Jumat, 26 Oktober 2018

TAHAP-TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA MENURUT KUHAP


Tahap-Tahap Penyidikan Tindak Pidana Menurut KUHAP

         Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban apakah telah terjadi tindak pidana. Setelah adanya penyelidikan dan dilanjutkan dengan penyidikan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat-alat bukti lain yang diperlukan dan terukur terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana. Apabila pengumpulan alat-alat bukti dalam tindak pidana itu telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, maka pemenuhan unsur dalam tindak pidana telah siap untuk diproses ke tahapan selanjutnya dalam peradilan pidana. [1]
         Mengenai tahap-tahap penyidikan, KUHAP tidak memberikan pengaturan yang konkrit mengenai tata urut penyidikan. KUHAP hanya menyebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Di dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, Pasal 15 menyebutkan bahwa tahap-tahap penyidikan diawali dari penyelidikan, pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan penghentian penyidikan. [2]
         Secara umum tahap-tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, sebagai berikut :
1).     Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
                  Setelah menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat tentang dugaan telah terjadinya tindak pidana atau berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) yang dibuat oleh penyelidik tentang dugaan telah terjadinya tindak pidana, kemudian ditindak lanjuti oleh penyidik dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHAP yaitu :
                  Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib sebera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.

                  Atas dasar surat perintah penyidikan, dikeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), sebagaimana diatur dala Pasal 109  ayat 1 KUHAP yaitu dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Mengenai pengertian telah melakukan penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan upaya paksa oleh penyidik yang berupa pemanggilan pro justisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya. [3]
                  Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berisi tentang dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan, waktu dimulainya penyidikan, jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana, identitas tersangka jika sudah diketahui, dana identitas pejabat yang mengeluarkan SPDP. Adapun tujuan dari SPDP adalah bagian dari pengawasan antara lembaga dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini adalah bentuk koordinasi dan pengawasan antara penyidik kepada penuntut umum yang nantinya akan menerima dan melanjutkan berkas perkara hasil penyidikan. [4]      

2).     Upaya Paksa
                  Pada prinsipnya, setiap orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan pribadi termasuk harta benda yang dimiliki yang dilindungi oleh hukum, namun kebebasan dan kemerdekaan tersebut dapat dibatasi bahkan dan dapat hilang akibat perbuatan orang itu sendiri. Pembatasan terhadap kemerdekaan dan kebebasan seseorang hanya dapat dibenarkan sepanjang menurut aturan hukum. Berkaitan dengan itu,  KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan yang dapat dilakukan sehubungan dengan dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. [5]
                  Secara eksplisit, KUHAP tidak memberikan definisi mengenai istilah upaya paksa, namun memberikan pengaturan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut terminologi hukum pidana, upaya paksa atau dwangmiddelen adalah tindakan penyidik yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat untuk kepentingan penyidikan.[6]
                  Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang atua untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapa pun yang diperlukan untuk memperlancar proses pemeriksaan atau mendapatkan bahan-bahan pembuktian.[7]
                  Secara umum, upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan, sebagai berikut:
         a).     Pemanggilan
                           Pemanggilan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepada seseorang saksi, ahli maupun tersangka, karena kewenangannya untuk datang di kantor yang telah ditentukan, untuk kepentingan tertentu yang berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang terjadi. Pemanggilan merupakan tindakan hukum yang mempuyai kekuatan memaksa, dan berakibat hukum dan menimbulkan implikasi yang dapat dilihat dari status orang yang dipanggil yaitu sebagai saksi maupun tersangka. [8]
                           Pemanggilan diatur dalam Pasal 112 KUHAP yaitu :
                           1.      Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pemanggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
                           2.      Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

                           Pemenuhan atas panggilan penyidik untuk memberikan keterangan adalah suatu kewajiban hukum (legal obligation), oleh karena itu, apabila seseorang tidak datang setelah surat pemanggilan yang kedua, maka penyidik dapat membawa secara paksa. Pasal 113 KUHAP menyatakan bahwa bagi seseorang yang tidak dapat datang dengan memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang menghadap penyidik, maka penyidik yang akan datang ke tempat kediamannya. Sedangkan bagi tersangka yang tidak datang karena tidak diketahui keberadannya oleh penyidik, maka identitas orang tersebut dicatat dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan dibuatkan surat pencarian orang. [9]
         b).     Penangkapan
                           Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP yaitu :
                           Penangkapan adala suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara  waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                           Pasal 16 KUHAP menyatakan bahwa untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik, dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Selanjutnya dalam Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Adapun bukti permulaan yang cukup adalah berupa laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukannya penangkapan. [10]
                           Lebih lanjut dalam Pasal 18 KUHAP menyatakan bahwa:
                           1.      Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
                           2.      Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
                           3.      Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepda keluarganya segera setelah penangkapan.
                                               
