Senin, 03 November 2014

CONTOH PROPOSAL TESIS HUKUM PIDANA


PENYIDIKAN POLRI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA *



PENDAHULUAN
  

A. Latar Belakang Masalah
               Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi yang mengemban fungsi pelayanan publik dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dengan menampilkan kinerja kesatuan yang profesional dan handal di bidangnya. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 disebutkan bahwa Polri memiliki tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat
               Dalam era reformasi sekarang ini, tuntutan tugas Polri semakin berat sehingga tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat semakin sulit dilaksanakan, sebagai akibat dari perkembangan kejahatan yang meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain dari itu, adanya sikap kritis dari masyarakat terhadap kinerja Polri, serta tidak kalah pentingnya perubahan struktural Polri yang dulunya merupakan bagian dari institusi militer yang tergabung dalam ABRI dan sekarang berdiri sendiri sehingga banyak harapan dari masyarakat agar Polri mampu membangun postur yang ideal sebagai polisi yang berwatak sipil dan mampu menjadi tulang punggung bangsa dalam menangani permasalahan kamtibmas.
               Sejak resmi memisahkan diri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 dan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari TNI, yang diperkuat juga oleh TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 mengenai Peran TNI dan Polri Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berusaha membangun image sekaligus paradigma baru. Image Polri yang semula militeristik dan cenderung represif berangsur-angsur mulai berubah dengan paradigma barunya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat (to serve and protect). Namun disadari tidaklah mudah melakukan perubahan terhadap budaya militeristik serta paradigma alat negara yang sudah mengakar dalam tubuh Polri.[1]
               Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terkandung dalam tugas-tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini dilaksanakan oleh fungsi Reserse Kriminal. Di dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, di sebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.     
               Dalam menegakkan hukum dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban dilakukan secara bersama-sama dalam suatu Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan suatu proses panjang dan melibatkan banyak unsur di dalamnya. Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem besar yang di dalamnya terkandung beberapa subsistem yang meliputi subsistem kepolisian (sebagai penyidik), subsistem kejaksaan sebagai penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai hakim, dan subsistem lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.
               Keempat subsistem di atas baru bisa berjalan secara baik apabila semua saling berinteraksi dan bekerjasama dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu mencari kebenaran dan keadilan materiil sebagaimana jiwa dan semangat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana dalam kerangka penegakan hukum pidana, KUHAP merupakan acuan umum yang harus di jadikan pegangan bagi semua yang terlibat dalam proses bekerjanya Sistem Peradilan Pidana dalam rangka mencapai satu tujuan bersama.
               Rangkaian proses Sistem Peradilan Pidana di mulai dari adanya suatu peristiwa yang di duga sebagai peristiwa pidana (tindak pidana). Setelah adanya peristiwa pidana baru di mulai suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan sebenarnya merupakan suatu rangkaian tindakan yang tidak bisa dipisahkan, walaupun tahap-tahapnya berbeda. Apabila proses penyelidikan di satukan dengan penyidikan maka akan terlihat adanya suatu kesinambungan tindakan yang memudahkan proses selanjutnya.
               Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, memberikan peran kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, walaupun KUHAP juga memberikan kewenangan kepada PPNS tertentu untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.                 
               Indonesia yang menganut sistem penegakan hukum terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang merupakan legal spirit dari KUHAP. Keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat (social defence) dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).[2]              
               Dalam sistem penegakan hukum terpadu berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan penuntutan dan permeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.[3]
               Dewasa ini maraknya kritikan terhadap realitas penegakan hukum di Indonesia terutama terhadap kinerja yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan hal yang wajar. Keprihatinan tersebut harus dilihat sebagai suatu keinginan dari semua pihak supaya terjadi perubahan kearah yang lebih baik di masa yang akan datang karena tidak ada suatu sistem peradilan pidana yang sudah mantap dan tetap untuk dapat diterapkan sepanjang zaman di negara manapun.
               Kenyataan ruwetnya penegakan hukum di Indonesia, terutama di mulai dari tahap penyidikan. Awal mula terjadinya kerumitan tersebut akibat peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang penyidikan yang tidak kondusif untuk terjadinya suatu keterpaduan dalam pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat adalah saling rebut perkara antara instansi yang merasa diberi wewenang oleh undang-undang sehingga masyarakat sering menjadi korban sebagai pencari keadilan akibat kesalahan penegakan hukum dan mengakibatkakan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan.
               Dalam melaksanakan penegakan hukum, apabila kalangan aparat penegak hukum tidak mampu memperlihatkan kemampuannya, maka masyarakat akan mencari jalan keluar yang lain atau apa yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Pandangan masyarakat yang radikal akan menghakimi masalah yang muncul sehingga akan terjadi suatu keadaan yang kacau (chaos) karena tidak melalui suatu jalur hukum yang sudah ada, hal ini terjadi karena mereka menganggap lembaga peradilan sudah tidak dipercaya lagi.
               Kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang sangat mengkhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan terhadap aparat penyidik (polisi). Masyarakat tidak mau menyerahkan seorang yang telah melakukan tindak pidana kepada polisi. Masyarakat menghakimi, memproses dan mengeksekusi sendiri orang yang tertangkap tangan. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat sudah terlalu banyak melihat bagaimana seorang yang melakukan suatu tindak pidana akhirnya dibebaskan kembali oleh polisi atau aparat penegak hukum lainnya dengan alasan yang diberitakan rata-rata kurang bukti, tidak ada alat bukti atau tidak memenuhi unsur delik sehingga menimbulkan kekecewaan dari masyarakat yang melaporkannya.
               Proses penyidikan merupakan tahap yang paling krusial dalam Sistem Peradilan Pidana, dimana tugas penyidikan yang di bebankan kepada Polri sangat kompleks, selain sebagai penyidik juga sebagai pengawas serta sebagai koordinator bagi penyidik PPNS. Kompleksitas tugas penyidik Polri semakin bertambah seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang kehidupan di Indonesia. Penyidik dituntut untuk berhasil mengungkap semua perkara yang terindikasi telah melanggar hukum yang ditanganinya.
               Disamping itu penyidik juga dituntut untuk tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan penyidikan terhadap seseorang yang di duga melakukan tindak pidana. Tantangan lain yang dihadapi oleh penyidik Polri bukan saja berasal dari keberhasilan meneruskan suatu perkara ke pengadilan melalui kejaksaan, tetapi juga kemungkinan akan dituntut oleh pihak tersangka dan keluarganya melalui gugatan pra-peradilan karena kesalahan penyidik Polri itu sendiri.
                                   
