Selasa, 25 Maret 2014

FILSAFAT HUKUM ALIRAN UTILITARIANISME DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM
ALIRAN UTILITARIANISME


         Aliran Utilitarianisme merupakan reaksi terhadap ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum pada abad ke delapan belas. Jeremy Bentham sebagai penemunya menunjuk banyak dari karyanya pada kecaman-kecaman yang hebat atas seluruh konsepsi hukum alam. Bentham tidak puas dengan kekaburan dan ketidaktetapan teori-teori tentang hukum alam, dimana Utilitarianisme mengetengahkan salah satu dari gerakan-gerakan periodik dari yang abstrak hingga yang konkret, dari yang idealitis hingga yang materialistis, dari yang apriori hingga yang berdasarkan pengalaman. Gerakan aliran ini merupakan ungkapan-ungkapan/tuntutan-tuntutan dengan ciri khas dari abad kesembilan belas. [1] Menurut aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. [2]
         Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.[3] Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. [4] Penganut aliran Utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.

Tokoh-Tokoh Aliran Utilitarianisme
         Adapun tokoh-tokoh penganut aliran Utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748-1783), John Stuar Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1800-1889) yang masing-masing mempunyai pandangan dan pemikiran tentang aliran hukum Utilitarianisme yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Jeremy Bentham (1748-1832)
         Jeremy Bentham yang terkenal sebagai salah seorang tokoh Utilitarianisme hukum, dilahirkan di London pada tahun 1748. Bentham hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi. Revolusi industri dengan perubahan sosial dan ekonomi yang masif yang membuatnya bangkit, juga revolusi di Perancis dan Amerika semua merefleksikan pikiran Bentham. Pemikiran hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David Hume (1711-1776) yang merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana inti ajaran Hume bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang sudah diletakkan Hume tentang asas manfaat. Bentham merupakan tokoh radikal dan pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifiasikan, dan untuk merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Ia merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran kemanfaatan. Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest Happines for the greatest number”[5].

         Dengan kata-kata Bentham sendiri, inti filsafat disimpulkan sebagai berikut : [6]
      Alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan, kesenangan dan kesusahan.  Karena       kesenangan dan kesusahan itu kita mempunyai gagasan-gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia katakan. Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan... perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi pokok studi para moralis dan pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal ini.

         Prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham adalah sebagai berikut : [7]
1.      Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham berbunyi the greatest heppines of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).
2.      Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama.
3.      Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :
         a.    To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
         b.   To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah)
         c.    To provide security (untuk memberikan perlindungan)
         d.    To attain equity (untuk mencapai persamaan)

         Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum yaitu perundang-undangan di mana baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. Sehingga undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Oleh karena itu  diharapkan agar pembentuk undang-undang harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.[8]
         Ajaran Bentham dikenal dengan sifat individualis di mana pandangannya beranjak pada perhatiannya yang besar pada kepentingan individu. Menurutnya hukum pertama-tama memberikan kebahagian kepada individu-individu tidak langsung kemasyarakat. Namun demikian Bentham tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Untuk itu, Bentham mengatakan agar kepentingan idividu yang satu dengan kepentingan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi sehingga individu yang satu tidak menjadi mangsa bagi individu yang lainnya (homo homini lupus). Selain itu, Bentham menyatakan bahwa agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati dengan individu yang lainnya sehingga terciptanya kebahagiaan individu maka dengan sendirinya maka kebahagiaan masyarakat akan terwujud. [9]
         Bentham mendefinisikan kegunaan (utilitas) sebagai segala kesenangan, kebahagiaan, keuntungan kebajikan, manfaat atau segala cara untuk mencegah rasa sakit, jahat, dan ketidakbahagiaan. Beberapa pemikirannya pentingnya yaitu : [10]
         1.   Hedonisme kuantitatif (paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata   secara kuantitatif bahwa hanya ada semacam kesenangan, dimana kesenangan hanya berbeda secara kuantitatif yaitu menurut banyaknya, lama dan intensitasnya sehingga kesenangan adalah bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
         2.   Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik     dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
         3.   Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan   tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yaitu : pertama, intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, kedua, lamanya berjalan kesenangan itu, ketiga, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keempat, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu, kelima, kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya, keenam, kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, ketujuh, kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Disamping itu ada sanksi untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu : sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.
            Kelemahan karya Bentham dikarenakan dua kekurangan, yaitu : Pertama, rasionalitas Bentham yang abstrak dan doktriner, yang mencegah melihat orang sebagai keseluruhan yang kompleks, sebagai campuran materialisme dan idealisme, bangsawan dan golongan rendah, egoisme yang menyebabkan Bentham melebih-lebihkan kekuasaan-kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya menginduvidualisasikan kebijaksanaan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Begitu besar kepercayaannya yang naif akan sifat umum dan prinsip-prinsip kodifikasi ilmiah, sehingga ia bekerja dengan antusiasisme yang sama dan tidak menghiraukan perbedaan-perbedaan nasional dan historis. Kedua, adalah akibat kegagalan Bentham untuk mengembangkan dengan jelas konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan mayarakat. Bentham percaya bahwa kepentingan-kepentingan yang tak terbatas dari individu-individu yang sangat luar biasa banyaknya secara otomatis berakibat bagi kepentingan-kepentingan masyarakat tetapi Bentham tidak menjelaskan mengapa demikian. [11]
         Meskipun filsafat Utilitarianisme hukum Bentham mempunyai kelemahan, namun arti penting pemikirannya dalam sejarah filsafat hukum dapat disimpulkan sebagai berikut :[12]
         1.       Ia menghubungkan dasar pemikiran filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis;
         2.       Ia meletakan individualisme atas dasar materilistis baru;
         3.       Ia menghubungkan hak-hak individu yang tahu diri dan menempatkannya di bawah kebahagiaan sejumlah besar individu-individu dengan tuntutan yang sama yang hidup dalam masyarakat;
         4.       Ia mengarahkan tujuan-tujuan hukum pada tujuan-tujuan sosial praktis, bukannya pada dalil-     dalil yang abstrak.
         5.       Ia meletakkan dasar untuk kecenderungan relitivitas baru dalam ilmu hukum, yang dikemudian    hari disebut ilmu hukum sosiologis dan menghubungkan hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang pasti dan keseimbangan dari pelbagai kepentingan;
         6.       Ia memandang jaminan keamanan sebagai objek hukum yang penting, sebagai fungsi yang           dikembangkan, untuk tidak menghiraukan orang-orang lain, dengan positivisme analitis;
         7.       Ia memberi tekanan pada kebutuhan dan mengembangkan cara pembentukan hukum yang          disadari, dengan kodifikasi melalui pengadilan atau evolusi melalui kebiasaan.

2. John Stuar Mill (1806-1873)
            Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John Stuar Mill. Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia. [13] Mill setuju dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih lanjut, Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia. [14]
         Namun demikian, Mill juga mengkritik pandangan Bentham, Pertama, bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Mill berpendapat bahwa kualitas kebahagiaan harus dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang rendah. Kedua, bahwa kebahagian bagi semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja yang bertindak sebagai pelaku utama, kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. [15]
         Peran Mill dalam teori hukum terletak dalam penyelidikan-penyelidikannya mengenai hubungan-hubungan keadilan, kegunaan, kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan umum. Penyelidikannya tentang sifat keadilan dan hubungannya dengan kegunaan dan memahami bahwa secara tradisional gagasan yang abadi tentang keadilan dan ketidakadilan bertentangan dengan gagasan-gagasan mengenai kegunaan dan kepentingan. Ia dengan tepat mengamati bahwa sebenarnya tidak ada yang lebih tidak tetap dan kontroversial daripada arti keadilan itu sendiri. Mill mencoba mensintesakan antara keadilan dan kegunaan, hubungannya yang mengejutkan yakni rasa adil pada hakikatnya itu berarti perasaan individu akan keadilan yang membuat individu menyesal dan menginginkan membalas dendam kepada setiap sesuatu yang tidak menyenangkannya, hal ini diredakan dan diperbaiki oleh perasaan sosialnya. [16]
         Mill juga menghubungkan keadilan dengan kegunaan umum yang mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Bentham. Tekanannya berubah yakni atas kepentingan individu ke tekanan atas kepentingan umum dan kenyataannya ialah bahwa kewajiban lebih baik daripada hak, atau mencari sendiri kepentingan atau kesenangan yang melandasi konsep hukumnya. Tetapi pertentangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan bersama ditiadakan dalam teorinya dengan mengadu domba naluri intelektual dengan naluri non-intelektual dalam sifat manusia. Kepedulian pada kepentingan umum menunjuk pada naluri intelektual, sedangkan pengagungan kepentingan sendiri menunjuk pada naluri non-intelektual sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama dan menakjubkan dalam meniadakan dualisme antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dan perasaan keadilannya. [17]

3. Rudolf von Jhering (1800-1889)
            Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah Rudolf von Jhering dikenal sebagai penggagas teori Sosial Utilitarianisme atau Interessen Jurisprudence (kepentingan). Teorinya merupakan penggabungan antara teori Bentham dan Stuar Mill dan positivisme hukum dari John Austin. Pusat perhatian filsafat hukum Jhering adalah tentang tujuan, seperti dalam bukunya yang menyatakan bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal usul pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Lebih lanjut Jhering menyatakan bahwa tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum, berdasarkan orientasi ini isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara. [18] Jhering menolak pandangan Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum timbul  dari  jiwa  bangsa  secara   spontan, karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa bangsa, tetapi tidak spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolahan secara rasional dan sistematis, agar menjadi hukum positif. [19] Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Walaupun hukum mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi Jhering menolak pendapat para teoritis aliran sejarah bahwa hukum merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari tetapi hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu. [20]
         Teori hukum Jhering berbasis ide manfaat. Tesis Bentham tentang manusia pemburu kebahagiaan muncul dalam pemikiran Jhering yang menurutnya entah negara, masyarakat maupun individu memiliki tujuan yang sama yakni memburu manfaat. Dalam memburu manfaat itu, seorang individu menempatkan cinta diri sebagai batu penjuru. Tidak seorang pun ketika berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa pada saat yang bersamaan ingin melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Lebih lanjut menurut Jhering, posisi saya dalam dunia bersandar pada tiga proposisi : Pertama, saya di sini untuk saya sendiri, Kedua, dunia ada untuk saya, dan Ketiga, saya disini untuk dunia tanpa merugikan saya. Kemudian selanjutnya Jhering mengintrodusir teori kesesuaian tujuan sebagai jawaban atas kepentingan individu dalam kehidupan sosial. Kesesuaian tujuan atau lebih tepat penyesuaian tujuan ini merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama yakni kemanfaatan. Sehingga hukum berfungsi selain menjamin kebebasan individu untuk meraih tujuan dirinya yakni mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian, hukum juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain. [21]
         Jhering juga mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan mengembangkannya dengan prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan oleh Bentham dan dikembangkan oleh Mill, juga hal tersebut memberi sumbangan penting untuk menjelaskan ciri khas hukum sebagai suatu bentuk kemauan. Jhering mulai mengembangkan filsafat hukumnya dengan melakukan studi yang mendalam tentang jiwa hukum Romawi yang membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum mengabdi tujuan-tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah pengakuan tujuan sebagai prinsip umum dunia yang meliputi baik ciptaan-ciptaan yang tidak bernyawa maupun yang bernyawa. Bagi Jhering tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan yakni kesenangan dan menghindari penderitaan, namun kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama maka terbentuklah masyarakat, negara yang merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama itu. [22] Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah pahala dan manfaat yang biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang bersifat moralistis adalah kewajiban dan cinta. Hukum bertugas menata secara imbang dan serasi antara kepentingan-kepentingan tersebut. [23]
         Keseluruhan keinginan-keinginan tersebut oleh Jhering dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut : [24]
         1.       Di luar hukum (hanya milik alam) yang diberikan kepada manusia oleh alam dengan atau tanpa    usaha manusia (yakni hasil bumi);
         2.       Hukum campuran, yakni syarat-syarat kehidupan khusus untuk manusia. Dalam kategori ini,       kempat syarat-syarat pokok kehidupan sosial yakni perlindungan kehidupan, perkembangan kehidupan, pekerjaan, dan perdagangan. Ini merupakan aspek-aspek khusus dari kehidupan sosial, tetapi tidak tergantung dari paksaan hukum;
         3.       Sebaliknya, syarat-syarat hukum yang murni adalah yang seluruhnya tergantung dari perintah       hukum, seperti perintah untuk membayar utang atau pajak. Di lain pihak, tidak ada undang-undang yang diperlukan untuk hal-hal seperti makan dan minum, atau pembiakan jenis-jenis makhluk.

