Senin, 03 Agustus 2015

TINJAUAN TENTANG ANAK DALAM HUKUM PIDANA

Tinjauan Tentang Anak Dalam Hukum Pidana
     
                     Pengertian anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur yang memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini, dapat ditelusuri berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya penafsiran yang mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur aduk sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.[1]
                     Pengertian anak dapat ditinjau dari aspek umur dan kejiwaan. dalam bahasan ini hanya dipaparkan pengertian anak ditinjau dari aspek usia saja, sedang pengertian anak ditinjau dari aspek psikologis tidak diuraikan lebih lanjut, mengingat batas usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauhmana anak bisa dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana. Sebagai gambaran akan diuraikan batasan tentang usia dari berbagai peraturan perundang-undangan.               
                     Dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang telah disetujui Majelis Umum tanggal 20 November 1989, di dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih cepat.[2]
                     Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1 menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[3]
                     Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai umur enam belas tahun. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 menyebutkan belum dewasa adalah mereka yang belum umur mencapai genap 21 tahun dan lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi kedudukannya belum dewasa.
                     Dalam Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
                     Selanjutnya Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Demikian pula Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Apabila perkawinan itu dibubarkan, walaupun belum berumur 21 tahun mereka tidak kembali menjadi anak.
                     Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, merumuskan anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.
                     Pasal 1 sub 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
                     Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
                     Dengan demikian, dari uraian-uraian di atas mengenai batasan usia anak menurut berbagai macam peraturan perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa dalam sistem hukum yang berlaku saat ini tidak ada keseragaman di dalam menentukan batasan usia kedewasaan.
                     Di Indonesia, penentuan batas usia anak dalam kaitan dengan pertanggung jawaban pidana, telah diatur secara eksplisit setelah pada tanggal 19 Desember 1996 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang kemudian diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998 yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.[4]
                     Adapun pengertian anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
                     Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak. Dalam amar putusan menyatakan sebagai berikut :
Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”;

Sehingga, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka batasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat di dilakukan proses hukum adalah anak yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.




            [1] Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan bertindak berdasar Batasan Umur), Gramedia (Jakarta, 2010), hlm : 36.
            [2] UNICEF, Convention on the right on the child..
            [3] Abdurarahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Edisi Pertama, Akademika Presindo (Jakarta, 1992), hlm : 137.
            [4] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers (Jakarta, 2011), hlm : 10.