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
      1.   Identifikasi Masalah
                        Kegiatan penyidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan penindakan/upaya paksa, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Kenyataan dilapangan berdasarkan penelitian awal (observasi) oleh penulis terutama di wilayah hukum Polres Kendari yang dijadikan wilayah penelitian dalam penulisan tesis ini, pelaksanaan penyidikan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang telah di atur dalam KUHAP sehingga menimbulkan berbagai macam permasalahan pada saat proses penyidikan sedang berlangsung.
Adapun permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam proses penyidikan oleh pihak kepolisian, diantaranya sebagai berikut :
a.   Penyelesaian perkara (crime clearance) yang masih rendah, hal ini dapat dilihat dari Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang dilaporkan oleh masyarakat tidak sebanding dengan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP). Adapun penyelesaian tindak pidana yang dimaksud adalah penyelesaian perkara yang telah dinyatakan lengkap oleh pihak kejaksaan (P-21) dan disertai dengan penyerahan tersangka bersama barang bukti. Hal ini menunjukan bahwa kinerja aparat kepolisian khususnya penyidik dalam penangangan tindak pidana dapat dikatakan masih rendah.
b.   Maraknya “Budaya 86 yaitu upaya-upaya penyalahgunaan wewenang penyelidikan dan penyidikan dengan maksud dan tujuan tertentu demi kepentingan  pribadi  penyidik  maupun  penyidik  pembantu. Berbagai mekanisme dalam menjalankan budaya dimaksud secara turun temurun diperoleh oleh para penyidik maupun penyidik pembantu dari penyidik maupun penyidik pembantu lainnya yang lebih senior (lebih dahulu berdinas di fungsi Reskrim).  Walaupun  terkesan  layaknya  sebuah  “hidden curriculum”  yang  diturunkan  dari  satu  generasi  penyidik maupun  penyidik  pembantu  ke  generasi  penyidik  maupun penyidik pembantu berikutnya, namun eksistensi “budaya 86” tersebut adalah nyata adanya.
c.   Masih adanya kasus yang di sidik oleh polisi tidak di selesaikan berdasarkan urut-urutan proses yang berlaku dalam sistem peradilan pidana. Kasus yang diselesaikan berdasarkan tata urutan yang telah ditentukan hanyalah kasus-kasus yang sudah terlanjur diketahui oleh masyarakat melalui media masa atau kasus yang mendapat perhatian masyarakat yang ditunjukan melalui aksi dan reaksi yang ditandai dengan suatu ancaman/tuntutan melalui unjuk rasa atau demonstrasi. Sebaliknya, pada kasus-kasus yang sama sekali tidak mendapat perhatian dari masyarakat tidak diproses, malah diselesaikan oleh polisi dengan jalan damai atau dengan pembayaran sejumlah uang. Dalam proses damai ini baik polisi maupun korban masing-masing mengambil inisiatif untuk menyelesaikan secara diam-diam, yang akhirnya perkara tersebut akan dihentikan. Penghentian perkara yang dimaksud disini bukanlah sebagai penghentian penyidikan karena alasan-alasan yang dibolehkan oleh KUHAP sendiri. Penyidik dalam hal ini bertindak aktif untuk menutup suatu perkara baik secara damai maupun dengan melakukan tekanan-tekanan kepada korban.
d.   Maraknya praktek mafia kasus yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu baik dari internal polisi itu sendiri atau dari pihak-pihak lain dalam proses penyidikan, seperti menawarkan pasal-pasal dalam pembuatan BAP yang sudah dinegosiasikan terlebih dahulu dengan tersangka, yaitu semakin ringan pasal yang ditimpakan maka semakin besar biaya yang harus dibayar, implikasinya pada manipulasi keterangan saksi dan pengaburan barang bukti. Modus lain, dalam hal penangguhan penahanan, polisi menetapkan sejumlah uang sebagai jaminan atas penangguhan penahanan yang besarannya tidak sesuai dengan ketentuan, namun uang jaminan tersebut tidak diserahkan ke panitera Pengadilan Negeri tetapi untuk oknum-oknum tertentu.
