Senin, 02 Maret 2015

PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERADILAN PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERADILAN PIDANA
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

            Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun persidangan.
            Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam proses ini. Dalam kaitannya dengan saksi, falsafah yang harus lebih dahulu diketahui  adalah mengapa justru seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi, (Loebby Loqman, 2000: 2).
            Dalam hal demikian seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. Dengan demikian saksi berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta memberantas kejahatan dalam masyarakat, (Loebby Loqman, 2000: 2).
            Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
            Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
            a.    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

            b.   Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari negara lain.

             Berikut ini akan diuraikan pengaturan tentang perlindungan saksi dalam hukum positif di Indonesia sebagai berikut :
1.      Perlindungan Saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

          Pengaturan saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diatur secara jelas mengenai perlindungan terhadap saksi, bahkan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya kewajiban dari saksi untuk memberikan kesaksian maka ia dapat diancam dengan pidana yaitu pada Pasal 224 KUHP yaitu :
      Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan  sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selalu demikian harus dipenuhinya, diancam :
                   ke-1 dalam perkara pidana,dengan pidana penjara paling lama 9 bulan
                  ke-2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

                  Demikian juga yang terdapat dalam Pasal 522 KUHP yaitu :
                  Barang siapa dengan melawan hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa, dihukum denda.

2.      Perlindungan Saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

                   Perlindungan terhadap saksi tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seharusnya perlindungan terhadap saksi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai suatu hukum acara pidana yang sifatnya umum. Akan tetapi yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mencantumkan mengenai perlindungan yang harus diberikan kepada saksi, hal ini merupakan suatu kepincangan dalam hukum.Yang mendapat pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kaitannya dengan saksi hanya pengaturan mengenai kewajiban dari seorang saksi, sedangkan soal perlindungan yang harus diberikan terhadap seorang saksi tidak mendapatkan tempat.
                   Meskipun dalam KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi, namun demikian terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak-hak dan kewajiban seorang saksi dalam suatu proses peradilan pidana yaitu :
                   Pasal 117  :       Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. (ayat 1)

                   Pasal 118 :        Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.

                   Pasal 173 :        Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai suatu hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa keluar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir.

                   Penjelasan Pasal 173 di atas yaitu apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak di inginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi.
                   Pasal 177 :        Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. (ayat 1).

                   Pasal 178 :        Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (ayat 1)

             Pasal 277 :        Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir. (ayat 1)        

                   Pasal 299 :        Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (ayat 1)

                   Selain hak-hak di atas, seorang saksi korban juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban, yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hak ini diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP yaitu :
                   Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
     
                   Penjelasan pasal di atas bahwa kerugian bagi orang lain termasuk kerugian bagi korban, maka jika seorang saksi yang juga sekaligus menjadi korban, dia dapat meminta ganti kerugian dengan cara menggabungkan gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.
                   Selain itu, dapat juga dilihat dari Pasal 81 KUHAP mengenai pra peradilan yaitu :
                   Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitas akibat tidak sahnya dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibatnya sah penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

                   Kapasitas saksi disini juga sebagai saksi korban, dimana seorang korban dapat merupakan pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika sebuah perkara dihentikan. Seorang saksi tidak dapat memiliki hak-hak saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban seperti yang diatur dalam Pasal 159 ayat 2, 161 dan 174 KUHAP sebagai berikut :
                   Pasal 159 :        Dalam hal saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. (ayat 2)

                   Pasal 161 :        Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat 3 dan 4, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.

                   Pasal 174 :        Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. (ayat 2)

3.      Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus.
          Disamping aturan-aturan dalam KUHAP, sejak tahun 1997 beberapa undang-undang tindak pidana khusus diluar KUHP mencantumkan beberapa pasal yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada saksi yaitu :
         a.       Undang–Undang Nomor 15 Tahun  2002 tentang Tindak  Pidana  Pencucian  Uang
                   Dalam rangka pelaksanaan proses pemeriksaan tindak pidana pencucian uang kepada pelapor dan saksi diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 42 yaitu :
1.         Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri dan atau hartanya termasuk keluarganya.

2.         Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

      Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi tindak pidana pencucian uang, Pasal 5 menjelaskan bentuk perlindungan khusus yaitu :
1.        Perlindungan atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor dan saksi dari ancaman fisik dan mental;
2.        Perlindungan terhadap harta pelapor dan saksi;
3.        Perahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan saksi dan/atau;
4.        Pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara.

            b.    Undang–Undang Nomor 15 Tahun  2003   tentang   Pemberantasan   Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme
                   Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 34 lebih rinci menetapkan bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh negara baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara kepada saksi, yaitu perlindungan atas keamanan pribadi dari ancama fisik dan mental, kerahasiaan identitas saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan terdakwa.
                   Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara tindak pidana terorisme, Pasal 2 dan Pasal 3 menjelaskan bentuk perlindungan  yaitu :
                   Pasal 2 :
                   Setiap saksi, penyidik, penuntut umum dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan hartanya baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
                  
                   Pasal 4 :
                   Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2  dilakukan oleh aparat hukum dan aparat keamanan berupa :
                   a.    Perlindungan atas keamanan diri dari ancaman fisik dan mental;
                   b.   Kerahasiaan identitas saksi;
                   c.    Pemberian keterangan pada saat sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
     
          c.      Undang–Undang  Nomor  31  Tahun  1999  tentang  Pemberantasan   Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
                   Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 31 yaitu :.
1.           Dalam penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
2.           Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.

                               Penjelasan pasal diatas yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP. Selain itu juga dalam undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan hukum kepada masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidan korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 2 huruf e yaitu hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal peran serta dalam mencari dan memberikan informasi tentang adanya tindak pidana korupsi.
          d.      Undang–Undang Nomor 5 Tahun  1997  tentang  Psikotropika, dan  Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
                   Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang Psikotropika diatur dalam Pasal 54 yaitu :
1.     Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
2.     Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
3.     Pelapor sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 perlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang.
4.     Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

                   Ketentuan mengenai perlindungan saksi dalam undang-undang Narkotika diatur dalam Pasal 57  yaitu :
1.     Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
2.     Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
3.     Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
.
      Kemudian lebih lanjut dijelaskan mengenai pemberian jaminan keamanan dalam Pasal 59 yaitu :
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

             Penjelasan pada kedua undang-undang diatas yang dimaksud dengan pelapor adalah masyarakat yang melihat, mendengar atau mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan kemudian melaporkan kepada penegak hukum.
         e.       Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002  tentang  tata  cara perlindungan  terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat.
                   Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari     Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu :
1.     Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.
2.     Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat kemanan secara cuma-cuma.
3.     Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                    Latar belakang dibuatnya peraturan pemerintah ini adalah untuk memberikan perlindungan baik fisik maupun mental kepada korban maupun saksi dari ancaman, gangguan, teror atau kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan kepada saksi dalam peraturan pemerintah ini diatur dalam Pasal 2 yaitu :
1.     Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat hukum dan aparat keamanan.
2.     Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

4.      Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
          Dalam undang-undang ini memberikan pengaturan yang lebih luas tentang saksi, saksi pelaku, korban dan pelapor dalam tindak pidana. Adapun ketentuan tentang perlindungan diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 sebagai berikut :
      Pasal 5 ayat 1 : Saksi dan korban berhak :
                   a.    memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
                   b.   ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
                   c.    memberikan keterangan tanpa tekanan;
                   d.   mendapat penerjemah;
                   e.    bebas dari pertanyaan yang menjerat;
                   f.    mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
                   g.   mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
                   h.   mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
                   i.    identitasnya dirahasiakan ;
                   j.    mendapat identitas baru ;
                   j.    mendapatkan tempat kediaman sementara ;
                   k.   mendapat tempat kediaman baru ;
                   k.   memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
                   l.    mendapat penasihat hukum; dan/atau
                   m.  memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
                   n.   mendapat pendampingan.
                  
      Pasal 6 : Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan :
                   a.    bantuan medis; dan
                   b.   bantuan rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis.

      Pasal 7 ayat 1 :
             Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagamana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, juga berhak atas kompensasi.

      Pasal 7 A ayat 1 :
            Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa :
            a.    ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau pengahasilan;
            b.   ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau;
            c.    penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

      Pasal 8 ayat 1 : Perlindungan dan hak saksi dan korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

      Pasal 9 :
             1.   Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
             2.   Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
             3.   Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

      Pasal 10 :
             1.   Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik;
             2.   Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksia telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
     
      Pasal 10 A :
            1.   Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
            2.   Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
                  a.    pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
                  b.   pemisahan pemberkasan antara berkas perkara saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapnya, dan/atau ;
                  c.    memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
            3.   Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berupa :
                  a.    keringanan penjatuhan pidana ; atau
                  b.   pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak terpidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.

     
DAFTAR  PUSTAKA
Buku-Buku :

      Loebby Loqman, Makalah Ilmiah Perlindungan Saksi, Jakarta 13 November 2000.

      Moelyatno, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

      M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,  Politea, Bogor.

      R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor.


Undang-Undang :

      Undang-Undang Dasar 1945.

      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

      Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara tindak pidana terorisme.

      Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi tindak pidana pencucian uang.