Kamis, 08 Desember 2016

POLITIK HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

POLITIK HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

         Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit. Zat-zat Narkotika tersebut memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidup kepada Narkotika tersebut. [1] Untuk mengatasi penyalahgunaan Narkotika yang semakin marak terjadi di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang Narkotika. Adapun pengaturan Narkotika menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia secara historis dapat diuraikan sebagai berikut :             
1.      Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
                  Kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu pada masa penjajahan Hindia Belanda sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama dari golongan menengah khususnya keturunan Cina. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 yang mengatur tentang obat bius dan candu. [2] Verdoovende Middelen Ordonantie bertujuan untuk menyatukan undang-undang obat bius di dalam suatu undang-undang, ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lain yang tersebar dalam 44 (empat puluh empat) undang-undang terpisah atau di luar ketentuan yang mengatur perbuatan mengisap candu sehingga tercipta unifikasi hukum dalam pengaturan Narkotika di wilayah Hindia Belanda. [3]
                  Dengan dikeluarkannya Verdoovende Middelen Ordonantie atau undang-undang obat bius ini oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka penggunaan obat bius dan candu hanya dapat diperbolehkan pada tempat-tempat yang sudah diberikan izin untuk itu. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengontrol penggunaan dan peredaran Narkotika yang semakin marak dan tidak terkontrol mengingat sifatnya yang dapat merusak mental maupun fisik penggunanya.[4] Setelah Indonesia merdeka, Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 masih berlaku, namun sekitar tahun 1970-an, ancaman dari penyalahgunaan Narkotika yang sudah tidak dapat tertanggulangi lagi apabila bersandar pada Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 yang telah tertinggal oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, sehingga terjadi kesenjangan antara Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 dan realitas sosial pada waktu itu, antara lain mengenai jenis-jenis zat Narkotika yang pada saat itu tidak sebanyak yang ditemukan mulai tahun 1970-an, serta belum adanya pengaturan mengenai korban penyalagunaan Narkotika yang mempunyai kecenderungan kecanduan dan ketagihan Narkotika yang membutuhkan terapi, serta perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi ketentuan pidana, Verdoovende Middelen Ordonantie lebih berkisar pada pengaturan administrasi penyimpanan, pengedaran dan penjualan Narkotika, sehingga tidak cocok lagi dengan pola dan modus operadi penyalahgunaan Narkotika yang terjadi pada tahun 1970-an. [5]
                  Demikian halnya, dalam Seminar Kriminologi ke II 1972 yang dilaksanakan di Undip Semarang, menyimpulkan butir-butir permasalahan Verdoovende Middelen Ordonantie yang mempengaruhi penanggulangan Narkotika di Indonesia, sebagai berikut : [6]
                  Bahwa tidak ada atau belum adanya keseragaman mengenai istilah Narkotika secara yuridis, secara umum terasa bahwa sanksi pidana yang ditujukan kepada pengedar gelap, penyimpan dan pembuat yang tidak berhak terlalu ringan. Kesenjangan antara ketentuan materiil undang-undang Narkotika dengan hukum acara pidana. Di samping itu, ditemukan kelemahan dari segi materi undang-undang (V.M.O)  dalam penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar, dan penyimpanan yang terkategorikan sebagai penyalahguna Narkotika. Kemudian belum dimilikinya badan yang berperingkat nasional yang permanen dan mempunyai kewenangan koordinatif nyata dalam penanganan masalah Narkotika. Selanjutnya disinggung pula mengenai terteranya dalam V.M.O mengenai wajib lapor dan pengaturan premi bagi mereka yang berjasa dalam pemberantasan penyalagunaan Narkotika.

                  Atas dasar kelemahan-kelemahan dari Verdoovende Middelen Ordonantie yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka Pemerintah dipandang perlu dalam waktu relatif singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang Narkotika, dan diharapkan bahwa undang-undang tersebut efektif dalam pengimplementasiannya serta tepat sasaran dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan Narkotika. [7]
                  Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juli 1976 untuk menggantikan Verdoovende Middelen Ordonantie. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah :[8]
                  1).     Mengatur jenis-jenis Narkotika yang lebih rinci;
                  2).     Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis Narkotika teresebut;
                  3).     Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasnya;
                  4).     Mengatur semua kegiatan yang menyangkut Narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunaan Narkotika;
                  5).     Acara pidananya bersifat khusus;
                  6).     Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan Narkotika;
                  7).     Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan Narkotika;
                  8).     Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP;
                  9).     Ancaman pidananya lebih berat.
                          