Kritik terhadap Aliran Utilitarianisme
            Aliran Utilitarianisme merupakan ajarannya yang telah menginspirasi banyak pandangan orang tentang tujuan hukum dan keadilan, namun beberapa hal aliran ini mendapat kritikan. Berkenaan dengan bagaimana hubungan antara individu dengan masyarakat. Aliran ini menekankan bahwa hukum mestilah ditujukan untuk mendatangkan manfaat kepada individu, sehingga individu tersebut akan memperoleh kesenangan dan kebahagian. Lalu, kesenangan dan kebahagian individu tersebut akan menciptakan kebahagiaan dan kesenangan umum secara bersamaan atau menciptakan kebahagiaan dengan sendirinya. Hal ini jelas sebuah doktrin yang tidak begitu bijak dan tidak mungkin diterapkan. Sebab tidak jelas batasan sampai dimana kepentingan individu dan sampai dimana pula batas kepentingan masyarakat.
Permasalahannya adalah pembatasan yang tidak jelas kapan individu mesti membatasi kepentingannya dan kapan pula ia mesti melebur dalam kepentingan bersama. Jika hukum merupakan alat untuk mendatangkan manfaat atau kebahagian yang setinggi-tingginya bagi individu, maka yang akan terjadi adalah persaingan bebas yang tidak menguntungkan bagi semua orang. Tetapi hanya akan menguntungkan individu-individu tertentu yang hanya beberapa orang saja. Persaingan bebas ala Darwinian, dimana mereka-mereka yang belum beruntung jangan berharap akan dapat memperbaiki nasib mereka. Sehingga, kebahagian umum semakin sulit untuk tercipta, disebabkan masing-masing individu mustahil untuk mempunyai perasaan bersimpati dengan individu-individu yang lainnya  dalam sebuah persaingan bebas.
            Demikian juga dalam hal proses pembentukan hukum yang akan dijadikan alat untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri. Pembuat hukum adalah orang-orang yang secara individu merupakan warga negara yang sama dengan warga negara lain dan sama-sama punya keinginan untuk menggapai kebahagiaan individunya. Disisi lain ia adalah orang yang diberikan kuasa untuk membuat hukum. Dalam pembuatan hukum jelas akan terjadi konflik kepentingan. Terjadi dilema antara membuat hukum yang menguntungkan bagi individu-individu mereka yang ada di lembaga legislatif atau individu-individu masyarakat umum. Sebab, tidak ada jaminan bahwa para legislator akan berfikir untuk kepentingan individu masyarakat. Jika pilihannya adalah merumuskan hukum untuk kepentingan individu dan kelompok mereka, lalu bagaimanakah filsafat Bentham akan menjelaskan tujuan hukum yang dirumuskannya tersebut. Pada akhirnya hukum bukannya akan mendatangkan manfaat bagi individu dan masyarakat, malahan akan menjadi alat untuk kepentingan kelompok tertentu dan penguasa untuk mencapai keinginannya tanpa memperhatikan kepentingan dan kebahagiaan masyarakat.

