pengabaian yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana, kemudian dengan mengabstrakan memenuhi syarat umum melawan hukum, bersalah dan juga dapat dipertanggungjawabkan. [19]
         Di Indonesia, pandangan dualistis dianut oleh ahli hukum antara lain Moeljatno yang kemudian diikuti oleh Roeslan Saleh dan A.Z Abidin. Berdasarkan dari pengertian perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno, sama sekali tidak menyinggung mengenai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karena tidak sepatutnya menjadi bagian definisi perbuatan pidana, apakah inkonkreto yang melakukan perbuatan pidana dapat dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana. [20]
         Pandangan dualistis yang dikemukakan oleh Moeljatno pada pokoknya adalah memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan perbuatan, sedangkan masalah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan adalah persoalan lain. Tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan kepadanya. Dengan kata lain, bahwa walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. [21]
         Sejalan dengan pemikiran Moeljatno di atas, Roeslan Saleh mengemukakan bahwa tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana mempunyai perbedaan, di mana tindak pidana hanya berorientasi kepada perbuatan yang dilarang berdasarkan norma hukum, sedangkan pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada sikap-sikap subyektif yang didasarkan kepada kewajiban hukum seseorang untuk mematuhi hukum. [22] Lebih lanjut, Roeslan Saleh menyatakan bahwa melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. [23]
         Penganut pandangan dualistis selanjutnya adalah A.Z. Abidin, namun berbeda dengan Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana, A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah perbuatan kriminal karena perbuatan pidana merupakan dua kata benda bersambungan yaitu perbuatan dan pidana yang tidak ada hubungan logis antara keduanya.  Dalam pandangannya, A.Z Abidin memisahkan antara actus reus (perbuatan pidana), dan mens rea (pertanggungjawaban pidana), sehingga syarat pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanaan obyektif (actus reus), dan pertanggungjawaban kriminal sebagai syarat pemidanaan subyektif (mens rea). [24]
         Sejalan dengan pandangan Moeljatno, Roeslan Saleh, dan A.Z Abidin di atas, Chairul Huda mengemukakan pendapatnya bahwa pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.[25]
         Pemisahan antara actus reus (perbuatan pidana) sebagai syarat pemidanaan obyektif dan mens rea (pertanggungjawaban pidana) sebagai syarat pemidanaan subyektif penting diketahui oleh penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan, karena surat dakwaan cukup berisi bagian inti (bestandel) delik dan perbuatan nyata terdakwa yaitu actus reus, tidak perlu dimuat dalam surat dakwaan bahwa terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. [26]
         Dengan demikian, bahwa pandangan yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana sesungguhnya untuk mempermudah penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal pembuktian, di mana dalam persidangan, pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban terhadap terdakwa yang sedang diadili. [27] 
***

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya, Jakarta : PT. Sofmedia, 2012.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,, Jakarta : Kencana, 2011.
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014.
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuiah Hukum Pidana I, Bandung : Pustaka Tinta Mas, 1986.
Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran Penyertaan ; Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Kencana, 2014.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Soedarto, Hukum Pidana I, Semarang : Fakultas Hukum Undip, 1990.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2009.





            [1] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011, Hlm 47.
            [2] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm 67-69.
            [3] Teguh Prasetyo, Op cit, Hlm 49-50.
            [4] Soedarto, Hukum Pidana I, Semarang : Fakultas Hukum Undip, 1990, Hlm 48.
            [5] Teguh Prasetyo, Op cit, Hlm 47.
            [6] E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuiah Hukum Pidana I, Bandung : Pustaka Tinta Mas, 1986, Hlm 251.
            [7] Teguh Prasetyo, Op Cit, Hlm 48-49.
            [8] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2008, Hlm 60.
            [9] Ibid, Hlm 60-61.
            [10] Ibid..
            [11] Ibid, Hlm 62-63.
            [12] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya, Jakarta : PT. Sofmedia, 2012, Hlm 121.
            [13] Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2009, Hlm 106-107.
            [14] Adami Chazawi, Pelajaran…, Op cit, Hlm 75.
            [15] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, Hlm 185.
            [16] Adami Chazawi, Pelajaran…, Op cit, Hlm 72-73.
            [17] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014, Hlm 92.
            [18] Ibid, Hlm 93.
            [19] Andi Hamzah, Asas-Asas…, Op cit, Hlm 123.
            [20] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip…, Op cit,  Hlm 91.
            [21] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,, Jakarta : Kencana, 2011, Hlm 6.
            [22] Muhammad Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan Dalam Ajaran Penyertaan ; Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Kencana, 2014, Hlm 19.
            [23] Chairul Huda, Op cit, Hlm 6.
            [24] Andi Hamzah, Asas-Asas…, Op cit, Hlm 122-123.
            [25] Chairul Huda, Op cit, Hlm 15.
            [26] Andi Hamzah, Asas-Asas…, Op cit, Hlm 123.
            [27] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip…, Op cit, Hlm 93.