                  Adapun perbuatan-perbuatan terlarang yang dinyatakan sebagai tindak pidana Narkotika dalam undang-undang ini sebagai berikut : [9]
                  1).     Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman kokka, atau tanaman ganja;
                  2).     Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, meracik atau menyediakan Narkotika;
                  3).     Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai Narkotika;
                  4).     Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika;
                  5).     Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar Narkotika;
                  6).     Dilarang secara tanpa hak menggunakan Narkotika terhadap orang lain untuk memberikan Narkotika untuk digunakan orang lain;
                  7).     Dilarang secara tanpa hak menggunakan Narkotika bagi dirinya sendiri.              

2.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
                  Seiring dengan perkembangan waktu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dirasa tidak mampu lagi mengakomodir perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga menyebabkan peningkatan kualitas dari kejahatan Narkotika tersebut yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Di samping itu, Pemerintah Indonesia terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988. [10]
                  Oleh karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Pasal 3  undang-undang ini menyatakan bahwa pengaturan Narkotika bertujuan untuk :
                  1).     Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
                  2).     Mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika; dan
                  3).     Memberantas peredaran gelap Narkotika.

                  Adapun materi baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, adalah pengaturan mengenai penggolongan Narkotika, pengadaan Narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan Narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika. Dalam rangka memberi efek jera psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana Narkotika, ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum. Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang Narkotika.
                  Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, memberikan pengelompokkan terhadap kejahatan Narkotika, sebagai berikut : [11]
                  1).     Menyangkut produksi Narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya mengenai produksi Narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan dalam lingkup mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit dan menyediakan Narkotika;
                  2).     Menyangkut pengangkutan dan transito Narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan mentransito Narkotika. Ada pula tindak pidana yang khusus ditujukan kepada nakhoda dan kapten penerbang karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
                  3).     Menyangkut jual beli Narkotika. Tidak hanya kategori jual beli dalam arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan ekspor, impor, tukar-menukar Narkotika, menyalurkan dan menyerahkan Narkotika;
                  4).     Menyangkut penguasaan Narkotika;
                  5).     Menyangkut penyalahgunaan Narkotika;
                  6).     Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan pecandu Narkotika;
                  7).     Menyangkut label dan publikasi Narkotika;
                  8).     Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana Narkotika.

3).     Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
                  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika, juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif karena tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
                  Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 untuk mengikuti perkembangan tindak pidana Narkotika yang terjadi. Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu :
                  1).     Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
                  2).     Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
                  3).     Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
                  4).     Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.

                  Adapun hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, pengaturan mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika, maupun penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dengan adanya pidana minimum khusus dan pemberatan pidana berupa pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang dijatuhkan berdasarkan pada golongan, jenis dan jumlah Narkotika, pengaturan mengenai penguatan BNN, pengaturan menganai perampasan hasil tindak pidana Narkotika yang digunakan untuk kegiatan pencegahan dan pemberantasan, serta rehabilitasi medis dan sosial, pengaturan mengenai  perluasan teknik penyidikan yaitu teknik penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya, pengaturan mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas Negara, dan pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar Dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009.
Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Moh. Taufik Makaro (et al), Tindak Pidana Narkotika, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor

Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs). 




            [1] Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987, Hlm 3.
            [2] Moh. Taufik Makaro (et al), Tindak Pidana Narkotika, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, Hlm.10.
            [3] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 10.
            [4] A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar Dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 3.
            [5] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 14.
            [6] Ibid, Hlm 126.
            [7] Moh. Taufik Makaro, Op cit, Hlm 12.
            [8] Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003, Hlm 164.
            [9] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 138-139.
            [10]   Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009, Hlm 155.
            [11]   A.R Sujono dan Bony Daniel, Op cit, Hlm 22-23.

Rabu, 02 November 2016

PENGATURAN NARKOTIKA MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

PENGATURAN NARKOTIKA MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL
         Salah satu fenomena sosial yang menonjol dan menarik perhatian Dunia Internasional dewasa ini adalah masalah penyalahgunaan Narkotika. Fenomena sosial tersebut menarik perhatian dunia Internasional tersebut karena dirasakan dengan alasan sebagai berikut : [1]
         Adiksi atau ketagihan obat-obatan Narkotika menimbulkan malapetaka bagi perorangan dan merupakan ancaman bagi kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dan aspek keamanan hidup umat manusia di muka bumi. Mata tiap negara berkewajiban untuk mencegah dan memerangi ancamaman penyalahgunaan Narkotika. Disadari bersama bahwa langkah-langkah penanggulangan yang efektif dalam menanggulangi pernyalahgunaan Narkotika yang mempunyai lintas pengedaran gelap antarbenua, memerlukan adanya koordinasi penanggulangan yang bersifat internasional.

            Adanya kesadaran umum tiap negara dalam menghadapi bahaya penyalahgunaan Narkotika telah mendorong lahirnya konvensi internasional yang diterima secara umum oleh bangsa-bangsa di dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam upaya penaggulangan bahaya Narkotika yang sebelumnya telah berkali-kali mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membahas masalah penyalahgunaan Narkotika. [2] Diawali dengan upaya Liga Bangsa-Bangsa pada Tahun 1909 di Shanghai Cina dengan diselenggarakannya konfrensi mengenai peredaran gelap obat bius, selanjutnya pada persidangan Opium comission (Komisi Opium) dengan menghasilkan traktat pertama mengenai pengawasan obat bius yaitu International Opium Convention (Konvensi Internasional tentang opium) di Den Haag Belanda pada tahun 1912. Di bawah naungan PBB dihasilkan Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 yang kemudian diubah dengan Procotocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 (Protokol 1971 tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961), berikutnya Convention on Psychotropic Substance, 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), dan terakhir adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika, 1988).[3] Dari sejumlah konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang Narkotika, konvensi-konvensi Internasional yang terpenting dalam sejarah pengaturan Narkotika adalah sebagai berikut :
a).     Konvensi Tunggal Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) beserta protokol perubahannya, 1972.
                  Konvensi Tunggal Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) merupakan hasil dari United Nations Confrence for the Adoption of a Single Convention on Narcotic Drugs yang diselenggarakan di New York dari tanggal 24 Januari sampai dengan 25 Maret 1961, dan dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Konvensi ini bertujuan untuk : [4]
                  a.      Menciptakan suatu konvensi Internasional yang pada umumnya dapat diterima oleh negara-negara di dunia ini, dan dapat mengganti peraturan-peraturan pengawasan internasional atas Narkotika yang bercerai-berai di dalam 8 (delapan) buah perjanjian internasional;
                  b.      Menyempurnakan cara-cara pengawasan Narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan;
                  c.      Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai.

                  Konvensi Tunggal Narkotika 1961 terdiri dari 51 Pasal yang berisi pelbagai ketentuan mengenai Narkotika yaitu tentang jenis-jenisnya, cara pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil dan lai sebagainya, sehingga dapat menjadi pedoman bagi tiap negara dalam ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. [5]
                  Setelah Konvensi Tunggal Narkotika berjalan selama 11 (sebelas) tahun, maka dirasa perlu untuk mengadakan perubahan terhadap konvensi tersebut. Pada tanggal 6 Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Jenewa telah diselenggarakan suatu konferensi (United Nations Conference to consider Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) yang menghasilkan Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961), dan yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 25 Maret 1972. Protokol ini memberikan penguatan pada ketentuan yang berkaitan dengan upaya pengobatan dan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika. Selain itu, protokol ini juga memperkuat kedudukan dan peranan International Narcotics Control Board (INCB) dalam melakukan pemantauan dan penegakan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 guna menekan peredaran gelap Narkotika. [6]

