Rabu, 02 November 2016

PENGATURAN NARKOTIKA MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

PENGATURAN NARKOTIKA MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL
         Salah satu fenomena sosial yang menonjol dan menarik perhatian Dunia Internasional dewasa ini adalah masalah penyalahgunaan Narkotika. Fenomena sosial tersebut menarik perhatian dunia Internasional tersebut karena dirasakan dengan alasan sebagai berikut : [1]
         Adiksi atau ketagihan obat-obatan Narkotika menimbulkan malapetaka bagi perorangan dan merupakan ancaman bagi kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dan aspek keamanan hidup umat manusia di muka bumi. Mata tiap negara berkewajiban untuk mencegah dan memerangi ancamaman penyalahgunaan Narkotika. Disadari bersama bahwa langkah-langkah penanggulangan yang efektif dalam menanggulangi pernyalahgunaan Narkotika yang mempunyai lintas pengedaran gelap antarbenua, memerlukan adanya koordinasi penanggulangan yang bersifat internasional.

            Adanya kesadaran umum tiap negara dalam menghadapi bahaya penyalahgunaan Narkotika telah mendorong lahirnya konvensi internasional yang diterima secara umum oleh bangsa-bangsa di dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam upaya penaggulangan bahaya Narkotika yang sebelumnya telah berkali-kali mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membahas masalah penyalahgunaan Narkotika. [2] Diawali dengan upaya Liga Bangsa-Bangsa pada Tahun 1909 di Shanghai Cina dengan diselenggarakannya konfrensi mengenai peredaran gelap obat bius, selanjutnya pada persidangan Opium comission (Komisi Opium) dengan menghasilkan traktat pertama mengenai pengawasan obat bius yaitu International Opium Convention (Konvensi Internasional tentang opium) di Den Haag Belanda pada tahun 1912. Di bawah naungan PBB dihasilkan Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 yang kemudian diubah dengan Procotocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 (Protokol 1971 tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961), berikutnya Convention on Psychotropic Substance, 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), dan terakhir adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika, 1988).[3] Dari sejumlah konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang Narkotika, konvensi-konvensi Internasional yang terpenting dalam sejarah pengaturan Narkotika adalah sebagai berikut :
a).     Konvensi Tunggal Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) beserta protokol perubahannya, 1972.
                  Konvensi Tunggal Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) merupakan hasil dari United Nations Confrence for the Adoption of a Single Convention on Narcotic Drugs yang diselenggarakan di New York dari tanggal 24 Januari sampai dengan 25 Maret 1961, dan dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Konvensi ini bertujuan untuk : [4]
                  a.      Menciptakan suatu konvensi Internasional yang pada umumnya dapat diterima oleh negara-negara di dunia ini, dan dapat mengganti peraturan-peraturan pengawasan internasional atas Narkotika yang bercerai-berai di dalam 8 (delapan) buah perjanjian internasional;
                  b.      Menyempurnakan cara-cara pengawasan Narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan;
                  c.      Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai.

                  Konvensi Tunggal Narkotika 1961 terdiri dari 51 Pasal yang berisi pelbagai ketentuan mengenai Narkotika yaitu tentang jenis-jenisnya, cara pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil dan lai sebagainya, sehingga dapat menjadi pedoman bagi tiap negara dalam ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. [5]
                  Setelah Konvensi Tunggal Narkotika berjalan selama 11 (sebelas) tahun, maka dirasa perlu untuk mengadakan perubahan terhadap konvensi tersebut. Pada tanggal 6 Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Jenewa telah diselenggarakan suatu konferensi (United Nations Conference to consider Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) yang menghasilkan Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961), dan yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 25 Maret 1972. Protokol ini memberikan penguatan pada ketentuan yang berkaitan dengan upaya pengobatan dan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika. Selain itu, protokol ini juga memperkuat kedudukan dan peranan International Narcotics Control Board (INCB) dalam melakukan pemantauan dan penegakan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 guna menekan peredaran gelap Narkotika. [6]