                                    Berkaitan dengan Pasal 18 ayat 3 KUHAP di atas, kata segera tidak dijelaskan secara pasti berapa lama untuk minimal dan maksimal waktunya, maka secara hukum yang intelektual, harus diartikan secepat-cepatnya agar dapat diketahui oleh keluarga tersangka yang ditangkap sehingga menghindari tuntutan secara hukum dari keluarga tersangka. [11]
                                    Mengenai jangka waktu penangkapan diatur dalam Pasal 19 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama satu hari. Adapun maksud bahwa masa penangkapan adalah satu hari adalah agar setelah diadakan penangkapan terhadap tersangka, penyidik dapat segera memeriksanya, dan dalam satu hari telah dapat diperoleh hasilnya, untuk ditentukan apakah penangkapan tersebut akan dilanjutkan dengan penahanan atau tidak. [12]       
                                    Berkaitan dengan jangka waktu penangkapan, dalam hal penangkapan yang dilakukan ditempat-tempat atau daerah yang terpencil dan sulit transportasi yang tidak memungkinkan penyelesaian penangkapan dalam waktu satu hari untuk menghadapkan tersangka kepada penyidik, pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan jalan sebagai berikut : [13]
                           1.      Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang terdekat.
                           2.      Bila penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.

                  c).     Penahanan
                                    Pengertian penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP yaitu :
                                    Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
                             
                                    Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati, namun demi kepentingan ketertiban umum yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, oleh karena itu penahanan dilakukan jika perlu sekali. [14]
                                    Adapun syarat-syarat untuk dapat melakukan penahanan,  dapat dibagi menjadi dua, yaitu : [15]
                                    1.      Syarat subjektif, artinya menurut pendapat sendiri, atau menurut penilaian masing-masing pribadi, atau syarat yang hanya pihak yang melakukan penahanan yang bisa memahami. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP, bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
                                    2.      Syarat objektif, yaitu memiliki makna berkenaan dengan keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4, bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, dan tidak pidana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP.              

                                    Mengenai tempat pelaksanaan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 KUHAP, terdiri dari penahanan rumah tahanan negara yang dilaksanakan di rutan yang berada di masing-masing kabupaten/kota, penahanan rumah yang dilaksanan di rumah tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa, dan penahanan kota yang dilaksanakan di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa dengan  wajib lapor. Masa penahanan rutan dikurangi seluruhnya, masa tahanan rumah dikurangi sepertiga, dan masa penahanan kota dikurangi seperlima dari masa tahanan dari pidana yang dijatuhkan.
                                    Penahanan dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Adapun jangka waktu penahanan oleh penyidik selama 40 hari dapat diperpanjang selama 20 hari, penahanan oleh penuntut umum selama 20 hari dapat diperpanjang selama 30 hari, penahanan hakim pengadilan negeri selama 30 hari dapat diperpanjang selama 60 hari, penahanan oleh hakim pengadilan tinggi selama 30 hari dapat diperpanjang selama 60 hari, dan  penahanan oleh hakim mahkamah agung selama 50 hari dapat diperpanjang selama 60 hari, sehingga total jangka waktu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa adalah selama 400 hari, dan apabila jangka waktu pada tiap-tiap tahapan kewenangan tersebut telah berakhir, maka tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum. [16]
                  d).     Penggeledahan
                                    Penggeledahan merupakan salah satu upaya paksa yang merupakan kewenangan penyidik dalam proses penyidikan. Pengertian penggeledahan terdiri dari penggeledahan rumah diatur dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP yaitu :
                                    Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
                                               
                                    Sedangkan penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP yaitu :
                                    Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta untuk disita.
           