Relevansi Aliran Utilitarianisme Pada Hukum di Indonesia
            Sebelum membahas relevansi aliran Utilitarianisme pada hukum di Indonesia, kiranya terlebih dahulu akan di uraikan kembali prinsip-prinsip aliran Utilitarianisme yang berkeyakinan bahwa hukum mesti dibuat secara utilitaristik. Hukum yang seperti ini dapat dicapai dengan menggunakan seni dari legislasi yang membuat kita bisa meramalkan hal mana yang akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan masyarakat. Aliran ini memperkenalkan kemanfaatan hukum sebagai tujuan hukum yang ketiga, disamping keadilan dan kepastian hukum. Tujuan hukum bukan hanya untuk kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Disamping menyatakan tentang tujuan hukum yang ketiga tersebut, aliran ini juga berbicara tentang keadilan. Penganut aliran ini mendefenisikan keadilan dalam arti luas, bukan untuk perorangan atau sekedar pendistribusian barang seperti pendapat Aristoteles. Adil atau tidaknya suatu kondisi diukur dari seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).
Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum adalah harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara melengkapi kehidupan, mengendalikan kelebihan, mengedepankan persamaan dan menjaga kepastian. Sehingga, hukum itu pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Dalam mencapai tujuan hukum yang telah dirumuskan tersebut peranan proses legislasi sangat menentukan dapat atau tidaknya dicapai tujuan hukum tersebut. Bagaimana setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan memberikan ruang bagi setiap orang untuk mengejar kebahagiaannya. Dalam hal ini, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, legislasi merupakan proses kunci untuk mewujudkan hukum yang dapat mendatangkan manfaat bagi individu. Proses legislasi akan menghasilkan hukum yang akan dipatuhi oleh semua warga negara, termasuk penyelenggara negara sendiri. Hukum inilah nantinya yang akan dijadikan alat untuk memberikan ruang bagi individu mencapai kebahagiaannya.
Di indonesia hingga saat ini berkembang aliran positivisme hukum selama hampir setengah abad lebih undang-undang sebagai hukum negara menjadi hukum utama yang diberlakukan dalam masyarakat. Hukum ini sebagaimana sifatnya memiliki unsur pemaksa dari pembuat dan pelaksana undang-undang. Untuk itu, aliran Utilitarianisme memberikan sumbangsih pemikiran hukum pada hukum, dalam hal ini hukum di Indonesia. Relevansinya itu merupakan salah satu pemikiran yang mengkaji bagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai dan pasti tidak mungkin diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut.
            Melihat keadaan Indonesia yang sedang menuju negara moderen, hal itu dapat dilihat dengan ikut campur tangan negara dalam mengurusi kepentingan masyarakat. Negara berperan aktif mengatur urusan rakyat. Begitu banyak produk hukum yang tercipta untuk mengatur kepentingan warga negara dengan tujuan hukum yang ingin dicapai adalah menjaga kestabilan dan ketertiban hukum. Perkembangan  yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan fungsi-fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara selaku integritas kekuasaan, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsi-fungsinya dengan tujuan yang dicapai. Dalam upaya mencapai hal tersebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan tujuan yang dikehendaki oleh kelompok kelompok sosial maupun kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.
            Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menginplementasikan prinsip aliran Utilitarianisme dalam setiap produk hukum yang ingin dibuat dengan senantiasa mempertimbangkan tujuan hukum kemanfaatan untuk masyarakat. Meskipun kenyataan yang terjadi saat ini pencapaian tujuan hukum modern di Indonesia menurut aliran Utilitarianisme mengarah ke arah yang lebih baik namun dinilai masih kurang efektif. Hal itu dikarenakan negara tidak mungkin bisa menjamin kesehjateraan tiap rakyatnya (tiap indivudu), dan dalam pembentukan hukum masih banyak dipengaruhi oleh kepentingan elit politik atau kepentingan penguasa sehingga hukum tidak dapat  menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dan tidak dapat sepenuhnya memberi kemanfaatan. Olehnya, dalam setiap proses pembentukan hukum kiranya pemerintah dan legislatif lebih mengedepankan tujuan kemanfaatan dan kebahagiaan masyarakat seluruhnya sebagai tujuan utama dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

Penutup
            Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap baik-buruk atau adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan demikian berarti bahwa setiap penyusunan produk hukum (peraturan perundang-undangan) seharusnya senantiasa memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Bernard et all, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2013.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Post-Moderenisme), Jogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011.
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung : PT. Refika Aditama, 2010.
Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2004.
Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2011.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Bandung : Alumni, 1984.
Teguh Prasetyo dan Abdul Alim, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yokyakarta : Pustaka pelajar, 2007.
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Jakarta : Rajawali, 1990.
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.



            [1] W. Friedman, T.eori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Jakarta : Rajawali, 1990, hlm  111.
            [2] Darji Darmodihardjo dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Jogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hlm 159.
            [3] Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm 59.
            [4] Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2011, hlm 179.
            [5] H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung : PT. Refika Aditama, 2010, hlm 44.
            [6] W. Friedman, Op Cit, hlm  112.
            [7] Muh.Erwin,  Op Cit, hlm 180-181.
            [8] Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2004, hlm 64.
            [9] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm, 118.
            [10] Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Bandung : Alumni, 1984, hlm, 118-120.
            [11] W. Friedman, Op Cit, hlm  115-117.
            [12] Ibid, hlm  1119-120.
            [13] H.R. Otje Salman, S, Loc Cit hlm 44.
            [14] Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Hlm 277.
            [15] Muh. Erwin, Op Cit, hlm 183-184.
            [16] W. Friedman, Op Cit, hlm  120.
            [17] Ibid, hlm  121.
            [18] H.R. Otje Salman, S, Loc Cit hlm 44.
            [19] Teguh Prasetyo & Abdul Alim, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2007, Hlm 100.
            [20] Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Loc Cit..
            [21] Bernard et all, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2013, Hlm 98-99.
            [22] W. Friedman, Op Cit, hlm  122-123.
            [23] Bernard et all, Op Cit, Hlm 98-99.
            [24] W. Friedman, Loc Cit.

1 komentar: