Selasa, 11 Oktober 2016

KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

         Penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. De Pinto mengemukakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah merekan dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [1]
         Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual baik melalui penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka, serta tindakan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.[2] Penyidikan adalah tindakan mencari kejahatan yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana, dan jika benar demikian siapakah pelakunya.[3]
         Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses pneyidikan itu dinyatakan selesai. [4] Tahap penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik termasuk penyidikan tambahan atas dasar petunjuk dari penuntut umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Penyidikan didasarkan karena adanya dugaan telah atau sedang terjadinya tindak pidana yang dapat berasal dari laporan atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau karena tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. [5]
         Berkaitan dengan hakikat penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti, secara sistematis dilakukan melalui proses yaitu : [6]
         1.      Informasi, yaitu menyidik dan mengumpulkan keterangan-ketarangan serta bukti-bukti oleh polisi yang biasa disebut mengolah tempat kejadian;
         2.      Interogasi, yaitu memeriksa dan mendengar orang-orang yang dicurigai dan saksi-saksi yang biasayna dapat diperoleh di tempat kejahatan;
         3.      Instrumentarium, yaitu pemakaian alat-alat teknik untuk penyidikan perkara, seperti photografi, mikroskop dan alat lain di tempat kejahatan.

         Lebih lanjut, dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik berusaha untuk : [7]
         1.      Mendapatkan bukt-bukti dalam perkara pidana yang berhubungan dengan kejahatan yang telah terjadi (corpora delicti dan alat-alat yang telah dipakai melakukan kejahatan (instrumenta delicti);     
         2.      Berusaha meneman cara atau metode yang telah dipakai penjahat waktu berbuat kejahatan (metode operandi);
         3.      Berusaha menemukan siapakah (identitas) penjahatnya.

         Sasaran atau target penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang atau jelas, dan sekaligus menemukan siapa tersangka/pelakunya. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan, tindakan mencari, menemukan, mengumpulkan, dan melakukan penyitaan terhadap alat-alat bukti yang sah dan benda/barang bukti. [8]
         Tujuan penyidikan terhadap tindak pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan-keterangan berupa : [9]
         1.      Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi. Penyidikan  yang dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana apa yang sesungguhya telah terjadi sehingga dapat menentukan pasal-pasal yang dilanggarnya.
         2.      Waktu tindak pidana dilakukan. Penyidikan yang dilakukan harus dapat mengungkap waktu dilakukannya suatu kejahatan, berkaitan dengan tanggal, hari, bulan dan tahun dilakukannya suatu tindak pidana. Mengungkapkan waktu dilakukannya tindak pidana untuk memberikan keyakinan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan untuk dapat dijadikan ukuran jika adanya alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku.
         3.      Tempat terjadinya tindak pidana, dimaksudkan adalah tempat di mana si pelaku melakukan kejahatannya. Tempat dapat terjadi pada suatu lokasi tertentu atau dibeberapa lokasi. Penyidikan dilakukan maksudnya adalah untuk mengetahui di mana tindak pidana itu dilakukan. Kegunaannya adalah selain memudahkan penyidik mencari keterangan dan menemukan saksi dan barang bukti yang digunakan pelaku, juga dapat dijadikan ukuran jika ada alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku bahwa terjadinya kejahatan tidak berada ditempat tersebut.
         4.      Dengan apa tindak pidana dilakukan. Dalam penyidikan hal yang penting diungkapkan adalah alat-alat yang digunakan pelaku di dalam melakukan kejahatannya. Alat ini dapat dijadikan barang bukti oleh penyidik dan di depan sidang pengadilan dapat berguna untuk mendukung alat-alat bukti yang ada sehingga menambah keyakinan hakim di dalam menjatuhkan putusannya.
         5.      Alasan dilakukannya tindak pidana. Keterangan yang perlu diungkap penyidik di dalam melakukan penyidikan adalah alasan yang mendorong dilakukannya tindak pidana. Maksudnya adalah untuk mengetahui apa sesungguhnya yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatannya, apa tujuan yang hendak dicapainya sehingga melakukan kejahatan. Adapun alasan-alasan dilakukannya tindak pidana akan dapat dijadian sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana.
         6.      Pelaku tindak pidana. Keterangan terpenting yang harus diungkapkan dalam penyidikan adalah pelaku dari tindak pidana itu. Keterangan ini untuk menyimpulkan siapa sebenarnya tersangka yang melakukan tindak pidana dengan melihat antara keterangan-keterangan yang telah diperleh melalui alat-alat bukti lainnya.

Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika.
         Kewenangan penyidikan dimiliki oleh penyidik dan penyidik pembantu. Adapun pengertian penyidik menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Lebih lanjut, Pasal 6 KUHAP menyatakan :
         1.      Penyidik adalah :
                  a.      Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
                  b.      Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
         2.      Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
                                      
         Dari Pasal 6 KUHAP di atas, dengan jelas menyatakan bahwa penyidik terdiri dari dua yaitu penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil. Mengenai penyidik Polri dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian yang dalam pelaksanaannya oleh penyidik dan penyidik pembantu. Sedangkan bagi penyidik pegawai negeri sipil diberi kewenangan yang bersumber dari ketentuan undang-undang pidana khusus untuk melakukan penyidikan, sehingga wewenang penyidikan yang dimiliki oleh penyidik pengawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus tersebut, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri. [10]
         Adapun syarat-syarat sebagai penyidik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut :
         Untuk dapat  diangkat sebagai penyidik Kepolisian negera Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, harus memenuhi persyaratan :
         a.      Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah strata satu atau yang setara;
         b.      Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua tahun;
         c.      Mengikuti pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;
         d.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
         e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral.
                             
         Sedangkan syarat bagi pegawai negeri sipil untuk mengajukan diri sebagai calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah :
         a.      Masa kerja sebagai PNS paling singkat dua tahun;
         b.      Berpangkat paling rendah Penata Muda/Golongan III/a;
         c.      Berpendidikan paling rendah Sarjana Hukum atau sarjana lain yang setara;
         d.      Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
         e.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter rumah sakit pemerintah;
         f.       Setiap unsur pelaksanaan pekerjaan PNS paling sedikit bernilai baik dalam dua tahun terakhir;
         g.      Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.

         Mengenai wewenang penyidik diatur dalam Pasal 7 KUHAP, yaitu:
         1.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
                  a.      Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
                  b.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
                  c.      Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
                  d.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
                  e.      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
                  f.       Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
                  g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
                  h.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
                  i.       Mengadakan penghentian penyidikan;
                  j.       Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
         2.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a.
         3.      Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

         Selanjutnya, penyidik pembantu menurut Pasal 1 angka 3 KUHAP, adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-udang ini. Lebih lanjut, Pasal 10 KUHAP menyatakan :
         1.      Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat 2 pasal ini.
         2.      Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.

         Adapun syarat kepangkatan bagi penyidik pembantu yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut :
         Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan :
         a.      Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
         b.      Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua tahun;
         c.      Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.
         d.      Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
         e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

         Mengenai kewenangan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat 1, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Selain kewenangan penyidikan kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga terdapat penyidik lain menurut undang-undang tindak pidana khusus seperti penyidik pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan kewenangan penyidikan terhadap penyidik Badan Narkotika Nasional. Dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa alam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
         Lebih lanjut, dalam Pasal 72 dalam undang-undang tersebut memberikan pengaturan tentang penyidik BNN, sebagai berikut :
         1.      Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
         2.      Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
         3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

         Mengenai kewenangan penyidik BNN diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:
         a.      Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         b.      Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         c.      Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
         d.      Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
         e.      Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         f.       Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         g.      Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         h.      Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
         i.       Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
         j.       Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
         k.      Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         l.       Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
         m.     mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
         n.      Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
         o.      Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         p.      Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
         q.      Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         r.       Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
         s.       Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

         Kewenangan lain yang dimiliki oleh penyidik BNN diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang :
         a.      Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
         b.      Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
         c.      Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
         d.      Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
         e.      Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
         f.       Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
         g.      Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
         h.      Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

         Kewenangan penyidikan Narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak hanya kepada diberikan penyidik BNN, tetapi juga kepada penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 81, yang menyatakan bahwa penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan undang-undang ini.
         Maksud dari Pasal 81 di atas, bahwa penyidik Polri dalam melakukan upaya pemberantasan Narkotika juga memiliki kewenangan penyidikan sebagaimana kewenangan penyidikan oleh penyidik BNN. Tidak ada yang lebih superior antara penyidik Polri dan penyidik BNN, keduanya memiliki kewenangan yang sama, dan saling bekerjasama satu sama lain dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.[11] Dengan demikian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka Badan Narkotika Nasional mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana Narkotika menurut tata cara sebagaimana diatur baik dalam hukum pidana materiil maupun formil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Preskursor Narkotika di wilayah Republik Indonesia. [12]


DAFTAR PUSTAKA

Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy Puspa Mega, 2002.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989.
A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, Jakarta, 1998. Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012.
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Penerapan dan Permasalahan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.






            [1] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung : Alumni, 2012,  Hlm 54.
            [2]  Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta : PT. Galaxy Puspa Mega, 2002, Hlm 15.
            [3]  Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, Jakarta, 1998, Hlm 8.
            [4] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, Hlm 116.
            [5] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989, Hlm 123.
            [6] M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997, Hlm 97.
            [7] Ibid, Hlm 97.
            [8] HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM Press, 2010,  Hlm 53.
            [9] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007,  Hlm 58-59.
            [10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Penerapan dan Permasalahan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Hlm 110-113.
            [11] A.R Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, Hlm 154.
            [12] Ibid, Hlm 132-133.