Kamis, 08 Desember 2016

POLITIK HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

POLITIK HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

         Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit. Zat-zat Narkotika tersebut memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidup kepada Narkotika tersebut. [1] Untuk mengatasi penyalahgunaan Narkotika yang semakin marak terjadi di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang Narkotika. Adapun pengaturan Narkotika menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia secara historis dapat diuraikan sebagai berikut :             
1.      Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
                  Kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu pada masa penjajahan Hindia Belanda sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama dari golongan menengah khususnya keturunan Cina. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 yang mengatur tentang obat bius dan candu. [2] Verdoovende Middelen Ordonantie bertujuan untuk menyatukan undang-undang obat bius di dalam suatu undang-undang, ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lain yang tersebar dalam 44 (empat puluh empat) undang-undang terpisah atau di luar ketentuan yang mengatur perbuatan mengisap candu sehingga tercipta unifikasi hukum dalam pengaturan Narkotika di wilayah Hindia Belanda. [3]
                  Dengan dikeluarkannya Verdoovende Middelen Ordonantie atau undang-undang obat bius ini oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka penggunaan obat bius dan candu hanya dapat diperbolehkan pada tempat-tempat yang sudah diberikan izin untuk itu. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengontrol penggunaan dan peredaran Narkotika yang semakin marak dan tidak terkontrol mengingat sifatnya yang dapat merusak mental maupun fisik penggunanya.[4] Setelah Indonesia merdeka, Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 masih berlaku, namun sekitar tahun 1970-an, ancaman dari penyalahgunaan Narkotika yang sudah tidak dapat tertanggulangi lagi apabila bersandar pada Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 yang telah tertinggal oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, sehingga terjadi kesenjangan antara Verdoovende Middelen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo No. 536 dan realitas sosial pada waktu itu, antara lain mengenai jenis-jenis zat Narkotika yang pada saat itu tidak sebanyak yang ditemukan mulai tahun 1970-an, serta belum adanya pengaturan mengenai korban penyalagunaan Narkotika yang mempunyai kecenderungan kecanduan dan ketagihan Narkotika yang membutuhkan terapi, serta perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi ketentuan pidana, Verdoovende Middelen Ordonantie lebih berkisar pada pengaturan administrasi penyimpanan, pengedaran dan penjualan Narkotika, sehingga tidak cocok lagi dengan pola dan modus operadi penyalahgunaan Narkotika yang terjadi pada tahun 1970-an. [5]
                  Demikian halnya, dalam Seminar Kriminologi ke II 1972 yang dilaksanakan di Undip Semarang, menyimpulkan butir-butir permasalahan Verdoovende Middelen Ordonantie yang mempengaruhi penanggulangan Narkotika di Indonesia, sebagai berikut : [6]
                  Bahwa tidak ada atau belum adanya keseragaman mengenai istilah Narkotika secara yuridis, secara umum terasa bahwa sanksi pidana yang ditujukan kepada pengedar gelap, penyimpan dan pembuat yang tidak berhak terlalu ringan. Kesenjangan antara ketentuan materiil undang-undang Narkotika dengan hukum acara pidana. Di samping itu, ditemukan kelemahan dari segi materi undang-undang (V.M.O)  dalam penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar, dan penyimpanan yang terkategorikan sebagai penyalahguna Narkotika. Kemudian belum dimilikinya badan yang berperingkat nasional yang permanen dan mempunyai kewenangan koordinatif nyata dalam penanganan masalah Narkotika. Selanjutnya disinggung pula mengenai terteranya dalam V.M.O mengenai wajib lapor dan pengaturan premi bagi mereka yang berjasa dalam pemberantasan penyalagunaan Narkotika.

                  Atas dasar kelemahan-kelemahan dari Verdoovende Middelen Ordonantie yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka Pemerintah dipandang perlu dalam waktu relatif singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang Narkotika, dan diharapkan bahwa undang-undang tersebut efektif dalam pengimplementasiannya serta tepat sasaran dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan Narkotika. [7]
                  Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juli 1976 untuk menggantikan Verdoovende Middelen Ordonantie. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah :[8]
                  1).     Mengatur jenis-jenis Narkotika yang lebih rinci;
                  2).     Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis Narkotika teresebut;
                  3).     Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasnya;
                  4).     Mengatur semua kegiatan yang menyangkut Narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunaan Narkotika;
                  5).     Acara pidananya bersifat khusus;
                  6).     Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan Narkotika;
                  7).     Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan Narkotika;
                  8).     Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP;
                  9).     Ancaman pidananya lebih berat.
                          
