Selasa, 27 Januari 2015

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA

Latar Belakang
            Tindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius. Adanya keengganan korban untuk melaporkan karena tidak di dukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.
            Tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk di adili karena salah satunya adanya keenganan korban untuk melaporkannya. Hingga saat ini masing terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.
            Telah banyak terjadi di masyarakat kasus-kasus perkosaan yang dapat menggambarkan beberapa problematika yang dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan yang disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam perumusan undang-undang, baik mengenai unsur-unsur maupun sanksi dan proses pemeriksaan serta pembuktiannya.
            Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam vagina, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban.
            Berdasarkan hal tersebut, perlu dikaji dan di analisis melalui metode inventarisasi produk peraturan perundang-undangan untuk melihat sejauh mana tindak pidana perkosaan tersebut dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan yang ada baik dalam KUHP maupun undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kerangka untuk menyusun suatu perumusan  yang lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat berkaitan dengan tindak pidana perkosaan sebagaimana yang dirumuskan konsep Rancangan KUHP yang baru.

                   Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan paper ini adalah 1.   Bagaimanakah pengaturan tindak pidana perkosaan di dalam KUHP ?, 2.   Bagaimanakah pengaturan tindak pidana perkosaan di luar KUHP ? 3.   Bagaimanakah pengaturan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP?


Pembahasan
A.  Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
                        Kejahatan perkosaan dalam KUHP di atur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP, pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan bersetubuh.
                        Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003 : 119), kata perkosaan sebagai  terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkarachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh.
                        Makna persetubuhan menurut R. Soesilo (1994 : 209), mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Februari 1912 yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul.
                        Wirjono Prodjodikoro (2003 : 120), memberikan perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki.
                        Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994 : 766), perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi....” Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.
                        Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah kekerasan seksual. Istilah kekerasan seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.
                        Sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP adalah kejahatan terhadap kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.

B.   Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP
                        Tindak pidana perkosaan di dalam KUHP termasuk ke dalam kejahatan kesusilaan. Kejahatan perkosaan diatur dalam Buku II KUHP yang dijabarkan dalam beberapa pasal. Kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Kejahatan ini menurut KUHP hanya dapat dilakukan oleh laki-laki sebagai pelakunya. Dibentuknya peraturan dibidang ini, ditunjukan untuk melindungi kepentingan hukum perempuan.
                        Adapun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
      1.      Pasal 285 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
                        Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

                        Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah :
                        1.   Perbuatannya : memaksa bersetubuh
                        2.   Caranya : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
                        3.   Objek : perempuan bukan istrinya.
                       
                        Adami Chazawi (2005 : 63), Pengertian perbuatan  memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa.
                        Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.
                        Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
                        Adami Chazawi (2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti kekerasan.
                        Menurut R. Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.
                        Lebih lanjut R. Soesilo (1994 : 65), Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

      2.      Pasal 285 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
                        Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

                        Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
                        R. Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
                        Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan.
                        Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).

         c.   Pasal 287 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
               (1)  Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
               (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.

               Menurut Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.
               Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.

d.   Pasal 288 KUHP
               Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
               (1)     Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
               (2)     Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
               (3).    Jika perbuatan itu menyebabkan perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan tahun.