b).     Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance, 1988)
                  Pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi lahirnya konvensi ini antara lain bahwa masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberi perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika yang merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama. Ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika beserta protokol perubahannya perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika, juga perlu memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. [7]            Adapun pokok-pokok isi konvensi ini adalah sebagai berikut : [8]
         a.      Ruang Lingkup Konvensi.
                  Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai Konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing.
         b.      Kejahatan dan Sanksi.
                  Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara Pihak dari Konvensi akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Pengertian peredaran mencakup berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalulintas, pengedaran, sampai ke pemakaiannya, termasuk untuk pemakaian pribadi. Terhadap kejahatan tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi  berupa pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu pelakunya dapat dikenakan pembinaan, purna rawat, rehabilitasi, atau re-integrasi sosial. Para pihak menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mem-punyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), merupakan kejahatan serius, seperti : a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisai secara internasional; c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukan-nya kejahatan tersebut; d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya; f. menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial; h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak.  Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.
         c.      Yurisdiksi.
                  Negara Pihak harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak di ekstradisikan ke Pihak lain.
         d.      Perampasan.
                  Para Pihak dapat merampas Narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari Negara Pihak berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasian bank.Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional Negara Pihak.
         e.      Ekstradisi.
                  Kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara Para Pihak. Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang termasuk dalam lingkup berlakunya Pasal ini.
         f.       Bantuan Hukum Timbal Balik.
                  Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penun-tutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan : a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; b. memberikan pelayanan dokumen hukum; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. memeriksa benda dan lokasi; e. memberikan informasi dan alat bukti; f. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catat-annya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g. mengindentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian.
         g.      Pengalihan Proses Acara.
                  Dibukanya kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu ke Negara lainnya, jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik.
         h.      Kerjasama Peningkatan Penegakan Hukum.
                  Para Pihak harus saling bekerjasama secara erat, sesuai dengan sistem hukum dan sistem administrasi masing-masing, dalam rangka meningkatkan secara efektif tindakan penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, antara lain : a. membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masing-masing yang berwenang, untuk memudahkan pertukaran informasi; b. saling kerjasama dalam melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; c. membentuk tim gabungan; d. menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; e. mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; dan f. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.
         i.       Kerja Sama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit.
                  Para Pihak harus bekerja sama langsung atau melalui organisasi internasional atau regional yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit, khususnya negara-negara berkembang, yang membutuhkan bantuan melalui program kerjasama teknik guna mence-gah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.
         j.       Penyerahan yang Diawasi.
                  Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana di-maksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, Para Pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan Persetujan atau Pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetuajuan Para Pihak yang bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan Narkotika atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian.
         k.      Bahan-bahan yang Sering Digunakan dalam Pembuatan Secara Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Setiap tahun, Para Pihak harus melaporkan kepada Badan mengenai Penggunaan Bahan-bahan yang terdapat di dalam Tabel I dan II, yaitu bahan-bahan yag dipergunakan untuk memproduksi Narkotika dan psikotropika. Laporan tersebut disampaikan kepada Para Pihak dan Komisi melalui Sekretaris Jenderal untuk mendapatkan tanggapan. Berdasarkan tanggapan tersebut, melalui kerjasama, Para Pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam mencegah penyalahgunaan bahan-bahan yang termasuk Tabel I dan II tersebut.
         l.       Pembasmian Tanaman Gelap Narkotika dan Peniadaan Permintaan Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas tanaman yag mengandung Narkotika dan psikotropika yang ditanam di dalam wilayahnya masing-masing, serta mendorong kerjasama untuk meningkatkan efektifitas pembasmian meliputi dukungan pembinaan desa terpadu yang mengarah pada pembinaan alternatif ekonomis yang lebih baik daripada melakukan penanaman secara gelap tanaman tersebut. Para pihak juga harus mempermudah pertukaran ilmiah, teknik, dan pelaksanaan penelitian.
         m.     Pengangkutan Komersial.
                  Sehubungan dengan pengangkutan komersial, Konvensi ini mengharuskan Para Pihak untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna menjamin agar angkutan komersial tidak digunakan untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan mengambil tindakan pencegahan dan pengamanan serta mengadakan kerjasama di antara pejabat yang berwenang dan
         n.      Dokumen Perdagangan dan Pemasangan Label Ekspor.
                  Dokumen perdagangan seperti faktur, surat muatan kargo, dokumen pabean, surat pengangkutan, dan pengapalan lainnya serta pemasangan label ekspor Narkotika dan psikotropika yang sah akan didokumentasikan secara baik. Di dalam label ekspor tersebut harus dicantumkan nama Narkotika dan psikotropika, jumlah yang diekspor serta nama dan alamat eksportir dan importir.
         o.      Lalu Lintas Gelap Melalui Laut.
                  Di dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus bekerja sama untuk memberantas lalu lintas gelap melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional atas perjanjian yang berlaku antara Para Pihak, Negara Bendera dapat memberi izin kepada Negara Peminta untuk, inter alia, memasuki dan memeriksa kapal serta mengambil tindakan yang diperlukan menyangkut kapal, orang dan muatan dalam kapal, jika terbukti terlibat dalam peredaran gelap. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat terbang militer atau kapal laut atau pesawat terbang lain yang diberi tanda dengan jelas sebagai kapal laut atau pesawat terbang pemerintah.
         p.      Kerja Sama Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Para Pihak harus bekerja sama untuk memberantas peredaran gelap Narkotika melalui laut, di pelabuhan bebas, di zona perdagangan bebas, atau dengan menggunakan sarana pengangkutan konvensional atau jasa pos. Para pihak harus berusaha untuk menetapkan dan menyelenggarakan sistem pengawasan di wilayah pelabuhan dan dermaga, pelabuhan udara, dan pos pengawasan perbatasan di zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
         q.      Tindakan yang Lebih Ketat untuk Mencegah atau Memberantas Peredaran Gelap Narkotika.
                  Negara-negara Pihak dapat mengambil tindakan yang lebih ketat daripada yang diatur dalam Konvensi ini, jika tindakan itu memang diperlukan untuk mencegah atau memberantas peredaran gelap Narkotika.
         r.       Perselisihan.
                  Perselisihan yang timbul di antara Para Pihak dalam menafsirkan atau menerapkan Konvensi ini, akan diselesaikan melalui negosiasi, pemeriksaan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, atau cara penyelesaian perselisihan dengan jalan damai yang mereka pilih. Jika perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, dengan permintaan dari salah satu Pihak yang berselisih, permasalahannya dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Jika pihak di dalam perselisihan adalah suatu organisasi integrasi ekonomi regional, melalui Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dimintakan Pendapat (Advisory Opinion) Mahkamah Internasional sebagai putusan yang mengikat.   