                  Adapun perbuatan-perbuatan terlarang yang dinyatakan sebagai tindak pidana Narkotika dalam undang-undang ini sebagai berikut : [9]
                  1).     Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman kokka, atau tanaman ganja;
                  2).     Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, meracik atau menyediakan Narkotika;
                  3).     Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai Narkotika;
                  4).     Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika;
                  5).     Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar Narkotika;
                  6).     Dilarang secara tanpa hak menggunakan Narkotika terhadap orang lain untuk memberikan Narkotika untuk digunakan orang lain;
                  7).     Dilarang secara tanpa hak menggunakan Narkotika bagi dirinya sendiri.              

2.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
                  Seiring dengan perkembangan waktu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dirasa tidak mampu lagi mengakomodir perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga menyebabkan peningkatan kualitas dari kejahatan Narkotika tersebut yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Di samping itu, Pemerintah Indonesia terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988. [10]
                  Oleh karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Pasal 3  undang-undang ini menyatakan bahwa pengaturan Narkotika bertujuan untuk :
                  1).     Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
                  2).     Mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkotika; dan
                  3).     Memberantas peredaran gelap Narkotika.

                  Adapun materi baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, adalah pengaturan mengenai penggolongan Narkotika, pengadaan Narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan Narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika. Dalam rangka memberi efek jera psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana Narkotika, ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum. Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang Narkotika.
                  Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, memberikan pengelompokkan terhadap kejahatan Narkotika, sebagai berikut : [11]
                  1).     Menyangkut produksi Narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya mengenai produksi Narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan dalam lingkup mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit dan menyediakan Narkotika;
                  2).     Menyangkut pengangkutan dan transito Narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan mentransito Narkotika. Ada pula tindak pidana yang khusus ditujukan kepada nakhoda dan kapten penerbang karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
                  3).     Menyangkut jual beli Narkotika. Tidak hanya kategori jual beli dalam arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan ekspor, impor, tukar-menukar Narkotika, menyalurkan dan menyerahkan Narkotika;
                  4).     Menyangkut penguasaan Narkotika;
                  5).     Menyangkut penyalahgunaan Narkotika;
                  6).     Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan pecandu Narkotika;
                  7).     Menyangkut label dan publikasi Narkotika;
                  8).     Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana Narkotika.

3).     Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
                  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika, juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif karena tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
                  Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 untuk mengikuti perkembangan tindak pidana Narkotika yang terjadi. Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu :
                  1).     Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
                  2).     Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
                  3).     Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
                  4).     Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.

                  Adapun hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, pengaturan mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika, maupun penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dengan adanya pidana minimum khusus dan pemberatan pidana berupa pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang dijatuhkan berdasarkan pada golongan, jenis dan jumlah Narkotika, pengaturan mengenai penguatan BNN, pengaturan menganai perampasan hasil tindak pidana Narkotika yang digunakan untuk kegiatan pencegahan dan pemberantasan, serta rehabilitasi medis dan sosial, pengaturan mengenai  perluasan teknik penyidikan yaitu teknik penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya, pengaturan mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas Negara, dan pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar Dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009.
Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Moh. Taufik Makaro (et al), Tindak Pidana Narkotika, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor

Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs). 




            [1] Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987, Hlm 3.
            [2] Moh. Taufik Makaro (et al), Tindak Pidana Narkotika, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, Hlm.10.
            [3] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 10.
            [4] A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar Dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 3.
            [5] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 14.
            [6] Ibid, Hlm 126.
            [7] Moh. Taufik Makaro, Op cit, Hlm 12.
            [8] Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003, Hlm 164.
            [9] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 138-139.
            [10]   Gatot Suparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2009, Hlm 155.
            [11]   A.R Sujono dan Bony Daniel, Op cit, Hlm 22-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar