Selasa, 12 Desember 2017

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR
(Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013)***

Abstrak
         Tindak pidana Narkotika merupakan kejahatan luar biasa yang saat ini dilakukan secara terorganisasi oleh sindikat peredaran gelap Narkotika yang memiliki struktur, perencanaan serta dilakukan secara terselubung sehingga sulit dalam pembuktiannya. Salah satu langkah efektif untuk mengungkap sindikat peredaran gelap Narkotika yaitu menggunakan pelaku yang terlibat dalam sindikat tersebut untuk memberikan keterangan sejak penyidikan hingga pembuktian di persidangan. Tulisan ini membahas tentang dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No 920K/Pid.Sus/2013. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan terdakwa sebagai Justice collaborator merujuk pada ketentuan SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. Pertimbangan majelis hakim dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 920K/Pid.Sus/2013 dalam menetapkan terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam SEMA tersebut. Dari hasil penelitian disarankan agar hakim dapat memberikan penghargaan (reward) berupa pengurangan hukuman yang signifikan atas peranan yang telah diberikan oleh Justice collaborator dalam mengungkap tindak pidana.

Kata kunci : Pertimbangan, Hakim, Terdakwa, Justice collaborator. 

Pendahuluan
            Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dewasa ini memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia yang meyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan peningkatan kejahatan. Salah satu jenis kejahatan yang marak terjadi saat ini adalah kasus penyalahgunaan Narkotika yang tidak hanya menjadi masalah bangsa Indonesia, bahkan telah menjadi masalah di setiap negara-negara di dunia. Maraknya penyalahgunaan Narkotika yang awalnya hanya untuk kepentingan medis sebagai obat penawar dan penghilang rasa sakit, maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kini telah disalahgunakan oleh berbagai kalangan.[1] Meskipun Narkotika bermanfaat untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, namun apabila disalahgunakan atau  tidak sesuai dengan petunjuk medis maka akan menimbulkan efek-efek negatif terhadap tubuh pemakainya sehingga memberikan dampak yang sangat merugikan bagi perorangan maupun masyarakat sehingga dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.[2]   
         Tindak pidana Narkotika terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yang dapat dilihat dari data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional RI selama 5 tahun terakhir, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 17.898 kasus, tahun 2011 sebanyak 19.129 kasus, tahun 2012 sebanyak 19.081, tahun 2013 sebanyak 21.269 kasus dan tahun 2014 sebanyak 23.134 kasus.[3] Peningkatan tindak pidana Narkotika menunjukkan bahwa penyalahgunaan Narkotika tidak hanya terfokus di wilayah perkotaan semata, tetapi juga telah merambah sampai ke seluruh pelosok tanah air sehingga hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi wilayah di Indonesia yang imun terhadap peredaran serta penyalahgunaan zat adiktif tersebut. Penyalahgunaan Narkotika tidak terbatas pada kelompok elit berduit, tetapi telah merambah pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan, hal tersebut menjadi pertanyaan bernada khawatir apakah penyalahgunaan Narkotika merupakan bagian dari kultur bangsa atau lebih konkritnya apakah penggunaan Narkotika telah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia. [4]     
         Saat ini tindak pidana Narkotika tidak hanya dilakukan secara perorangan, namun telah melibatkan banyak orang secara berkelompok dan bekerjasama membentuk sindikat jaringan terorganisasi yang terencana, rapih dan rahasia dengan jaringan yang luas, mobilitas tinggi serta menggunakan modus operandi baru. Selain itu, pelaku kejahatan terorganisasi (organized crime) tentunya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan peran, motif, tugas serta fungsinya masing-masing baik sebelum kejahatan dilakukan hingga melakukan aktivitas penghilangan jejak setelah kejahatan dilakukan sehingga semakin sulit dalam pengungkapannya.[5] Salah satu langkah efektif yang dapat digunakan untuk menembus ke dalam jaringan kejahatan terorganisasi adalah dengan menggunakan bantuan dari pelaku yang merupakan orang dalam (inner circle criminal), dan terlibat secara langsung dalam kejahatan yang dilakukannya bersama-sama dengan pelaku lainnya. Orang dalam tersebut dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa saja yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan tersebut dilakukan, dan di mana bukti-bukti yang lain dapat ditemukan, sehingga penanganannya oleh penegak hukum menjadi lebih optimal.[6]   
         Salah satu kasus tindak pidana Narkotika yang menjadi studi dalam tulisan ini adalah tindak pidana Narkotika yang melibatkan Thomas Claudius Ali Junaidi, di mana sejak penyidikan hingga persidangan, Thomas Claudius Ali Junaidi memberikan keterangan sehingga dapat mengungkap jaringan peredaran gelap Narkotika di Maumere. Di persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Maumere telah mempertimbangkan peranan yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, namun dalam putusan, hakim tidak memberikan pengurangan hukuman yang signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana. Penetapan status sebagai saksi pelaku yang bekerjasama diterima oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013, di mana salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi berperan sebagai Justice collaborator dalam mengungkap tindak pidana Narkotika di Maumere. Bertolak dari hal tersebut, menarik untuk dikaji berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator (Studi putusan Mahkamah Agung Nomor : 920K/Pid.Sus/2013).

Metode Penelitian
         Artikel ini merupakan hasil dari penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain melalui penelitian perpustakaan ataupun melalui studi dokumen.[7] Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).[8] Bahan hukum hasil penelitian kemudian dianalisis secara yuridis-kualitatif melalui metode interpretasi, diekplanasi, dikonstruksikan dan diberikan argumentasi sehingga dapat ditarik kesimpulannya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan   
Dasar hukum Justice collaborator di Indonesia.
         Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan  ia alami sendiri. Namun perihal saksi pelaku yang bekerjasama tidak diatur dalam KUHAP. Praktik peradilan pidana berkembang istilah bagi pelaku yang memberikan keterangan sebagai saksi tentang perkara pidana, khususnya terhadap orang yang telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan suatu kejahatan terorganisasi yang memiliki pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode operasi, kegiatan dan hubungan dengan kelompok lain. Orang tersebut dikenal dengan beberapa isitilah yaitu saksi yang bekerjasama, saksi mahkota (crown witness) atau kroongetuige, saksi kolaborator, kolaborator hukum, saksi negara (state witness), supergrasses dan pentiti dalam bahasa Italia yang berarti mereka yang telah tobat.[9] Dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, berdasarkan Pasal 142 KUHAP penggunaan saksi mahkota dilakukan oleh penuntut umum dengan cara memisahkan berkas perkara (splits) ketika menghadapi kasus-kasus dalam bentuk penyertaan yang mempunyai keterbatasan alat bukti (bewijs minimum), dengan menjadikan pelaku sebagai saksi untuk memberikan keterangan terhadap pelaku lainnya di persidangan.[10] Berbeda dengan saksi mahkota dalam praktik pengadilan di Belanda, saksi mahkota adalah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam kejahatan misalnya Narkoba atau teroris yang dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi berdasarkan asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum untuk tidak menuntut terdakwa tersebut dengan syarat dia bersedia membongkar kompolotan yang terlibat dalam kejahatan.[11] Meskipun penggunaan saksi mahkota dalam peradilan pidana di Indonesia mendapat pro dan kontra, namun pada dasarnya keberadaan saksi mahkota yang merupakan teman terdakwa dalam melakukan tindak pidana bersama-sama (deelmening) yang kemudian diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum yang diantara perkaranya dipisah dilakukan karena kurangnya alat bukti.[12]
         Sejak Pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 melalui Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi, menjadi awal lahirnya undang-undang yang mengatur tentang pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana. Pasal 37 Konvensi ini pada pokoknya mengatur bahwa pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana dapat diberikan pengurangan hukuman maupun kekebalan penuntutan. Pengaturan yang serupa juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000. Pasal 26 Konvensi ini pada pokoknya mengatur tentang pemberian penghargaan berupa pengurangan hukuman dan kekebalan atas penuntutan terhadap pelaku kejahatan terorganisasi yang memberikan informasi maupun bantuan yang faktual kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penyelidikan dan pembuktian. Dengan demikian, dari kedua Konvensi tersebut, mengamanatkan kepada Negara peserta agar membuat peraturan yang dapat memfasilitasi kerjasama dari orang yang terlibat dalam suatu kejahatan untuk mengungkap kejahatan terorganisasi tersebut dengan memberikan penghargaan (reward), baik dalam bentuk pengurangan hukuman atau bahkan kemungkinan untuk diberikannya kekebalan penuntutan. [13]           
         Selain kedua Konvensi tersebut, secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, pengaturan Justice collaborator secara implisit tercantum dalam Pasal 10 ayat 2, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya. Berdasarkan pasal tersebut, menjadi dasar hukum tentang pelaku yang bekerjasama dengan menggunakan istilah “saksi yang juga tersangka” dan juga mengatur tentang keringanan hukuman kepada pelaku yang bekerjasama dengan memberikan kesaksian tentang tindak pidana. Namun demikian, rumusan pasal tersebut mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan terhadap kedudukan seorang saksi menjadi tersangka ketika pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai pelapor sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.[14]
          Untuk merespon ketentuan Pasal 10 ayat 2 yang memiliki kelemahan berkaitan dengan rumusan “saksi yang juga tersangka” dan “kasus yang sama” sehingga menimbulkan multi tafsir oleh penegak hukum dalam penerapannya[15], Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini dikeluarkan dengan mempertimbangkan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu Konvensi anti korupsi dan Konvensi anti kejahatan terorganisasi dalam hal pemberian perlindungan kepada orang-orang yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana khususnya yang dilakukan secara terorganisasi.[16] SEMA ini memberikan pedoman kepada hakim dalam menentukan seseorang pelaku tindak pidana sebagai Justice collaborator yaitu yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan, dan Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
         SEMA Nomor 4 Tahun 2011 juga mengatur tentang penghargaan (reward) berupa pengurangan hukuman kepada Justice collaborator, di mana hakim dalam persidangan dapat menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal yaitu menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dari ketentuan SEMA tersebut, menurut Marjono Reksodiputro bahwa Justice collaborator adalah seorang pelaku kejahatan yang kooperatif dengan penyidik atau penuntut umum untuk untuk membongkar kejahatan yang pada umumnya dilakukan secara tidak sukarela atau dengan maksud untuk mendapatkan imbalan berupa keringanan hukuman, sehingga dalam praktik peradilan, SEMA ini berpotensi menjadi dasar dilakukannya tawar menawar antara penegak hukum dengan pelaku kejahatan untuk menjadi Justice collaborator, di mana praktik tawar menawar ini dikenal dalam peradilan pidana di Amerika Serikat dengan istilah Plea bargaining.[17] Ketentuan tentang Justice collaborator juga diatur dalam Peraturan Bersama Penegak Hukum tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama. Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Adapun bentuk-bentuk perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bersama penegak hukum ini yaitu perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus, dan perlindungan dalam bentuk penghargaan.

Dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator (Studi putusan Mahkamah Agung No. 940/Pid.Sus/2013).
         Kronologis tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi berawal dari kedatangan tim penyidik Direktorat Reserse Narkoba Polda NTT untuk menindak lanjuti informasi dugaan peredaran gelap Narkotika yang marak terjadi di Maumere. Untuk memudahkan pengungkapan jaringan peredaran gelap Narkotika, tim penyidik meminta bantuan anggota Polres Sikka bernama VL dan RK. Untuk melakukan pemesanan Sabu kepada terdakwa IWPC yang kemudian secara berantai menghubungi terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, dan terdakwa Leophold Eddy Goni. Setelah memperoleh Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, kemudian terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi menyerahkan Sabu kepada terdakwa IWPC. Ketika terdakwa IWPC hendak melakukan transaksi Sabu dengan informan Robinson Kolis, tim penyidik langsung menangkap terdakwa IWPC. Pada saat diinterogasi, terdakwa IWPC memberikan informasi bahwa Sabu tersebut diperoleh dari terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi. Setelah berhasil mengamankan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, kemudian tim penyidik melakukan interogasi untuk mengetahui asal Sabu tersebut diperoleh. Atas kerjasama yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, tim penyidik berhasil menangkap terdakwa Stefanus Kopong Ingaman dan selanjutnya terdakwa Leophold Eddy Goni yang merupakan pemasok (bandar) Sabu di Maumere.[18]
         Berdasarkan uraian kronologis tersebut, selanjutnya penulis akan menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor : 940/Pid.Sus/2013 untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dalam menetapkan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi sebagai Justice collaborator ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Justice collaborator khususnya ketentuan yang tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

Pertama, mengakui tindak pidana yang dilakukannya.
         Berkaitan dengan persyaratan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah pelaku tersebut mengakui perbuatan yang dilakukannya, jika ditinjau dari perkara yang melibatkan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, sejak terdakwa ditangkap oleh penyidik sampai dengan pemeriksaan di persidangan, terdakwa dengan kesadarannya mengakui dan berterus terang serta memberikan keterangan dengan sejujurnya bahwa dirinya telah melakukan perbuatan menjadi perantara dalam jual beli narkotika jenis Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman kepada terdakwa IWPC, dan kemudian terdakwa berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.[19] Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi dalam persidangan dengan berterus terang dan mengakui perbuatannya tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya menjadikan hal tersebut sebagai salah satu hal yang meringankan yang kemudian dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidana sebagaimana tercantum dalam surat tuntutan yang menyatakan bahwa selama dalam persidangan, terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya.[20] Demikian pula dalam pertimbangan majelis hakim Kasasi, yang membenarkan alasan-alasan yang diajukan oleh terdakwa dalam memori kasasinya bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan pengadilan Negeri bahwa benar terdakwa melakukan tindak pidana Narkotika karena dimintai bantuan oleh Polda NTT untuk mengungkap jaringan Narkotika di daerah NTT.[21] Dengan demikian bahwa syarat “mengakui tindak pidana yang dilakukannya” telah terpenuhi dalam perkara tersebut.

Kedua, bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya.
         Persyaratan bahwa pelaku tindak pidana adalah “bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya” untuk dapat ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama selain diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011, juga diatur dalam peraturan bersama penegak hukum, namun demikian dalam kedua ketentuan tersebut, tidak memberikan pengertian dan kriteria yang jelas untuk menentukan bahwa pelaku dalam suatu tindak pidana bukan sebagai pelaku utama. Penentuan bukan sebagai pelaku utama dapat dilihat dari tindak pidana dalam bentuk penyertaan di mana peranan pelaku tersebut turut serta melakukan tindak pidana dengan peranan yang minim, maupun pelaku yang membantu untuk melakukan tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi dengan adanya pembagian tugas antara masing-masing pelaku untuk melakukan tindak pidana. Dalam perkara tindak pidana Narkotika dengan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, peranan terdakwa dalam tindak pidana tersebut dapat dilihat keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa yeng terungkap dalam persidangan yang satu sama lain saling bersesuaian, sehingga majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum yang kemudian menjadi pertimbangan hakim “bahwa terdakwa berperan sebagai penghubung atau perantara untuk mendapatkan Narkotika jenis Sabu”[22] dalam hal ini posisi terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi hanya menjadi perantara atau penghubung untuk membantu terdakwa IWPC memperoleh Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman dan terdakwa Leophold Eddy Goni yang merupakan pemasok (bandar) Sabu tersebut. Dengan demikian bahwa persyaratan pelaku bukan sebagai pelaku utama dalam perkara tersebut telah terpenuhi.

Ketiga, memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan.
         Salah satu dari persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah dengan memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban bahwa “...kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan...” Demikian pula dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa pelaku tersebut memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa seorang pelaku tindak pidana dapat dikategorikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama, jika pelaku tersebut memberikan keterangan sebagai saksi sejak tahap penyidikan yang dicatat dalam berita acara pemeriksaan sebagai saksi sampai dengan persidangan di pengadilan terhadap pelaku yang diungkapnya. Sehingga, menurut ketentuan tersebut, walaupun seorang pelaku memberikan keterangan kepada penyidik dalam proses penyidikan, namun apabila pelaku tersebut tidak memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan, maka pelaku tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, bahwa sejak tahap penyidikan, saat penyidik melakukan interogasi terhadap terdakwa dan meminta terdakwa untuk membantu membongkar jaringan Narkotika di Maumere, terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi bersedia membantu dengan memberikan keterangan bahwa Narkotika jenis Sabu tersebut diperoleh dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman. [23] Keterangan yang sama juga diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi yang dijadikan sebagai saksi mahkota dalam persidangan terhadap terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, dengan memberikan keterangan di depan persidangan bahwa dirinya memperoleh Sabu dari terdakwa Stefanus Kopong Ingaman atas pesanan dari terdakwa IWPC.[24] Keterangan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi tersebut bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi lainnya, sehingga majelis hakim menilai sebagai salah satu alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi. Dengan demikian bahwa, syarat untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan telah terpenuhi oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi.

Keempat, mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap pelaku lain yang mempunyai peran lebih besar.
         Persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi dari seorang pelaku tindak pidana untuk dapat ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap pelaku lain yang mempunyai peran yang lebih besar dalam suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut berarti bahwa seorang pelaku tindak pidana harus memberikan keterangan yang signifikan berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukannya maupun tentang keterlibatan pelaku lain sehingga penegak hukum dapat mengungkap tindak pidana baik yang dilakukan oleh pelaku tersebut maupun tentang pelaku lain dengan peran yang lebih besar yang terlibat dalam tindak pidana. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari keterangan saksi-saksi, yang kemudian menjadi pertimbangan majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa sejak tahap penyidikan, terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi yang berperan sebagai penghubung atau perantara untuk mendapatkan Narkotika jenis Sabu, terdakwa juga mempunyai peranan besar dalam hal membantu Kepolisian dalam mengungkap peredaran Narkotika di Maumere, sehingga dengan bantuan terdakwa, Kepolsian dapat menangkap orang-orang yang menjadi target operasi di Maumere, hal tersebut merupakan apresiasi terhadap terdakwa. [25] Adapun pelaku lain yang diungkap oleh terdakwa terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi adalah terdakwa Stefanus Kopong Ingaman, yang kemudian penyidik berhasil mengungkap terdakwa Leophold Eddy Goni sebagai pemilik Sabu dalam perkara tersebut. Dengan demikian, bahwa persyaratan untuk mengungkap tindak pidana secara efektif atau mengungkap pelaku lain dengan peran yang lebih besar telah terpenuhi dalam perkara terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi.
  
Kelima, Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya mencantumkan peranan yang telah diberikan oleh pelaku.
         Salah satu syarat bahwa untuk menetapkan seorang pelaku tindak pidana sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana yaitu Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya mencantumkan peranan yang telah diberikan oleh saksi pelaku sebagaimana diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut berarti bahwa peranan yang telah diberikan oleh pelaku tindak pidana dalam pelaku lain dengan peran yang lebih besar harus dicantumkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya dalam persidangan. Dalam perkara tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi, Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya tidak mencantumkan peranan yang telah diberikan oleh terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi sebagai hal-hal yang meringankan dan hanya mencantumkan bahwa terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya.[26] Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya tersebut mengabaikan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dari keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi berperan sebagai perantara dalam jual beli Narkotika dan berperan dalam membantu Kepolisian dalam mengungkap pelaku lain yang menjadi target operasi di Mauemere. Menurut penulis, sekiranya Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan dalam pembuktian di persidangan, maka sudah semestinya lebih responsif untuk memberikan apresiasi terhadap terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi yang telah memberikan keterangan untuk mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam peredaran Narkotika di Meumere, sehingga peranan yang diberikan oleh terdakwa terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi dapat dijadikan pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidana.

Penutup
Kesimpulan
         Dasar petimbangan hakim dalam menetapkan status terdakwa tindak pidana Narkotika sebagai Justice collaborator menunjukkan bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 920K/Pid.Sus/2013, majelis hakim telah mempedomani persyaratan-persyaratan untuk menetapkan seorang pelaku sebagai Justice collaborator sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu, yaitu terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi mengakui perbuatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana Narkotika tersebut, sejak penyidikan sampai dengan persidangan terdakwa Thomas Claudius Ali Junaidi memberikan keterangan sebagai saksi terhadap pelaku lain yang diungkapnya, serta terdakwa berperan dalam mengungkap tindak pidana secara efektif dan mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam sindikat peredaran gelap Narkotika di Maumere.

Saran
         Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas, disarankan             kepada hakim yang menangani perkara Justice collaborator kiranya dapat mempertimbangkan peranan yang telah diberikan berupa keterangan untuk mengungkap pelaku lain dalam sindikat peredaran gelap Narkotika sehingga dalam putusannya hakim dapat memberikan pengurangan hukuman yang signifikan, dan kepada Pemerintah dan DPR kiranya dapat melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, dengan memberikan pengaturan yang memadai tentang syarat-syarat untuk menetapkan pelaku tindak pidana sebagai Justice collaborator sehingga dapat menjadi dasar bagi aparat penegak hukum sejak tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan.


*** CATATAN : TULISAN INI TELAH DIPUBLIKASIKAN DALAM JURNAL BINA MULIA HUKUM UNPAD VOL. 1, NO 2 TAHUN 2017. DILARANG MENCOPY DAN MENGUTIP TANPA MENCANTUMKAN SUMBER. FILE PDF DAPAT DI DOWNLOAD DI HALAMAN WEB JBMH UNPAD DI LINK : http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/JBMH/article/view/jbmh.v1n2.6

Daftar Pustaka
Buku
Agustinus Pohan (et al), Hukum Pidana dalam Perspektif : Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Denpasar : Pustaka Larasan, 2012.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2014.
A.R  Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012.
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni, 2015.
                        , Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012.
Marjono Reksodiputro, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, 2013.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2013.


Sumber Lain
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Laporan Analisis Data Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2010-2014, Jakarta : 2015.
Hariman Satria, Menakar Perlindungan Justice Collaborator; Quo Vadis Justice Collaborator, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2, Juni 2016.
Haryono Sanadi, Analisis Putusan Hakim Nomor : 113/Pid.B/2007/PN. Pml, tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotka, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 Nomor 1 Januari 2010.
Indriyanto Seno Adji, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Diskusi Panel Undang-Undang Perlindungan Saksi di Indonesia, Jakarta, 2012.
Muntaha, Aspek Yuridis Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan Remaja, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari 2011.
Supriyadi Widodo Eddyono, Melihat Prospek Perlindungan Pelaku yang Bekerjasama di Indonesia, Jurnal LPSK Nomor 1 Tahun 2012.
                        , Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia; Perbandingan di Amerika dan Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2011.
United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisasi, Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun.

Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi (United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960).
Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan Konvensi PBB menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Peraturan Bersama Penegak Hukum (Menkumham RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, KPK RI dan LPSK RI) Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor : KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor : 4 Tahun 2011, tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013, perihal putusan tingkat Kasasi  terdakwa atas nama Thomas Claudius Ali Junaidi, tanggal 28 Mei 2013.
Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor : 07/Pid/2013/PTK, perihal putusan tingkat Banding terdakwa atas nama Thomas Claudius Ali Junaidi, tanggal 18 Februari 2013.
Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor : 100/Pid.Sus/2012/PN. MMR, perihal putusan tingkat pertama terdakwa atas nama Thomas Claudius Ali Junaidi, tanggal 17 Desember 2012.
Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor : 113/Pid.Sus/2012/PN. MMR, perihal putusan tingkat pertama terdakwa atas nama Stefanus Kopong Ingaman, tanggal 5 Desember 2012.



            [1] Haryono Sanadi, Analisis Putusan Hakim Nomor : 113/Pid.B/2007/PN. Pml, Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotka, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 Nomor 1 Januari 2010,  Hlm 9.
            [2] A.R  Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 59.
            [3] Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Laporan Analisis Data Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2010-2014, Jakarta : 2015, Hlm  1.
            [4] Muntaha, Aspek Yuridis Penyalahgunaan Narkotika di Kalangan Remaja, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari 2011, Hlm 211-212.
            [5] Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime, Bandung : Alumni, 2015, Hlm 34.
            [6] Indriyanto Seno Adji, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Diskusi Panel Undang-Undang Perlindungan Saksi di Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm 4.  
            [7] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hlm 13-14.
            [8] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2013, Hlm 133-134.
            [9] United Nation Office On Drugs and Crime, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan Kejahatan Terorganisasi, Jakarta : Division Of Operation UNODC, Tanpa Tahun, Hlm 17.
            [10] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012, Hlm 179.
            [11] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, Hlm 271-272.
            [12] Supriyadi Widodo Eddyono, Melihat Prospek Perlindungan Pelaku yang Bekerjasama di Indonesia, Jurnal LPSK Nomor 1 Tahun 2012, Hlm 2.
            [13] Hariman Satria, Menakar Perlindungan Justice Collaborator; Quo Vadis Justice Collaborator, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2, Juni 2016, Hlm 448.
            [14] Eddy O.S Hiariej dalam Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku, 2012, Hlm 23.
            [15] Supriyadi Widodo Eddyono, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia; Perbandingan di Amerika dan Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2011, Hlm 110.
            [16] Siradj Okta dalam Agustinus Pohan (et al), Hukum Pidana dalam Perspektif : Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Denpasar : Pustaka Larasan, 2012, Hlm 187.  
            [17] Marjono Reksodiputro, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI, 2013., Hlm 259-260.
            [18] Diolah dari hasil dokumentasi Berkas Perkara Nomor : BP/05/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 11 Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/06/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 11 Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/07/VI/2012/Dit Resnarkoba, tanggal 7 Juni 2012, dan Berkas Perkara Nomor : BP/01/VI/2012/Res Narkoba, tanggal 4 Juni 2012.
            [19]  Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor : 100/Pid.Sus/2012/PN. MMR, Hlm 34.
            [20] Surat tuntutan No.Reg.Perk.: PDM-36/MAUME/08/2012 tanggal 22 November 2012, Hlm 15.
            [21] Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 920K/Pid.Sus/2013, Hlm 22.
            [22] Ibid, Hlm 23.
            [23]  Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor : 100, Op Cit, Hlm 46.
            [24]  Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor : 113/Pid.Sus/2012/PN. MMR, Hlm 13.
            [25] Putusan Mahkamah Agung RI, Op cit, Hlm 8.
            [26] Surat tuntutan, Loc Cit.