DAFTAR PUSTAKA

Brice De Ruyver et all (Ed), International Drug Policy, Status Quaestionis-Compendium of Article, Maklu Publishers,  Apeldoorn, 2003.
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012.
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs).

                    




            [1] Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987, Hlm 208.
            [2] Ibid, Hlm 208.
            [3] Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012, Hlm 44.
            [4] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 216.
            [5] Ibid, Hlm 220.
            [6] Brice De Ruyver et all (Ed), International Drug Policy, Status Quaestionis-Compendium of Article, Maklu Publishers,  Apeldoorn, 2003, p. 20.
            [7] Siswanto S, Op cit, Hlm 45-46.
            [8] Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance, 1988 (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988).

Selasa, 11 Oktober 2016

KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

         Penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. De Pinto mengemukakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah merekan dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [1]
         Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual baik melalui penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka, serta tindakan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.[2] Penyidikan adalah tindakan mencari kejahatan yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana, dan jika benar demikian siapakah pelakunya.[3]
         Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses pneyidikan itu dinyatakan selesai. [4] Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan karena adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat berasal dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. [5]
         Berkaitan dengan hakikat penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti, secara sistematis dilakukan melalui proses yaitu : [6]
         1.      Informasi, yaitu menyidik dan mengumpulkan keterangan-ketarangan serta bukti-bukti oleh polisi yang biasa disebut mengolah tempat kejadian;
         2.      Interogasi, yaitu memeriksa dan mendengar orang-orang yang dicurigai dan saksi-saksi yang biasayna dapat diperoleh di tempat kejahatan;
         3.      Instrumentarium, yaitu pemakaian alat-alat teknik untuk penyidikan perkara, seperti photografi, mikroskop dan alat lain di tempat kejahatan.