e.   Intervensi atasan, yaitu intervensi penyidikan oleh atasan yang berupa perintah tertentu seringkali memiliki legitimasi yang  lebih  kuat  daripada  prosedur  yang  ada  dalam  hal penanganan  suatu  perkara  tindak  pidana.  Hal  tersebut seringkali terjadi manakala seorang atasan penyidik memiliki kepentingan  tertentu  terhadap  penanganan  suatu  perkara tindak  pidana  yang  sedang  ditangani  oleh  penyidik  yang menjadi bawahannya. Bentuk intervensi tersebut antara lain dengan memerintahkan seorang penyidik mengubah status seseorang yang semula sebagai tersangka menjadi saksi atau juga sebaliknya tanpa di dasarkan fakta hukum yang terdapat dalam  penyidikan  suatu  perkara  tindak  pidana,  dengan memerintahkan seorang penyidik untuk menyerahkan suatu barang sitaan tertentu milik tersangka padahal barang sitaan tersebut merupakan barang bukti dalam suatu perkara tindak pidana.
f.    Masih adanya sikap penyidik yang cenderung mengesampingkan penanganan perkara-perkara yang dianggap “tidak ada uangnya”, seperti misalnya perkara-perkara street crime yang memang menguras tenaga dan biaya yang tidak sedikit, sehingga penyidik lebih mengutamakan perkara-perkara yang “ada uangnya”, seperti perkara-perkara terkait dengan sengketa hak kepemilikan atas suatu lahan tanah (penyerobotan tanah), dan lain-lain.  Hal  tersebut  terjadi  karena  adanya pandangan yang “money oriented” dari para penyidik dalam penanganan suatu perkara tindak pidana.
g.   Akibat sikap penyidik yang cenderung mengesampingkan perkara tersebut di atas, mengakibatkan banyaknya keluhan dari masyarakat tentang penanganan kasus oleh polisi. Kasus-kasus yang telah dilaporkan oleh masyarakat namun penanganan yang diberikan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tunggakan kasus pada setiap tahunnya. Adapun alasan yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada masyarakat bahwa kasus yang dilaporkannya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat kepada polisi.
h.   Masih ditemukan adanya unsur-unsur kekerasan (violence), baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu dalam proses pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga/disangka melakukan suatu tindak pidana sehubungan dengan tuntutan terhadap kinerja Polri untuk segera mengungkap suatu tindak pidana sehingga mengabaikan asas praduga tak bersalah (presemption in innocent) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
i.    Masih adanya gugatan pra-peradilan kepada pihak kepolisian yang di ajukan baik oleh tersangka maupun keluarganya akibat dari kesalahan prosedur yang dilakukan penyidik dalam melakukan serangkaian upaya paksa yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam KUHAP. Hal ini salah satunya disebabkan karena kurangnya kemampuan dan kualitas sumber daya manusia penyidik Polri.
Dengan kondisi-kondisi yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri menghadapi suatu permasalahan yang begitu kompleks, sehingga dalam pelaksanaannya sulit untuk berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan dampak negatif bagi bekerjanya suatu sistem peradilan pidana dalam menciptakan proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      2.   Pembatasan Masalah
                        Berdasarkan indentifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh Polri dalam dalam sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh pihak kepolisian Resor X. Proses penyidikan dalam hal ini mulai dari proses pembuatan laporan polisi, penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, pemberkasan, hingga penyerahan berkas perkara dan tersangka serta barang bukti (P-21), sehingga tindakan yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam setiap upaya atau langkah tindakannya dapat berjalan efektif dan efisien dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).

