Selasa, 28 November 2017

MENUJU PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN

Menuju Penegakan Hukum Yang Berkeadilan *

         Hukum sebagai suatu instrumen yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap kehidupan sosial masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, maka kehidupan masyarakat akan tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial yang harmonis.
         Norma hukum dapat berupa suatu perintah ataupun larangan agar setiap individu dalam masyarakat melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan bersama atau sebaliknya agar masyarakat tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Jika tindakan yang diperintahkan itu tidak dilakukan atau dengan kata lain suatu larangan dilanggar maka keseimbangan harmoni masyarakat akan terganggu.
         Oleh karena itu, dalam upaya untuk menjaga harmoni kehidupan bermasyarakat maka hukum harus ditegakan ditandai bahwa setiap kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum harus mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat kejahatan dan pelanggaran itu sendiri. Sanksi terdiri atas berbagai macam bentuk yang bertujuan memberikan keadilan tidak saja kepada korban tetapi juga sebagai tata nilai yang merekatkan tatanan kehidupan bermasyarakat.
         Secara teoretis terdapat tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan sebagai tujuan utama bersifat universal yang merupakan konsepsi yang abstrak, namun dalam keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan sosial. Sifat abstrak keadilan karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dalam masyarakat, sehingga keadilan memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak terwadahi dalam hukum positif.
         Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi sesuai dengan asas persamaan di depan hukum.
         Namun demikian, antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
         Dalam praktik penegakan hukum saat ini, rasa keadilan masyarakat kerap terusik. Keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri harus sedekat mungkin dengan keadilan. Sejak lama para pencari keadilan mendambakan penegakan hukum yang adil. Berbagai putusan pengadilan sepertinya menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
         Biasanya para penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku dalam arti sesuai ketentuan hukum formal. Contoh pada kasus tindak pidana korupsi, sesuai hukum yang berlaku penyidik dan jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka, demikian pula hakim sudah mendengar kedua belah pihak sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum sudah dipertimbangkan dan diterapkan, serta semua prosedur dan tata cara yuridis sudah diikuti.
         Persoalannya yang terjadi, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia ditengarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan seringkali telah terisolasi oleh suatu pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
         Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mengemukakan pemikiran seorang Filsuf terkenal Yunani bernama Socrates yang menyatakan bahwa hakekat hukum adalah keadilan. Socrates dalam usahanya menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip keadilan menyebutkan bahwa keadilan yang sesungguhnya serta hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam undang-undang tertulis yang dibentuk oleh penguasa negara. Akan tetapi keadilan bertempat tinggal di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri.
         Lebih lanjut, Socrates menyebutkan bahwa dalam nurani setiap insan bersemayamlah keadilan yang hakiki atau sesungguhnya di situ mereka dapat mendengar bagaimana irama dari degup jantung yang merah, bersih dan suci. Hanya dengan degupan yang bersih, organ yang suci ini (nurani) menjadi terlindungi dari kungkungan kabut keserakahan, kelicikan, kecurangan, dan lain sebagainya.
         Sehingga hukum serta perasaan keadilan dalam pengertian sesungguhnya itu hanya akan ditemukan di dalam nurani tiap-tiap insan, dan ia akan selalu mendampingi, terutama manakala mereka menetapkan atau mengambil sebuah keputusan (termasuk keputusan hukum itu sendiri). Apa yang disampaikan filsuf besar pada masanya tersebut sesungguhnya banyak terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini.
         Penegakan hukum saat ini cenderung lebih menekankan pada aspek kepastian hukum dibandingkan dengan keadilan. Penerapan hukum lebih bersifat positif legalistis yaitu cara berhukum berdasarkan pada undang-undang. Akibat penerapan hukum positif legalistis ini akan menggiring penegakan hukum pada legisme. Hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang yang hanya menyuarakan bunyi undang-undang tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
         Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat ini ditegakkan di samping nilai kepastian hukum haruslah menjamin keadilan dan kepastian hukum serta bermanfaat. Selain itu penegakan hukum diterapkan tanpa diskriminasi. Penegakan hukum yang tidak mengindahkan prinsip equality before the law sehingga menghasilkan perilaku diskriminatif akan merusak tatanan sistem, sekaligus akan menciderai serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang menimbulkan citra buruk pada semua kalangan masyarakat.
         Dalam kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri pada hakikat dan cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal per pasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang berkeadilan substantif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan paradigma hukum progresif.
         Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham positivisme hukum. Gagasan ini kemudian muncul kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Hukum hendaknya mampu mengikuti dan menjawab perkembangan zaman, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
         Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan yang lahir tanpa sebab dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang sedang terjadi dewasa ini, di mana salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah karena dominasi terhadap paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada paham tersebut sehingga mempengaruhi kualitas dari penegakan hukum.
         Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, menurut pemikiran penulis dalam rangka menuju suatu keadilan substantif sesuai dengan paradigma hukum progresif  yang pada aktualisasinya selalu percaya terhadap prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan substantif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan substantif sesuai dengan hukum progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga pemikiran pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai kekuatan yaitu pertama adalah membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik dan lebih mengutamakan tujuan daripada prosedural.
         Kemudian yang kedua didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak semata-mata berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan yang bersifat  normatif. Sehingga dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani yang dimiliki oleh masing-masing penegak hukum senantiasa ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas penegakan hukum ini.
         Dan ketiga yang paling utama dari keadilan substantif melalui pendekatan hukum progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan sumber daya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas aparat penegak hukum menjadi amat penting, seperti empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan daripada hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran hakiki oleh aparat penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhri rasa keadilan masyarakat.

* Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Widya Wirotama Edisi Kedua Oktober 2017.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar