Rabu, 03 Juni 2015

TEORI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)

TEORI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)

Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
               Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[1]
               Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek..[2]
               Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3 (tiga) batasan pengertian, yaitu : [3]
               1.   Pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar              pemerintahan);
               2.   Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya);
               3.   Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.

               Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu : [4]
                1.   Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan         negara;
                2.   Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan negara.

               Menurut Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah, yang meliputi : [5]
               1.   Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-      materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
               2.   Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan    pembinaan para penegak hukum.

               Selanjutnya, definisi politik hukum menurut Bellefroid, sebagai berikut: [6]
               Politik hukum merupakan cabang dari salah satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang       menyatakan politik hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum, dari ius contitutum yang telah ditentukan oleh kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha untuk menyusun Ius constituendum atau hukum pada masa yang akan datang.

               Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru). [7]
               Sacipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya berlaku (Ius constituendum). Sedangkan pengertian Politik hukum menurut Muchtar Kusumatmadja, adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaruan hukum. Proses pembentukan hukum harus dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dalam undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. [8]
               Menurut Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu, dengan kata lain politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (Ius constituendum). [9]
              Teuku Mohammad Radie, mengemukakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan hukum yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (Ius constitutum), dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun, mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (Ius constituendum) [10].
               Menurut Garda Nusantara, Politik hukum meliputi : [11]
               1.   Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;
               2.   Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang     telah ada dan dianggap usang dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;
               3.   Penegasan kembali fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan          anggotanya;
               4.   Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil  kebijakan.
              
               Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.[12]
               Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah : [13]
               1.   Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan          keadaan dan situasi pada suatu saat;
               2.   Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan               peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
              
               Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.[14]
               Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[15]
               Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana. [16]
               Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggung jawaban pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan). [17]
               Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan, tahap perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan masyarakat. [18]

Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
               Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari : [19]
               1.   Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana;
               2.   Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana;
               3.   Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.

               Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.[20]
               Selanjutnya, A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan : [21]
               1.   Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
               2.   Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
               3.   Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus             dilaksanakan.      
              
               Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan :[22]
               1.   Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
               2.   Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
               3.   Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
               4.   Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka          mencapai tujuan yang lebih besar.

               Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni : [23]
               1.   Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
               2.   Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
               3.   Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
              
               Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. [24]
               Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif).[25]
               Perencanaan (planning) pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup tiga masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu masalah:[26]
               1.   Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan pidana yang diancamkan (criminalisation      and threatened punishment);
               2.   Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing);
               3.   Pelaksanaan pidana (execution of punishment).
                    
               Berkaitan dengan kebijakan kriminaliasasi, menurut Sudarto bahwa perlu diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut : [27]
               1.   Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu     mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
               2.  Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana       harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga masyarakat.
               3.   Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost      and benefit principle);
               4.   Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
                    
               Sejalan dengan yang dikemukakan Sudarto di atas, menurut Bassiouni bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminilisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk : [28]
               1.   Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil      yang ingin dicapai;
               2.   Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-     tujuan yang dicari;
               3.   Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
               4.   Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau          dipandang dari pengaruh-pengaruh yang sekunder.

               Hal lain yang diperlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut adalah : [29]
               1.   Pemeliharaan tertib masyarakat;
               2.   Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
               3.   Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para pelanngar hukum;
               4.   Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu           mengenai keadilan sosial, martabat kemanusian dan keadilan individu.     

               Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat kriminalisasi pada umumnya adalah : [30]
               1.   Adanya korban;
               2.   Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
               3.   Harus berdasarkan asas ratio-principle; dan
               4.   Adanya kesepakatan sosial (public support).    
              