               R. Soesilo (1994 : 212), Pada dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.

C.  Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
               Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
             Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi:
      1).  Suami, istri dan anak, termasuk ke dalam pengertian anak adalah anak angkat dan anak tiri.
      2).  Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud dalam point (1) karena adanya hubungan darah, hubungan perkawinan seperti mertua, ipar, besan. Hubungan saudara persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau
      3).  Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
            Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi para korban, menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
            Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dilakukan adalah sebagai berikut :
      1).  Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
      2).  Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
      3).  Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
      4).  Penelantaran rumah tangga yaitu tindakan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, atau tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
            Berdasarkan analisis tersebut diatas, maka dapat dibedakan antara perumusan yang diatur dalam UU PKDRT khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan ini berbeda ruang lingkupnya dengan KUHP. Untuk memudahkannya maka perbandingan ini akan dianalisis dengan menggunakan kriteria pembanding sebagai berikut :
1.   Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
               Jika rumusan pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan di analisis, maka perbuatan yang dilarang untuk dilakukan adalah :
      a.    Memaksa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya.
      b.   Bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya dan sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
      c.    Bersetubuh dengan perempuan yang masih dibawah umur (belum 15 tahun atau belum masanya buat kawin).
      d.   Bersetubuh dengan istri yang masih dibawah umur dan mengakibatkan luka, luka berat atau meninggal dunia.
          Keseluruhan perbuatan yang dilarang tersebut pada dasarnya adalah melakukan persetubuhan. Yang membedakan antara satu pasal dengan pasal yang lain hanya terletak pada siapa yang menjadi korbannya.
          Dalam UU PKDRT, perbuatan yang dilarang dalam kaitannya dengan kekerasan seksual adalah :
      a.    Pemaksaan hubungan seksual.
      b.   Pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai.
      c.    Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan tertentu.
      Apa yang dimaksud dengan hubungan seksual dalam UU PKDRT ini memang tidak dijelaskan. Hanya saja melihat bentuk-bentuk yang dilarang di atas maka dapatlah dimaknai bahwa hubungan seksual yang dimaksud tidaklah semata-mata dipahami sebagai persetubuhan yang disyaratkan dalam KUHP yang mengharuskan terjadinya penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai mengeluarkan mani yang bertujuan untuk mendapatkan anak.
      Hal tersebut dijelaskan dengan adanya perbuatan lain yang juga dilarang dalam UU PKDRT ini yaitu pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai. Dengan demikian pemaksaan hubungan seksual tersebut tidak harus dilakukan dengan cara penetrasi kelamin laki-laki kedalam kelamin perempuan, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara-cara lain seperti penetrasi kelamin laki-laki ke dalam mulut atau anus dengan cara menggunakan alat-alat atau objek lainnya.
      Dalam hal perbuatan yang dilakukan adalah pemaksaan seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu, maka bentuk pemaksaan tersebut juga berupa pemaksaan hubungan seksual secara biasa atau pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar/tidak dikehendaki.

      2. Unsur-unsur yang harus dipenuhi
                        Dalam ketentuan KUHP, maka unsur utama yang harus terpenuhi antar satu pasal dengan pasal lainnya saling berbeda sebagaimana telah dikemukakan di dalam BAB II penulisan ini. Namun secara umum unsur-unsur tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
      a.    Adanya pemaksaan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
      b.   Terjadinya persetubuhan dalam pengertian adanya penetrasi kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan mengeluarkan mani.
      c.    Perempuan korban tersebut tidak terikat perkawinan dengan pelaku.
      d.   Adanya kondisi pingsan atau tidak berdaya pada korban yang menyebabkan pelaku dapat menyetubuhinya.
      e.    Umur korban belum 15 tahun atau belum masanya untuk kawin.
      f.    Istri yang belum masanya untuk dikawinkan mengalami luka, luka berat atau meninggal dunia.
             Dalam rumusan UU PKDRT, unsur-unsur yang haru dipenuhi adalah :
      a.    Adanya hubungan dalam lingkup keluarga sebagaimana ketentuan dalam UU PKDRT ini antara pelaku dengan korbannya.
      b.   Adanya pemaksan hubungan seksual, hubungan seksual yang tidak wajar atau tidak disukai.
      c.    Adanya pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial atau tujuan lainnya.
      d.   Adanya akibat-akibat yang ditimbulkannya.

      3.   Akibat
                  Dalam rumusan KUHP, pengaturan menganai akibat hanya dapat dijumpai dalam Pasal 288 KUHP yang berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual dengan istri yang belum cukup umur. Pasal 288 ini baru dapat dikenakan pidana pada pelaku jika perbuatan pelaku menyebabkan korban mengalami luka, luka berat atau meninggal dunia.
                  Dalam Pasal 291 KUHP juga disebutkan beberapa akibat yang sama yaitu luka berat dan meninggal dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pembuat kebijakan legislasi KUHP hanya melihat dampak fisik pada korban tindak pidana perkosaan.
                  Dalam perumusan UU PKDRT, ada beberapa akibat yang ditegaskan di dalam undang-undang yaitu :
      a.    Luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali.
      b.   Gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selam 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut.
      c.    Gugur atau matinya janin dalam kandungan.
      d.   Tidak berfungsinya alat reproduksi.
                  Dari beberapa akibat yang dirumuskan dalam UU PKDRT tersebut dapat dijumpai beberapa bentuk kekerasan sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu akibat dari aspek fisik (luka permanen), akibat dari aspek psikis (gangguan kejiwaan) dan akibat dari aspek seksual (rusaknya fungsi reproduksi dan gugurnya janin dalam kandungan).


      4.   Pelaku
                 Perumusan dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan menggunakan istilah “barang siapa” untuk menggambarkan pelaku. Istilah “barang siapa” sesungguhnya dapat berarti siapa saja, laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja dalam penjelasan pasal-pasal KUHP, khususnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, maka yang dapat dinyatakan sebagai pelaku untuk menggantikan istilah “barang siapa” tersebut hanyalah laki-laki.
                  Menurut R. Soesilo, hal ini dilandasi pemikiran bahwa pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki persetubuhan tersebut tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut.
                                    Dalam UU PKDRT walaupun secara tegas dinyatakan undang-undang ini ditujukan terutama untuk melindungi perempuan di dalam rumah tangganya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam bunyi Pasal 53 yaitu “tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yaitu dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sebaliknya”
                  Pasal tersebut jelas menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual di dalam rumah tangga dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan kepada pasangannya atau anggota keluarganya yang lain dalam lingkup rumah tangganya.
                  Penempatan perempuan dan laki-laki sebagai pelaku juga bisa terjadi dalam kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu lainnya.
                  Analisis dari kondisi itu tentunya akan dapat dikaitkan dengan teori kekuasaan yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan cenderung untuk melakukan tindak kekerasan.


      5.   Korban
               Dalam rumusan KUHP tentang tindak pidana perkosaan, yang menjadi korban adalah :
      a.    Perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku.
      b.   Perempuan yang tidak terikat dengan pelaku yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
      c.    Perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku yang belum berusia 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.
      d.   Perempuan yang terikat perkawinan dengan pelaku tapi belum masanya untuk dikawin.
               Dari sisi jenis kelamin, maka KUHP secara tegas menyatakan yang dapat menjadi korban tindak pidana perkosaan hanyalah perempuan. Dalam UU PKDRT, semua orang yang berada dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini dapat menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukan bahwa dalam UU PKDRT tidak ada pembatasan korban berdasarkan jenis kelamin ataupun berdasarkan umur dan kondisinya.

      6.   Jenis tindak pidana
               Jika dianalisis dari segi jenis tindak pidana, maka tindak pidana perkosaan dalam KUHP dan UU PKDRT kedua-duanya terdiri dari dua jenis, yaitu tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan (delik aduan).
               Dalam KUHP, yang termasuk tindak pidana biasa adalah yang diatur di dalam Pasal 285 dan Pasal 286 serta Pasal 288. Sedangkan Pasal 287 merupakan delik aduan sepanjang yang bersangkutan berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun. Dengan demikian terhadap Pasal 287 yang korbannya adalah perempuan berusia di bawah 12 tahun merupakan tindak pidana biasa. Jenis tindak pidana aduan dalam Pasal 287 menjadi gugur dan berubah menjadi tindak pidana biasa jika akibat persetubuhan tersebut menyebabkan anak yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun tersebut mengalami luka, atau meninggal dunia. Tindak pidana aduan tersebut juga dapat berubah menjadi tindak pidana biasa apabila pelakunya adalah orang yang seharusnya memberikan perlindungan, mempunyai kewenangan atau berkewajiban memberikan bantuan secara profesional kepada korban.
               Di dalam UU PKDRT kedua jenis tindak pidana ini juga berlaku. Tindak pidana aduan (delik aduan) diatur dalam Pasal 53 yaitu tindak pidana kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual yang tidak wajar/tidak disukai yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau sebaliknya merupakan delik aduan.
               Sementara tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anggota di lingkup rumah tangga yang lain merupakan tindak pidana biasa. Dengan demikian juga pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain yang bertujuan komersial atau tujuan lainnya merupakan tindak pidana biasa.        

7.   Ketentuan Pidana
                  Dalam Pasal 285, 286, 287 dan 288 KUHP, batasan hukuman yang ditetapkan hanyalah batasan maksimal semata tanpa adanya batasan minimal. Karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Seringkali kasus tindak pidana perkosaan dihukum dengan ringan.
      Berkaitan dengan ketentuan pidana khususnya kekerasan seksual di dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :
      Pasal 46 :
      Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

      Pasal 47 :
      Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

      Pasal 48 :
      Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan dengan paling banyak Rp 500.000.000,- (limar ratus juta rupiah).

      Selain ketentuan pidana berupa penjara dan denda, UU PKDRT juga menetapkan hukuman tambahan yaitu :
      1).  Pembatasan gerak bagi pelaku untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu.
      2).  Pembatasan hak-hak tertentu bagi pelaku.
      3).  Penetapan pelaku untuk mengikuti konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

D. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
             Undang-undang Perlindungan Anak ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensional, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila.
             Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak.
             Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
             Tujuan yang ingin dicapai melalui undang-undang ini adalah menjamin terpenuhi dan terlindunginya hak-hak anak untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.       
             Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana.
             Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak akan dianalisis lebih lanjut dengan pembahasan sebagai berikut :
      1.   Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
                      Pasal 81 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa :
            1).  Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain...”
            2).  Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

                     Berdasarkan Pasal 81 tersebut diatas, maka perbuatan yang dilarang adalah melakukan persetubuhan dengan anak. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 287 KUHP yang menggunakan istilah perempuan yang belum masanya untuk kawin atau yang belum berumur 15 tahun. Hanya saja undang-undang ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bersetubuh”.

      2.   Unsur-unsur yang harus dipenuhi.
                        Berdasarkan rumusan Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah :
            a.   Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
            b.   Adanya tipu muslihat
            c.   Adanya serangkaian kebohongan.
            d.   Adanya bujukan
            e.   Adanya persetubuhan dengan seorang anak.
                        Jika dibandingkan dengan rumusan yang dikemukakan dalam Pasal 287 KUHP maka cara-cara yang dilarang dalam Pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena merumuskan beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk memaksa seseorang anak bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya cara-cara lain yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu dari cara-cara tersebut unsurnya terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih berumur 18 tahun, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 ini.

      3.   Akibat
                     Undang-Undang No.23 tahun 2002 khususnya pada Pasal 81 yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, tidak merumuskan dengan tegas apa yang diperkirakan menjadi akibat dari kekerasan yang dialami korban, yang juga berkaitan dengan tiadanya pemberatan hukuman/sanksi terhadap kondisi atau akibat-akibat tertentu dari kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
                     Tidak adanya pengaturan mengenai akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual tersebut terhadap anak tentunya sangat merugikan bagi anak yang menjadi korban. Apapun bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, apakah dengan kekerasan atau dengan bujukan tetap menimbulkan akibat gangguan fisik, seksual dan psikis bagi anak yang menjadi korban.

4.   Pelaku
                     Ketentuan mengenai pelaku sebagaimana yang diatur dalam UU No.23 tahun 2002 ini, menggunakan istilah “setiap orang” yang dapat merujuk pada kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dimungkinkan karena dalam konteks korban adalah anak, maka perempuan juga mungkin untuk menjadi pelaku bagi anak laki-laki yang belum memahami dengan benar mengenai hubungan seksual dan mudah untuk diintimidasi dengan kekerasan, tipu muslihat atau dibujuk oleh orang yang lebih dewasa. Laki-laki dan atau perempuan juga dapat menjadi pelaku dalam bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan bersetubuh dengan orang lain.

      5.   Korban
                        Dalam kaitannya dengan Undang-undang perlindungan anak, maka yang dapat menjadi korban adalah anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk tindak pidana kekerasan berdasarkan undang-undang ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Dengan asumsi bahwa anak-anak baik laki-laki maupun perempuan belum memahami tentang hubungan seksual, cara dan akibatnya. Maka anak-anak baik laki-laki maupun perempuan berpeluang untuk menjadi korban kekerasan seksual.
                        Ketentuan ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan perkosaan terhadap laki-laki, karena di dalam KUHP hal tersebut tidak diatur dengan tegas.

      6.   Jenis Tindak Pidana
                        Berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan tindak pidana biasa, karena itu tidak mensyaratkan adanya pengaduan. Hal ini agak berbeda dengan jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika perempuan korban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun, maka merupakan tindak pidana biasa, sedangkan jika perempuan korban berumur 12 tahun sampai dengan 15 tahun  atau diketahui belum masanya untuk kawin maka merupakan tindak pidana aduan.

      7.   Ketentuan Pidana
                        Berkaitan dengan kekerasan seksual (perkosaan) terhadap anak, maka Pasal 81 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan :
            1).  Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah).

            2).  Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

                        Ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah mengatur secara lebih spesifik tentang perkosaan terhadap anak dengan sanksi yang jauh lebih berat daripada yang ditetapkan dalam Pasal 287 KUHP. Adalah penting untuk memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap laki-laki yang berniat untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut akan mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar.

E.  Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam Rancangan KUHP
Pasal yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan di dalam rancangan KUHP ini adalah perluasan dari pasal yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan dalam KUHP. Hanya saja di dalam Rancangan KUHP tersebut ditegaskan bahwa tindak pidana perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan.
Rancangan KUHP yang mengatur tindak pidana perkosaan dalam BAB XIV tentang tindak pidana kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang perkosaan dan perbuatan cabul, pada paragraf 1 tentang perkosaan, Pasal 489 yang berbunyi sebagai berikut :
      (1). Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun :
             a.   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
             b.   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut.
             c.   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai.
             d.  Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut dipercaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah.
             e.   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya, atau
             f.   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

      (2). Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
             a.   Laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam anus atau mulut perempuan.
             b.   Laki-laki yang memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan.

