Kamis, 02 April 2015

SAKSI MAHKOTA DALAM PERADILAN PIDANA


SAKSI MAHKOTA DALAM PERADILAN PIDANA

Secara umum pengertian saksi menurut Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), di atur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Pengertian saksi itu sendiri tidak ubahnya definisi hukum, masih banyak yang mengartikan dari berbagai sudut keilmuan, namun sebagai bahan acuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memberikan rumusan tentang saksi yaitu :
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan  ia alami sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui sendiri suatu peristiwa, atau orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu pidana yang didengarnya, dilihat, atau dialaminya sendiri.
Pengertian saksi berdasarkan  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu :
Saksi yaitu orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang hal-hal yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri atau ia ketahui yang berkenan dengan suatu tindak pidana

Menurut Subekti  (1976 : 83), saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka sidang pengadilan, yang dapat membantu tugas pengadilan yang sedang berperkara.
Suryono Sutarto (1982 : 42), saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Jubair (2003 : 3), memberikan definisi bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Dalam dunia hukum pengertian saksi semakin berkembang, karena orang-orang yang sekedar mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana saja sudah dimasukan kategori saksi sehingga untuk mereka dapat dimintai keterangan. Sebaliknya dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus dikemukakan istilah saksi dan pelapor. Sebagai pelapor tidak diajukan ke persidangan, bahkan menurut undang-undang tersebut mereka wajib dilindungi identitas dan alamatnya, apabila saksi membuka identitas tersebut maka saksi diancam dengan sanksi pidana (Surastini Fitriasih, 2001 : 8).
Pengertian saksi dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengalami perluasan yaitu pelapor. Saksi dalam undang-undang ini biasa juga dikenal dengan istilah informan yaitu orang yang memberikan informasi kepada pihak kepolisian tentang adanya tindak pidana narkotika dan turut membantu pihak kepolisian dalam mengungkap tindak pidana narkotika.
Harkristuti (Surastini Fitriasih, 2001 : 3), menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian keterangan oleh seorang saksi, yaitu :
                  a.      Unreliable witnees
                           Penelitian yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa ada saat-saat dimana saksi dipersuasi untuk menyampaikan keterangan untuk memperkuat posisi Jaksa, terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.

                  b.      Witness as product of bullying and harassment
                           Kemungkinan adanya metode tertentu oleh polisi atau penegak hukum lainnya meminta keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan, yang diajukan dalam jangka waktu yang panjang tanpa jeda yang layak. 

                  c.      Lying witness
                           Tidak menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal yang sebenarnya, walaupun ia ada dibawah sumpah, baik karena ia telah disuap ataupun karena ia di intimidasi pihak tertentu.

                  d.      Silent witness
                           Saksi yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam kasus penyertaan yang melibatkan dirinya.

                  e.      Incompetent witness 
                           Saksi dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat bukti yang sah dipengadilan karena saksi tersebut infant, mental diseas atau mental defect.

f.             Turn-coat witness 
         Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan dengan penasehat hukum. Dibeberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat menarik kembali saksi yang diajukannya sendiri, karena dengan mengajukan saksi berarti ia telah memastikan akan kredibilitas saksi.

Selanjutnya, mengenai istilah saksi mahkota tidak terdapat definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota di definisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi  yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. (Lilik Mulyadi, 2007 : 85-86).
Menurut Loebby Loqman, (1995 : 2), saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. Saksi mahkota dapat di definisikan adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang sama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana saksi tersebut diberikan mahkota.
Sejalan dengan itu, Syaiful Bahkri (2009 : 66), menjelaskan bahwa pada hakikatnya saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa yang kepadanya diberikan suatu mahkota.
M.Yahya Harahap (2005 : 321), memberikan pengertian bahwa saksi makota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama dipengadilan rekannya yang merupakan sesama terdakwa. Keterangannya digunakan sebagai alat bukti kesaksian yang sah secara timbal balik, dimana berkas perkara harus dipisah (di-split).
Saksi mahkota biasanya diajukan oleh penuntut umum jika mengalami kesulitan atau kekurangan alat bukti untuk mencari siapa sesungguhnya pelaku atau untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Saksi mahkota ini biasanya diterapkan untuk suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku, di mana seorang dari mereka dijadikan saksi yaitu sebagai saksi mahkota. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. (Loebby Loqman, 1995 : 5).
Andi Hamzah mengemukakan definisi atau pengertian dari saksi mahkota adalah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, dan diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya). Pengertian ini berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang-undangan yang terdapat dinegara Perancis dan Belanda. Penarikan seorang terdakwa menjadi saksi, terlebih dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya atau bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang dilakukan oleh teman-temannya. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas terdakwa (yang menjadi saksi mahkota) dilakukan setelah hakim memberikan putusan terhadap terdakwa-terdakwa lainnya. (Loebby Loqman, 1995 : 6-7).
Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya di atur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat di dengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka petunjuk tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana      di atur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. (Varia Peradilan, 1990 : 19).
Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. (Varia Peradilan, 1990 : 25).
Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah  karena kurangnya alat bukti. (M. Sofyan Lubis, 2008 : 1).
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana di dasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. (Varia Peradilan, 1990 : 27).
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa  penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995. (Varia Peradilan, 1995 : 5).



 
DAFTAR  PUSTAKA

Buku-Buku   
          Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta.
         Jubair, 2000, Masalah Perilindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana, Karunia, Surabaya.
      Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahnnya, Citra Aditya Bakti, Bandung.
       M.Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.          
          Subekti dan R. Tjiro Soedibia, Kamus Hukum, Pradiya Paramita, Jakarta.
         Suryono Sutarto, 1982, Hukum Acara Pidana Jilid I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
      Surastini Fitriasih 2001, Makalah Ketentuan Mengenai Korban dan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana dan Urgensi Pengaturan Perlindungan Bagi Mereka, Jakarta.
          Syaiful Bakhri, 2009, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta.
      
Peraturan Perundang-undangan   
      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).   
         Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
         Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sumber Lain    
      Loebby Loqman, 1995, ”Saksi Mahkota”, Forum Keadilan Nomor 11.
      M. Sofyan Lubis, 2008,”Saksi Mahkota”
      Varia Peradilan, November 1990, Nomor 62.
      Varia Peradilan, September 1995, Nomor 120.