                                    Tindakan untuk memasuki rumah atau tempat kediaman atau menggeledah orang dalam rangka menyidik suatu tindak pidana menurut hukum acara pidana harus dibatasi dan diatur secara cermat, di mana menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha untuk mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidaknya seseorang. Dalam melakukan penggeledahan, penyidik harus betul-betul cermat dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, agar terhindar dari pelanggaran terhadap kebebasan orang dalam hal terhadap ketentraman rumah atau tempat kediaman orang yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh undang-undang. [17]
                                    Penggeladahan rumah maupun penggeledahan badan/pakaian memiliki tata cara dan syarat-syarat yang harus terpenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 KUHAP yaitu adanya surat izin dari ketua pengadilan negeri, dilengkapi dengan surat perintah tertulis, disaksikan oleh dua orang saksi atau kepala desa atau ketua lingkungan, dan harus dibuatkan berita acara kemudian disampaikan kepada penghuni atau pemilik rumah dalam waktu dua hari setelah penggeledahan.
                                    Dari Pasal 33 KUHAP di atas, pembatasan terhadap penggeledahan selain memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri, penggeledahan juga mendapat pengawasan dari pemilik tempat yang digeledah dengan jalan memberikan salinan berita acara penggeledahan. Demikian juga pengawasan pihak ketiga yaitu dua orang saksi dan kepala desa atau ketua lingkungan yang harus ikut menyaksikan jalannya penggeledahan. [18]
                                    Pasal 34 KUHAP memberikan pengaturan tentang penggeledahan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak, penggeledahan dapat dilakukan pada rumah atau tempat lain tersangka tinggal, di tempat tindak pidana dilakukan dan ditempat umum lainnya.
                                    Adapun keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di tempat yang akan digeledah di duga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dimusnahkan, sedangkan izin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat. [19]
                                    Pasal 35 KUHAP mengatur tentang larangan memasuki dan melakukan penggeledahan di dalam ruang di mana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPD, tempat dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan, dan ruang di mana berlangsung sidang pengadilan. Larangan tersebut berlaku pada proses yang sedang berjalan, artinya tempat-tempat tersebut dapat dimasuki atau digeledah selama tidak menyelenggarakan proses tersebut di atas, kecuali dalam hal tertangkap tangan.
                  e).     Penyitaan
                                    Pengertian penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP yaitu :
                                    Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

                                    Dengan kata lain, bahwa penyitaan adalah mengambil barang-barang dari tangan seseorang yang memegang atau menguasai barang itu, kemudian menyerahkannya kepada pejabat yang memerlukan untuk keperluan pemeriksaan atau pembuktian perkara di sidang pengadilan, dan barang tersebut ditahan untuk sementara waktu sampai ada keputusan pengadilan tentang status barang tersebut, artinya mengenai siapa yang berhak menerima/memiliki barang tersebut. [20]        
                                    Lebih lanjut, Pasal 38 KUHAP memberikan pengaturan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat izin terlebih dahulu. Penyitaan hanya atas benda bergerak, dan setelah melakukan penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan persetujuannya.
                                    Mengenai benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu :
                                    1.      Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
                                             a.      Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
                                             b.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
                                             c.      Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
                                             d.      Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
                                             e.      Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
                                    2.      Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan pada ayat 1.

                                    Berkaitan dengan kategori benda-benda yang dapat disita yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP, jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka benda-benda yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP adalah termasuk benda-benda berwujud. Sedangkan benda tidak berwujud dapat dicontohkan dalam arrest Hoge raad pada tanggal 23 Mei 1921 dalam perkara penyadapan arus listrik yang kemudian dikualifikasikan sebagai pencurian aliran listrik, di mana energi listrik dapat dikategorikan benda tidak berwujud sebagai objek pencurian. [21]
                                    Dalam melakukan penyitaan agar berdaya guna dan tidak menimbulkan persoalan hukum yang dapat berdampak negatif baik terhadap penyidik maupun terhadap harta milik orang lain, maka sebelum melakukan penyitaan hendaknya penyidik harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa : [22]
                                    1.      Apa yang telah terjadi dan yang dihadapi itu adalah benar-benar merupakan tindak pidana.
                                    2.      Benda yang akan dikenakan penyitaan itu adalah benar-benar merupakan hasil atau ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi.
                                    3.      Benda yang akan disita diyakini benar dapat dijadikan sebagai barang bukti di sidang pengadilan.

                  f).     Pemeriksaan Surat
                                    Mengenai pemeriksaan surat berkaitan dengan pencarian alat bukti surat yang akan digunakan dalam pembuktian. Pemeriksaan surat diatur dalam Pasal 47 KUHAP yaitu :
                                    1.      Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
                                    2.      Untuk kepentingan tersebut, penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud, dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
                                    3.      Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dan proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.

                                    Lebih lanjut dalam Pasal 48 KUHAP mengatur bahwa jika dalam surat yang telah dibuka dan diperiksa mempunyai hubungan dengan perkara yang diperiksa, maka surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara, apabila tidak maka surat tersebut ditutup dengan rapih dan diserahkan kembali dengan dibubuhi tanda tangan, tanggal, tanda tangan penyidik serta cap yang berbunyi bahwa surat tersebut telah dibuka oleh penyidik, di mana penyidik wajib merahasiakan isi surat tersebut.
                  3).     Pemeriksaan
                                    Pemeriksaan pada tahap penyidikan dilakukan terhadap tersangka, saksi dan kepada ahli jika dibutuhkan berkaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana. Pemeriksaan kepada tersangka, saksi, dan ahli dilakukan dengan memanggil terlebih dahulu melalui surat resmi dengan memperhatikan tenggang waktu pemeriksaan, kecuali kepada tersangka yang sudah ditahan tidak perlu dilakukan pemanggilan. [23]
                                    Pemeriksaan dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap saksi untuk mendapatkan keterangan yang ia dengar, lihat dan alami sendiri berkenaan dengan tindak pidana. Pemeriksaan terhadap ahli untuk mendapatkan keterangan dari seseorang yang mempunyai keahlian khusus, dan keterangan terhadap terdakwa untuk mendapatkan keterangan dari tersangka berkaitan dengan dugaan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya. Dengan adanya pemeriksaan, dapat membuat terang suatu perkara sehingga peran seseorang dalam tindak pidana yang terjadi menjadi jelas. [24]
                                    Dalam hal pemeriksaan terhadap tersangka dalam proses penyidikan, perlu memperhatikan pemenuhan hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAP, sebagai berikut :
                                    1.      Pasal 50 ayat 1, bahwa tersangka berhak untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum.
                                    2.      Pasal 51 huruf a, bahwa tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
                                    3.      Pasal 52, bahwa dalam pemeriksaan tingkat penyidikan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.
                                    4.      Pasal 53, bahwa dalam pemeriksaan terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa, jika terdakwa bisu atau tuli mendapat bantuan juru penerjemah.
                                    5.      Pasal 54, bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum selama pemeriksaan.
                                    6.      Pasal 55, bahwa terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasihat hukum.
                                    7.      Pasal 56, bahwa tersangka yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana lima belas tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum, maka pejabat yang memeriksanya wajib menunjuk penasihat hukum secara cuma-cuma.  
                                    8.      Pasal 65, bahwa tersangka berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan ahli guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya.
                  4).     Gelar Perkara
                                    Gelar perkara tidak diatur dalam KUHAP sebagai salah satu rangkaian proses penyidikan, namun dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana memberikan pengaturan tentang pelaksanaan gelar perkara dalam proses penyidikan yang terdiri dari dua yaitu gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Pasal 70 ayat 2 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 menyatakan bahwa gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap awal, pertengahan dan akhir proses penyidikan. Adapun tujuan gelar perkara pada tahap awal penyidikan bertujuan untuk : [25]
                                    1.      Menetukan status perkara pidana atau bukan;
                                    2.      Merumuskan rencana penyidikan;
                                    3.      Menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;
                                    4.      Menentukan target waktu; dan
                                    5.      Penerapan teknik dan taktik penyidikan.

                                    Gelar perkara pada tahap pertengahan penyidikan bertujuan untuk : [26]
                                    1.      Evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penyidikan;
                                    2.      Mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan penyelesaian penyidikan;
                                    3.      Menentukan rencana penindakan lebih lanjut;
                                    4.      Memastikan terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan;
                                    5.      Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan barang bukti dengan pasal yang dipersangkakan;
                                    6.      Memastikan pelaksanaan penyidikan telah sesuai dengan target yang ditetapkan; dan
                                    7.      Mengembangkan rencana dan sasaran penyidikan.

                                    Gelar perkara pada tahap akhir penyidikan bertujuan untuk : [27]
                                    1.      Evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan;
                                    2.      Pemecahan masalah atau hambatan penyidikan;
                                    3.      Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan bukti;
                                    4.      Menentukan layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum atau dihentikan; dan
                                    5.      Pemenuhan petunjuk penuntut umum.

                                 Sedangkan gelar perkara khusus, dilakukan karena perkara yang dihadapi memiliki kriteria tertentu, dengan tujuan untuk : [28]
                                    1.      Merespon laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik;
                                    2.      Membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti baru;
                                    3.      Menentukan tindakan kepolisian secara khusus; dan
                                    4.      Membuka kembali penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.

                  5).     Penyelesaian Berkas Perkara
                                    Setelah penyidik melakukan serangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti antara lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, dan tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang, selanjutnya penyidik menganalisa dan mengambil kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan tersebut. Semua tindakan dalam penyidikan dituangkan dalam berita acara kemudian disusun dan dihimpun menjadi berkas perkara hasil penyidikan. [29]
                                    Berkas perkara termasuk dalam administrasi penyidikan yaitu penatausahaan segala kelengkapan yang disyaratkan dalam undang-undang meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman adminitrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan penyidikan. Berkas perkara merupakan implementasi konkrit dari prinsip prosedural, transparan dan akuntabel dalam penyidikan. Prinsip prosedural berarti proses penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, prinsip transparan berarti proses penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangannya oleh masyarakat, dan prinsip akuntabel berarti proses penyidikan dapat dipertanggungjawabkan. [30]
                                    Berkas perkara sebagai adminitrasi penyidikan sekurang-kurangnya harus memuat : [31]
                                    1.      Sampul berkas perkara;
                                    2.      Daftar isi;
                                    3.      Berita acara pendapat/resume;
                                    4.      Laporan polisi;
                                    5.      Berita acara setiap tindakan penyidik/penyidik pembantu;
                                    6.      Administrasi penyidikan;
                                    7.      Daftar saksi;
                                    8.      Daftar tersangka;
                                    9.      Daftar barang bukti.

                                    Berkas perkara hasil penyidikan yang berisi berita acara penyidikan beserta lampiran-lampiranya sedapat mungkin dibuat dengan sempurna baik ditinjau dari segi kelengkapan berkas, segi yuridis teknis seperti segi pembuatan berita acara yang ditentukan undang-undang, segi kelengkapan persyaratan pembuktian, dan segi penerapan pemeriksaan yang berhubungan dengan isi materiil yang disangkakan kepada tersangka, apakah hasil penyidikan benar-benar  telah memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. Hal ini bertujuan untuk menghindari bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dengan penuntut umum yang berlawanan dengan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, sehingga akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik.[32]
                  6).     Pelimpahan Perkara ke Penuntut Umum
                                    Penyerahan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum diatur dalam Pasal 8 KUHAP bahwa penyidik menyerahkan berkas perkara ke penuntut umum dengan dua tahap, yaitu tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, dan tahap kedua dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan berkas perkara beserta tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
                                    Sejalan dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP, mengenai penyerahan berkas perkara diatur dalam Pasal 110 KUHAP sebagai berikut :
                                    1.      Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
                                    2.      Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai dengan petunjuk dari penuntut umum.
                                    3.      Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
                                    4.      Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir, telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

                                    Berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 110 KUHAP di atas, bahwa penyerahan berkas perkara tahap pertama, penyidik secara nyata menyampaikan berkas perkara dan penuntut umum menerima berkas perkara tersebut, namun penyerahan tersebut belum dianggap bahwa penyidikan telah selesai, sebab berkas perkara hasil penyidikan yang telah diserahkan masih dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dengan petunjuk agar melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan, sehingga penyerahan berkas perkara tahap pertama dikenal dengan istilah prapenuntutan. [33]
                                    Sedangkan penyerahan berkas perkara tahap kedua, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap, atau dalam waktu empat belas hari sejak penerimaan berkas perkara, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dengan demikian tanggung jawab secara hukum terhadap berkas perkara, tersangka dan barang bukti atau benda sitaan telah berarlih dari penyidik kepada penuntut umum. [34]
                  7).     Penghentian Penyidikan
                                    Penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP bahwa dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
                                    Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, adalah perbuatannya terbukti dilakukan, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran atau perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. [35]
                                    Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak untuk menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 76, 77 dan 78 KUHP yaitu:[36]
                                    1.      Nebis in idem, yaitu seseorang tidak dapat lagi dituntut oleh kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama di mana perbuatan tersebut telah pernah diadili dan diputus oleh hakim dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
                                    2.      Tersangka meninggal dunia, bahwa prinsip pertanggung jawaban dalam hukum pidana terhadap kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
                                    3.      Kadaluwarsa, yaitu apabila tenggang waktu telah terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum, penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan.
                                    Adapun rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan antara lain : [37]
                                    1.      Untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka pengadilan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.
                                    2.      Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP.                          

                                    Konsekuensi yuridis jika penyidik melakukan penghentian penyidikan terhadap suatu perkara, terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana yang kemudian dihentikan penyidikannya di mana dirinya telah dikenakan upaya paksa, maka menurut Pasal 95 KUHAP diberi hak untuk mengajukan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagai akibat tidak sahnya penangkapan, penahanan atau tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
                                    Dengan adanya ketentuan tentang tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi yang dapat oleh tersangka, merupakan peringatan bagi penyidik untuk bersikap hati-hati dalam melakukan suatu penyidikan, yaitu: [38]
                                    1.      Bahwa sebelum melakukan penyidikan terhadap seseorang, penyidik harus benar-benar yakin bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana, berdasarkan bukti-bukti pendahuluan yang telah berhasil dikumpulkan oleh penyelidik.
                                    2.      Bahwa penyidik harus yakin, yaitu apabila ia sekali telah memulai dengan penyidikannya, tersangka secara pasti akan dapat diajukan ke pengadilan untuk diadili.
                                    3.      Bahwa penyidik harus yakin terlebih dahulu bahwa bukti-bukti atau saksi-saksi yang dapat dipergunakan untuk membuktian kesalahan tersangka secara pasti akan dapat diperoleh.



DAFTAR PUSTAKA


Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2014.

Djisman Samosir, C. Segenggam tentang Hukum Acara Pidana, Bandung : Nuansa Aulia, 2013.

Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Jakarta : Sinar Grafika, 2011.

M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997.

Ramelan, Hukum Acara Pidana ; Teori dan Implementasi, Jakarta : Sumber Ilmu Jaya, 2006.

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.

Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014.

Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.









            [1] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm 116.
            [2] Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia, Malang : Setara Press, 2014, Hlm 69.
            [3] Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, Hlm 131.
            [4] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 69.
            [5] Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007,  Hlm 25.
            [6] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 86.
            [7] Rusli Muhammad, Hukum Acara…, Op cit,  Hlm 65.
            [8] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, Hlm 141.
            [9] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 87.
            [10] Ibid, Hlm 88-89.
            [11] Hartono, Op cit, Hlm 98.
            [12] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Hlm 115.
            [13] Rusli Muhammad, Hukum Acara…, Op cit,  Hlm 28.
            [14] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, Hlm 129.
            [15] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 90-91.
            [16] Disarikan dari Pasal 24-29 KUHAP.
            [17] Andi Hamzah, Hukum Acara…, Op cit, Hlm 141-142.
            [18] M. Yahya Harahap, Pembahasan…, Op cit, Hlm 250.
            [19] M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997, Hlm 43.
            [20] C. Djisman Samosir, Segenggam tentang Hukum Acara Pidana, Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Hlm 76.
            [21] Adhami Chazawi dalam Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 104.
            [22] Rusli Muhammad, Hukum Acara…, Op cit,  Hlm 45.
            [23] C. Djisman Samosir, Segenggam tentang Hukum Acara Pidana, Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Hlm 111.
            [24] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 108.
            [25] Ibid, Hlm 110.
            [26] Ibid, Hlm 111.
            [27] Ibid.
            [28] Ibid.
            [29] Ramelan, Hukum Acara Pidana ; Teori dan Implementasi, Jakarta : Sumber Ilmu Jaya, 2006, Hlm 112.
            [30] Tolib Efendi, Dasar-Dasar…, Op cit, Hlm 112.
            [31] Ibid, Hlm 115.
            [32] M. Yahya Harahap, Pembahasan…, Op cit, Hlm 357.
            [33] Ibid, Hlm 357-358.
            [34] Ibid, Hlm 359-360.
            [35] Ramelan, Hukum Acara Pidana ; Teori dan Implementasi, Jakarta : Sumber Ilmu Jaya, 2006, Hlm 152-153.
            [36] M. Yahya Harahap, Op cit, Hlm 150.
            [37] Ibid, Hlm 150.
            [38] P.A.F Lamintang dalam Rusli Muhammad, Hukum Acara…, Op cit,  Hlm 67.