               Selanjutnya, untuk merumuskan suatu perbuatan menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : [31]
               1.   Perbuatan tersebut haruslah benar-benar perbuatan yang jahat atau tidak dikehendaki      oleh masyarakat atau merugikan masyarakat. Dengan kata lain jahat berarti merugikan atau menyerang kepentingan hukum (baik kepentingan hukum individu, masyarakat maupun kepentingan hukum negara);
               2.   Diperhatikan pula kesiapan aparatur penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana itu nantinya, baik itu kesiapan secara kualitatif yang menyangkut profesionalisme aparatur, maupun dari segi kuantitatif, yakni apakah seimbang dengan kuantitas aparat sehingga tidak menjadi beban baginya;
               3.   Diperhatikan pula cost and benefit principle, artinya biaya pembuatan suat peraturan       pidana harus benar-benar diperhitungkan apakah sudah sesuai dengan tujuan dibentuknya peraturan pidana, atau apakah sudah tersedia biaya yang memadai dalam penegakan hukum itu nantinya, sebab ketidaksiapan biaya penegakan hukum (termasuk pengadaan sarana dan prasarananya) justru akan menyakiti masyarakat.

               Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. [32]         
               Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindak lanjuti usaha pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.[33]
               Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah enforcement dalam Black law dictionary diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law. Sedangkan penegak hukum (law enforcement officer) artinya adalah those whose duty it is to preserve the peace. [34] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan. [35]                     
               Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).[36] Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[37]
               Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian, yaitu : [38]
               1.   Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang      dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement;
               2.   Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total       tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal;
               3.  Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-     keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
              
               Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu : [39]
               1.   Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di dukung oleh sanksi pidana;
               2.   Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang   mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan di atas;
               3.   Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa       dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.                        

               Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. [40]
               Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang rasional. [41]

DAFTAR PUSTAKA



            [1] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti (Bandung, 2010), hlm : 23-24.
            [2] Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), hlm : 10.
            [3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka (Jakarta, 1998), hlm : 780.
            [4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), hlm : 11.
            [5] Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media (Yogyakarta, 1999), hlm : 9.
            [6] Bellefroid dalam Moempoeni Martojo, Politik Hukum dalam Sketsa, Fakultas Hukum UNDIP (Semarang, 2000), hlm : 35.
            [7] Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika (Jakarta, 2011), hlm : 22-23.
            [8] Ibid hlm : 24.
            [9] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2010), hlm : 26-27.
            [10] Ibid.
            [11] Ibid, hlm : 31.
            [12] Aloysius Wisnubroto, Op Cit, hlm : 10.
            [13] Barda Nawawi Arief, Op Cit,  hlm : 24.
            [14] Aloysius Wisnubroto, Op Cit, hlm : 11.
            [15] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit,  hlm : 23.
            [16] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 2008), hlm : 58-59.
            [17] Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media (Yogyakarta, 2009), hlm : 45-46.
            [18] Syaiful Bakhri, Ibid, hlm : 83-84.
            [19] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit,  hlm : 24.
            [20] Ibid, hlm : 28-29.
            [21] Aloysius Wisnubroto, Op Cit, hlm : 12.
            [22] Ibid, hlm : 14.
            [23] Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm : 78-79.
            [24] Ibid, hlm : 80.
            [25] Ibid.
            [26] Nils Jareborg dalam Barda Nawawi Arif, Ibid, hlm : 81.
            [27] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1983), hlm : 23.
            [28] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet II, Alumni (Bandung, 1998), hlm :166.
            [29] Ibid, hlm : 167.    
            [30] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijjakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), hlm : 51.
            [31] Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media (Jakarta, 2011), hlm : 27-28.
            [32] Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, hlm : 1-2.
            [33] Lihat Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun 2003/2004.
            [34] Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O, 1999, hlm : 797.
            [35] Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar…, Op Cit, hlm : 912.
            [36] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1986), hlm : 32.
            [37] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2005), hlm : 5.
            [38] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip (Semarang, 1995), hlm : 40.
            [39] Ibid,, hlm : 41.
            [40] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum…, Op Cit, hlm : 75.
            [41] Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media (Yogyakarta, 2009), hlm : 155.