      3.   Rumusan Masalah
                        Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat di rumuskan dalam penelitian ini adalah :
            a.         Bagaimanakah Pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ?
            b.         Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana ?
            c.         Bagaimanakah Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana pada masa depan ?

C. Kerangka Teori              
               Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana (SPP). Penyidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan bagi hakim untuk menggali/menemukan kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di persidangan.[4]
               Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan pengertian penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1 Angka 2 KUHAP, yaitu :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dari pengertian di atas, kegiatan penyidikan merupakan upaya paksa yang meliputi kegiatan untuk melakukan pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan. Kegiatan di dalam penindakan pada dasarnya bersifat membatasi kekebasan hak-hak seseorang dan perannya. Dalam melaksanakan kegiatan penyidikan harus memperhatikan norma-norma hukum dan ketentuan-ketentuan yang mengatur atas tindakan tersebut.
Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan “bukti faktual” penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang di duga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. [5]
Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana. [6]
Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. [7]
Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau di duga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.[8]
Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menetukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.
Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan  dapat diperinci  sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang : [9]
         1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,
         2. Kapan tindak pidana itu dilakukan,
         3. Di mana tindak pidana itu dilakukan,
         4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,
         5. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan,
         6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,             
         7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.
Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hokum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses pneyidikan itu dinyatakan selesai. [10]
Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. [11]
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut : 
      1).     Penangkapan
     Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 20 KUHAP yaitu :
Penangkapan adala suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara  waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 KUHAP dan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan.
      2).     Penggeledahan
Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 17 KUHAP yaitu :
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                        Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka.
      3).     Penyitaan
Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 16 KUHAP yaitu :
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

                        Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guan kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlabih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas  benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuannya [12]
                        Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat dilakukan dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
      4).     Pemeriksaan
                        Kegiatan pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan keterangan dan kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi dan dituangkan didalam berita acara pemeriksaan untuk melengkapi berkas perkara. Pemeriksaan dilakukan baik terhadap saksi maupun terhadap tersangka. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka dengan didampingi oleh pengacara yang merupakan persyaratan materiil yang sudah     di atur dalam KUHAP.
      5).     Penahanan
Pengertian mengenai penahanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 21 KUHAP yaitu :
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

                        Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. [13]
                        Pertimbangan dan ketentuan mengenai penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP.
      6).     Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan
                        Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai  melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini merupakan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik.    
               Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.
               Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik Polri tersebut kemudian akan dilanjutkan oleh Kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.
               Sistem peradilan dapat ditinjau dari berbagai segi, pertama segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan. Disini, sistem peradilan akan mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara).[14] 
               Menurut Lily Rasyidi, ciri suatu sistem adalah : [15]
      a.      Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses) ;
    b.    Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling tergantung (interpendence of its parts) ;
    c.     Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more that the sum of its parts) ;
      d.     Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) ;
      e.    Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole) ;
      f.       Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.             

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya. [16]
Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun pelaksanaan hukum pidana. Di dalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku, kejahatan, sasaran jangka menengah pencegahan kejahatan, dan sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. [17]
Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem menurut Romli Atmasasmita, harus dilakukan pendekatan sistem, yaitu : [18]
      a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian,     Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan) ;
          b.   Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana ;
        c.  Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih di utamakan daripada efisiensi              penyelesaian perkara ;
          d.   Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The administration of justice.
              
Konsepsi integrated dalam pengertian sinkronisasi sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut di atas, mengandung pengertian the achievement of unification through shared norm values yang harus tampak dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana. Sehubungan dengan karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan pidana yang terpadu, yang memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk menumbuhkan sinkronisasi dari segi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. [19]
Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima sanksi pidana, [20] termasuk juga :
      a.      Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ;
      b.      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah telah dipidana ;
      c.      Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
                    
              Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana, yaitu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. [21]
     Dalam kerangka pemahaman tersebut maka kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan unsur saja dari satu sistem, yaitu sistem peradilan pidana, bahkan kalau sistem peradilan pidana diibaratkan mesin, maka kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah ibarat sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut. [22]
            Loebby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses pidana.  Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seseorang di duga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut di bebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan padanya. [23]
          Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.
              Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan. Masing-masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan oleh institusi-institusi Kepolisian (subsistem penyidikan), Kejaksaan (subsistem penuntutan), Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang pengadilan), Lembaga Pemasyarakatan (subsistem pelaksanaan putusan pengadilan).[24]
           Keempat institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogyanya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif  antara aparatur penegak hukum untuk mengembangkan tugas menegakan keadilan dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam : [25]
      1.      Sinkronisasi struktrural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan       dalam rangka hubungan antara lembaga penegak hukum.
      2.      Sinkronisasi substansial (substancial sincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan    yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
      3.      Sinkronisasi kultural (cultural sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam    menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh            mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

               Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsitem lainnya. Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peran yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga-lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal polcy).
               Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut dapat bekerja sebagai sebagai sistem adalah (1) kesadaran sistem, (2) perilaku sistem, (3) kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada akhirnya sistem (dan unsur-unsurnya) hanya dapat beroperasi melalui (tindakan) manusia. Sejak kita mengetahui bahwa manusia bukan robot dan mereka mampu membuat pilihan-pilihan, maka pembinaan kultur penting sekali dilakukan. Perilaku merekan yang mengandung unsur-unsur sistem tersebut perlu diusahakan untuk berangkat dari nilai persepsi yang sama mengenai tujuan dan bekerjanya sistem. [26]
               Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Dalam kenyataannya masing-masing subsistem bekerja dengan sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan untuk memperoleh satu kebijakan kejahatan (criminal policy). Kondisi ini memiliki dampak yang sangat menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan. [27]
               Oleh karena itu, menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa komponen-komponen sistem peradilan ini harus bekerja secara terpadu (integrated) untuk menanggulangi kejahatan. Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian : [28]
      1.      Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi,        sehubungan dengan tugas mereka ;
      2.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi        (sebagai subsistem) ; dan
       3.      Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap       instansi tidak terlalu memeperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
                    
               Adapun keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerja sama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujuan sebagai kerjasama dan koordinasi antara subsistem yang satu dengan subsistem yang lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana memaikan peran yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada dalam lembaga masing-masing. Namun, aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapain tujuan bersama yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).
               Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi supaya setiap elemen dapat meningkatakan efisiensi kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk menciptakan tujuan bersama. Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen yang lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan terpadu tidak akan dapat menanggulangi kejahatan. [29]   
              
D. Kerangka Konseptual
               Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep di artikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus dan di sebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan antara penafsiran mendua (dibius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam penulisan tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu : Penyidikan dan Sistem Peradilan Pidana.
      1.   Penyidikan                
Pengertian penyidikan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tantang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yang menjelaskan pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP tersebut, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat menyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar telah terjadi.
Pengumpulan bahan keterangan untuk mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana itu telah terjadi, harus dilakukan dengan cara mempertimbangkan dengan seksama makna dari kemauan hukum yang sesungguhnya, dengan parameter apakah perbuatan pidana atau peristiwa pidana (kriminal) itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup pada komunintas yang ada dimasyarakat setempat, misalnya perbuatan itu nyata-nyata diluar kesepakatan telah mencederai kepentingan pihak lain, dan ada pihak yang lain yang dirugikan atas peristiwa itu. [30]           

      2.   Sistem Peradilan Pidana
                     Pengertian Sistem Peradilan Pidana yang dijadikan pegangan oleh penulis dalam penulisan ini seperti yang dikemukakan oleh Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun pelaksanaan hukum pidana, yang di dalamnya terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku, kejahatan, sasaran jangka menengah pencegahan kejahatan, dan sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
E.        Metode Penelitian
      1.   Tujuan Penelitian
                     Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan permasalahan yang telah di rumuskan, maka secara keseluruhan tujuan dari penelitian ini adalah :
            a).     Untuk mengetahui Pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana.
            b).    Untuk mengetahui Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Penyidikan     Polri dalam Sistem Peradilan Pidana.          
            c).     Untuk mengetahui Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana pada masa depan.
      2.   Kegunaan Penelitian
                     Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan :
            a).     Secara ilmiah dapat memberikan suatu gambaran tentang pelaksanaan penyidikan Polri   sebagai salah satu subsistem dari Sistem Peradilan Pidana yang ada selama ini. Disamping itu juga dapat memberikan gambaran yang seutuhnya tentang kenyataan penyidikan yang dilaksanakan oleh Polri  khususnya di wilayah Polres X.
            b).    Secara praktis, penelitian ini diharapkan secara umum dapat dijadikan sebagai suatu       masukan kepada pimpinan Polri dalam rangka memperbaiki citra Polri dan secara khusus dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam rangka memberantas kejahatan dengan harapan perbaikan kinerja penyidik Polri yang merupakan langkah awal dalam memperbaiki Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan.

      3.   Metode Penelitian
            a).     Jenis Penelitian
                              Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yang bersifat empiris. Pendekatan ini digunakan karena masalah yang akan dibahas berkaitan dengan realitas sosial dan tingkah laku dari aparat penyidik dalam pelaksanaan penyidikan itu sendiri. Tingkah laku manusia yang terlibat dalam suatu proses penyidikan juga merupakan aplikasi dari norma-norma yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam KUHAP.
                              Pendekatan empiris ini digunakan dengan harapan dapat diperoleh gambaran yang jelas dan utuh mengenai latar belakang dan seluk beluk pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh Polri, sekaligus juga untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penyidikan Polri. Disamping itu juga ingin diungkapkan kondisi yang sesungguhnya tentang bagaimana faktor-faktor hukum dan non-hukum dalam arti aturan interen dan aturan eksteren Polri yang ikut membetuk perilaku penyidik di lapangan.
            b).     Lokasi Penelitian
                              Lokasi penelitian dalam penulisan ini adalah di wilayah hukum Polres X. Adapun alasan memilih lokasi penelitian ini adalah karena pertimbangan data statistik jumlah tindak pidana yang terjadi dan cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, namun demikian berbanding terbalik dengan jumlah tindak pidana yang diselesaikan, serta banyaknya permasalahan-permasalahan yang terjadi selama proses penyidikan berlangsung yang bertentangan dengan ketentuan yang telah di atur dalam KUHAP.
            c).     Populasi dan Sampel
                              Sehubungan penelitian ini dilaksanakan di wilayah hukum Polres X, maka populasi penelitan ini meliputi seluruh penyidik Polri di Polres X, Penyidik di Polsek Jajaran Polres Kendari, unsur pimpinan Polres, unsur pimpinan Polsek, serta tersangka yang pernah di sidik baik oleh penyidik Polres X maupun Penyidik Polsek Jajaran Polres X baik yang sampai ke pengadilan maupun yang tidak sampai ke pengadilan.
                              Selanjutnya sampel dalam penelitian ini, mengingat dan pertimbangan keterbatasan waktu dan dana yang dimiliki oleh penulis, maka pengambilan sampel dari populasi penelitian ini ditentukan secara langsung sebagai responden, yang terdiri dari :
                     (1).    Lima orang penyidik Polres X ;
                     (2).    Satu orang penyidik Polsek dari masing-masing Polsek Jajaran Polres X ;
                     (3).    Kasat Reskrim Polres X ;
                     (4).    Kanit Reskrim dari masing-masing Polsek Jajaran Polres X ;
                     (5).    Tersangka yang pernah di sidik oleh Penyidik Polres dan Polsek yang perkaranya sampai ke pengadilan, sebanyak 5 orang ;
                     (6).    Tersangka yang pernah di sidik oleh Penyidik Polres dan Polsek yang perkaranya tidak sampai ke pengadilan, sebanyak 5 orang.
                              Adapun teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Purposive Sampling yaitu dengan penunjukan langsung oleh peneliti untuk dijadikan sebagai sampel penelitian.
            d).     Alat Pengumpulan Data
                              Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilihat dari tujuan penelitian, maka data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data yang diperoleh langsung di lapangan yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana oleh kepolisian di wilayah hukum Polres Kendari. Sedangkan data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar hukum pidana dan hukum acara pidana, serta bahan-bahan kepustakaan lainnya. Untuk mendapatkan data tersebut diperoleh melalui :
                     (1).    Studi Kepustakaan
                                       Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder, mencari teori-teori, pandangan-pandangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Adapun data sekunder ini mencakup norma atau kaidah dasar, Peraturan Dasar, Peraturan Perundang-undangan, serta bahan-bahan hukum lainnya yang digunakan untuk mendukung data primer.
                     (2).    Observasi
                                       Pengumpulan data primer dengan mendatangi lokasi penelitian, kemudian melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian guna mengetahui pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri Polres X.
                     (3).    Wawancara (Interview)
                                       Teknik wawancara dilakukan langsung kepada sampel penelitian yaitu polisi yang pernah menyidik dan tersangka yang pernah mengalami langsung proses penyidikan oleh penyidik. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman/panduan pertanyaan agar tidak menyimpang dari permasalahan yang diteliti.      
      4.   Analisis Data
                        Data telah diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilanjutkan dengan analisis data secara kualitatif yaitu menganalisis data berdasarkan kualitasnya lalu di deskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan. Analisis ini digunakan untuk mengolah data yang sifatnya tidak dapat di ukur yang berwujud kasus-kasus yang dilakukan penyidikan oleh penyidik sehingga memerlukan penjabaran melalui uraian-uraian. 

F.   Sistematika Penulisan
               Penulisan tesis ini direncanakan dibuat dalam 5  Bab, yang terdiri dari :
               Bab. I Pendahuluan, berisi : Latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan masalah, kerangka teori, kerangka konsepsional, metodelogi penlitian dan sistematika penulisan.
               Bab. II Tinjauan Umum Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana, berisi : Aturan Hukum Pelaksanaan Penyidikan Polri, Asas-asas hukum Pelaksanaan Penyidikan Polri, dan Model-model Sistem Peradilan Pidana.
               Bab. III Pelaksanaan Penyidikan Polri, berisi : Tinjauan umum Penyidikan Polri di Polres X, Analisis Hukum Pelaksanaan penyidikan Polri dan Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Penyidikan Polri.
              Bab. IV Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana pada masa depan, berisi          Penyidikan Polri dalam Rancangan KUHAP dan solusi pelaksanaan Penyidikan Polri.
               Bab. V Penutup, terdiri dari kesimpulan yang di dapat dari hasil pembahasan yang telah di analisa untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan serta beberapa saran yang direkomendasikan dalam pelaksanaan Penyidikan Polri dalam Sistem Peradilan Pidana.

* FORMAT PENULISAN PADA PMIH UMJ.

 DAFTAR  PUSTAKA


Buku-Buku  
      Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
      Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002.
      Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta, 2005.
      Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Prakeik, Djambatan, Jakarta, 1998.
      Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
      Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
      Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom,          Jakarta, 2002.
      Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum melawan        Kejahatan,  Lembaga Kriminologi UI, 1994.
     Marjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu pemikiran awal) dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1997.
      M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
      Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,            Semarang, 1995.
      Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme,     Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung, 1996.
      Sacipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial  & Kemasyarakatan,              Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007.
      Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal      Studi Kepolisian : Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, 2011.

Undang-Undang
      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana           (KUHAP).

Makalah
      Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja Polri melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies Natalis PTIK ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38, Jakarta, 2003.




[1] Sacipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial  & Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 75
[2] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung, 1996,  hal 9-10.
[3] Ibid.
[4] Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, STIK, Jakarta, 2011, hal 150
[5] Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hal 15
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 99
[7] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 118
[8] Darwan Print, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hal 8
[9] Ibid
[10] Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 116
[11] Ibid
[12] Andi Hamzah, op cit, hal 145
[13] Andi Hamzah, op cit, hal 127
[14] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH-UII Press, Yogyakarta, 2005, hal 14-15
[15] Lily Rasyidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,  PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,1993,  hal 43-44
[16] Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum melawan Kejahatan,  Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal 84
[17] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal vii
[18] Romli Atmasasmita, op cit, hal 9-10.
[19] Ibid.
[20] Romli Atmasasmita, op cit, hal 14-15.
[21] Marjono Reksodiputro, op cit, hlm 1
[22] Sacipto Rahardjo, op cit, hal 222
[23] Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Datacom, Jakarta, 2002, hal 22
[24] Ibid, hal 23
[25] Romli Atmasasmita, op cit, hal 17.
[26] Romli Atmasasmita, op cit 18
[27] Romli Atmasasmita, op cit hal 19
[28] Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu pemikiran awal) dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1997, hal 142.
[29] Hakristuti Hakrisnowo, Mendorong Kinerja Polri melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Pidato Dies Natalis PTIK ke-57 dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan ke-38, Jakarta, 2003, hal 4
[30] Hartono, op cit, hal 32

7 komentar:

  1. kumpulan tesis hukum, proposal hukum yg telah siap bisa anda dapatkan gratisss
    http://rumahtesis.blogspot.co.id/

    BalasHapus
  2. Thanks bro infoya, baca juga Contoh proposal dan Contoh proposal usaha
    Isi artikelnya menarik, enak untuk di baca dan mudah untuk di pahami, setelah membaca tulisan ini, pengetahuan dan ilmu saya jadi bertambah, saya tunggu update artikel yang selanjutnya.
    Thanks bro infoya, baca juga Tips On Choosing The Best Law Firm Mesothelioma

    BalasHapus
  3. Terima kasih...tulisan nya sangat berguna

    BalasHapus
  4. Tulisan yg cukup bagus dan bisa di jadikan referensi

    BalasHapus
  5. terima kasih tulisan contoh tesisnya, sangat membantu memberikan gambaran dalam membuat TOR TESIS saya.

    BalasHapus
  6. TERIMAKASIH UNTUK PENULIS SANGAT MEMBANTU

    BalasHapus