                                      Didalam penjelasannya dinyatakan bahwa persetubuhan yang dilakukan bertentangan dengan kehendak perempuan dapat dilihat dari adanya perlawanan dari pihak perempuan. Namun karena secara psikis maupun fisik keadaan perempuan terlalu lemah untuk melawan, maka persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan tersebut juga dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini. Penjelasan pasal ini juga menegaskan bahwa ketentuan dalam ayat (1) ini tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan. Karena pada dasarnya dalam perkawinan tidak dapat terjadi perkosaan suami terhadap istri.
                   Sesungguhnya bagian yang secara tegas menyatakan bahwa persetubuhan tersebut dilakukan terhadap perempuan diluar ikatan perkawinan pada dasarnya hanya ada pada huruf (a) dan (b). Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa pada huruf-huruf yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan tegas didalam rumusan perundang-undangan, maka dimungkinkan bahwa perkosaan tersebut terjadi dalam suatu ikatan perkawinan.
                   Berkaitan dengan ayat 1 huruf (e) dalam penjelasannya dinyatakan bahwa huruf ini mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang dikenal dengan statutory rape yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena perempuan tersebut belum mencapai 14 (empat belas) tahun, maka perbuatan tersebut tetap dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan perundang-undangan.
                   Rumusan hukum mengenai tindak pidana perkosaan di dalam Rancangan KUHP, memperlihatkan adanya upaya untuk melindungi hak asasi perempuan dengan seluas mungkin dapat menjerat pelaku tindak pidana perkosaan sehingga sulit untuk dapat luput dari penuntutan dan pemidanaannya.
                   Jika diamati secara teliti dan mendalam, rumusan ketentuan tersebut di atas mengandung makna dari dampak yang luas di dalam sistem pembuktian yang akan diterapkan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana perkosaan di depan sidang pengadilan. Bahkan sistem pembuktian yang akan diterapkan memiliki perbedaan fundamental dengan sistem pembuktian yang selama ini selaku dipergunakan di dalam menerapkan ketentuan Pasal 285 KUHP.
                   Perbedaan fundamental tersebut adalah, pertama terletak pada rumusan kalimat yang dipergunakan pada pasal-pasal dalam KUHP dan pasal dalam Rancangan KUHP yang secara mendasar memang berbeda. Perbedaan kedua terletak pada sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang menentukan di dalam persidangan atas kasus tindak pidana perkosaan yang akan terjadi dikemudian hari.
                   Selama ini dalam praktek pembuktian vid Pasal 285 KUHP, alat bukti yang paling menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum (VER) dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain itu juga harus ada keyakinan hakim bahwa benar telah terjadi tindak pidana perkosaan.
                   Merujuk pada rumusan Pasal 489 dalam Rancangan KUHP, maka yang akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai segala hal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak pidana perkosaan tersebut, korban tidak menghendakinya, atau korban tidak menyetujuinya, atau korban menyetujuinya karena adanya ancaman, atau korban menyetujuinya karena pelaku adalah orang yang dianggap sebagai suaminya atau orang yang dipercayainya, atau korban ternyata belum mencapai usia 14 (empat belas) tahun. Keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan sidang pengadilan.

Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.   Pengaturan tindak pidana perkosaan diatur dalam dalam pasal 285 KUHP sampai dengan pasal 289 KUHP yang merupakan produk hukum kolonial Belanda tentunya disusun dengan nilai-nilai dan asas yang masih membedakan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat kolonial sehingga KUHP masih sangat kurang memberikan perlindungan yang sepenuhnya kepada perempuan korban perkosaan. Pengaturan mengenai hak korban hanya ditemukan dalam penempatan beberapa tindak pidana sebagai delik aduan. Dalam tindak pidana perkosaan walaupun tidak semua pasal mengaturnya sebagai delik aduan, aparat penegak hukum hanya akan menindaklanjuti kasus tindak pidana perkosaan hanya apabila ada pengaduan dari korban dan keluarganya. Hal ini menyebabkan semakin sedikit tindak pidana perkosaan yang laporkan dan diselesaikan melalui jalur hukum. Dari sisi rumusan perundangan, dapat ditemukan sempitnya definisi tindak pidana perkosaan yang hanya melarang perilaku seksual tertentu berupa penetrasi penis kedalam vagina yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, perkosaan yang dilakukan kepada perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, perkosaan terhadap perempuan yang belum cukup umur dan perkosaan terhadap istri yang belum cukup umur dan menyebabkan luka fisik.
2.   Pengaturan tindak pidana perkosaan di luar KUHP diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Dalam kedua undang-undang tersebut, bentuk perbuatan yang dilarang lebih luas dari KUHP dengan sanksi yang jauh lebih berat dan perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban.
3.   Pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Rancangan KUHP, rumusan tindak pidana perkosaan mengalami perluasan sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya juga dirumuskan sebagai tindak pidana perkosaan dengan sanksi hukuman yang lebih berat dari yang diatur dalam KUHP. Beberapa perluasan pasal yang jika akan dituangkan sebagai tindak pidana perkosaan adalah : laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut, tanpa persetujuan dari perempuan tersebut, dengan persetujuan perempuan tersebut tetapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah, melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia dibawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya, atau melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Serta dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam anus atau mulut perempuan, atau laki-laki yang memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan.

  
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, 1994.
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (KUHP)
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, LN RI Tahun 200 No. 109
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LN RI Tahun 2004 No. 54