b).     Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance, 1988)
                  Pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi lahirnya konvensi ini antara lain bahwa masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberi perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika yang merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama. Ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika beserta protokol perubahannya perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika, juga perlu memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. [7]            Adapun pokok-pokok isi konvensi ini adalah sebagai berikut : [8]
         a.      Ruang Lingkup Konvensi.
                  Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai Konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing.
         b.      Kejahatan dan Sanksi.
                  Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara Pihak dari Konvensi akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Pengertian peredaran mencakup berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalulintas, pengedaran, sampai ke pemakaiannya, termasuk untuk pemakaian pribadi. Terhadap kejahatan tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi  berupa pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu pelakunya dapat dikenakan pembinaan, purna rawat, rehabilitasi, atau re-integrasi sosial. Para pihak menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mem-punyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), merupakan kejahatan serius, seperti : a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisai secara internasional; c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukan-nya kejahatan tersebut; d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya; f. menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial; h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak.  Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.
         c.      Yurisdiksi.
                  Negara Pihak harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak di ekstradisikan ke Pihak lain.
         d.      Perampasan.
                  Para Pihak dapat merampas Narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari Negara Pihak berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasian bank.Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional Negara Pihak.
         e.      Ekstradisi.
                  Kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara Para Pihak. Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang termasuk dalam lingkup berlakunya Pasal ini.
         f.       Bantuan Hukum Timbal Balik.
                  Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penun-tutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan : a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; b. memberikan pelayanan dokumen hukum; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. memeriksa benda dan lokasi; e. memberikan informasi dan alat bukti; f. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catat-annya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g. mengindentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian.
         g.      Pengalihan Proses Acara.
                  Dibukanya kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu ke Negara lainnya, jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik.
         h.      Kerjasama Peningkatan Penegakan Hukum.
                  Para Pihak harus saling bekerjasama secara erat, sesuai dengan sistem hukum dan sistem administrasi masing-masing, dalam rangka meningkatkan secara efektif tindakan penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, antara lain : a. membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masing-masing yang berwenang, untuk memudahkan pertukaran informasi; b. saling kerjasama dalam melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; c. membentuk tim gabungan; d. menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; e. mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; dan f. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.
         i.       Kerja Sama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit.
                  Para Pihak harus bekerja sama langsung atau melalui organisasi internasional atau regional yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit, khususnya negara-negara berkembang, yang membutuhkan bantuan melalui program kerjasama teknik guna mence-gah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.
         j.       Penyerahan yang Diawasi.
                  Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana di-maksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, Para Pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan Persetujan atau Pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetuajuan Para Pihak yang bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan Narkotika atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian.
         k.      Bahan-bahan yang Sering Digunakan dalam Pembuatan Secara Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Setiap tahun, Para Pihak harus melaporkan kepada Badan mengenai Penggunaan Bahan-bahan yang terdapat di dalam Tabel I dan II, yaitu bahan-bahan yag dipergunakan untuk memproduksi Narkotika dan psikotropika. Laporan tersebut disampaikan kepada Para Pihak dan Komisi melalui Sekretaris Jenderal untuk mendapatkan tanggapan. Berdasarkan tanggapan tersebut, melalui kerjasama, Para Pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam mencegah penyalahgunaan bahan-bahan yang termasuk Tabel I dan II tersebut.
         l.       Pembasmian Tanaman Gelap Narkotika dan Peniadaan Permintaan Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas tanaman yag mengandung Narkotika dan psikotropika yang ditanam di dalam wilayahnya masing-masing, serta mendorong kerjasama untuk meningkatkan efektifitas pembasmian meliputi dukungan pembinaan desa terpadu yang mengarah pada pembinaan alternatif ekonomis yang lebih baik daripada melakukan penanaman secara gelap tanaman tersebut. Para pihak juga harus mempermudah pertukaran ilmiah, teknik, dan pelaksanaan penelitian.
         m.     Pengangkutan Komersial.
                  Sehubungan dengan pengangkutan komersial, Konvensi ini mengharuskan Para Pihak untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna menjamin agar angkutan komersial tidak digunakan untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan mengambil tindakan pencegahan dan pengamanan serta mengadakan kerjasama di antara pejabat yang berwenang dan
         n.      Dokumen Perdagangan dan Pemasangan Label Ekspor.
                  Dokumen perdagangan seperti faktur, surat muatan kargo, dokumen pabean, surat pengangkutan, dan pengapalan lainnya serta pemasangan label ekspor Narkotika dan psikotropika yang sah akan didokumentasikan secara baik. Di dalam label ekspor tersebut harus dicantumkan nama Narkotika dan psikotropika, jumlah yang diekspor serta nama dan alamat eksportir dan importir.
         o.      Lalu Lintas Gelap Melalui Laut.
                  Di dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus bekerja sama untuk memberantas lalu lintas gelap melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional atas perjanjian yang berlaku antara Para Pihak, Negara Bendera dapat memberi izin kepada Negara Peminta untuk, inter alia, memasuki dan memeriksa kapal serta mengambil tindakan yang diperlukan menyangkut kapal, orang dan muatan dalam kapal, jika terbukti terlibat dalam peredaran gelap. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat terbang militer atau kapal laut atau pesawat terbang lain yang diberi tanda dengan jelas sebagai kapal laut atau pesawat terbang pemerintah.
         p.      Kerja Sama Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
                  Para Pihak harus bekerja sama untuk memberantas peredaran gelap Narkotika melalui laut, di pelabuhan bebas, di zona perdagangan bebas, atau dengan menggunakan sarana pengangkutan konvensional atau jasa pos. Para pihak harus berusaha untuk menetapkan dan menyelenggarakan sistem pengawasan di wilayah pelabuhan dan dermaga, pelabuhan udara, dan pos pengawasan perbatasan di zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
         q.      Tindakan yang Lebih Ketat untuk Mencegah atau Memberantas Peredaran Gelap Narkotika.
                  Negara-negara Pihak dapat mengambil tindakan yang lebih ketat daripada yang diatur dalam Konvensi ini, jika tindakan itu memang diperlukan untuk mencegah atau memberantas peredaran gelap Narkotika.
         r.       Perselisihan.
                  Perselisihan yang timbul di antara Para Pihak dalam menafsirkan atau menerapkan Konvensi ini, akan diselesaikan melalui negosiasi, pemeriksaan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, atau cara penyelesaian perselisihan dengan jalan damai yang mereka pilih. Jika perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, dengan permintaan dari salah satu Pihak yang berselisih, permasalahannya dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Jika pihak di dalam perselisihan adalah suatu organisasi integrasi ekonomi regional, melalui Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dimintakan Pendapat (Advisory Opinion) Mahkamah Internasional sebagai putusan yang mengikat.   

DAFTAR PUSTAKA

Brice De Ruyver et all (Ed), International Drug Policy, Status Quaestionis-Compendium of Article, Maklu Publishers,  Apeldoorn, 2003.
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012.
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs).

                    




            [1] Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung : Alumni, 1987, Hlm 208.
            [2] Ibid, Hlm 208.
            [3] Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta : Rineka Cipta, 2012, Hlm 44.
            [4] Soedjono Dirdjosisworo, Op cit, Hlm 216.
            [5] Ibid, Hlm 220.
            [6] Brice De Ruyver et all (Ed), International Drug Policy, Status Quaestionis-Compendium of Article, Maklu Publishers,  Apeldoorn, 2003, p. 20.
            [7] Siswanto S, Op cit, Hlm 45-46.
            [8] Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substance, 1988 (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988).