         Lebih lanjut, dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik berusaha untuk : [7]
         1.      Mendapatkan bukt-bukti dalam perkara pidana yang berhubungan dengan kejahatan yang telah terjadi (corpora delicti dan alat-alat yang telah dipakai melakukan kejahatan (instrumenta delicti);     
         2.      Berusaha meneman cara atau metode yang telah dipakai penjahat waktu berbuat kejahatan (metode operandi);
         3.      Berusaha menemukan siapakah (identitas) penjahatnya.

         Sasaran atau target penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [8]
         Tujuan penyidikan terhadap tindak pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan-keterangan berupa : [9]
         1.      Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi. Penyidikan  yang dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana apa yang sesungguhya telah terjadi sehingga dapat menentukan pasal-pasal yang dilanggarnya.
         2.      Waktu tindak pidana dilakukan. Penyidikan yang dilakukan harus dapat mengungkap waktu dilakukannya suatu kejahatan, berkaitan dengan tanggal, hari, bulan dan tahun dilakukannya suatu tindak pidana. Mengungkapkan waktu dilakukannya tindak pidana untuk memberikan keyakinan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan untuk dapat dijadikan ukuran jika adanya alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku.
         3.      Tempat terjadinya tindak pidana, dimaksudkan adalah tempat di mana si pelaku melakukan kejahatannya. Tempat dapat terjadi pada suatu lokasi tertentu atau dibeberapa lokasi. Penyidikan dilakukan maksudnya adalah untuk mengetahui di mana tindak pidana itu dilakukan. Kegunaannya adalah selain memudahkan penyidik mencari keterangan dan menemukan saksi dan barang bukti yang digunakan pelaku, juga dapat dijadikan ukuran jika ada alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku bahwa terjadinya kejahatan tidak berada ditempat tersebut.
         4.      Dengan apa tindak pidana dilakukan. Dalam penyidikan hal yang penting diungkapkan adalah alat-alat yang digunakan pelaku di dalam melakukan kejahatannya. Alat ini dapat dijadikan barang bukti oleh penyidik dan di depan sidang pengadilan dapat berguna untuk mendukung alat-alat bukti yang ada sehingga menambah keyakinan hakim di dalam menjatuhkan putusannya.
         5.      Alasan dilakukannya tindak pidana. Keterangan yang perlu diungkap penyidik di dalam melakukan penyidikan adalah alasan yang mendorong dilakukannya tindak pidana. Maksudnya adalah untuk mengetahui apa sesungguhnya yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatannya, apa tujuan yang hendak dicapainya sehingga melakukan kejahatan. Adapun alasan-alasan dilakukannya tindak pidana akan dapat dijadian sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana.
         6.      Pelaku tindak pidana. Keterangan terpenting yang harus diungkapkan dalam penyidikan adalah pelaku dari tindak pidana itu. Keterangan ini untuk menyimpulkan siapa sebenarnya tersangka yang melakukan tindak pidana dengan melihat antara keterangan-keterangan yang telah diperleh melalui alat-alat bukti lainnya.

Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika.
         Kewenangan penyidikan dimiliki oleh penyidik dan penyidik pembantu. Adapun pengertian penyidik menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Lebih lanjut, Pasal 6 KUHAP menyatakan :
         1.      Penyidik adalah :
                  a.      Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
                  b.      Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
         2.      Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
                                      
         Dari Pasal 6 KUHAP di atas, dengan jelas menyatakan bahwa penyidik terdiri dari dua yaitu penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil. Mengenai penyidik Polri dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian yang dalam pelaksanaannya oleh penyidik dan penyidik pembantu. Sedangkan bagi penyidik pegawai negeri sipil diberi kewenangan yang bersumber dari ketentuan undang-undang pidana khusus untuk melakukan penyidikan, sehingga wewenang penyidikan yang dimiliki oleh penyidik pengawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus tersebut, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri. [10]
         Adapun syarat-syarat sebagai penyidik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut :
         Untuk dapat  diangkat sebagai penyidik Kepolisian negera Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, harus memenuhi persyaratan :
         a.      Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah strata satu atau yang setara;
         b.      Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua tahun;
         c.      Mengikuti pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;
         d.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
         e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral.
                             
         Sedangkan syarat bagi pegawai negeri sipil untuk mengajukan diri sebagai calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah :
         a.      Masa kerja sebagai PNS paling singkat dua tahun;
         b.      Berpangkat paling rendah Penata Muda/Golongan III/a;
         c.      Berpendidikan paling rendah Sarjana Hukum atau sarjana lain yang setara;
         d.      Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
         e.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter rumah sakit pemerintah;
         f.       Setiap unsur pelaksanaan pekerjaan PNS paling sedikit bernilai baik dalam dua tahun terakhir;
         g.      Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.

         Mengenai wewenang penyidik diatur dalam Pasal 7 KUHAP, yaitu:
         1.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
                  a.      Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
                  b.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
                  c.      Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
                  d.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
                  e.      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
                  f.       Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
                  g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
                  h.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
                  i.       Mengadakan penghentian penyidikan;
                  j.       Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
         2.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a.
         3.      Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

         Selanjutnya, penyidik pembantu menurut Pasal 1 angka 3 KUHAP, adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-udang ini. Lebih lanjut, Pasal 10 KUHAP menyatakan :
         1.      Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat 2 pasal ini.
         2.      Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.

         Adapun syarat kepangkatan bagi penyidik pembantu yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut :
         Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan :
         a.      Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
         b.      Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua tahun;
         c.      Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.
         d.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
         e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

         Mengenai kewenangan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat 1, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Selain kewenangan penyidikan kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga terdapat penyidik lain menurut undang-undang tindak pidana khusus seperti penyidik pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan kewenangan penyidikan terhadap penyidik Badan Narkotika Nasional. Dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa alam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
         Lebih lanjut, dalam Pasal 72 dalam undang-undang tersebut memberikan pengaturan tentang penyidik BNN, sebagai berikut :
         1.      Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
         2.      Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
         3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

         Mengenai kewenangan penyidik BNN diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:
         a.      Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         b.      Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         c.      Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
         d.      Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
         e.      Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         f.       Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         g.      Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         h.      Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
         i.       Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
         j.       Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
         k.      Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         l.       Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
         m.     mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
         n.      Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
         o.      Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         p.      Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
         q.      Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         r.       Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
         s.       Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

         Kewenangan lain yang dimiliki oleh penyidik BNN diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang :
         a.      Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
         b.      Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
         c.      Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
         d.      Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         e.      Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
         f.       Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
         g.      Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
         h.      Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

         Kewenangan penyidikan Narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak hanya kepada diberikan penyidik BNN, tetapi juga kepada penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 81, yang menyatakan bahwa penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan undang-undang ini.
         Maksud dari Pasal 81 di atas, bahwa penyidik Polri dalam melakukan upaya pemberantasan Narkotika juga memiliki kewenangan penyidikan sebagaimana kewenangan penyidikan oleh penyidik BNN. Tidak ada yang lebih superior antara penyidik Polri dan penyidik BNN, keduanya memiliki kewenangan yang sama, dan saling bekerjasama satu sama lain dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.[11] Dengan demikian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka Badan Narkotika Nasional mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana Narkotika menurut tata cara sebagaimana diatur baik dalam hukum pidana materiil maupun formil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Preskursor Narkotika di wilayah Republik Indonesia. [12]


DAFTAR PUSTAKA

Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy Puspa Mega, 2002.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989.
A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, Jakarta, 1998. Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012.
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Penerapan dan Permasalahan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.






            [1] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012,  Hlm 54.
            [2]  Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy Puspa Mega, 2002, Hlm 15.
            [3]  Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, Jakarta, 1998, Hlm 8.
            [4] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, Hlm 116.
            [5] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989, Hlm 123.
            [6] M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997, Hlm 97.
            [7] Ibid, Hlm 97.
            [8] HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010,  Hlm 53.
            [9] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007,  Hlm 58-59.
            [10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Penerapan dan Permasalahan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Hlm 110-113.
            [11] A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 154.
            [12] Ibid, Hlm 132-133.